Tahun 1992, Robert Provine – ilmuwan University of Maryland
Baltimore County, Baltimore, Maryland – melakukan penelitian tentang rangsangan
tertawa dengan mewawancarai 128 mahasiswa peserta program sarjana psikologi.
Dia ingin melihat potensi tertawa membuay orang lain tertawa dengan mengamati
tanggapan dari 128 subjek di tiga kelas psikologi sarjana.
Subjek mencatat – dari 10 kali percobaan -- apakah mereka tertawa dan atau tersenyum masing-masing sample tertawa selama 18 detik, dan diikuti dengan diam selama 42 detik.
Sebagian besar subjek tertawa dan tersenyum menanggapi
presentasi – yang dianggap – lucu pada sesi pertama. Namun, polaritas
responsnya berubah dengan cepat. Pada percobaan ke-10, beberapa subjek tertawa
dan / atau tersenyum, dan sebagian besar menganggap stimulus itu
"menjengkelkan".
Meskipun penelitian lain telah mendeskripsikan efek tawa, dia tidak mempertimbangkan hipotesis yang terkonfirmasi, bahwa tertawa membangkitkan tertawa. Menurut Provine, hanya 15% dari tawa kita yang berasal dari hiburan lelucon! Mungkin mekanismenya adalah dengan teraktivakannya detektor fitur pendengaran khusus tawa.
Hasil ini relevan dengan dasar neurologis komunikasi sosial,
etologi manusia, dan teori produksi dan persepsi bicara.
Dalam konteks pemasaran atau komunikasi pemasaran, perusahaan atau pengelola metek sering memanfaatkan stimulus yang dapat membuat orang tertawa atau tersenyum. Mereka menggunakan iklan lucu.
Kenapa? Humor dapat
menjelaskan subjek atau situasi sekaligus menciptakan rasa pengalaman dan
pemahaman bersama. Ini bisa menjadi cara yang efektif bagi merek untuk terlibat
dengan orang-orang individu sambil menjangkau khalayak yang luas.
Cara ini sering dilakukan oleh sejumlah merek besar,
termasuk Spotify, Burger King, KFC, Irn-Bru, dan Virgin Trains. Misalnya,
sebagai bagian dari kampanye akhir tahun, Spotify memanfaatkan data pendengar
sebagai inspirasi untuk kampanye iklan bernama, 'Wrapped'.
Ini termasuk iklan yang mengolok-olok pengguna karena
menyusun playlist seperti 'I love gingers' dengan 48 lagu Ed Sheeran di
dalamnya, dan bahkan mengajak satu pengguna untuk memutar 'Sorry' sebanyak 42
kali di Hari Valentine.
Kampanye itu diterima dengan sangat baik oleh konsumen.
Informasi ini sekaligus memberikan gambaran bahwa ketika merek menangani data
pelanggan dengan cara yang lucu, hal itu tidak perlu dilihat sebagai gangguan.
Contoh bagus lainnya adalah restoran ayam siap santap, KFC. Tahun
2018, rantai makanan cepat saji menghadapi kekurangan ayam di seluruh negeri.
Gara-garanya, KFC ganti pemasok, yang menyebabkan penutupan toko. Ini tentu
saja mendapat reaksi keras dari pelanggan di media sosial.
Menanggapi situasi tersebut, merek memutuskan untuk
melakukan permainan cerdas pada tulisan KFC dalam kampanye iklan online. Mereka
mencap ember ayam populer mereka dengan 'FCK' sebagai permintaan maaf atas
kesalahan mereka. Iklan tersebut menjadi viral di media sosial, membuktikan
bahwa penanganan bencana PR yang cerdik dan lucu dapat menyembuhkan sejumlah
masalah untuk bisnis.
Jadi? Humor adalah cara yang bagus untuk terhubung dengan orang - tidak ada yang lebih menggembirakan daripada berbagi tawa dengan seseorang. Faktanya, orang memang lebih cenderung bersikap hangat kepada Anda jika Anda bisa membuat mereka tertawa. Artinya, memasukkan humor ke dalam strategi pemasaran Anda, sering kali merupakan cara yang pasti untuk menghasilkan asosiasi merek yang positif.