Baru-baru ini sebuah
survei yang dilakukan 56 US CMO menunjukkan bahwa newsroom untuk merek dan
native advertising sudah “berlebihan" (gambar atas). Pengelola merek yang disurvei sangat
percaya bahwa pemasaran dan periklanan harus memimpin dalam kegiatan strategis
pengelolaan narasi merek dan strategi sosial, termasuk pemasaran konten dan
brand journalism, strategi media sosial dan manajemen komunitas online.
Sementara itu, PR harus memimpin krisis dan manajemen isu, hubungan media, dan
posisioning eksekutif, serta semua bidang tradisional lain seperti yang selama
ini dikenal.
Pertanyaan adalah
apakah public relations bisa membangun loyalitas pelanggan? Harus diakui bahwa
ada pandangan umum bahwa mengembangkan, memelihara, dan meningkatkan loyalitas
pelanggan terhadap produk atau jasa sebuah perusahaannya merupakan tugas utama
dari kegiatan pemasaran (Dick dan Basu, 1994). Peran tradisional ini dijalankan
melalui kegiatan promosi penjuaan seperti diskon untuk pembelian berikutnya,
hadiah, dan sebagainya.
Bagi pemasar, loyalitas
pelanggan sangatlah penting sebab bagaimanapun pengelola merek tetap ingin
menambah pelanggan dan di sisi lainnya berusaha keras menghindari ember bocor
yang bila ditambah terus saja airnya habis. Dengan kata lain, penambahan
konsumen baru tidak akan ada gunanya bila pelanggan lama kabur. Selain itu, merek
atau perusahaan yang memiliki pelanggan loyal, biasanya memiliki pangsa pasar
yang lebih tinggi dan berpeluang untuk menuntut harga yang relatif lebih tinggi
kepada pelanggannya dibandingkan dengan para pesaing (Chaudhuri dan Holbrook,
2001).
Loyalitas pelanggan
yang tinggi juga dapat membantu pengelola merek menekan biaya pemasaran yang
lebih rendah, mendapatkan pelanggan yang lebih banyak, dan efektif dalam
meleverage operasi yang berkaitan dengan pemasaran lainnya (Aaker, 1997).
Selain itu, pelanggan yang loyal cenderung menyebarkan promosi positif
word-of-mulut dan menentang strategi pesaing (Dick dan Basu, 1994) dan
menghasilkan laba perusahaan yang lebih tinggi (Fornell dan Wernerfelt, 1988;
Reichheld et al, 2000.). Hal-hal positif itulah yang menjadi indikator
keberhasilan yang paling diandalkan perusahaan (Zeithaml et al., 1996).
Namun, faktor-faktor apakah
yang bisa mempengaruhi loyalitas konsumen? Faktor-faktor yang membentuk loyalitas
pelanggan telah banyak dibahas dalam literatur pemasaran jasa (misalnya, nilai,
kualitas layanan, pemasaran hubungan, citra perusahaan, kepuasan, dan kepercayaan),
tetapi kurang memberi perhatian secara empiris atas kegiatan yang dilakukan
oleh public relations yang dirasakan oleh pelanggan. Ini terutama pada industri
jasa, karena diferensiasi melalui delivery channel cukuplah sulit.
Namun kini lingkungan bisnis
telah berubah dan menggeser orientasi bisnis dari produk ke pemasaran yang orientasi
sosial (Kitchen, 1996). Hari-hari ini konsumen dan bagaimana konsumen
memutuskan melakukan pembelian juga berubah drastis. Sekarang, karena
perkembangan teknologi dalam kesehariannya konsumen mendidik dirinya sendiri
dengan menggunakan berbagai macam perangkat dan saluran informasi tersedia.
Ketika akan membeli
sesuatu misalnya, alih-alih mengkontak tenaga penjualan secara langsung, konsumen
melakukan penelitian sendiri terlebih dahulu dan berkomunikasi dengan merek
Anda melalui email, website Anda, media social dan saluran social mereka
melalui berbagai macam perangkat yang ada, dimanaun dan tidakmengenal batasan
waktu. Merek Anda dimata-matai, perilaku merek dan perusahaan diperhatikan,
omongan Anda dan orang lain tentang Anda didengarkan, meski harus diakui bahwa
mereka lebih mempercayai omongan orang lain ketimbang omongan Anda.
Dalam konteks inilah
peran public relations dalam membangun loyalitas pelanggan menjadi menonjol.
Seperti dikemukakan Cutlip et al. (1985), public relations merupakan "fungsi
manajemen yang mengidentifikasi, menetapkan, dan mempertahankan hubungan yang
saling menguntungkan antara organisasi dan berbagai publik yang mempengaruhi
kesuksesan atau kegagalan organisasi."
Hasil beberapa
penelitian menggambarkan bahwa persepsi konsumen terhadap relationship antara perusahaan/organisasi
dan publik mempengaruhi evaluasi kepuasan, niat perilaku dan perilaku actual
mereka. Itu terjadi dalam konteks dunia pendidikan dalam kaitannya dengan hubungan
sekolah dan siswa (Bruning dan Ralston, 2001; Hon dan Brunner, 2001; Bruning,
2002) dan hubungan nasabah dan bank (Bruning, 2000; Bruning dan Ledingham,
2000) yang memperlihatkan bahwa pelanggan yang tinggal memiliki tingkat
persepsi terhadap kegiatan PR dan kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mereka yang kabur. Dalam konteks itulah sebelum melangkah keluar dari
yang selama ini diyakini bahwa public relations bisa untuk membangun merek, perusahaanharus mengukur atau mengevaluasi seberapa tinggi relationship perusahaan dan publicatau stakeholdernya.
Ledingham dan Bruning
(1998), dalam sebuah studi yang melihat dimensi hubungan yang berbeda, yakni kepercayaan,
keterbukaan, keterlibatan, investasi dan komitmen, mencatat bahwa kesadaran
konsumen terhadap hubungan organisasi-pelanggan meningkatkan loyalitas mereka pada
perusahaan. Pada gilirannya, loyalitas tersebut meningkatkan pendapatan
perusahaan, meningkatkan pangsa pasar, dan mencapai tujuan perusahaan lainnya.
Bahkan penelitian Coombs
(2001) menunjukkan bahwa ketika perusahaan masih dalam tahapan berencana meningkatkan
relationshipnya dengan masyarakat dan memenuhi komitmen, loyalitas konsumen
kepada perusahaan tersebut menjadi semakin tinggi. Meskipun peneliti masa lalu
tidak memiliki temuan yang konsisten terhadap dimensi membangun kualitas
hubungan (WuIf et al., 2001), hasil empiris menyatakan bahwa bila hubungan
antara perusahaan dan pelanggan semakin intim, dalam jangka panjang perusahaan
dapat menikmati keuntungan dari loyalitas pelanggan (Crosby et al, 1990;.
Morgan dan Hunt, 1994).
Public relations kini
telah berubah besar-besaran. Yang berubah bukan hanya tentang hubungannya
media, cara public relations memperlakukan siaran pers juga jauh berbeda
dibandingkan seperti yang dilakukan praktisi public relations satu dekade lalu.
Kini berkembang digital PR yang memungkinkan penggabungan dari semua tools PR
tradisional dengan pemasaran konten, media sosial dan pencarian. Tujuannya
adalah mengubah berita yang semula statis menjadi percakapan dan sebagai media
untuk berbicara langsung dengan target audiens secara online.
Bagaimana public relation
bisa melakukan itu? Anda mungkin sering mendengar istilah engagement
(Keterlibatan). Istilah itu sejak sebelum era media social sudah ada, cuma di
era media social sekarang, istilah itu makin sering terutama di media sosial.
Dalam beberapa tahun
terakhir, customer engagement (keterlibatan pelanggan) menjadi tema yang
menarik bagi manajer dan konsultan di berbagai industri dan perusahaan di
seluruh dunia. Ini setidaknya dapat dilihat dari makin banyaknya whitepaper,
blog, forum diskusi, komentar, seminar, dan simposium yang membahas tema
tersebut.
Makin tingginya minat
terhadap keterlibatan pelanggan telah berlangsung seiring dengan terjadinya
evolusi lanjutan dari internet dan munculnya teknologi digital dan alat-alat
baru yang dijuluki Web 2.0, terutama media sosial seperti wiki, blog, situs
mikro blogging seperti Twitter, situs bookmark seperti del.icio.us, situs video
seperti YouTube, dunia virtual seperti Second Life, dan situs jejaring sosial
seperti Facebook, MySpace, dan LinkedIn, dan sebagainya.
Secara teori, dengan
media sosial, Anda bisa "terlibat" dengan audiens Anda. Itu bisa Anda
lakukan baik melalui promosi, kontes, konten, artikel, video, dan sebagainya.
Namun ada hal yang tidak bisa tidak, Anda harus melakukannya. Bila Anda ingin
membuat orang lain berbicara dengan Anda, Anda harus berbicara dengan orang
lain. Ini adalah filosofi pemasaran yang memiliki kelebihan, tapi juga memiliki
batas-batasnya.
Tanpa menerabas terlalu
banyak aturan atau prinsip-prinsipnya, salah satu fungsi public relations
adalah menghasilkan buzz. Para manajer pemasaran atau pengelola merek selalu
ingin pada saat pelepasan album, atau produk baru, banyak orang yang
memperhatiannya, menjadi pembicaraan positif dan sebagainya. Sebaliknya, Anda
mungkin pernah mendengar ungkapan, "mimpi buruk PR," ketika sesuatu
berjalan salah. Anda juga tak ingin kejadian itu terjadi pada Anda.