Media sosial marketing kini mulai
saturated. Banyak pemasar yang menggunakan itu Twitter misalnya, sementara
keaktifan penggunanya jauh di bawah pemasar. Deikian pula dengan Facebook. Lalu
bagaimana jalan keluarnya?
Hampir
sepuluh tahun sejak pertama kali blog diluncurkan, media sosial mendominasi
percakapan yang dilakukan para professional di bidang pemasaran. Orang takk
lagi mendiskusikan soal pengaruh media sosial di pemasaran. Sejak lima atau
enam tahun lalu, pemasar menikmati media yang dikenal dengan media sosial.
Secara fundamental, platform ini telah mengubah cara perusahaan berinteraksi
dengan pelanggannya.
Media
baru – media sosial – telah menggeser pergeseran paradigma praktik pemasaran di
banyak perusahaan. sebelumnya, perusahaan menggunakan pendekatan traditional
brand atau product-driven, kini mereka mengaplikasikan metode
"customer-driven" marketing dengan cara yang tidak pernah mereka
bayangkan sebelumnya. Media baru dalam komunikasi ini memberikan kesempatan
kepada pemasar sosial (social marketer) misalnya untuk mempersonalisasi lokasi dan
mencapai target konsumen di titik kritis perilaku pengambilan keputusannya.
Media
baru juga memberikan pemasar sosial beberapa saluran mobile guna menjangkau
konsumen dalam konteks di mana mereka membuat keputusan, sehingga menciptakan komunikasi
personal dua arah secara langsug. Pertukaran dua arah ini dapat berlangsung
secara real-time, kapan dan di manapun keputusan dibuat konsumen. Untuk pertama
kalinya, pemasar sosial juga dapat memanfaatkan saluran ini baru guna melibatkan
ribuan atau bahkan jutaan orang dengan biaya yang relatif rendah untuk
mempromosikan pilihan gaya hidup sehat dan mempengaruhi perubahan sosial.
Secara
tradisional, upaya pemasaran sosial untuk mempromosikan perubahan perilaku
kesehatan sangat bergantung pada lokasi fisik sebagai sarana untuk
mendistribusikan produk mereka. Misalnya, menempatkan mesin penjual kondom di
toilet umum untuk mempromosikan seks yang aman atau menempatkan nutrition signs di sudut toko untuk
membujuk pelanggan memilih makanan sehat .
Contoh-contoh
praktek pemasaran tersebut memerlukan investasi yang signifikan baik waktu dan
sumber daya materi agar bisa menjangkau konsumen. Selain itu, menentukan apakah
kondom yang dibeli dan digunakan oleh konsumen sasaran yang tepat atau jika
informasi tanda-tanda gizi iklan mempengaruhi keputusan yang sehat merupakan
tantangan berat bagipemasar.
Sebaliknya,
media baru dapat memberikan pemasar sosial kemampuan untuk secara langsung
melibatkan konsumen di tempat-tempat seperti rumah, kantor, atau sekolah,
tepatnya pada saat keputusan dibuat. Dengan kata lain, media baru dapat
menggeser "tempat" dari toilet dan toko ke lokasi yang langsung
menjangkau mereka melalui komputer atau ponsel yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja.
Akan
tetapi, jajak pendapat yang dilakukan Software Pitney Bowes pada September lalu
terhadap pengguna internet dewasa dan para pengambil keputusan pemasaran di AS,
Inggris, Perancis, Jerman dan Australia
menemukan paradox. Temuan ini membuat mereka mengingatkan pemasar untuk berhati-hati
agar mereka terlalu berkomitmen pada media sosial tertentu.
Hasil
jajak pendapat itu juga seakan mengingatkan bahwa penggunaan media sosial
hendaknya dilakukan selaras dengan preferensi konsumen. Kenapa? Survei itu
menemukan adanya perbedaan yang mencolok
antara konsentrasi konsumen di beberapa jaringan media sosial dan persentase
pemasar yang menggunakan jaringan sosial itu. Namun dalam kasus lain, jumlah
pemasar di platform yang tersedia justru melampaui pelanggan potensial yang
ada.
Di
Twitter, misalnya, 57% pemasar dilaporkan menggunakan situs tersebut. Di sisi
lain, hanya 31% konsumen yang
menggunakan situs yang yang sama. Twitter diakui sebagai pendorong utama di
balik fenomena yang relatif baru, televisi sosial. Menurut sebuah study terbaru
yang dilakukan NM Incite dan Nielsen,
selama Juni 2012, sepertiga dari pengguna Twitter mentweet secara aktif
konten TV atau naik 27 persen dibandingkan
Januari. Seperempat dari pengguna sosial media adalah mereka yang
berusia 18-24 yang selalu memberikan komen atas konten TV sosial yang
dilihatnya. Karena itu, muncul hipotesis bahwa menggunakan dengan Twitter
strategi pemasaran beralan lancar.
Informasi
lainnya menunjukkan ada 51% pemasar
memanfaatkan kehadiran Google+, padahal hanya 21% konsumen yang menggunakannya.
Sementara itu di bagian lain, survey menemukan 53% dari konsumen memanfaatkan
YouTube, tetapi di lain pihak hanya 41%
pemasar yang memanfaatkannya. Artinya, sementara banyak pengguna
internet yang melototi YouTube, tapi di sisi lain jarang pemasar yang melongok
jejaring itu. Mereka menyukai menggunakan mikroblog.
Di
Indonesia, menurut Irawati Pratignyo, Managing Director - Media Nielsen
Indonesia, dari sisi tren konsumsi terhadap media, tahun ini konsumen/pemirsa
TV tetap tinggi sementara konsumen/pembaca pada media cetak (koran dan majalah
versi cetak) dan radio tidak setinggi TV. “Kami melihat ada pengaruh pertumbuhan
kepemilikan cell-phone/mobile phone dan peningkatan jumlah pengguna internet,
serta adanya perubahan konsumsi terhadap media cetak dan radio yang kini dapat
diakses melalui internet,” kata Ira.
Situasi
ini membuat pemasar tak lagi hanya memikirkan apakah melakukan branding melalui
Twitter atau Facebook. Mereka harus berpikir tentang bagaimana mengintegrasikan
semua saluran komunikasi pemasaran, termasuk media konvensional. Inilah yang
disebut sebagai era post-social media, era dimana pemasar tidak hanya memikirkan
tentang media sosial tapi juga media konvensional.
Ini
bukan berarti bahwa media sosial tidak dibutuhkan lagi dalam pemasaran terutama
dalam konteks interaksi. Media sosial masih tetap dan sangat diperlukan. Akan tetapi,
seperti ditulis Gini Dietrich dan Geoff Livingston dalam buku Marketing in the Round, media sosial
tidak bekerja sendiri, terutama jika digunakan untuk menerobos pasar atau menyampaikan
pesan.
Adopsi
teknologi internet, media sosial, dan telepon seluler/mobile telah menggeser
kekuasaan dari produsen ke konsumen. Dalam Techonomy
baru, konsumen semakin canggih dan sangat-terhubung membuat ekspektasi mereka
terhadap merek semakin tinggi. Mereka
ingin dipersonalkan, relevan, nyaman, sederhana, dan dekat. Karena itu, agar tetap
kompetitif, merek perlu pendekatan baru guna meningkatkan keterlibatan (engagement)
konsumen dan konversi menjadi pembelian.Dalam ondisi seperti itu, merek
membutuhkan strategi pemasaran digital terpadu.
Seperti
diketahui, tujuan dari penggunaan media sosial adalah membangun engagement. Tujuan
ini secara efisien tercapai bila mengintegrasikan media sosial dengan media
konvensional. Beberapa fenomena membuktikan itu, mulai dari kasus Prita, Cicak
Vs Buata dan sebagainya. Engagement berarti pelanggan atau stakeholder menjadi
peserta, bukan sekadar pemirsa. Ini yang membedakan antara menonton dan
berpartisipasi dalam pemutaran film misalnya.
Engagement,
dalam koteks bisnis sosial, berarti pelanggan Anda bersedia meluangkan waktu
dan energi mereka untuk berbicara dengan Anda tentang Anda dalam sutau
percakapan dan melalui proses yang mempengaruhi bisnis Anda. Proses
keterlibatan ini merupakan dasar kesuksesan bisnis sosial. Keterlibatan dalam
konteks sosial menyiratkan bahwa pelanggan telah mengambil kepentingan pribadi
dalam apa yang Anda bawa ke pasar.
Seperti
diketahui, keistimewaan media sosial bagi perusahaan adalah bahwa mereka dapat
mengidentifikasi pengguna kunci yang loyal terhadap perusahaan dan dapat
berpengaruh terhadap hubungan dekat mereka. Berdasarkan pada penelitian,
strategi pemasaran yang paling baik adalah membiarkan pelanggan sendiri untuk
menjadi pemasar. Studi ini mengemukakan bahwa individu-individu dengan
kepentingan bersama berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka memiliki
sikap, keyakinan atau kepentingan yang sama.
Ketika
Nikon merilis kamera DSLR seri D4-nya ke pasar fotografi professional, selain
menggunakan kampanye top-down PR yang konvensional, Nikon melanjutkan tradisi
mereka memberikan DSLRs baru kepada blogger berpengaruh untuk mereview kamera tersebut
disertai dengan foto hasil jepretannya dengan kamera itu. Tujuannya, membuat
para blogger membicarakannya ketika kamera itu dirilis. Peluncuran itu pun
direspon dengan percakapan online yang luas.
Contoh
diatas menginformasikan bahwa target pemasaran melalui jaringan media sosial
bisa menjadi jauh lebih efisien dan hemat biaya ketika pemasar dapat
mengidentifikasi pengguna kuncinya. Dalam konteks ini, kesadaran maksimum
terhadap produk atau jasa dapat ditransfer dengan biaya minimal, jika pengguna utama
telah diidentifikasi dengan benar. Mereka bisa menyebarkan informasi kepada
pengguna lain. Ini akan menjadi cara difusi informasi yang tepat, yang
mempengaruhi tujuan niat pengguna kunci 'berdasarkan kepercayaan dari orang
lain.
Ketika
seorag pengguna kunci puas, kepercayaan mereka kepada perusahaan tumbuh dan
mendorong mereka untuk menggunakan layanan terus dan bertindak seperti seorang
pemasar bagi perusahaan. Dia akan menyebarkan pengalaman-pengalaman positifnya
kepada orang-orang dekat mereka. Karena itu, media sosial adalah tempat yang
sangat eksklusif untuk berbagi pengalaman positif mereka dengan teman-teman
dekat mereka. Disini kepercayaan memainkan peran dalam memfasilitasi dan
mempertahankan hubungan jangka panjang.
Disinilah
pemahaman tentang pengalaman para pengguna atau stakeholder media sosial makin
penting. Pemasaran yang terlalu fokus pada Facebook merupakan contoh klasik
dari pemasaran media sosial masih dipertanyakan. Kenapa? Saat ini, orang tidak melihat
Facebook di rumah. Mereka membaca, menonton TV, online untuk membaca dan
berpartisipasi dalam media sosial lainnya, mengomentari pernyataan orang atau
situasi sosial, mendengarkan musik, dan seterusnya melalui ponsel/mobile tablet
mereka. Pada malam hari, pengalaman media mereka jauh melampaui penawaran
apapun Facebook. Mereka mengkses lebih banyak tawaran atau feature media.
Tapi di
sisi lain, ketika smartphone dan komputer tablet menjadi bagian dari kehidupan
konsumen, kesempatan bagi peritel untuk membagikan katalognya makin besar dan
cepat. , kesempatan untuk catalogers ritel dan pedagang langsung memperluas
dengan cepat. Bagi pengecer multichannel, percakapan tidak hanya tentang chanel
belanja yang digunakan oleh pembelanhja yang jumlahnya makin tumbuh ini. Mereka
akan menggunakan semua saluran – termasuk saluran tradisional -- tersebut untuk
mendekatkan produknya ke pelanggannya. Itu sebabnya media sosial harus
diintegrasikan ke dalam bauran pemasaran yang lebih besar.
Pemasaran
modern bukanlah suatu fenomena sosial, juga bukan sikap yang telah mengakar sejak
abad ke dua puluh. Ini adalah era yang lahir karena resesi dan masa pemulihan yang
menuntut pelaku pemasaran menjadi lebih bertanggung jawab dalam setiap anggaran
yang dikeluarkan.
Ketika pendekatan
primer dipilih itu biasanya karena sumber daya sudah ada di depan mata. Tetapi
perusahaan sering kali memiliki beberapa sumber daya. Jika kampanye public
relations memadukan acara peluncuran dan PR untuk memasarkan produk baru,
mengapa tidak menggunakan sumber daya media sosial?