Pada
dasarnya, tujuan akhir dari Corporate Social Responsibility adalah menciptakan
perubahan. Karena itu, efektif tidaknya
suatu inisiatif CSR harus dilihat dari apakah inisiatif memberikan dampak
perubahan positif pada masyarakat dan korporasi atau tidak.
Pada tulisan saya sebelumnya, saya menyebutkan tujuan komunikasi Corporate Social Responsibility (CSR) adalah -- pertama -- untuk
menginformasikan inisiatif dan pelaksanaan CSR. Kedua adalah membangun citra
positif baik sebagai perusahaan yang peduli terhadap masalah sosial atau yang
lainnya.
Akan tetapi, tujuan akhir dari inisiatif CSR adalah menciptakan
perubahan. Karena itu, efektif tidaknya suatu inisiatif CSR harus dilihat dari
apakah inisiatif memberikan dampak perubahan positif pada masyarakat dan
korporasi atau tidak (http://edhy-aruman.blogspot.com/2012/09/integrated-csr-communications.html)
Dalam konteks ini,
CSR dirancang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat, dan keuntungan
perusahaan membantu untuk membenarkan bagi pengeluaran anggaran CSR tersebut.
Ini merupakan kompromi atas perdebatan tentang definisi CSR yang sampai kini
masih berlangsung.
Menurut Bowen (1953, hal. 6), kewajiban perusahaan adalah
menjalankan usahanya sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai
masyarakat di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Definisi Bowen – yang juga
disebut-sebut sebagai sebagai Bapak CSR -- bertujuan meyakinkan perusahaan
tentang perlunya memiliki visi yang tidak hanya berkaitan dengan urusan kinerja
finansial perusahaan belaka.
Selain mengejar keuntungan, perusahaan harus
melaksanakan tanggungjawab sosial dengan cara
menjalankan usahanya sejalan dengan kepentingan masyarakat sekitarnya.
Akan tetapi, selama
beberapa dekade tanggung jawab perusahaan telah ditafsirkan mengikuti pemikiran
Friedman dan pendukung dari pandangan neoklasik. Menurut penerima hadiah Nobel
tersebut, orientasi perusahaan adalah bagaimana caranya perusahaan bisa
langgeng dengan cara meningkatkan labanya (Friedman, 1962).
Menurutnya,
tanggung jawab sosial hanya ada pada
individu dan tidak melekat pada perusahaan. Tujuan perusahaan hanyalah
menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemegang sahamnya.
Karena itu, jika
perusahaan memberikan sebagian keuntungannya bagi masyarakat dan lingkungan,
maka perusahaan telah menyalahi kodratnya dimana perusahaan hanya mencari
keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pemegang saham.
Kini,
setelah beberapa perusahaan besar terlibat skandal dan dihadapkan pada tuntutan
pada perusahaan untuk berperilaku tidak hanya sekadar mempertimbangkan masalah
keuangan, tetapi juga harapan agar perusahaan juga menjadi bagian lain dari
masyarakat (Falkenberg 2004; Zadek 2004).
Ide dasar dari tanggung jawab sosial
perusahaan adalah bahwa jalinan antara bisnis dan masyarakat bukan pada entitas
yang berbeda, sehingga masyarakat memiliki harapan tertentu pada perusahaan
agar bisnis berjalan tepat dan berhasil (Wood, 1991)
Namun demikian,
apapun definisi, bukti-bukti empiris dan teoritis menunjukkan bahwa
melaksanakan tanggung jawab secara sosial adalah suatu kewajiban bagi
perusahaan. Bila tidak ingin “diganggu” perusahaan wajib memenuhi dan mentaati
norma-norma serta aturan yang berlaku di masyarakat. Di sisi lain, bukti
empiris juga menunjukkan bahwa melaksanakan CSR juga memberikan manfaat yang
sangat besar bagi perusahaan.
Pada akhirnya, CSR
merupakan sebuah aktivitas yang efeknya dapat dievaluasi berdasarkan tujuan
yang ditetapkan sebelumnya. Disini pentingnya, selama proses penyusunan tujuan
dan evaluasi, perusahaan dan stakeholder duduk bersama memutuskan bagaimana
menilai tujuan dan mengevaluasi serta
melaporkan hasilnya. Kegagalan untuk melibatkan para stakeholder dalam proses
penilaian dan pelaporan dapat mencemari legitimasi upaya CSR.
Evaluasi harus
diorientasikan untuk tujuan komunikasi. Karenanya data harus dikumpulkan,
diinterpretasikan, dan dilaporkan. Stakeholder dapat membantu pengumpulan dan
evaluasi data serta membantu memverifikasi data yang dikumpulkan oleh
perusahaan.
Ini karena stakeholder hanya percaya pada data evaluatif yang kredibel,
dan keterlibatan stakeholder dalam pengumpulan data berkontribusi terhadap
kredibilitasnya. Selain itu, pihak ketiga juga perlu dilibatkan memverifikasi
hasil atau melakukan penelitian evaluatif.
Selain itu,
melibatkan stakeholder dalam proses evaluasi juga bisa meningkatkan
transparansi evaluasi tujuan. Sebab tidak
tertututp kemungkinan antara stakeholder dan perusahaan terdapat perbedaan
dalam penafsiran tentang makna tujuan.
Sebagai contoh, mungkin stakeholder puas
karena proses mencapai tujuan itu berjalan sesuai dengan yang direncanakan
meski perusahaan mungkin kecewa dengan kegagalan inisiatif untuk mencapai
tujuan hasil tertentu.
Bagi stakeholder, fakta bahwa perusahaan terlibat dalam beberapa tindakan seperti
memberikan karyawan cuti dari pekerjaan untuk menjadi sukarelawan mungkin lebih
penting daripada fakta bahwa target jumlah karyawan yang berpartisipasi dalam
kurun waktu tertentu tidak tercapai.
Perdebatan juga bisa
muncul ketika membahas soal ukuran keberhasilan lainnya. Sebagian stakeholder
mungkin tidak begitu tertarik dengan indicator imbalan atas investasi (ROI).
Tapi manajer perusahaan mungkin melihat ROI sebagai sesuatu yang penting.
Karena kemungkinan-kemungkinan terjadinya perbedaan persepsi tentang
"keberhasilan" dan "kegagalan", maka perusahaan perlu
dibangun komunikasi antara stakeholder dan perusahaan. Selain itu, perlu
pendokumentasian tujuan dan kemajuan yang dicapai untuk mengurangi perdebatan
yang mungkin ditimbulkan karena ‘kelupaan.”
Pada dasarnya,
evaluasi adalah proses formal untuk menilai keberhasilan inisiatif CSR dengan
cara membandingkan antara hasil dan tujuan yang ingin dicapai. Karena itu, pada
saat menyusun inisiatif, tujuan harus terukur baik dengan mempertimbangkan
waktu atau pencapaiannya.
Selain setelah program, evaluasi antar waktu juga perlu dilakukan
untuk memberikan peringatan dini kepada penyelenggara program atau manajemen
terhadap masalah atau potensi masalah sebelum situasi menjadi lebih parah.
Evaluasi ini meliputi tiga aktivitas.
Pertama, memeriksa dasar dari kegiatan,
yakni rencana dan objective dari kegiatan. Kedua, membandingkan hasil yang
diharapkan dengan hasil actual, dan ketiga, mengambil tindakan koreksi untuk
memastikan kinerja sejalan dengan rencana.
Satu hal lain yang
perlu dilakukan perusahaan adalah melakukan audit komunikasi CSR untuk
mendapatkan gambaran tentang kekuatan dan kelemahan dalam rencana komunikasi
CSR. Audit komunikasi CSR dilakukan melalui sebuah survey terhadap stakeholder
untuk mengetahui (1) pengetahuan mereka tentang inisiatif CSR, (2) bagaimana
mereka mengetahui inisiatif CSR (saluran komunikasi), dan (3) saluran yang
mereka sukai untuk mendapatkan informasi CSR.
Audit komunikasi dapat dijalankan
bersama dengan survei yang menilai tentang reaksi terhadap inisiatif CSR. Data
Audit akan membantu meningkatkan komunikasi CSR di masa mendatang.
Pada tahap ini,
manajer dapat membangun kekuatan dan melihat ke depan dengan memperbaiki
kelemahan masa lalu guna diaplikasikan pada inisiatif CSR berikutnya. Sebagai
contoh, media sosial mungkin sangat efektif menjangkau para stakeholder, tetapi
gagal memberikan informasi yang mereka inginkan.
Dari informasi ini, manajer
dapat memperbaiki kelemahan dari penggunaan media sosial. Atau stakeholder
mungkin lebih suka mendapatkan informasi CSR dari media yang tidak terkontrol
dibandingkan dengan media dikontrol.
Selama proses
evaluasi ini, umpan balik dari stakeholder sangat berguna karena dapat
memberikan wawasan untuk menyempurnakan inisiatif dan proses CSR secara
keseluruhan. Pada tahap ini, perusahaan mengumpulkan informasi tentang reaksi
stakeholder atas inisiatif CSR, proses CSR, dan efektivitas komunikasi CSR.
Umpan balik stakeholder diperoleh melalui proses pemindaian dan pemantauan.
Langkah ini akan berguna untuk mengetahui apakah para pemangku kepentingan
merasa inisiatif CSR memadai dan efektif, selain untuk mengetahui gambaran
lebih dalam tentang apa yang harus dilakukan perusahaan berikutnya.
Sebab seperti
diketahui, CSR pada dasarnya merupakan program berkesinambungan. Karena itu
langkah-langkah inisiatif CSR berikutnya mungkin memerlukan perubahan proses
untuk meningkatkan persepsi keadilan di kalangan stakeholder. Selama proses
pengumpulan imbal balik tersebut, informasi tentang dampak negatif potensial
dari inisiatif CSR harus dipertimbangkan.
Masalah serius bisa muncul bila
perusahaan mengabaikan suara-suara negatif tentang inisiatif CSR dan
perusahaan. Dalam konteks ini diperlukan penanganan yang lebih hatihati karena
bisa menimbulkan kemarahan stakeholder. Di sisi lain, kemarahan bisa
mengakibatkan kegagalan program.
Itulah sebabnya, akan sangat membantu bila
perusahaan menyedakan ruang bagi stakeholder untuk bersuara dan perusahaan
segera meresponnya. Ini karena stakeholder ingin memastikan pandangan mereka
tentang inisiatif CSR didengar dan diperhitungkan manajemen.
Faktor penting untuk
dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi adalah transparansi perusahaan, tata
kelola perusahaan, kode etik, pengungkapan sosial perusahaan, dampak sosial,
hubungan masyarakat, kualitas produk, dan pelayanan (Szablowski 2006, 49).
Thomas Haynes (1999) lebih lanjut menyarankan semua perusahaan mengukur empat
bidang penting tanggung jawab sosial perusahaan: 1) fungsi ekonomi, 2) kualitas
hidup, 3) investasi sosial, dan 4) pemecahan masalah.
Namun, Harold D.
Lasswell menyebut empat hal tersebut tidak lengkap karena tidak memperhitungkan
evaluasi perusahaan atas investasi tanggung jawab sosial dan apakah kebijakan
tersevut sesuai dengan hasil penilaian.
Seperti diketahui, tujuan tanggung
jawab sosial perusahaan harus spesifik dan jelas agar evaluasi diterapkan bisa
efektif untuk meningkatkan program-program CSR dan investasi atau untuk
mengusulkan program alternatif. Ini berarti bahwa tak ada indicator baku
tentang apa yang harus dievaluasi. Disini yang penting adalah perusahaan dan
stakeholder duduk bersama untuk menentukan apa yang ingin dicapai dari program
CSR dan bagaimana mengukur pencapaianya.