Jumat, 30 November 2018

Don’t believe anything you read on the Internet




Rabu, 23 Oktober 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik beberapa hal terkait pemberitaan media. Dalam acara yang diselenggarakan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, SBY mengeluhkan banyaknya  berita dengan sumber yang tak jelas.

SBY juga menyinggung soal penggunaan media sosial sebagai sumber berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, berita yang berbau fitnah, pers yang mengadili, serta berita yang tidak melalui cek silang.

Munculnya media sosial sebagai sumber berita semakin mengaburkan batas antara berita dan opini. Kenapa? Ini karena -- seperti ditulis Lee McIntyre dalam bukunya, Post-Truth (Cambridge, MA : MIT Press, 2018) -- orang-orang yang berbagi cerita melalui blog dan situs berita alternative seolah-olah semuanya benar. Yang menarik adalah penggiat jurnalistik yang bekerja di media konvensional juga larut di dalamnya.

Pada tahun 2010, Dewan Pers menerima 514 surat pengaduan, 13 di antaranya terkait dengan ketidakakuratan berita, dan delapan karena media tidak memverifikasi berita yang telah mereka terbitkan. Ini adalah kebiasaan buruk yang menurut Dewan Pers berasal dari dorongan untuk menyampaikan informasi secepat mungkin kepada publik.

Diakui atau tidak, digitalisasi telah mengubah praktik jurnalisme di Indonesia. Akhir tahun 2010, konsultan Maverick Indonesia dan STIKOM London School of Public Relations Jakarta melakukan survei tentang perilaku wartawan menggunakan internet dan media sosial. Hasil survey yang dilakukan antara Juni dan September 2010 dengan mewawancari 321 wartawan dari 141 media, menunjukkan bahwa tujuh dari 10 wartawan memperoleh ide tulisan untuk membuat laporan berita mereka berasal dari internet.

Yang lebih menarik, jurnalis enggan memverifikasi informasi yang mereka dapatkan dari internet tersebut. Survei tersebut menemukan bahwa hanya separuh dari wartawan yang mengklaim mereka memverifikasi informasi yang mereka temukan di internet sebelum menggunakannya. Sebanyak 138 responden (dari 321 responden dari 141 media di Indonesia) memverifikasi informasi dengan memeriksa di internet dan hanya 64 responden yang memverifikasinya langsung dengan sumber-sumber.


                                                     Judul buku           : Post-Truth

                                                     Penulis                 : Lee McIntyre
                                                     Penerbit               : The MIT Press, 2018


Fenomena post-truth meroket menjadi perhatian publik setelah Kamus Oxford menuliskannya bulan November 2016. The Oxford Dictionaries mendefinisikan "post-truth" sebagai keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada daya tarik emosi dan kepercayaan pribadi.

Saat pemilihan presiden Amerika Serkat pada tahun 2016 memanas, semakin banyak konten di media sosial partisan. Publik dapat mengklik “berita” yang memberi tahu tentang informasi yang ingin didengar (apakah mereka telah diperiksa untuk akurasi atau tidak) sebagai lawan dari beberapa konten faktual dari media mainstream yang mungkin kurang cocok. Tanpa mengetahui bahwa mereka melakukannya, orang dapat memberi umpan informasi sesuai keinginan mereka secara langsung, tanpa mencari sumber berita tradisional.

Mengapa Anda harus membayar atau berlangganan koran bila Anda bisa mendapatkan banyak cerita seperti yang Anda inginkan dari teman-teman yang memiliki banyak hal untuk dikatakan tentang peristiwa yang Anda minati secara gratis? Gagasan ini bisa menjadi ancaman bagi pers. Kenapa? Dalam kondisi seperti itu, tidak ada peluang untuk hidup bagi pers prestise.

Dalam jajak pendapat Pew, 62 persen orang dewasa di AS melaporkan mendapatkan berita mereka dari media sosial, dan 71 persennya berasal dari Facebook. Ini berarti, 44 persen dari total populasi dewasa AS sekarang mendapatkan berita dari Facebook. Hal ini mencerminkan perubahan dalam sumber (dan komposisi) konten berita saat ini. Lalu, dengan menurunnya pemeriksaan dan penyuntingan, bagaimana orang bisa mengetahui cerita mana yang bisa diandalkan?

Meskipun berita tradisional masih ada, semakin sulit untuk mengatakan apa yang dimaksud dengan potongan yang bersumber dari fakta dan apa yang bukan dari fakta. Tentu hanya beberapa orang yang  lebih suka membaca (dan percaya) berita yang sudah sesuai dengan sudut pandang mereka.
Hasilnya,munculnya "silo berita" yang menciptakan polarisasi dan fragmentasi dalam konten media. Jika seseorang mendapatkan berita dari media sosial, mereka dapat mengabaikan sumber-sumber yang tidak disukai, sama seperti seseorang dapat menghapus orang-orang yang tidak setuju dengan pendapat politiknya.

Sungguh ironis bahwa internet, yang memungkinkan akses langsung ke informasi yang dapat dipercaya oleh siapa saja yang mengganggu untuk mencarinya, telah menjadi tidak ada apa-apa selain ruang gema. “Betapa berbahayanya. Tanpa bentuk kontrol editorial atas apa yang sekarang kadang-kadang disajikan sebagai "berita," bagaimana kita bisa tahu kapan kita dimanipulasi?” tulis McIntyre.

Fenomena inilah yang disebut McIntyre sebagai post-truth. Ini terjadi ketika "fakta-fakta alternatif" menggantikan fakta-fakta aktual, dan perasaan lebih dipercaya sebagai kebenaran dibandingkan dengan  bukti. Lalu, apakah saat ini kita hidup di era post-truth (pasca-kebenaran - di mana “fakta-fakta alternatif” menggantikan fakta dan perasaan yang sebenarnya memiliki bobot lebih dari bukti).

Lee McIntyre menelusuri perkembangan fenomena post-truth yang dimulai dari penolakan sains melalui munculnya “berita palsu,” dari titik buta psikologis ke retret publik menjadi “silo informasi.” Apa itu post-truth? Apakah itu angan-angan, political spin, khayalan massal, atau keberanian berbohong?

McIntyre menampilkan contoh-contoh terbaru, mulai dari klaim tentang besarnya kerumunan saat pelantikan, statistik kejahatan, dan popularitas. Dia lalu menemukan bahwa post-truth adalah penegasan supremasi ideologis yang dengannya para praktisi berusaha memaksa seseorang untuk mempercayai sesuatu tanpa menghiraukan bukti.

Kamis, 01 November 2018

Nation Branding – Tanggung Jawab Pemerintah atau Warga Negara?




Dalam beberapa tahun terakhir, nation branding telah menjadi kosa kata yang banyak dibicarakan. Ini karena makin ketatnya persaingan antar negara dalam menarik investor, pelancong, siswa dan mahasiswa, orang sakit, orang tua pensiunan dan sebagainya.

Dalam telaan tentang nation branding, sangat penting untuk diketahui bahwa pada dasarnya nation branding tidak hanya untuk konsumsi luar negeri. Sebab bagaimana pun nation branding memiliki komponen dalam negeri yang lebih kuat ketimbang diplomasi publik.

Menurut Fan (2006) nation branding menerapkan teknik branding dan komunikasi pemasaran untuk mempromosikan citra bangsa. Gudjonsson (2005), seorang praktisi merek Islandia, mendefinisikan nation branding dengan mengedepankan pemerintah sebagai inisiator branding, terlibat secara tidak langsung dan pengaruhnya.

Dengan kata lain, nation branding terjadi ketika pemerintah atau perusahaan swasta menggunakan kekuatannya untuk membujuk siapa saja yang memiliki kemampuan untuk mengubah citra suatu bangsa. Dalam konteks ini, sumber daya tersebut termasuk alat-alat branding yang bisa digunakan  untuk mengubah perilaku, sikap, identitas atau citra suatu bangsa dengan cara yang positif.

Meskipun benar bahwa 'diplomasi publik baru' terus mempromosikan gagasan melalui diplomasi orang-ke-orang dan makin mendorong terjadinya pembagian tanggung jawab sehingga nation branding bukan lagi menjadi suatu kegiatan yang dilaksanakan sendiri oleh pemerintah sendirian. Benar secara historis diplomasi public biasanya merupakan kegiatan yang melibatkan kontak antara suatu pemerintah dan orang-orang dari negara lain (Cull, 2007).

Namun, globalisasi juga telah menciptakan pergeseran kekuatan dalam kaitannya dengan masalah hubungan internasional. Globalisasi juga telah menciptakan interdependensi yang lebih besar  dalam bisnis global dan politik internasional (Muldoon, 2005). Korporasi bisa jadi menghabiskan lebih banyak uang untuk komunikasi daripada banyak pemerintah, dan memainkan peran sebagai aktor non-negara dalam diplomasi publik yang membantu membangun reputasi dan citra negara asal mereka, apakah peran itu disengaja atau tidak.

Peran yang dimainkan oleh perusahaan sektor swasta dalam diplomasi publik dapat didefinisikan sebagai diplomasi korporat. Disini perusahaan berpartisipasi dalam proses pembangunan hubungan dengan entitas asing yang meningkatkan citra, cita-cita, lembaga dan budaya negara asal perusahaan (White, 2013).

Ordeix-Rigo dan Duarte (2009) mendefinisikan diplomasi perusahaan sebagai proses untuk mengembangkan kekuatan dan legitimasi korporasi dalam masyarakat dengan menggunakan alat hubungan masyarakat. Ini berarti ada kesamaan antara tujuan diplomasi perusahaan dan public, yakni membangun citra di public global.

Konsep diplomasi perusahaan ini dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, termasuk melalui program CSR serta inisiatif komunikasi strategis lainnya seperti periklanan. Ini dapat terjadi ketika perusahaan bertindak secara independen atau bukan atas nama pemerintahnya, atau bekerjasama  dengan pemerintah (White, 2013).

Seringkali perusahaan-perusahaan internasional terlibat dalam kegiatan yang memiliki efek diplomasi publik dan nation branding. Sebagai contoh, White et al (2011) menemukan bahwa kegiatan perusahaan-perusahaan Amerika di Rumania tercermin positif di Amerika Serikat dan memiliki efek diplomasi publik, meskipun itu bukan maksud dari kegiatan tersebut.

Namun dari pengalaman inilah muncul gagasan tentang bagaimana melibatkan warga di negara dimana nation branding dilakukan ke dalam urusan pemerintah tadi. Dalam hal ini peran yang diharapkan pada warga negara tadi adalah bagaimana caranya mereka juga ikut menjelaskan kebijakan luar negeri negaranya kepada khalayak internasional.

Dalam kaitan ini melibatkan warga negara dalam kegiatan nation branding didasari pada dua pertimbangan. Pertama, pada dasarnya nation brand merupakan hasil proyeksi atau diproyeksikan oleh banyak sumber. Disini tidak hanya pemerintah yang hanya diberi mandat untuk membangun sikap positif para pemangku kepentingan (stakeholder) negara tersebut.

Menurut Simon Anholt, pakar nation branding, image suatu negara dikomunikasikan melalui saluran yang sangat kompleks termasuk saluran yang terkadang tidak ada pemiliknya sehingga tidak ada yang memiliki kekuatan mutlak untuk mengatur saluran komunikasi tadi (Anholt, 2006). Dalam konteks ini, perkembangan teknologi sosial media telah melahirkan ancaman sekaligus tantangan.

Salah satu dari efek perkembangan teknologi informasi dalah lahirnya citizen journalism atau aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh warga biasa (bukan wartawan). Konsep citizen journalism didasarkan warga masyarakat (public citizens) yang berperan aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisis, dan menyebarkan berita dan informasi.

Ancamannya, karena setiap orang bisa memiliki media sosial, terjadi tsunami informasi dan opini dari pemilik akun media sosial, blog dan influencer atau buzzer lainnya. Nada opininya kadang lebih banyak bernada negative, terkadang juga bernada positif. Sebaliknya, peluangnya adalah makin luasnya bentangan media yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang melakukan kegiatan nation branding.

Disini pemerintah bisa memanfaatkan para pemilik akun sosial media untuk menjadi mitra dalam mengkomunikasikan secara positif tentang negaranya kepada orang lain. Selain itu yang juga perlu dipertimbangkan adalah bahwa realitasnya nation branding melibatkan pesan dari puluhan lembaga, organisasi, perusahaan swasta dan warga negara dan ini diperkuat serta diperkaya oleh makin kuatnya tindakan komunikasi antara negara dan belahan bumi lainnya di seluruh dunia.

Semuanya, mulai dari liputan berita nasional dan internasional yang diterima dan bagaimana warga negara mensikapi dan meresponnya, cara merepresentasikan dirinya di pameran perdagangan dan ekspor msalnya, hingga bagaimana warga negara mensikapi isu-isu kompleks seperti perjanjian perdagangan internasional dan cara warganya berperilaku di luar negeri dapat memberikan petunjuk tentang identitas negaranya.

Alasan kedua adalah bahwa – dalam teori -- salah satu aturan utama dalam nation branding adalah bahwa nation barnd harus berakar pada realitas negara dan masyarakatnya. Dalam Journal of Brand Management, Fiona Gilmore (2002) menegaskan, hal penting yang harus disadari dalam hal nation branding suatu negara adalah pentingnya amplifikasi dari setiap aktivitas dan nilai serta tindakan yang sudah ada dan bukan menampilkan hal-hal yang bersifat palsu ...

Brand nation harus berakar dari realitas dan kebenaran mendasar tentang tujuan dilakukannya nation branding. Jika merek tidak berakar pada realitas dan kredibel, audience (domestik dan internasional) akan merasakan disonansi dan kehilangan kepercayaan pada merek. Dalam bukunya Brand New Justice, Anholt mengingatkan akan pentingnya menyentuh peran masyarakat dalam negeri karena seringkali dalam konteks warga negara dapat mengaplifikasi dan menjadi corong bagi nation branding.

Nation branding atau perpaduan unsur-unsur unik dan multidimensional yang memberikan suatu negara atau bangsa diferensiasi dan relevansi budaya yang kokoh kepada semua khalayak targetnya  (Dinnie, 2008, hal. 15), menciptakan kesan dan membuat suatu negara menjadi lebih menarik.