Dalam dunia bisnis yang
berubah tiada henti, hanya ada satu cara untuk memenangkan permainan: Transform
it completely. Ini membutuhkan sebuah revolusi dalam pemikiran - sebuah aliran
strategi yang mengganggu dan solusi tak terduga.
Mantra lama, "differentiate
or die” (membedakan atau mati) kini tidak lagi relevan. Kenapa? Saat ini sudah
terlalu banyak diferensiasi yang terjadi. Dengan berpegang teguh pada mantra
"membedakan atau mati", bisnis besar dan kecil semakin menyulitkan pelanggan
(dan calon pelanggan mereka) untuk membedakan antara perubahan yang dalam dan
bermakna dan hal baru yang dangkal dan dangkal.
Akibatnya, dengan
kelebihan penawaran serupa di pasar, semua orang mengklaim
"berbeda" -- yang secara
teoritis seharusnya memberi nilai tambah pada produk atau layanan perusahaan –
akibatnya hampir tidak mungkin bagi bisnis untuk membuat produk mereka
diperhatikan dan mendapatkan tanggapan yang berharga dari target marketnya.
Selama ini masih banyak
perusahaan yang berkutat pada upaya untuk menemukan diferiensi produk dari sisi
fitur. Jarang perusahaan yang memikirkan tentang bagaimana menciptakan suatu
produk atau jasa yang ditujukan untuk konsumen yang selama ini belum terpenuhi
kebutuhannya oleh produk atau merek yang ada. Ini bisa jadi karena akses mereka
yang terhambat atau ketidaktahuan mereka atau kemampuan mereka menjangkau
produk tersebut.
Situasi ini yang kemudian berusaha diatasi oleh Presiden Jokowi melalui pembangunan infrastruktur
yang pada intinya membuka akses daerah atau masyarakat yang selama ini tidak
bisa menjangkau atau dijangkau. Persoalannya adalah bagaimana kemudian membuat
akses tadi dimanfaatkan oleh masyarakat yang baru terbuka tadi. Sulit
mengharapkan mereka bergerak sendiri. Mereka harus didorong untuk bergerak
memanfaatkan akses itu untuk meningkatkan kehidupannya.
Pemerintah DKI kini
menghadapi persoalan penataan Tanah Abang. Pasar Tanah Abang sejak lama menjadi
destinasi belanja masyarakat kelas menengah. Dalam bayangan saya, yang membuat
Pasar Tanah Abang menarik adalah kemudian aksesnya. Banyak pedagang Pasar Bogor
misalnya yang saya kenal kulakannya ke Pasar Tanah Abang. Mereka tidak bermobil
melainkan berkereta. Ini membuat trafik antara stasiun dan pasar menjadi
tinggi. Ini juga menjadi daya tarik pedagang. Daya tariknya makin tinggi paska
pasar direnovasi.
Ini yang membedakan
Pasar Tanah Abang dengan Pasar Mayestik misalnya sehingga Pasar Tanah Abang
jauh lebih berkembang. Pasar Mayestik
sebenarnya mempunyai potensi untuk berkembang, sayangnya aksesnya yang hanya
bisa dijangkau dengan moda transportasi mobil atau motor membuat orang –
terutama dari luar daerah -- harus mempertimbangkan Pasar Tanah Abang sebagai
pilihan belanja. Demikian pula dengan Pasar Jatinegara.
Beberapa waktu lalu, Majalah
SWA-MIXdan Business Digest bekerjasama dengan Yayasan Danamon Peduli
menyelenggarakan Forum Pembelajaran Inovasi Pasar Rakyat. Dalam presentasinya,
pengelola pasar Koja menyatakan ambisinya untuk bisa menjadikan sebagai pasar alternative
Pasar Tanah Abang. Namun sekali lagi mereka juga terkendala akses.
Potensi lainnya yang
bisa dikembangkan sebagai alternatif adalah Pasar Bogor. Disini akses dan
lokasi mudah dijangkau dengan kereta. Tinggal akses dari daerah di Jawa Barat
lainnya yang mungkin perlu dikembangkan. Bukanah kini sudah akses kereta ke
Sukabumi?
Penelitian saya
menunjukkan bahwa pasar meningkatkan daya tariknya paska direvitalisasi.
Pengunjung meningkat meski belum tentu membeli. Disini kelebihan pedagang pasar
Tanah Abang. Mereka piawai dalam local marketing. Mereka aktif mempersuasi
pembelanja untuk membeli produknya. Ini berbeda dengan pasar lainnya. Di Pasar Blok
F Bogor misalnya, berdasarkan penelitian saya, pedagangnya pasif, menunggu pembeli.
Ini tipikal pedagang pasar tradisional yang diantara pedagang tidak terdapat
persaingan.
Dalam buku Peddlers and Princes: Social Development and
Economic Change in Two Indonesian Towns (University Of Chicago Press, 1963),
Clifford Geertz, antropologis ternama, menyebutkan bahwa dalam pasar
tradisional yang terjadi bukan persaingan antara pedagang dan pedagang lainnya,
melainkan antara pedagang dan pembeli. Ini yang kemudian melahirkan teori
sliding price, harga meluncur ke bawah akibat kegigihan pembeli dalam menegosiasikan
harga yang ditawarkan pedagang.
Ini yang kemudian memunculkan
pertayaan, mengapa pemerintah tidak memecah Pasar Tanah Abang dengan melahirkan
sentra-sentra pedagangan lainnya? Menjelang krsisi ekonomi tahun 1998 sejatinya
pemerintah berhasil memecah pusat-pusat perdagangan yang selama itu berpusat di
Glodok dengan melahirkan konsep trade center seperti ITC Fatmawati, Senayan dan
sebagainya. Sayangnya krisis segera melanda. Kedua aksesnya juga tidak semudah
Pasar Tanah Abang misalnya yang bisa dijangkau masyarakat dengan kereta.
Dalam literatur teori
inovasi, ungkapan disruptive (mengganggu)
diasosiasikan dengan gagasan tentang disruptive
technology (teknologi yang mengganggu) yang digambarkan Clayton Christensen
dalam bukunya The Innovator's Dilemma.
Christensen mengamati bahwa teknologi yang mengganggu sering masuk di bagian
bawah pasar, di mana perusahaan mapan mengabaikannya. Mereka kemudian tumbuh pada
titik dimana pengaruh mereka melampaui sistem lama. Namun, dalam realtitasnya gagasan
“mengganggu” tidak begitu banyak diimplementasikan banyak perusahaan sehingga
mereka bisa menemukan dan bereaksi terhadap perubahan teknologi yang mengganggu
pasar.
Menjadi perubahan yang
mengganggu dalam industri adalah jenis usaha baru yang mungkin termasuk usaha kecil
yang terbaik. Ini adalah cara berpikir yang dapat dipelajari dan diterapkan
secara efektif oleh perusahaan atau organisasi baik besar maupun kecil atau
bahkan calon industri yang bersedia menantang status quo di manapun mereka
berada.
Tidak ada waktu yang
lebih baik untuk menantang status quo daripada saat ini. Perusahaan atau yang
menang dalam dekade mendatang adalah perusahaan yang memproduksi dan menerapkan
gagasan yang tidak mudah dipahami atau direplikasi oleh pesaing. Perusahaan
akan membuat kategori baru dan mendefinisikan ulang yang lama.
Pelanggan pada dasarnya
mengubah apa yang mereka inginkan dari produk dan layanan yang mereka alami.
Internet dan infrastruktur koneksi masif sudah menemukan kembali banyak
industri, namun saat ini bisa jadi tahapannya masih menggaruk permukaannya. Merlimpah
potensi di baliknya. Saat ini, pada dasarnya kita masih dikelilingi oleh banyak
produk, layanan, dan model bisnis yang dibangun berdasarkan logika masa lalu. Banyak
keputusan yang mendefinisikan suatu bisnis dibuat pada era bertahun-tahun yang
lalu, dalam usia yang berbeda, dan konteks yang berbeda.
Dari sini pula muncul
pertanyaan, kenapa tida menjadikan pasar fisik sebagai digital marketplace.
Pasar fisik yang selama ini, menjadi semacam “warehouse” atau showroom untuk
memfasilitasi habit showrooming yang kini semakin ngetrend. Kenapa pemerintah tidak mengedukasi pedagang pasar rakyat
menjadi pedagang online yang andal?