Sabtu, 17 Agustus 2019

KOLABORASI



Secara individu, seekor semut mungkin tidak mampu berbuat banyak dan tidak mempunyai kekuatan. Namun, secara kolektif, semut mampu mencapai hal-hal besar. Mereka membangun dan mempertahankan sarang, mencari makan, merawat induk, membagi kerja, membentuk jembatan, dan banyak lagi.

Itu yang membuat nasib semut berbeda dengan dinosaurus. Sejak puluhan juta tahun yang lalu, semut selamat dari perubahan lingkungan, iklim dan usia. Mereka kini masih dijumpai di banyak tempat di dunia seperti sekarang ini. Sementara itu, dinosaurus kini punah. Yang masih ada sekarang adalah cerita-cerita atau dongengan tentang binatang raksasa itu.

Apa rahasia kesuksesannya? Ekologi semut memang luar biasa. Kuncinya adalah pada sosialitas (Keller dan  Gordon, 2009). Apabila barisan dan ekologinya diperhatikan, melalui berbagai cara, komunitas semut seakan memamerkan sebuah organisasi sosial yang luar biasa. Bayangkan, mereka hidup dalam masyarakat yang terorganisir yang terdiri dari individu-individu yang saling bekerja sama, berkomunikasi, dan membagi tugas sehari-hari.

Semut memiliki kemampuan mengesankan dalam menemukan jalan mereka, membangun sarang mereka, dan menemukan persediaan makanan. Mereka bukan hanya makhluk yang efisien, tetapi pekerja keras dan hemat yang dapat beradaptasi dengan berbagai ekosistem dan bertahan dalam kondisi cuaca buruk.

Sebagai sebuah komunitas, semut terbagi dalam paling tidak dua lapis. Yang memerintah atau ratu, dan yang diperintah atau anak buah. Mereka berkomunikasi satu sama yang lain dan berbagi tugas untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan mereka. Ratu semut atau lebah tidak dilayani karena dia memerintahkan semut anak buanya untuk melakukannya. Evolusi seakan mengajarkan serangga bahwa perlindungan ratu berarti perlindungan kumpulan gen mereka untuk bertahan hidup.

Hal yang sama berlaku untuk orang-orang yang bekerja bersama dalam kolaborasi. Orang yang bekerja dengan inovator tidak bekerja untuknya karena mereka telah diperintahkan untuk melakukannya, tetapi karena mereka ingin inovasi itu berhasil. Mereka semua memiliki visi dan tujuan yang sama (dalam arti, "gen" yang sama); mereka ingin sukses, dan mereka ingin melihat inovasi mereka menyebar dan diterima oleh dunia luar.

Kolaborasi yang efektif antara perusahaan dan organisasi penelitian adalah kunci keberhasilan sistem inovasi. Terobosan yang paling radikal seperti penemuan pesawat televisi, pesawat terbang, email, dan bahkan papan permainan Monopoly, bisa terjadi karena adanya kolaborasi.

Kreativitas memang telah lama dianggap sebagai hadiah individu, seseorang mendapatkan penghargaan seagai yangterbaik dari sekolah, organisasi atau industri. Namun bagaimana jika kepercayaan paling umum tentang cara kerja kreativitas itu salah? Keith Sawyer dalam Group Genius: The Creative Power of Collaboration (Basic Books, 2008) meruntuhkan beberapa mitos paling populer tentang kreativitas tersebut.

Menurut Sawyer (2008), kreativitas selalu kolaboratif — bahkan sekalipun ketika Anda sendirian. Berbagi hasil penelitiannya yang terkenal tentang kelompok jazz, ansambel teater, dan analisis percakapan, yang dilakukan Sawyer menunjukkan kepada bagaimana menjadi lebih kreatif dalam pengaturan kelompok kolaboratif, bagaimana mengubah dinamika organisasi menjadi lebih baik, dan bagaimana memanfaatkan cadangan kita sendiri kreativitas.

Kolaborasi adalah instrumen untuk memfasilitasi penciptaan, pertukaran, dan transfer pengetahuan dalam ekosistem yang dinamis. Tujuannya adalah untuk mengembangkan kompetensi dan sumber daya yang unik untuk meningkatkan daya saing (Asheim & Coenen, 2005; Etzkowitz & Leydesdorff, 2000). Kolaborasi terdiri dari pembelajaran dari pengetahuan yang ada dan penciptaan pengetahuan baru untuk mencapai daya saing (Asheim & Coenen, 2005).

Namun kolaborasi juga menciptakan kesalingtergantungan antara organisasi dan evolusi nilai (Adner & Kapoor, 2010; Autio & Thomas, 2014), dan membutuhkan biaya. Kenapa? Kolaborasi melibatkan penanganan masalah bersama. Individu yang berbeda mungkin membawa beragam perspektif ke dalam suatu masalah.

Dalam ekosistem inovasi, perusahaan tidak berinovasi secara individu, melainkan bergantung pada sumber daya dan pengetahuan organisasi lain (Adner & Kapoor, 2010). Masing-masing individu  berupaya dan mempunyai cara untuk mengatasi masalah. Namun, dengan bekerja bersama, peluang  mereka untuk menemukan solusi atas masalah itu lebih besar dan solusinya jauh lebih bagus dan tidak akan bisa dicapai oleh siapa pun apabila bekerja sendiri-sendiri.

Seseorang harus melakukan atau mengeluarkan upaya mengkomunikasikan pendekatan seseorang kepada yang lain. Kolaborasi memerlukan persetujuan tentang strategi untuk mengatasi masalah. Pada titik ini, seorang mungkin sulit atau tidak membantu.

Ketika ekosistem inovasi tumpang tindih, bidang inovasi menjadi sangat dinamis (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000). Pengembangan proses kolaboratif untuk belajar dan menciptakan pengetahuan menimbulkan tantangan khusus bagi para pelaku inovasi. Mungkin ada seseorang yang menolaknya. Hal itu sering terjadi manakala kelompok menumbuhkan kemungkinan patologi epistemik lain seperti pemikiran yang lebih menekankan ego dan latar belakang masing-masing, atau ketika muncul ketidaktahuan kolektif.

Apakah kolaborasi itu bermanfaat atau berbahaya tergantung pada pertimbangan biaya dan manfaatnya. Banyak penelitian tentang kolaborasi difokuskan pada penghitungan, berteori, dan membandingkan berbagai biaya dan manfaat ini. Para peneliti biasanya fokusnya adalah pada manfaat atau bahaya bila berkolaborasi dan risiko manakala mereka yang terlibat langsung dalam upaya kolaborasi.