Jumat, 28 September 2018

Benarkah Koneksi Budaya Mampu Meningkatkan Daya Saing?




Pada awalnya, U2 adalah kelompok band rock yang dicemooh dan ditertawakan orang. Sekarang, setelah menerima Grammy Award ke-22 pada tahun 2005, U2 jauh lebih banyak mendapatkan pujian dari kelompok band manapun dalam sejarah. Rekor tur dan konsernya jauh melampui Rolling Stones, terlaris dan tercatat sebagai kelompok band dengan pendapatan tertinggi diantara kelompok band yang pernah ada.

Para kritikus memuji musik band, dan penggemar di seluruh dunia seakan khawatir tidak mendapatkan cukup banyak album lagu dan penampilan konsernya. Semua pujian itu menunjukkan bahwa U2 berada di puncak permainannya dan kuat di masa mendatang. Bagaimana kelompok ini bisa naik ke puncak ketinggian, dan apa yang bisa kita pelajari dari keberhasilannya?

Jalan U2 menuju ke puncak seakan lebih luar biasa daripada musiknya. Empat anggota band; penulis lirik dan penyanyi utamanya Bono, pemain gitar utamanya "Edge," pemain gitar bassnya Adam Clayton, dan drummer Larry Mullen Jr. - sudah saling kenal sejak mereka remaja di Dublin, Irlandia.

Yang dilakukan Bono da teman-temannya seakan memberikan gambaran tentang band lebih dari sebuah organisme ketimbang organisasi. Beberapa atributnya berkontribusi pada budaya unik ini. Masing-masing anggotanya menghargai setiap kemampuan untuk mencapai potensi mereka sendiri. Mereka selalu mempertahankan pandangan bahwa mereka dapat menjadi lebih baik.

Anggota-anggota U2 selalu berbagi visi misi dan nilai mereka. Anda mungkin mempunyai ekspektasi  misi band adalah meraih kesuksesan komersial dengan ukuran hit nomor 1 dan kehadirannya dalam konser. Namun, misi U2 bukan itu. Misi U2 adalah untuk meningkatkan kehidupan dunia melalui musik dan pengaruhnya.

Bono menggambarkan dirinya sebagai penjual ide keliling dalam lagu. Pesan-pesan dalam lagu membahas tentang tema yang diyakini anggota band sebagai sesuatu yang penting untuk dipromosikan. Disini termasuk tentang hak asasi manusia, keadilan sosial, dan masalah keyakinan. Bono dan istrinya, Ali, membantu orang miskin, khususnya di Afrika, melalui filantropi mereka dan organisasi yang mereka ciptakan.

Anggota U2 menghargai satu sama lain sebagai orang yang tidak hanya memikirkan satu sama lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Bono pernah mengatakan bahwa meskipun dia mendengar melodi di kepalanya, dia tidak dapat menerjemahkannya ke dalam tulisan musik. Dia sadar bahwa dirinya itu pemain gitar dan keyboard yang buruk. Karenanya, dia mengandalkan anggota lain untuk membantunya menulis lagu dan melemparkan pujian ke mereka karena bakat yang mereka miliki yang merupakan bagian integral dari kesuksesan U2.

Bono juga seakan menjadi tiang penyangga anggota bandnya ketika mereka mendapatkan cobaan.  Ketika Larry kehilangan ibunya dalam sebuah kecelakaan mobil beberapa lama setelah band terbentuk, Bono ada di sana untuk mendukungnya. Bono, yang telah kehilangan ibunya, memahami rasa sakit Larry.

Ketika U2 ditawari kontrak rekaman pertamanya dengan menggunakan drummer pengganti Larry yang lebih konvensional, Bono mengatakan kepada eksekutif perusahaan rekaman: Tidak ada kesepakatan tanpa Larry. Ketika Edge harus melewati masa-masa paska perceraian, teman-teman bandnya ada di sana untuk mendukungnya. 

Ketika Adam muncul di konser  dan dilempari batu sehingga dia tidak bisa tampil, yang lain bisa saja melemparkannya atau membiarkannya jatuh. Tetapi, mereka meminta seseorang untuk melindunginya, dan kemudian melanjutkan untuk membantu Adam mengatasi kecanduan narkoba dan alkoholnya.

Di buku Fired Up or Burned Out (Thomas Nelson, 2007), Michael L. Stallard, Carolyn Dewing-Hommes, Jason Pankau menulis, ancaman terbesar bagi ekonomi Amerika bukanlah praktik perusahaan yang tidak etis atau pasar yang bergejolak yang memaksa perampingan. Survei yang dilakukan Gallup terhadap lebih dari satu juta orang Amerika menunjukkan bahwa hampir 75 persen pekerja tidak merasa memiliki keterikatan dan keterlibatan dalam perusahaan (disengaged).

Disengaged adalah penyakit yang menyebar luas di organisasi-organisasi Amerika, dan telah menyebabkan hilangnya miliaran dolar, ketidakpuasan, dan kehidupan kerja yang kurang memiliki nilai yang sebenarnya. Tantangan sekarang – seperti yang ditulis di buku itu adalah mengubahnya dengan  tindakan penting, yaknu menjadikan tempat kerja yang penuh semangat, inovatif, dan berkembang.

Stallard berfokus pada enam kebutuhan universal yang dimiliki manusia untuk berkembang: rasa hormat, pengakuan, kepemilikan, otonomi, pertumbuhan pribadi, dan makna. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, sistem saraf merespon dengan kemarahan, ketakutan, atau keadaan pasif “putuskan” untuk mengembalikan rasa kesejahteraan.

Di tempat kerja yang sehat, emosi ini berfungsi untuk salah dan membangun kembali lingkungan yang berkembang di mana sistem saraf otonom dan sistem endokrin mempromosikan rasa kesejahteraan dan kesehatan yang baik. Namun, ketika interaksi dan lingkungan kantor umum tidak memenuhi enam kebutuhan tersebut, mereka dapat menyebabkan respons emosional yang tidak sehat oleh karyawan dan manajer. Perasaan putus hubungan ini membuat orang lebih rentan terhadap stres, kecemasan, depresi, dan kecanduan.

Dalam buku Connection Culture (ATD Press, 2015), Michael Lee Stallard menulis bahwa sebuah organisasi akan berkembang ketika karyawan merasa dihargai, lingkungannya diberi energi, dan menjadikan produktivitas serta inovasi tinggi sebagai norma. Ini membutuhkan pemimpin baru yang menumbuhkan budaya koneksi di dalam organisasi.

Menurut Stallard ada enam kebutuhan universal yang dimiliki manusia agar bisa berkembang: rasa hormat, pengakuan, kepemilikan, otonomi, pertumbuhan pribadi, dan makna. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, sistem saraf merespon dengan kemarahan, ketakutan, atau keadaan pasif dan keputusasaan untuk mengembalikan perasaan sejahtera. Di tempat kerja yang sehat, emosi ini berfungsi sebagai salah satu hal yang dapat membangun kembali lingkungan menjadi berkembang.

Sistem saraf otonom dan sistem endokrin mempromosikan rasa kesejahteraan dan kesehatan yang baik. Namun, ketika interaksi dan lingkungan kantor secara umum tidak memenuhi enam kebutuhan tersebut, mereka dapat memunculkan respons emosional yang tidak sehat baik pada karyawan maupun  manajer. Perasaan disengaged ini membuat orang lebih rentan terhadap stres, kecemasan, depresi, dan kecanduan.

Yang dibutuhkan adalah koneksi budaya yang dibangun dari identitas, empati, dan pemahaman bersama. Dalam konteks U2 tadi meisalnya, Bono menggambarkan band ini sebagai keluarga dan komunitas yang erat. Komitmen mereka untuk mendukung satu sama lain melampaui empat anggota band ke komunitas yang lebih besar yang mencakup keluarga mereka, personel, dan kolaborator yang diantara mereka telah saling kenal selama beberapa dekade.

Rahasia kesuksesan U2 adalah kepemimpinan dan budayanya. Bono seakan memposisikan dirinya  sebagai pemimpin di antara secara egaliter dan sederajat. Dia selalu mengkomunikasikan visi yang mengilhami dan menghidupinya, dia menghargai orang sebagai individu, dan dia memberi mereka suara dalam pengambilan keputusan. Ini adalah budaya visi, nilai, dan suara yang telah membantu U2 mencapai dan mempertahankan kinerja superiornya.

Dalam koneksi budaya, orang peduli tentang orang lain dan peduli dengan pekerjaan mereka karena menguntungkan manusia lain. Mereka menginvestasikan waktunya untuk lebih mengembangkan hubungan yang sehat dan berusaha membantu orang lain yang membutuhkan, daripada bersikap acuh tak acuh terhadap mereka. Ikatan ini membantu mengatasi perbedaan yang secara historis memisahkan orang, menciptakan rasa koneksi, komunitas, dan kesatuan yang inklusif dan berenergi, serta memacu produktivitas dan inovasi.

Rabu, 26 September 2018

Setelah Big Data, Lihatlah Small Data




Big Data kini seakan menjadi norma dalam membangkitkan atau melanggengkan merek. Benarkah? Ada sudut pandang lain dari strategi pemasaran, melihat small data. Kenapa? Big data hanyalah analisis yang cenderung tidak menggambarkan hal-hal yang sifatnya emosional.

Tahun 2014. Ketika Julia Goldin diangkat sebagai chief marketing officer (CMO) di Lego, salah satu perusahaan mainan paling bernilai di dunia, dia membelikan putra-putrinya seperangkat Lego Big Ben. “Saya menaruhnya di atas meja dan (berkata) 'Saya punya berita. Saya punya pekerjaan baru, dan kami akan pindah ke London,” kata Goldin kepada CNBC.

Saat itu Goldin dan keluarganya tinggal di AS. Goldin telah bekerja sebagai CMO merek kecantikan global, Revlon, yang berbasis di New York. Dia menerima tawaran menjadi CMO Lego karena yakin bahwa merek mainan itu mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh merek lainnya.

Setiap orang memiliki kisah tentang Lego, kata Goldin. “Setiap kali saya bertemu dengan sesorang dan saya memberi tahu kalau saya bekerja di Lego, mereka tersenyum lebar karena semua orang memiliki kisah pribadi untuk layak diceritakan. Mereka mengingat seoerangkat Lego pertama mereka, mereka ingat saat pertama kali mereka memberi anak mereka sesuatu yang mereka susun dan bangun.”

Seorang yang telah berkeluarga lebih dari 10 tahun, bisa dengan bangga menunjukkan model LEGO Taj Mahal yang mereka buat dari tumpukan balok Lego. Ini merupakan salah satu mainanLEGO terbesar yang pernah dihasilkan, dengan lebih dari 5.900 balok bata. Ketika seseorang menerima kitnya, konstruksi dimulai. Bila misalnya, siang atau malam hari ada kondangan, merek stop tapi melanjutkan merangkainya pada keesokan harinya.

Mungkin persis dengan smartphone sekarang, ketika orang itu bangun pada pukul 04.00 dan bekerja atau sekolah mulai pukul 07.00, hal pertama yang dia lakukan setelah pulang sekolah atau kerja pukul 15:00 adalah menuju ke kamarnya untuk memulai menyusun Lego lagi. Dia melakukan itu pada hari berikutnya, dan selanjutnya dan selanjutnya. Dia menyelesaikannya bisa dalam waktu empat hari.

Lalu berapa harga kit LEGO? Sekitar $ 300. Itu harga saat itu. Untuk ukuran mainan anak-anak, harga itu sangat mahal. Namun hari ini kit itu telah menjadi barang kolektor yang harganya bisa lebih dari $ 3000. Tak banyak yan tahu tentang itu. Para eksekutif LEGO merasa cukup mendengarkan reaksi teman-temannya usia muda, dan kini sadar bahwa mereka terlalu berpikir tentang Big Data yang selama ini mereka kumpulkan dan dapatkan dari online.  

Padahal, seperti kata Heath, big data tidak memicu wawasan. Ide-ide baru biasanya berasal dari penjajaran — menggabungkan dua hal yang sebelumnya belum digabungkan. Tapi Big Data biasanya tinggal di database yang didefinisikan terlalu sempit untuk menciptakan wawasan.

Ketika perusahaan mengeksplorasi Big Data dari pelanggan online-nya, biasanya hanya terlihat pada pembelian online. Seringkali basis data itu tidak melacak pembelian yang dilakukan pelanggan di toko-toko fisik karena mereka berada dalam database terpisah dan dijaga ketat oleh pemiliknya. Dengan kata lain, tidak ada basis data yang terkait dengan informasi tentang waktu iklan perusahaan.

Big data pada dasarnya hanya data. Persoalannya, sebagian pemasar yang menggunakan data lebih menyukai analisis daripada hal-hal yang sifat emosional. Sulit membayangkan big data mampu menangkap kualitas emosional seperti cantik, ramah, seksi, keren atau imut. Jika data memupuk keputusan emosional yang lebih baik, maka akuntan, bukan penyair, bisa menjadi prototipe budaya untuk para pencinta yang hebat.

Kevin Roberts dari Saatchi dan Saatchi berpendapat bahwa merek-merek hebat memiliki dua keuntungan: (1) mereka membangkitkan penghargaan atas kinerja teknologi, daya tahan, dan keefektifannya; dan (2) mereka membangkitkan cinta karena, yah,. . . kami mencintai mereka. Merek seperti HP dan Duracell adalah merek yang dihormati, dan Big Data sering dapat membantu membuat keputusan tentang peningkatan rasa hormat. Akan tetapi, merek-merek seperti Disney, Cheerios, dan Geek Squad juga dihormati dan dicintai, dan big data sangat tidak kompeten dalam menyarankan bagaimana meningkatkan cinta.

Harus diakui bahwa cerita Lego dari Goldin tidak berasal dari masa kecilnya. Dia dibesarkan di Rusia, dunia tanpa mainan mirip batu bata plastik yang terkenal. Seperti diketahui, Lego dibuat di sebuah kota kecil di Denmark pada tahun 1958. Dia pindah ke AS sebagai ibu seorang yang berusia empat tahun dan dia jatuh cinta pada Lego.

Dia kemudian pindah ke Jepang ketika sang anak berusia enam tahun. Namun, mainan Lego belum dikenal disana. “Di Jepang waktu itu sulit menjumpai Lego. Jadi saya biasanya kembali ke London untuk berbelanja di Argos. Saya membeli seperangkat Lego untuknya, karena dia benar-benar menginginkannya. Yang dia inginkan adalah Millennium Falcon (kapal luar angkasa serial Star Wars).  Itu adalah kisah Lego saya. ”

Tahun lalu, Lego menjadi merek mainan paling berharga di dunia dengan nilai $ 7,57 miliar versi konsultan Brand Finance. Pengukuran nilai mereknya terdiri dari faktor-faktor termasuk kinerja bisnis dan nilai merek jika ingin dilisensikan.

Ada berbagai versi Millennium Falcon dan yang terbaru, diluncurkan pada bulan Oktober, adalah salah satu hits Lego di 2017. Dijual hampir $ 800, memiliki 7.500 buah, menjadikannya versi terbesar dari pesawat luar angkasa yang dibuat oleh perusahaan. Namun, terdapat banyak sekali batu bata yang berkontribusi buruk pada hasil tahun lalu. Tahun lalu dan tahun sebelumnya, terlalu banyak stok yang disimpan di gudang sehingga harus dijual murah. Ini yang membuat terjadinya penurunan pendapatan sebesar 8 persen pada 2017.

Menurut Goldin, pemasaran adalah bagian utama dari bagaimana bisnis milik pribadi beroperasi, sehingga keberhasilan Lego bergantung padanya. “Di banyak perusahaan, kepala pemasaran hanya pemasaran. Saya tidak hanya melakukan pemasaran. Anda tahu itu sebenarnya hanya satu bagian kecil dari pekerjaan itu. Yang dilakukan tim saya adalah menggunakan seluruh portofolio produk, pengalaman produk, komunikasi, konten, saluran sosial untuk meningkatkan penjualan. Jadi itu benar-benar inti dari apa yang kami keluarkan di sana di pasar,” kata Goldin.

Pengelola merek sering mengabaikan faktor situasi penggunaan. Padahal, bagi sebuah merek, cara terbaik terbaik untuk meningkatkan penjualan seyogyanya bukan mencoba meningkatkan citra atau sikap konsumen terhadap merek, tetapi meningkatkan arti-penting merek. Juga penting bagi suatu merek untuk memperluas kesadaran merek dan situasi di mana konsumen mempertimbangkan menggunakan merek untuk mendorong konsumsi dan meningkatkan volume penjualan.

Awal tahun 2003, Lego menghadapi masalah, Lego kehilangan 30 persen dari omzetnya. Pada 2004, 10 persen lainnya lenyap. Seperti yang dikatakan Jørgen Vig Knudstorp, CEO Lego, “Kami berada di platform yang membara, kehilangan uang dengan arus kas negatif, dan risiko nyata gagal membayar utang sehingga kemungkinan besar menyebabkan bangkrutnya perusahaan.”

Bagaimana produsen mainan Denmark jatuh begitu cepat? Bisa dibilang, masalah perusahaan dapat ditelusuri kembali ke tahun 1981, ketika game genggam pertama di dunia, Donkey Kong (DK), masuk pasar. Masuknya DK memunculkan perdebatan di halaman-halaman majalah internal Lego, Klodshans, tentang apa yang disebut permainan platform side-scrolling atau masa depan mainan konstruksi. Hasil dari perdebataan itu adalah bahwa platform seperti Atari dan Nintendo adalah mode - yang ternyata benar, setidaknya sampai munculnya game komputer untuk PC. Ini merupakan bagian dari badai kedua karena mereka yang sangat sukses.

Ketika diminta oleh Lego untuk memberikan rekomendasinya pada 2004, Chip Heath, Co-author Made to Stick and Switch, memberikan saran agar Lego mengembangkan strategi branding keseluruhannya. Heath tidak ingin perusahaan mengabaikan apa yang telah dilakukannya dengan baik selama waktu yang lama, meski di sisi lain, taka da yang menyangkal bahwa ada arus tantangan baru berupa meningkatnya pemanfaatkan teknologi digital di mana-mana.

Seperti dikatakan Heath, sejak pertengahan 1990-an, Lego mulai menjauh dari produk intinya, yaitu, membangun blok-blok bangunan, dan berfokus pada bisnis yang seakan prospektif seperti themepark,  pakaian anak-anak, permainan video, buku, majalah, program televisi, dan toko ritel. Di bagian lain,  selama periode yang sama, manajemen melihat fenomena ketidaksabaran pada millennium, impulsif dan gelisah. Disini LEGO harus mulai memproduksi balok mainan yang lebih besar.

Setiap studi data besar yang ditugaskan LEGO menarik kesimpulan yang sama: generasi mendatang akan kehilangan minat pada LEGO. Pribumi Digital — pria dan wanita yang lahir setelah tahun 1980, yang sudah dewasa di Era Informasi — tidak memiliki waktu, dan kesabaran. Pada situasi ini, berbahaya bila LEGO kehabisan ide dan alur cerita untuk membangunnya.

Benar pribumi digital bisa kehilangan kapasitas untuk berfantasi dan kreativitas mereka. Ini karena  komputer melakukan sebagian besar pekerjaan untuk mereka. Setiap penelitian Lego menunjukkan bahwa kebutuhan generasi untuk kepuasan instan lebih kuat daripada blok bangunan apa pun yang pernah bisa diatasi yang biasanya membutuhkan waktu lama.

Fenomena lainnya, konsumen sering melihat beberapa merek hanya cocok untuk acara-acara khusus. Dalam kasus Lego misalnya, penggunaan dalam jumlah tertentu karena bisa jadi bila dikonsumsi terlalu banyak menimbulkan risiko waktu yang terbuang. Tapi di sisi lain, bisa jadi konsumen tidak memahami penggunaan dan kegunaan dari suatu produk. Ambil contoh Chivas Regal. Awalnya, orang mengenal CR hanya untuk momen-momen tertentu, ulang tahun misalnya.

Bagi pengelola merek CR, kalau hanya mengandalkan momen tersebut mungkin menjalankan kampanye iklan cetak untuk Blended Scotch-nya dengan tema Untuk apa Anda menyimpan Chivas? Iklan termasuk berita utama seperti Kadang-kadang hidup dimulai ketika baby-sitter datang , Scotch dan soda Anda hanya sebagus Scotch dan soda Anda,  dan Jika Anda berpikir bahwa orang melihat Anda memesan Chivas untuk pamer, mungkin Anda berpikir terlalu banyak

Namun, untuk kampanye seperti ini, merek harus mempertahankan asosiasi merek premium —sumber utama kesetaraan — sambil meyakinkan konsumen untuk mengadopsi kebiasaan penggunaan yang lebih luas pada saat yang sama.

Penetrasi pasar dianggap sebagai strategi pertama pertumbuhan perusahaan. Praktek ini hampir dilakukan di hampir semua organisasi, sehingga dapat meningkatkan volume penjualan, baik di pasar yang ada untuk produk yang sudah ada atau produk baru (Hussain et al. 2013).

Menurut Ansoff, penetrasi pasar adalah strategi yang berusaha meningkatkan penjualan suatu merek misalnya, tanpa meninggalkan produk yang ada di pasar saat ini. Tujuannya adalah bersaing dengan produk pesaing yang ada di pasar yang sama (Ansoff, 1965).

Strategi penetrasi biasanya cocok untuk pasar yang kompetitif dan sensitif terhadap harga dengan margin unit yang lebih rendah. Di sini mempertahankan kemiripan perbedaan di antara penawaran yang bersaing adalah penting. Oleh karena itu inovasi inkremental cocok. Inovasi ini bermanfaat untuk menunda efek komoditisasi dalam hal identitas merek dan margin.

Salah satu strategi untuk meningkatkan penetrasi pasar adalah dengan meningkan penggunaan oleh pelanggan yang sudah ada. Cara ini biasanya aman dari balasan pesaing karena tidak terlalu mengancam pesaing. Karena itu, cara ini bisa menjadi seuatu cara yang lebih efektif untuk meningkatkan penjualan yang berbasis pada merek. Pertimbangannya sederhana, dari pada berusaha mendapatkan potongan yang lebih besar dari sebuah kue, biasanya lebih mudah dan menguntungkan untuk mencoba membuat kue itu lebih besar.

Kamis, 13 September 2018

Kurs, Mau Berenang atau Tenggelam?


Pengalaman sistem kurs mengambang mengecewakan banyak pihak. Indonesia, misalnya. Itu sebabnya, ada keinginan kembali ke kurs tetap. Toh, masing-masing punya kelebihan dan kelemahan.

Aruman dan Ines W. Handayani
(Tulisan ini dimuat di Majalah SWA edisi Juni 1998)

Jangan kaget, bila sewaktu-waktu Pemerintah menetapkan berlakunya sistem kurs ganda. Maksudnya, dalam kondisi seperti sekarang, bukan tak mungkin Pemerintah memberlakukan kurs yang berbeda. Yang pertama, kurs tetap (baku atau fixed exchange rate/FxER) untuk importir komoditas tertentu seperti barang modal, bahan baku keperluan ekspor dan bahan pangan pokok. Yang kedua, kurs mengambang bebas untuk keperluan selain yang disebutkan di atas.

Mengingat situasi sekarang, itu tindakan wajar. Banyak orang meragukan kemampuan sistem mengambang bebas (*floating exchange rate*/FER) dalam mengendalikan kebinalan dolar AS terhadap rupiah. Ada pula yang mencela FER sebagai biang krisis berkepanjangan seperti yang terjadi kini.

Nilai rupiah tetap akrobatis, naik-turun dengan derajat penurunan yang lebih tinggi. Dan pemikiran menerapkan dua sistem tersebut, bisa jadi, merupakan kompromi setelah pemikiran menerapkan Sistem Dewan Mata Uang (CBS) -- sementara -- kandas, karena mendapat tantangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan para ekonom pendukung mekanisme pasar.

Di pihak lain, CBS bukan tanpa pendukung. Para pengusaha dan sebagian ekonom sangat mendukung rencana tersebut. Ini karena dengan FER -- yang diberlakukan sejak pertengahan Agustus tahun lalu -- dolar AS makin binal, cenderung meninggi nilainya dan sulit diprediksi. Lalu muncul usulan lain, yakni FxER dengan mempertahankan peran Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dan pengelola rupiah. Ini berarti, BI tetap diperbolehkan melakukan intervensi likuiditas, atau bahkan mencetak uang baru seperti yang banyak diduga orang dewasa ini. Itu pun banyak dikritik.

Harus diakui, perdebatan soal sistem kurs tadi telah berlangsung lama. Penerapannya mengalami pasang-surut. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, jumlah negara yang menganut sistem FER makin banyak. Kalau pada 1991 dari 133 negara sedang berkembang anggota IMF terdapat 19 negara yang menganut sistem FER (bebas), pada 1996 jumlahnya meningkat menjadi 29 negara.

Sementara itu, yang menganut FxER susut dari 57 menjadi 45 negara. Pada 1996, penganut sistem *peg* terbanyak berada di Afrika (25 negara) dan Asia cuma 11 negara. Adapun penganut FER terbanyak berada di belahan bumi barat (21 negara, 9 di antaranya FER bebas).

Sistem Kurs Negara Sedang Berkembang
====================================
              1976           1991      1996

Peg          86            57                4
- dolar AS  42            19              15
- franc Prancis  13            11              11
- lain-lain    7                3                4
- SDR  12              5                2
- Campuran  12            20              14

Fleksibel            3                4                3
(terbatas)

Fleksibel           11            39              52
- indikator     6              4                2
- terkendali     4            16              21
- bebas     1            19              29

====================================
Sumber: IMF.


Argumen yang sering dipergunakan para penganut FER adalah kemudahan meredam gejolak ekonomi, yang sumbernya dari luar. Seperti naiknya harga minyak atau bahan pangan yang membuat defisit perdagangan negara makin besar.

Secara teoretis, kurs mengambang dapat melindungi negara dari rembesan inflasi yang berasal dari luar negeri dalam jangka panjang. Sekaligus, memungkinkan bank sentral memanfaatkan kebijakan moneter -- misalnya, menaikkan suku bunga -- guna mencapai target.

Namun, para pengecam sistem kurs mengambang menegaskan bahwa kurs pada akhirnya akan bergerak menyamakan tingkat harga domestik dan desakan inflasioner. Ini karena, secara relatif negara yang bersangkutan pasti mengalami kenaikan tingkat penawaran uang.

Selain itu, penentang kurs mengambang berpendapat, depresiasi mata uang yang meningkatkan harga-harga impor, dapat mendorong para pekerja menuntut upah lebih tinggi demi mempertahankan standar kehidupan sehari-hari.

Meningkatnya upah jelas meningkatkan harga produk, sehingga merangsang inflasi, yang selanjutnya kembali mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah. Juga, depresiasi mata uang segera meningkatkan harga bahan baku impor yang digunakan dalam proses produksi domestik. Maka, kurs mengambang mereka anggap hanya akan mempercepat reaksi harga terhadap kenaikan penawaran uang.

Meski kurs mengambang memang bisa memperbesar kemampuan bank sentral mengendalikan tingkat penawaran uang nominal, kurs mengambang tidak mampu memperkuat instrumen kebijakan pengendali ketenagakerjaan dan variabel-variabel ekonomi riil lainnya.

Jadi, kurs mengambang tidak memperkuat pengendalian tingkat penawaran uang riil. Reaksi harga-harga domestik terhadap perubahan kurs di negara yang banyak mengimpor bahkan lebih cepat. Di negara-negara tersebut, perubahan nilai mata uang sangat mempengaruhi daya beli kaum pekerjanya.

Secara akademis -- seperti ditulis pakar ekonomi moneter Paul R. Krugman dalam bukunya International Economic: Theory and Policy -- ada beberapa hal yang dikemukakan sebagai kelemahan utama sistem kurs mengambang, yakni:

-Disiplin. Dengan membebaskan kurs, bank sentral tak lagi wajib mengintervensi, karena nilainya ditentukan kekuatan pasar. Namun, kebebasan itu bisa membuka kemungkinan bank sentral menerapkan kebijakan yang bersifat inflasioner. Para pendukung sistem kurs mengambang berpendapat bahwa tipisnya disiplin hanya terjadi di negara-negara yang pemerintahannya kurang kompeten.

- Spekulasi. Dalam sistem kurs mengambang, spekulasi kurs mudah tumbuh subur, sehingga menjurus pada instabilitas di pasar valuta asing. Instabilitas ini, pada gilirannya, pasti menghasilkan berbagai dampak negatif terhadap keseimbangan internal dan eksternal semua negara.

Lebih jauh, gangguan dalam pasar uang domestik lebih berbahaya, bila dibandingkan gangguan dalam sistem kurs baku. Paling tidak, hal itu terbukti dengan rontoknya nilai rupiah belakangan, yang sebagian besar -- meski dipacu spekulan luar negeri -- "dipermainkan" pemain lokal dan amatir.

Toh, para pendukung sistem kurs mengambang tak percaya kelanggengan "permainan" para spekulator itu. Sebab, pada titik tertentu, spekulator manapun yang terus menjual mata uang yang terdepresiasi di bawah nilai jangka panjangnya, dalam waktu singkat akan kehabisan uang dan harus hengkang dari pasar.

Maka, menurut para pendukung sistem kurs mengambang, para spekulator perusak stabilitas itu tak akan bisa terus-menerus memercikkan instabilitas. Demi kelangsungan usahanya, mereka harus turut mengupayakan proses penyesuaian kurs terhadap nilai jangka panjangnya.

Menurut pendukung kurs mengambang, justru kurs bakulah yang menciptakan instabilitas. Sebab, hilangnya sebagian cadangan internasional milik bank sentral secara tak terduga segera menimbulkan perkiraan akan terjadinya devaluasi.

Keadaan ini mendorong para spekulator menjual aset-aset dalam mata uang domestik secara besar-besaran, sehingga pada akhirnya kondisi cadangan internasional semakin buruk. Pelarian modal seperti itu sudah tentu membuat peluang terjadinya devaluasi makin besar, dan bisa jadi pasti terjadi, meski Pemerintah sendiri tak berniat melakukannya. Pemerintah terpaksa mengambil kebijaksanaan, karena upaya-upaya lain mengatasi pelarian modal tak membuahkan hasil.

Kritik lain terhadap kurs mengambang adalah pengaruhnya terhadap pasar uang domestik, yang membuat perekonomian negara makin rentan berbagai gangguan. Terlepas dari soal kurs, masyarakat hanya akan puas dengan tingkat penawaran uang yang ada, jika tingkat pendapatan mereka menurun. Padahal, kenaikan permintaan uang pengaruhnya sama dengan penurunan penawaran uang. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, menjurus pada turunnya tingkat harga dalam negeri.

Dalam sistem kurs baku, perubahan permintaan uang tidak mempengaruhi perekonomian sama sekali. Sebab, untuk mencegah apresiasi mata uangnya, bank sentral membeli aset cadangan internasional berupa aset luar negeri dengan menggunakan uang domestik.

Pembelian ini dilakukan terus sampai tingkat penawaran uang riil domestik sama dengan tingkat permintaan riilnya. Ini merupakan argumen kuat yang sangat memperkokoh kedudukan sistem kurs baku, seandainya sumber utama berbagai gangguan terhadap perekonomian adalah pasar uang domestik. Namun, pembakuan kurs justru memperburuk kondisi makro ekonomi secara umum, seandainya sumber gangguan perekonomian datang dari pasar *output*.

- Ancaman terhadap investasi dan perdagangan internasional. Sistem kurs mengambang membuat harga-harga internasional makin sulit dipastikan atau diprediksi, sehingga mengganggu arus investasi dan perdagangan internasional.

Namun, para pendukung sistem kurs mengambang menanggapi kecaman ini dengan menegaskan bahwa para pelaku perdagangan internasional dapat menghindari risiko kurs dengan bertransaksi di pasar valas berjangka atau *forward exchange market*, yang ruang lingkup dan efisiensinya meningkat dalam sistem kurs mengambang.

Persoalannya, pasar valas berjangka terlalu mahal. Ini pula yang mendasari kenapa BankExim enggan melakukan lindung nilai *(hedging)*, sehingga kekalahannya dalam bermain valas membuatnya nyaris bangkrut.

Selain itu, mereka juga meragukan, transaksi berjangka di pasar tersebut dapat menutup seluruh risiko. Investasi jangka panjang yang baru akan menghasilkan keuntungan 10 tahun mendatang, misalnya, tidak bisa dilindungi dengan transaksi berjangka, karena transaksi ini umumnya jauh lebih singkat periodenya -- paling lama sekitar satu tahun.

Dalam sejarah ekonomi, tak ada sistem yang benar-benar bagus. Yang ada, cocok atau tidak bila sistem kurs -- *fixed* atau *floating* -- diterapkan di suatu negara. Dan kecocokan itu sangat bergantung pada kondisi masing-masing negara. Ada yang cocok dengan sistem *fixed* seperti Argentina, Hong Kong, dan sebagainya. Ada pula yang cocok dengan sistem *floating*.

Dalam laporannya tahun lalu, IMF mendiskripsikan soal sistem kurs dan kecocokan bagi suatu negara. Bila ukuran dan keterbukaan ekonomi negara kecil, misalnya, maka yang cocok adalah sistem kurs baku.

- Ukuran dan keterbukaan. Jika kontribusi sektor perdagangan dalam PDB besar, biaya stabilisasi sangat tinggi. Maka, disarankan menggunakan FxER.

- Tingkat inflasi. Bila suatu negara memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dari lawan dagangnya, sudah tentu ia memerlukan fleksibilitas untuk mencegah barang tetap kompetitif. Jika tingkat inflasi tak begitu tinggi, sistem kurs baku tak begitu masalah.

- Mobilitas tenaga kerja. Dalam suatu negara yang mempunyai derajat mobilitas tenaga kerja lebih besar -- ketika tingkat upah dan harga barang turun -- dengan kurs tetap tidak begitu sulit menyesuaikan diri, bila terjadi guncangan dari luar.

- Derajat perkembangan sistem keuangan. Di beberapa negara dengan sistem keuangan yang belum dewasa, menerapkan kurs mengambang bebas bukanlah langkah bijaksana. Sebab, sekecil berapapun jumlah valuta yang diperdagangkan, akan membuat pengalihan mata uang (lokal dan asing) yang besar.

- Kredibilitas pengambil keputusan. Reputasi bank sentral yang lemah dapat diperkuat dengan mematok mata uang lokal ke mata uang tertentu untuk menanggulangi inflasi. Di Amerika Latin, kurs baku berhasil menekan inflasi.

- Mobilitas modal. Dalam suatu negara yang mempunyai derajat keterbukaan terhadap arus modal internasional, sulit rasanya bila menerapkan sistem kurs baku.

Melihat kriteria tersebut, sudah pas bila negara-negara Asia Tenggara menerapkan sistem kurs mengambang bebas? Menurut *The Economist*, sebagian besar negara-negara Asia Tenggara relatif kecil, tetapi ekonominya relatif sangat terbuka. Thailand, Malaysia dan Filipina misalnya, nilai impornya lebih dari 40% PDB. Adapun tingkat inflasinya relatif rendah, dan pasar tenaga kerjanya relatif fleksibel.

Dalam kondisi seperti itu, sistem kurs mengambang bebas bukanlah pilihan yang paling baik. Beberapa ekonom mengatakan, bila Pemerintah tidak mengaitkan mata uangnya pada sesuatu (dolar AS, misalnya), mata uang lokal akan terseret dalam gejolak dan depresiasi berkepenajangan, serta inflasi yang lebih tinggi.   

Persoalannya, negara-negara tersebut kini dihadapkan pada kenyataan tingginya arus modal internasional. Selain itu, ada persoalan yang lebih serius. Seperti yang terjadi di Indonesia dan Thailand, kurs baku ternyata banyak dimanfaatkan pengusaha mencari pinjaman luar negeri.

Per Desember tahun lalu, utang swasta Indonesia mencapai US$ 73 miliar. Pinjaman tersebut dipergunakan untuk investasi yang cenderung spekulatif -- seperti di sektor properti. Akibatnya, ekonomi memanas dan membahayakan.

Karena itu, penerapan FER tanpa dibarengi kebijakan moneter yang ketat -- misalnya, memperketat aturan pinjaman luar negeri -- bakal membuat bank sentral kewalahan mempertahankan mata uang lokal. Menurut perkiraan seorang bankir, tahun ini utang yang yang jatuh tempo mencapai setengahnya.

Dengan beban sebesar itu -- katakanlah 50% pengutangnya adalah perusahaan yang tidak menghasilkan dolar -- kebutuhan dolar tahun ini diperkirakan mencapai US$ 17,5 miliar. Ini berarti menguras devisa yang sekarang jumlahnya cuma US$ 16,25 miliar.

Bisa jadi karena melihat perkembangan mata uang Thailand dan beberapa negara lain yang digoyang spekulan, BI lalu mengambangkan rupiah secara bebas. Celakanya, menurut Rizal Ramli, saat rupiah diambangkan kondisi kita kurang bagus.

Antara lain, ditunjukkan dengan neraca berjalan yang selalu negatif, utang luar negeri yang menggunung, pertumbuhan ekspor yang menurun, dan sebagainya. Kondisi itu dibaca spekulan dengan coba-coba menggoyang rupiah. Ternyata berhasil. Rupiah rontok tak beraturan.

Nah, bila sekarang Indonesia menerapkan FxER, menurut DR. Sri Mulyani Indrawati -- Wakil Direktur LPEM UI -- di satu sisi akan memberikan kepastian, terutama saat kurs bergerak tak beraturan. Namun, di sisi lain merugikan. Kurs yang stabil, sangat menguntungkan bagi rencana-rencana usaha, kegiatan dan proyeksi bisnis ke depan. Keuntungan lain, FxER juga memberikan kepastian pada importir, yang akan melakukan impor bahan baku, terutama dalam transaksi dan pembayarannya.

Lain halnya bagi eksportir, kepastian tadi bisa juga merugikan. Bila biaya-biaya produksi meningkat cepat, sementara kurs (terhadap negara tujuan) tetap, dengan menaikkan harga, eksportir masih memperoleh keuntungan.

Namun, bila kurs di negara tujuan melemah (di dalam negeri tetap), eksportir akan merugi. Itu sebabnya, penerapan suatu sistem tergantung pada pelakunya. Bila ekonomi membutuhkan lebih banyak penerimaan devisa, dengan kurs tetap biasanya cenderung tidak menguntungkan eksportir, karena mengurangi kemampuan memperoleh devisa.

Dalam kasus Indonesia, saat ini kita lebih banyak membutuhkan kepastian, di samping devisa. Dua-duanya penting. Karena itu, menurut Sri, Indonesia berat bila kembali ke FxER, karena biaya yang sangat tinggi.

Adapun bila menerapkan FER -- dalam kondisi psikologi pasar yang tidak pasti -- pasar bergejolak dan menimbulkan ketidakpastian. Itu sebabnya, bila berlaku FER, psikologi pasaar tadi harus diredam. Sebab, pada kondisi yang tidak terlalu bergejolak, dalam arti psikologis pasar tidak seliar sekarang, FER jauh lebih menguntungkan, karena mencerminkan nilai sebenarnya dari suatu mata uang.

Pertanyaannya, siapa yang harus menjaga FxER? Menurut Sri, penerapan FxER pada kondisi yang bergejolak, seperti saat ini, membutuhkan biaya yang tinggi. Paling tidak dibutuhkan kredibilitas dari lembaga yang menjaga FxER itu.

Karena dalam kondisi yang bergejolak, siapapun lembaganya -- CBS ataukah bank sentral -- pasti membutuhkan cadangan devisa yang cukup untuk memberikan citra kredibilitas yang tinggi. Di luar itu, dibutuhkan kemampuan suatu perekonomian untuk selalu menumpuk cadangan devisa.

Meski demikian, perlu dilihat, apa yang menyebabkan timbulnya gejolak. Bila gejolaknya berasal dari ketidakpastian yang tercipta akibat rumor, maka tidak selalu dibutuhkan cadangan devisa yang besar. Misalnya, gejolak timbul akibat kenaikan harga minyak atau komoditas yang lain, dengan kredibilitas cadangan devisa saja sudah cukup.

Bagi Indonesia, lebih kompleks dari sekadar cadangan devisa. Karena, dimensi kredibilitas itu sekarang dalam perekonomian Indonesia, berakar pada hal-hal yang sifatnya politis. "Ini yang menyebabkan betapa sangat kompleks dan rawannya, sebuah rezim FxER untuk diterapkan pada saat ini," ujar Sri.

Faktor yang harus diperhatikan dalam penerapan FxER -- demikian Sri -- adalah seberapa besar interaksi perekonomian terhadap berbagai gejolak lain dari luar negeri. Kemudian, tergantung pula pada seberapa mampu bank sentral bisa bekerjasama dengan lembaga keuangan bank sentral negara lainnya, sebagai *back up*.

Kalau beberapa waktu lalu Indonesia sukses menerapkan FxER, menurut Sri, itu sangat didukung kondisi internasional, yakni ketiadaan gejolak yang berawal dari Thailand. Sekarang, dalam kondisi gejolak, mengelola FxER makin sulit.

Terlepas dari pro-kontra terhadap sistem kurs, terdapat satu titik temu, yakni keinginan segera menstabilkan rupiah. Bagaimana caranya itulah yang kini tengah dicari. Dua pekan lalu, AP-Dow Jones mewartakan soal kemungkinan penerapan sistem dua kurs tadi.

Namun, itu bukan berarti tanpa risiko. Salah satunya, transparansi sekitar komoditas yang mendapat subsidi dan siapa yang mendapat apa. Banyak orang yang khawatir bila sistem tersebut diterapkan -- selain memunculkan *black market* -- bakal memperbesar peluang terjadinya kolusi baru. Mudah-mudahan semuanya sudah diantisipasi dan dibuatkan pagarnya. Sebab, jangan sampai langkah yang ditujukan untuk meningkatkan kepercayaan, justru malah meruntuhkan kepercayaan itu sendiri.

Selasa, 11 September 2018

Sekadar Dimuat, Dibaca, atau Mempengaruhi Persepsi dan Sikap Pembaca?



Bulan lalu, saya kebetulan diminta teman-teman untuk menjadi juri Best Corporate Initiative oleh teman-teman di Majalah Mix. Ada puluhan kegiatan yang masuk dan umumnya harus saya akui bagus-bagus. Kebetulan saya – bersama sahabat-sahabat dari Telkom University -- juga diminta teman-eman di SWA untuk menjadi juri Best e-Marketing. Ini juga bagus-bagus.

Namun demikian, ada yang mengganggu pikiran saya tentang bagaimana teman-teman praktisi public relations (PR) dan marketing menggunakan tolok ukur keberhasilan sebuah kegiatan mereka. Dari laporan kegiatan yang masuk atau dipresentasikan, saya menjumpai banyak laporan yang menyertakan pencapaian dengan menampilkan liputan media atau publisitas.  

Unsur utama public relations adalah publisitas. Ini menyiratkan komunikasi tentang produk atau organisasi dengan menempatkan informasi tentang hal perusahaan atau produk di media tanpa membayar waktu dan ruang secara langsung. Publisitas dalam bentuk yang paling sederhana adalah sarana untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat umum melalui media.

Kemampuan untuk menciptakan publisitas inilah yang membedakan antara seorang praktisi public reations dan periklanan. Ini berarti salah satu tugas penting dari praktisi PR adalah mendorong  pergerakan informasi ke masyarakat umum melalui media. Informasi yang dipublikasikan dapat berupa berita, kesadaran tentang produk dan layanan, dan lain-lain. Ini adalah proses menciptakan kesadaran produk dan layanan baru.

Selama bertahun-tahun – bahkan mungkin sampai sekarang -- praktik menggunakan harga kesetaraan tarif iklan yang ditawarkan penerbit (diukur dalam biaya per kolom) sering berlangsung. Kesetaraan ini digunakan dengan asumsi artikel yang dipublikasikan media memberikan ukuran nilai dari sentimeter kolom editorial. Padahal, penggunaan nilai kesetaraan iklan (AVE) ini menyesatkan.

Gagasan ini merupakan implikasi dari pemikiran yang pada intinya menyamakan pengiriman pesan dengan mengkomunikasikan pesan, atau penyebaran informasi disamakan dengan komunikasi. Disini praktisi public relations, terutama media relations, menggunakan penempatan media, semisal guntingan atau kliping berita) sebagai bukti telah terjadnya komunikasi.  

Dari sini muncul pertanyaan, dalam konteks media relations, apakah press release misalnya ukuran keberhasilannya sekadar dimuat, dibaca pembaca, kontennya positif atau mengubah persepsi pembaca pada perusahaan atau pemberi release?

Kiliping telah lama digunakan sebagai dasar analisis isi. Analisis isi hanya mengindikasikan apa yang tercetak dan disiarkan, bukan apa yang dibaca atau didengar. Analisis isi juga tidak mengukur apakah khalayak menerima dan percaya atas isi pesan. Dengan kalimat lain, analisis isi kliping surat kabar memberi ukuran yang berguna dari pesan yang sedang ditayangkan media, tetapi tidak mengindikasikan jumlah pembaca dan dampaknya.

Editorial juga bukan iklan yang kontennya bisa diatur orang lain sebagaimana iklan. Editorial adalah kewenangan redaksi. Informasi yang diberikan praktisi PR bisa diolah lagi oleh redaksi agar sesuai dengan kepentingan pembacanya. Itu sebabnya, kontennya bisa positif atau negatif buat perusahaan.

Karenanya, mempersamakan atau memperbandingkan editorial dan iklan dianggap menyesatkan. Ini seperti membandingkan apel dengan jeruk. Editorial hadir dalam berbagai bentuk dan kisarannya mulai dari berita hingga komentar pembaca.

Di sisi lain, iklan dapat berupa tampilan, diklasifikasikan atau advertorial dan banyak variasi di antaranya. Dinilai menyesatkan karena beberapa orang memiliki ukuran nilai iklan yang akurat mungkin juga tidak, meskipun mereka sebenarnya memiliki pandangan yang jelas tentang biayanya.

Para penggiat PR melihat penggunaan AVEs menarik karena di pasar industi periklanan yang terbuka, tarif iklan pada dasarnya bisa dinegosiasikan, kompetitif dan didominasi oleh pendanaan yang lebih baik dan karena ketiadaan alternatif kuantitatif lainnya, maka pengukuran prestasi public relations dianggap cocok bila menggunakan kesetaraan dengan nilai editorial.

Logika ini semakin diperparah oleh fakta bahwa, terlepas dari isi, biaya atau nilai dari beberapa artikel sangatlah bervariasi. Beberapa editorial bisa diperoleh dengan biaya yang tinggi (misalnya, jurnalisme investigatif). Di sisi lain, beberapa editorial – kalau dinilai atau dilihat dari biaya untuk mendapatkan bahan  editorial itu – biasanya berbiaya rendah karena bahannya mungkin siaran pers yang ditulis dengan baik, informatif dan mempunyai nilai berita.

Dengan semakin banyaknya pekerjaan PR terfokus pada hubungan media, perlu untuk dapat memahami bagaimana editorial mempengaruhi orang. Langkah-langkah yang sesuai kemudian dapat diterapkan adalah dengan mengetahui seberapa efektif praktisi melakukan kegiatannya dan nilai dari apa yang telah dicapai.

Dalam memahami konten -- baik dalam konteks editorial dan sosialnya – praktisi PR dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang nilai dan efek sebenarnya dari editorial dan menjadikannya sebagai tolok ukur keberhasilan.

Pengalaman-pengalaman sebelumnya, seseorang dapat dimaafkan karena percaya bahwa penggunaan nilai kesetaraan iklan sebagai tolok ukur keberhasilan tidak hanya menyesatkan, tetapi juga dapat benar-benar merusak ketika hal itu digunakan untuk mengevaluasi efek dan efektivitas sebuah liputan editorial.

Namun demikian, harus diakui bahwa publisitas penting karena tak ada persepsi bila tak ada stimulus.  Stimulus yang saya maksud disini bisa berarti informasi yang dimuat di media. Namun demikian, pemuatan di media idealnya tidak dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu kegiatan. Pemuatan informasi yang dikirimkan praktisi hendaknya dilihat sebagai tolok ukur keberhasilan awal, yakni menciptakan stimulus.

Tugas komunikasi PR selanjutnya adalah bagaimana memperoleh perhatian publik sasaran, menstimuli minat terhadap isi pesan, membangun hasrat dan perhatian untuk menindaklanjuti isi pesan, dan mengarahkan tindakan yang diambil khalayak sasaran itu sesuai dengan isi pesan, serta membuat khalayak sasaran selalu ingat akan pesan dan pengalamannya setelah mereka melakukan tindakan itu. Tak mudah memang, namun demikian itulah tantangan sebenarnya.

Jumat, 07 September 2018

HARI-HARI MENEGANGKAN SJAMSUL NURSALIM (1)




Rabu malam, 19 Agustus 1998, Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), kelihatan cerah. Juga tampak tenang dan acap kali tersenyum. Bahkan sesekali dia tertawa lepas. Bicaranya agak emosi, terkadang. 

Itu wajar. Sebab, saat ini dia menghadapi berbagai tekanan yang mungkin terberat dalam hidupnya. Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glenn Yusuf misalnya, mengultimatum BDNI untuk mengembalikan bantuan likuiditas yang dikucurkan Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp 27,6 triliun, akhir Agustus ini.

Sjamsul kini seakan memang menjadi terhukum. Beberapa orang menyebutnya sebagai koruptor. Bahkan pertengahan bulan ini, rumahnya di kawasan elite Simpruk, Jakarta Selatan, sempat dikepung 60-an demonstran dari Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia. Mereka menuntut aparat menangkap Sjamsul dan mempertanggungjawabkan BLBI yang disalurkan ke BDNI. Dia dikabarkan sudah melarikan diri ke luar negeri meski Ditjen Imigrasi secara resmi telah melakukan pencekalan. Juga ada kabar dia melarikan kekayaannya keluar negeri.

Sebelumnya, dalam tulisannya di Kompas, Kwik Kian Gie membeberkan praktek tak wajar Sjamsul. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa kelompok bisnis Sjamsul telah memakai Rp 24,4 triliun atau 90,7% dari Rp 27,6 triliun BLBI yang disalurkan ke BDNI. 

Bahkan BDNI yang masuk perawatan BPPN sejak April lalu, antara Mei dan Oktober 1997, memberikan pinjaman baru kepada grup terkait sejumlah US$ 600 juta. Ada saran agar pemilik BDNI diseret di meja hijau mengingat dokumentasi dari pinjaman terafiliasi sangat lemah.

Benarkah? Di salah satu ruang rapat lantai XIV Gedung BDNI, Jakarta, sekitar dua setengah jam lulusan Watford College of Technology, London, itu bicara blak-blakan kepada wartawan SWA Aruman, Danang K. Jati, Joko Sugiarsono, Endang Kamajaya, Teguh S. Pambudi, Nur Iswan, dan Kemal E. Gani - setelah sebelumnya menolak beberapa kali untuk diwawancarai. 

Didampingi Itjih Nursalim, istrinya, Laksamana Purn. Rudolf Kasenda, Komisaris BDNI, dan Sri Mulyati, Ekskutif Gajah Tunggal, bapak lima orang anak itu bicara blak-blakan kepada SWA soal pencekalannya, kredit BDNI, pertemanannya dengan keluarga Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan Menko Polkam Feisal Tanjung. "Saya kenal baik dengan orang tua Pak Ginandjar (Husein Kartasasmita, red) di asosiasi perkaretan," kata lelaki kelahiran Lampung, 19 Januari 1942 lalu itu.

Beberapa kali isterinya ikut memberikan penjelasan. Dengan lancar -- ibarat komputer berjalan -- Ny. Itjih menjelaskan asal muasal terjadinya pembengkakan aset BDNI. Juga sekitar sekitar kucuran pinjaman US$ 600 juta yang disebut-sebut berbagai kalangan sebagai pinjaman baru BDNI padahal BDNI mulai bermasalah. 

Menurut Itjih, angka itu benar. "Sebagian adalah pinjaman lama yang diperpanjang," kata Itjih. "Sisanya merupakan pinjaman lama dalam rupiah yang dikonversi menjadi dolar, yang merupakan praktek wajar di perbankan."

Pengusaha yang tahun lalu pernah diculik ini termasuk salah satu konglomerat papan atas Indonesia. Selain di BDNI, Sjamsul tercatat sebagai pemilik saham sejumlah bank. Di antaranya Bank SGP, berkongsi dengan pengusaha hotel Sukamdani Sahid Gitosardjono, dan di Bank Ganesha serta Bank Dewa Rutji. Di bisnis manufaktur, Sjamsul terkenal sebagai raja ban - bisnis yang ditekuninya sejak 1969. Bersama istrinya, Itjih, ia adalah pemilik mayoritas PT Gajah Tunggal, produsen ban yang katanya termasuk terbesar di Asia Pasifif.

Sjamsul juga raja udang karena dia memiliki tambak udang terluas di Indonesia, bahkan di dunia, yang berlokasi di Lampung dan Sumatera Selatan. Masih ada sederet perusahaan lagi. Ada pertokoan Sogo, tambang batubara hingga pabrik pembalut wanita Softex. 

Dari semua bisnisnya, tahun lalu kelompok bisnis Sjamsul meraup devisa sekitar US$ 400 juta. Tahun ini, mereka menargetkan bisa mendapatkan sekitar US$ 500 juta. Bisnis udang dan ban, menurut Sjamsul, merupakan penyumbang devisa terbesar.

Berikut perbincangan SWA dan Sjamsul Nursalim.

Anda dikabarkan lari ke luar negeri. Bagaimana ini?

Dalam beberapa bulan terakhir ini saya malah tidak pernah ke luar negeri. Mungkin sejak akhir tahun 97 lalu. Seharusnya saya berangkat ke luar negeri. Dengan demikian mungkin saya bisa melupakan sejenak masalah ini, dan bisa terus mengikuti perkembangan yang terjadi di luar negeri.

Tapi Anda sekarang menjadi sorotan masyarakat?

Menghadapi situasi ini, boleh dikatakan saya sudah pasrah. Yang penting saya lihat yang baiknya saja. Kalau memang Tuhan masih memberikan kesempatan dan kemudian masih memberikan jalan dan Pemerintah juga masih memberikan jalan serta kesempatan untuk berusaha, kami akan tetap berusaha. (SWA, No. 17 / 1998, Tanggal 20 Aug 1998)

Bersambung...... HARI-HARI MENEGANGKAN SJAMSUL NURSALIM (2)

Minggu, 02 September 2018

STAGING NEWS



Mei 2018 lalu, publik Eropa dikejutkan oleh kemuculan Arkady Babchenko – wartawan Rusia -- di sebuah konferensi pers di ibukota Ukraina. Publik terkejut karena kemunculannya itu terjadi kurang dari 24 jam setelah polisi melaporkan bahwa Babchenko telah ditembak dan dibunuh di depan apartemennya (30 Mei, AP). 

Arkady Babchenko adalah jurnalis anti-Kremlin. Dia hadir di konferensi pers itu untuk menjelaskan bahwa polisi memalsukan kematiannya agar polisi bisa menangkap orang yang memerintahkan serangan terhadapnya.

Dalam konferensi pers situ, Babchenko meminta maaf kepada teman-teman dan keluarga - termasuk istrinya - yang berduka untuknya. Dia menegaskan bahwa dia tidak menyadari rencana tersebut. Istrinya yang tidak mengetahui rencana itu, sangat terkejut ketika dia mendapati Babchenko tiba-tiba muncul di depan pintu luar apartemen mereka (www.usatoday.com, 30 Mei 2018).

Isterinya sebetulnya setengah terkejut dan tidak, karena beberapa hari sebelumnya, kepolisian nasional mengatakan bahwa Babchenko, salah satu wartawan perang terkenal Rusia, ditembak tiga kali di bagian belakang tubuhnya di luar gedung apartemennya. 

Menurut keterangan polisi, Babchenco ditemukan isterinya dalam kondisi berdarah di bagian punggung. Narasi bahwa dia mendapati Babchenko tertembak itu yang membuat sang isteri setengah percaya setengah tidak karena dia sendiri tidak pernah menyaksikan penembakan itu. 

Juru bicara Kepolisian Nasional Yaroslav Trakalo mengatakan kepada wartawan bahwa pembunuhnya konon telah menunggu Babchenko di tangga. Sebuah potret yang dipublikasikan polisi bahkan menggambarkan "pembunuh" sebagai pria jangkung dengan jenggot abu-abu dan berusia 40-an. Dia mengenakan topi denim, jaket dan celana jeans, menurut Kyiv Post.

Sebagai bagian dari tipu muslihat itu, polisi mengklaim dia meninggal di ambulans dalam perjalanan ke rumah sakit. “Saya ingin mohon maaf atas apa yang Anda rasakan,” kata Babchenko kepada wartawan di kantor Dinas Keamanan Ukraina, lapor Kyiv Post.

Menurut Dinas Keamanan Ukraina, sebuah unit layanan khusus Rusia diduga memerintahkan pembunuhan terhadap Babchenko. Mereka membayar seorang warga Ukraina yang tidak disebutkan namanya sebesar $ 40.000 untuk mengatur pembunuhan itu. Dinas Keamanan Ukraina mengatakan, mereka membayar seorang penembak $ 30.000 untuk melakukan serangan itu, kata surat kabar itu.

Ketika dinas keamanan mengetahui plot pembunuhan itu, mereka merekrut lelaki bersenjata itu untuk bekerja untuk mereka sebagai agen ganda untuk memalsukan penembakan dan menangkap orang-orang di belakangnya.

Dinas keamanan mengatakan, menurut Post, bahwa kematian Babchenko dimaksudkan untuk membongka dan yang pertama dari sekitar 30 pembunuhan berencana atas warga Rusia di Ukraina. Rencana itu diduga dilakukan oleh layanan khusus Rusia.

Vasily Gritsak, kepala dinas keamanan, menjelaskan skema yang rumit, yang telah bekerja selama sebulan, kepada wartawan pada konferensi pers di mana Babchenko muncul.

Gritsak mengatakan, organisator yang dituduh itu juga ditugasi untuk membeli senjata dan amunisi, termasuk 300 senapan serbu Kalashnikov. Mereka mendirikan pangkalan dengan senjata dan amunisi di Ukraina tengah untuk melakukan lebih banyak pembunuhan, lapor Interfax.

Jaksa Penuntut Umum Ukraina Yury Lutsenko mengatakan agen ganda itu, mantan tentara operasi rahasia di timur Ukraina, akan bersaksi atas nama negara dalam persidangan yang dituduhkan pada oranizer tersebut.

Di Facebook, Perdana Menteri Ukraina Petro Poroshenko mengucapkan selamat kepada dinas keamanan untuk "operasi brilian," tetapi mengatakan ancaman terus berlanjut. "Moskow hampir tidak mungkin berdiam diri," katanya.  "Saya telah memerintahkan Arkady dan keluarganya diberi keamanan 24 jam." Di Moskow, kementerian luar negeri Rusia menyebut tindakan yang dipentaskan itu "provokasi anti-Rusia yang lain."

Beberapa organisasi jurnalis mengkritik keras pembunuhan palsu itu, dan menyebutnya "menyedihkan." Christophe Deloire, sekretaris jenderal Reporters Without Borders, mengatakan bahwa organisasinya mengekspresikan "kemarahan amat sangat" setelah menemukan manipulasi dinas rahasia Ukraina.

Memamerkan Babchenko pada konferensi pers di Kiev seakan menyerahkan berita bohong ke orang-orang yang selama ini membenci berita palsu atau tidak dapat dipercaya. Ini semakin melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap jurnalis. Kredibilitas pejabat keamanan Ukraina juga bakal dipertanyakan. Apapun yang dikatakan Pemerintah Ukraina orang tidak langsung percaya dan harus memeriksanya dua atau tiga kali.

Adapun Babchenko? Bisa jadi nilai “kepalanya” meningkat secara signifikan. Untuk beberapa lama, dia kemungkinan akan diburu sehingga pada titik tertentu dia membutuhkan perlindungan.  

Diakui atau tidak, fenomena Babchenko merupakan langkah baru perang informasi.  "Itu selalu sangat berbahaya bagi pemerintah untuk bermain dengan fakta-fakta, terutama menggunakan wartawan untuk cerita palsu mereka," kata Deloire.

Di New York, Komite untuk Perlindungan Wartawan, menyerukan segera dilakukan penyelidikan atas insiden itu. Mereka mengatakan lega bahwa Babchenko masih hidup, tetapi mengatakan pihak berwenang Ukraina "harus mengungkapkan latar belakang yang mengharuskan tindakan ekstrem pementasan berita (staging news) pembunuhan wartawan Rusia itu."

Staging news atau menciptakan acara untuk menarik perhatian dan liputan media memang kontroversial. Untuk menarik perhatian klien mereka, orang mengorganisasikan acara media. Acara ini didesain untuk menarik perhatian jurnalis.

Pertemuan besar-besaran dan demonstrasi atas isu tertenu, misalnya, akan dimuat di halaman pertama, di sampul majalah, dan siaran berita malam, karena kualitas fotogeniknya menjadikan tampak lebih menarik secara visual ketimbang kejadian yang sebenarnya yang lebih penting (Vivian, 2007).
 .
Persoalan etis kurang penting bagi penerbit, yang umumnya lebih mementingkan kelarisan. Di sisi lain, persoalan etis lebih penting bagi wartawan, yang mengkalim bahwa tugas mereka adalah memberikan berita yang akurat dan berimbang. Tetapi mereka in sering tidak bisa menolak acara semacam itu yang didesain publiisis agar nampak fotogeik dan mudah diliput.

Vivian J, 2007. The Media of Mass Communication 8th Edition. Denver (US): Allyn & Bacon