Sabtu, 24 Februari 2018

Branding Inside Out



Karyawan (employee) adalah aset perusahaan yang paling berharga. Karyawanlah yang menerjemahkan strategi organisasi menjadi kenyataan, berinteraksi dengan konsumen, dan menentukan bagus tidaknya merek perusahaan. Melalui pendekatan partisipatif, pengelola perusahaan atau merek dapat meningkatkan komitmen karyawan, meningkatkan standar layanan, dan memfokuskan upaya untuk mewujudkan tujuan bisnis. Pertanyaannya adalah bagaimana cara perusahaan memberdayakan karyawan mereka dan menciptakan merek juara?

Best Buy, peritel terkemuka untuk produk, layanan dan solusi teknologi, memiliki sekitar 1.600 toko di Amerika Utara dengan pendapatan hampir $ 40 miliar setiap tahun. Perusahaan ini menawarkan layanan keren dengan harga yang hampir tak bisa disaingi peritel lainnya. Mereka melayani lebih dari 1,5 miliar kali setahun kepada konsumen, pemilik usaha kecil dan pendidik yang mengunjungi toko Best Buy,  bergabung dengan Agen Skuad Geek atau menggunakan BestBuy.com atau aplikasi Best Buy. Tujuh puluh persen penduduk AS tinggal di daerah yang jaraknya bila diukur dengan waktu 15 menit dari toko Best Buy. Perusahaan juga beroperasi di Kanada dan Meksiko.

Selama tahun lalu, harga saham Best Buy meroket mencapai lebih dari 60% karena perusahaan melakukan optimasi biaya dan inisiatif pertumbuhan strategis. Best Buy menunjukkan potensi besar, sebagai hasil dari reformasi pajak yang menguntungkan, upaya mitigasi biaya, peluang pertumbuhan pasar, tenaga penjualan yang berpengetahuan, dan fundamental yang seha. Meski demikian, perusahaan menghadapi pesaing yang menjual langsung dari vendor ke konsumen, yakni Amazon, dan harga yang lebih agresif dari kalangan retailer.

Kunci keberhasilannya dimana? Best Buy adalah salah satu perusahaan paling maju dalam hal mengintegrasikan media sosial ke dalam merek dan budayanya. Ratusan video, blog, wawancara, dan cerita telah ditulis orang untuk menggambarkan perjalanan Best Buy Web 2.0.  Ulasannya tidak hanya bagaimana Best Buy berkomunikasi dengan pelanggannya, namun juga komunikasi internalnya. "Kami rasa media sosial adalah cara yang bagus untuk menunjukkan budaya dan layanan pelanggan kami,” kata Barry Judge, Best Buy’s Chief Marketing Officer seperti ditulis Bernie Brennan dan Lori Schafer dalam buku Branded!.

Budaya transparansi yang telah tertanam kuat mendorong Best Bauy mengunggah video-video tentang bagaimana mereka mengubah budaya perusahaan ke saluran YouTube-nya. Satu video yang diposkan pada Agustus 2008, menjelaskan tentang apa yang telah Best Buy lakukan secara internal melalui media sosial. Disitu diperlihatkan beberapa karyawan sedang mendiskusikan soal pekerjaan, manfaat nyata, dan alat media sosial yang mereka gunakan untuk komunikasi internal.

Dalam video tersebut, Jennifer Rock, Direktur Komunikasi Internal, menjelaskan tentang bagaimana Best Buy menyadari akan kebutuhan mengakomodasi keinginan karyawan untuk berkomunikasi melalui jejaring sosial. "Sebagian besar perusahaan secara tradisional berkomunikasi dengan karyawan ... tapi tidak dengan cara yang dulu lagi," katanya.

"Kami beralih dari peran sebagai pemilik dan menyampaikan pesan menjadi fasilitator yang mendorong dan membuka peluang.. Ini memungkinkan kita untuk menggunakan wawasan dan umpan balik karyawan untuk berbuat lebih baik dalam melayani pelanggan kami."

Pada tahun 2006, sekelompok karyawan berkumpul untuk mencari gagasan mengubah cara komunikasi internal dalam Best Buy. Mereka memulainya dengan terlebih dahulu menciptakan jaringan sosial internal yang disebut dengan Blue Shirt Nation (BSN) atau semacam Facebook di dalam perusahaan. 

Salah satu aset terbesar Best Buy adalah pengetahuan kolektif tentang segala hal yang berkaitan dengan toko, dan BSN diciptakan untuk menangkap dan berbagi pengetahuan tersebut. “Kami memiliki basis karyawan muda yang sangat nyaman dengan teknologi," kata John Thompson. "Ini lebih merupakan evolusi tentang bagaimana mereka menjalani hidup mereka sehingga mereka menemukan jaringan sosial internal karena begitulah cara mereka terhubung dengan dunia luar.

"Untuk membangun jejaring internal tersebut, sang pencipta Gary Koelling dan Steve Bendt membujuk manajemen senior untuk mendanainya. Target audiensnya utamanya adalah puluhan ribu rekanan toko Best Buy yang banyak di antaranya adalah remaja. Tujuannya sederhana: Membuat jaringan yang menyediakan platform untuk mempromosikan pertukaran gagasan di antara karyawan di semua tingkat. Konsepnya adalah agar karyawan bisa melakukan kegiatan seperti yang dilakukan pelanggan." Semakin cepat informasi akurat tentang produk dan layanan Best Buy dikomunikasikan ke Blue Shirts, semakin responsif perusahaan terhadap kebutuhan pelanggan.

BSN mengizinkan karyawan memposting video dan blog, membuat grup, agar saling mengenal. Karyawan bebas berbicara tentang apapun, walaupun sebagian besar diskusi berpusat pada pekerjaan, misalnya, pemecahan masalah terutama masalah pelanggan dan tantangan operasional di toko. BSN membiarkan karyawan berkolaborasi, berbagi informasi, dan menjadi sosial. Ini akhirnya memberi jalan ke berbagai alat jejaring sosial internal lainnya dan juga laman Facebook eksternal untuk karyawan Best Buy, yang kontennya terbuka untuk umum.


Congeniality - Bersahabat dan Menyenangkan

Image result for perdebatan di WA

Komunikasi merupakan sesuatu yang alami dimiliki oleh manusia. Ini karena kita adalah mahluk  sosial: kita mencari, menemukan dan mengandalkan koneksi kita satu sama lain untuk mencapai kesejahteraan fisik dan psikologis kita.

Jika Anda berdiri di jalan mengamati bagaimana orang berperilaku, Anda akan melihat bahwa mereka sering berkomunikasi; mereka melakukan kontak mata, tersenyum, menyentuh, berbicara, menelepon, mengirim pesan, dan menandatangani.

Sabtu (24/2) kemarin, saya sengaja melibatkan diskusi dalam grup What’sApp yang diakui atau tidak kadang-kadang tidak beraturan. Kadang-kadang ada teman yang asal melemparkan isu tanpa dicek kebenaran, kadang pula ada yang membalasnya dengan komentar yang juga tanpa didukung dengan data.  Terus terang saya asyik mengikutinya. Hanya karena waktu, saya kadang-kadang jeda mengikutinya.

Saya menganggap terlibat dalam diskusi grup tersebut sebagai latihan dan belajar bagaimana berkomunikasi yang baik. Nyatanya, harus saya akui, saya gagal. Kenapa? Tujuan dari komunikasi yang paling utama adalah mencapai kesepahaman. Dalam konteks grup WA tadi, itu berarti – melalui berbagai argumentasi -- saya harus bisa mengubah pandangan lawan diskusi saya.

Saya akui saya gagal dalam memahami kesepahamanan. Dalam bayangan saya, kesepahaman bisa saja berarti kesetujuan atau ketidaksetujuan. Kesetujuan berarti terdapat kesamaan pandangan pada satu gagasan, ketidaksetujuan berarti masing-masing pihak berpegang pendapat atau sikap sendiri-sendiri.

Dalam konteks inilah diperlukan congeniality atau masing-masing mitra komunikasi tetap menjaga hubungan yang bersahabat dan menyenangkan satu sama lain selama dan sampai pada akhirnya menghasilkan ketidaksepakatan. Menjadi komunikator yang menyenangkan penting dalam organisasi agar para pemangku kepentingan tetap bersahabat dan saling bergaul.

Kunci untuk menjadi komunikator yang menyenangkan adalah kemampuan komunikator untuk mengendalikan emosi saat pesan dipertukarkan atau disampaikan namun mendapat tanggapan yang tidak sesuai dengan keinginan sang komunikator atau pasangan komunikasinya secara emosional – dalam penyampaikan pesan atau postingannya menjadi agresif.

Idealnya, ketika terjadi perbedaan pendapat yang kuat, maka-maka pesan yang disampaikan idealnya berfokus pada poin positifnya. Pada kenyataannya, saya sering memfokuskan pada pesan negatifnya sehingga direspon secara negatif pula oleh lawan komunikasi saya.

Demikian pula, manakala sebuah postingan mendapat respon menantang dan diskusi dalam suatu grup memanas, idealnya saya bersikap tenang. Bagaimanapun ketika berada dalam situasi di mana kata-kata membuat situasi memanas, mereka yang terlibat harus bisa mengendalikan diri dan tetap tenang, bersikap dewasa dan professional menjunjung etika berkomunikasi. 

Etika mengacu pada perilaku yang sesuai. Menjadi seorang komunikator yang beretika menyiratkan bahwa seorang komunikator memperlakukan lawan komunikasinya secara jujur, terbuka, dan adil. Komunikasi yang tidak etis biasanya menyebabkan hilangnya kepercayaan dan rasa hormat, sehingga mengganggu inti komunikasi yang efektif. Meskipun masing-masing komunikator tidak memiliki kontrol terhadap perilaku etis mitra komunikasinya, setidaknya yang bersangkutan bisa menjadi komunikator yang beretika.

Robert G. lnsley, dalam buku Communicating in Business, memberikan gambaran bahwa seorang komunikator yang baik adalah yang mengerti bahwa berkomunikasi secara efektif dalam situasi apapun merupakan suatu proses yang kompleks, banyak hambatan dan tantangannya. Ini mengimplikasikan bahwa komunikasi merupakan serangkaian keterampilan yang harus dipelajari, dilatih dan disempurnakan.

Daikuai atau tidak, berkomunikasi tidak hanya suatu rangkaian kegiatan biasa, atau menganggap bahwa kemampuan berkomunikasi pada dasarnya telah terbentuk sejak lahir sehingga tidak perlu diperbaiki. Seseorang mungkin enggan memperbaiki kemampuan untuk mendengarkan karena merasa bahwa kemampuan tersebut telah ada sejak dia lahir sehingga tidak memerlukan perbaikan.

Kadang-kadang sikap seperti itu muncul pada saya. Padahal, mendengarkan memerlukan kerja keras terus menerus, keterampilan khusus, pengetahuan tentang hambatan bersama untuk mendengarkan, dan sikap yang benar.

Terus terang kemampuan saya lemah dalam mengendalikan emosi. Idealnya, bila menerima pesan email yang membuat marah, alih-alih menulis respon yang pedas, menyarankan untuk mendinginkannya sebelum meresponsnya.

Idealnya, komunikator yang baik memahami bahwa waktu memainkan peran dalam mengembangkan, mentransmisikan, menerima, dan menanggapi pesan. Semasih saya bekerja di Jawa Pos, Pak Dahlan Iskan – Bos Jawa Pos – sempat mewanti-wanti saya untuk tidak menanyai reporter yang baru pulang dari liputan. Katanya, orang yang baru pulang atau masuk rumah dari perjalanan itu gampang marah.
  
Di sisi lain, komunikasi bisa jadi tidak efektif manakala komunikator atau komunikannya berada dalam kondisi lelah atau secara semosional marah. Seperti yang disampaikan Pak Dahlan, terkadang orang perlu beristirahat atau mendinginkan diri sebelum melanjutkan komunikasi. Jika seseorang perlu menulis surat penting, tapi dia lelah, disarankan untuk beristirahat dan menuliskan sehabis istirahat jika jadwalnya memungkinkan.

Praktik komunikasi yang baik menunjukkan bahwa masing-masing yang terlibat dalam komunikasi berusaha saling memahami. Dengan pemikiran ini, realitasnya ada yang terjebak dalam upaya memaksa mitra komunikasi masuk ke dalam jadwalnya. Karena ada kebutuhan, tengah malam kita menelpon seseorang.

Jika pasangan komunikasi Anda bukan orang yang biasa bangun pagi, panggilan pukul 08.00 pagi kemungkinan tidak akan direspon sebagaimana panggilan yang dilakukan pada pukul 13.00 siang. Atau, jika Anda menjadwalkan pertemuan pada Jum’at pukul 16.30, maka hal itu tidak akan berlangsung karena pasangan komunikasi Anda mungkin sedang fokus menyelesaikan sesuatu.

Disinilah pentingnya mengetahui dan menganalisis audiens, suatu kemauan untuk mengetahui beberapa faktor tentang pasangan komunikasi. Diakui atau tidak, analisis audiens dalam organisasi saat ini lebih penting daripada sebelumnya. Makin cepatnya kemajuan dan perkembangan teknologi membuat informasi muncul seketika dan jumlah yang begitu banyak.

Dengan menganalisis audiens komunikasi Anda, Anda akan lebih mampu menentukan kata, strategi, dan media yang tepat untuk setiap situasi. Pada gilirannya, dengan analisis Anda, Anda bisa meminimalkan kesalahpahaman, sambil memaksimalkan pemahaman.


Rabu, 21 Februari 2018

Dialog


"Tak seorang pun dilahirkan untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Orang harus belajar membenci, dan jika mereka bisa belajar membenci, mereka bisa diajari untuk mencintai, karena cinta datang secara alami ke hati manusia bukan sebaliknya. "

- Nelson Mandela, Long Walk to Freedom

Ketika pada akhirnya pengadilan memutuskan Nelson Mandela tidak bersalah pada Maret 1961, pemerintah Perdana Menteri Hendrik F. Verwoerd (arsitek dan ahli ideologi terkemuka apartheid) marah. Dia bereaksi dengan melipatgandakan tekanan terhadap warga kulit berwarna dengan mengintensifkan upaya memarjinalkan mayoritas kulit hitam dan mengabaikan peraturan hukum yang berlaku.

Amarah sang perdana menteri tidak dilawan dengan kemarahan. Mandela malah mendekati pemerintah apartheid untuk berdialog. Tak ada reaksi positif dari pemerintah. Yang dia peroleh justru hukuman kurungan penjara, hingga pada akhirnya Mandela harus memikirkan ulang strategi perjuangannya karena pada titik tertentu belum menghasilkan. Pada akhirnya, Mandela harus menentukan pilihan, damai atau perang. 

Pertengahan 1961, Mandela mulai sadar bahwa taktik anti-kekerasan telah gagal. Tekadnya sekarang melawan pemerintah apartheid. Mandela memimpin sayap gerilyawan ANC (African National Congress), yang disebut Umkhonto kita Sizwe (Tombak Bangsa, atau MK) melakukan perlawanan bawah tanah.

Dia terpaksa melawan nuraninya sendiri. Dia memang mendirikan MK - kegiatannya termasuk perjalanan ke seluruh Afrika untuk mengumpulkan senjata dan dana – namun Mandela lebih suka berjuang tanpa amarah dan kekerasan. Namun apa daya, yang selama ini dikerjakan belum membuahkan hasil. Tanpa teriakan amarah, peluru dan meriampun ditembakkan. Peluru dan meriam bukan untuk membunuh warga kulit putih, tapi instalasi pemerintah dan properti milik putih.

Itulah titik balik dari upaya dialog yang dilakukan Mandela. Ketika dialog tidak ditanggapi, peluru dilepaskan, parang, tombak dan sejata tajam lainnya dikerahkan. Perjuangan melalui MK adalah upaya terakhir. Itu dilakukan untuk mencegah perjuangan anti-apartheid sekarat. Itu sebabnya perlawanannya tidak membabibuta.

Orang pun memaklumi langkahnya. Apalagi Mandela sudah menegaskan bahwa tujuan perlawanan bersenjatanya bukan untuk memicu perang ras, tapi untuk mendorong pemerintah apartheid bernegosiasi. Tetapi, "Jika sabotase tidak menghasilkan sesuatu yang kita inginkan," katanya, "kami siap untuk melanjutkan ke tahap berikutnya: perang gerilya dan terorisme," kata Mandela (Long Walk to Freedom: 246-247). Toh pada akhirnya, Mandela bisa menciptakan perdamaian dan membangun  cinta dengan dialog.

Tak ada yang membantah bahwa dialog telah digunakan selama berabad-abad untuk membantu menghasilkan makna bersama. Dialog menghilangkan kebencian untuk membangun peradaban modern, karena dialog -- menurut Aristoteles dan Plato serta filosuf -- mampu mengklarifikasi dan mengkomunikasikan pemahaman tentang filsafat yang sebenarnya kompleks. Maknanya adalah bahwa serumit apapun persoalan, setinggi apapun kebencian, bisa direndahkan melalui dialog.

Bahkan untuk membuat suatu bangsa menjadi makmur. Freire percaya bahwa hal itu bisa dilakukan melalui dialog. Itu berarti komunikasi harus dilakukan secara terus menerus. Saat guru dan peserta didik berdialog, selalu ada terobosan. Memang tidak mudah karena dalam melakukan dialog selalu ada upaya memediasi realitas sosial.

Wajar karena dialog merupakan bagian dari membuat perbedaan. Kenapa? Karena dialog merupakan bentuk praksis kolektif yang secara langsung berkaitan dengan pembukaan selubung kondisi ketidakadilan yang dikaburkan oleh kelas penguasa. Proses ini penting dan bisa dimaknai sebagai peningkatan komunitas dan pembangunan modal sosial yang mengarah pada keadilan dan perkembangan manusia.

Cukup banyak orang yang mengatakan bahwa dialog adalah bentuk percakapan bermakna yang memiliki landasan dalam mengidentifikasi, kesadaran, dan penghentian asumsi yang ada sebelumnya untuk mencapai makna dan pengertian baru bersama (Schein, 1999). Dalam bayangan Preskill dan Torres (1999), dialog inilah yang memfasilitasi proses belajar yang implementasinya bisa dalam bentuk penyelidikan evaluatif, mengajukan pertanyaan, dan mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai yang ada, kepercayaan, asumsi dan pengetahuan ssebelumnya.

Melalui dialog, individu membuat hubungan satu sama lain dan mengkomunikasikan pemahaman dan sosial masing-masing yang dijadikan sebagai pemandu perilaku selanjutnya. Dialog juga digambarkan sebagai "berbicara dengan" atau "penyelidikan bersama, cara berpikir dan refleksi bersama" (Isaacs, 1999, hal 9). Bahkan -- tidak sekadar berbicara dan berpikir dengan -- dialog merupakan cara dan bekerja bersama dengan orang lain.

Seringkali dalam mendefinisikan dialog, ada penekanan pada struktur akar kata “dia” dan “logo” yang menghasilkan definisi "makna yang mengalir melewatinya" (Bohm, 1996). Artinya, Bohm (1996) menggambarkan dialog sebagai bertujuan untuk memasuki keseluruhan proses berpikir dan mengubah proses pemikiran secara kolektif menjadi solusi bersama.

Dengan demikian, dalam sebuah dialog, setiap orang tidak berusaha membuat gagasan atau sesuatu yang diketahui sesuai dengan yang sudah diketahui dirinya. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa kedua orang tersebut membuat sesuatu yang sama, yaitu menciptakan sesuatu yang baru bersama (Bohm, 1996 hal. 2).

Dialog sering terjadi dalam bentuk percakapan yang didasarkan pada pemikiran para partisipan yang terungkap pada saat percakapan berlangsung. Agar bisa masuk ke dalam dialog, yang harus ada adalah rasa kesetaraan di antara peserta. Tak ada rasa bahwa saya lebih kuat dari dia. Tak ada rasa bahwa saya benar dan dia salah.

Masing-masing harus mempercayai yang lain dan harus ada rasa saling menghormati dan cinta (care and commitment). Masing-masing harus menyatakan problem dan apa yang mereka ketahui serta mempertanyakan apa yang tidak dia ketahui, sehingga mereka bisa memahami satu sama lain. Dengan cara itu, melalui dialog, pikiran yang ada akan berubah dan pengetahuan baru akan tercipta (Mayo, 1999).


Senin, 05 Februari 2018

Marketing Dengan Makna


Selasa beberapa waktu lalu. Saat saya di perpustakaan, seorang teman mendekati saya. “Mas.. ada uang Rp 750 ribu? Saya butuh untuk bayar SPP anak saya yang hari ini deadline. Kalau nggak anak saya nggak boleh ikut ujian. Hari ini sebenarnya saya gajian. Tapi biasanya kan transferannya sore. Sekolahnya sudah tutup.”

Saya tercengung mendengar itu. Betapa tidak hari itu kebetulan dompet saya ketinggalan. Saya sendiri tidak memiliki akun m-banking. Dan yang lebih penting lagi, beberapa menit sebelumnya saya kontak seorang teman untuk maksud yang sama karena hari itu juga saya harus membayar SPP saya.

“Tidak bisa ditunda? Besok misalnya,” jawab saya.

“Tidak bisa Mas.. Hari ini deadlinenya.” Siang itu, saya tak bisa memberikan solusinya.

Besoknya, saat ketemu lagi saya Tanya, “Apakah masih butuh untuk bayar SPP?”

“Nggak Mas… terima kasih banyak,” jawabnya.

Beberapa hari lalu, anak-anak tetangga sering teriak di depan rumah… “Assalamu”alaikum… Pak…Ibu…bisa minta rambutannya tidak?”

Di depan rumah memang ada pohon rambutan. Saat itu memang lagi berbuah, namun maih belum cukup umur untuk dipetik karena saya lihat beberapa buah diantara gerombolan rambutan itu masih hijau. “Belum siap panen Dik,” jawab saya. Mereka pergi.

Minggu lalu, dengan gala san susah payah anak saya memetik rambutan. Cukup banyak. Hasilnya sengaja ditaruh di depan rumah. Sampai beberapa hari, taka da satu pun anak yang teriak lagi minta rambutan. Saya nggak tahu, mungkin karena sekarang rambutan sudah ada dimana-mana, murah lagi.  

Saya ingat pernyataan seseorang, “..Seseorang ada karena bermanfaat atau bermakna.” Saya tidak ingat siapa yang mengatakan itu. Realitasnya, kalau seseorang tidak memberikan manfaat, apalagi menjadi beban, dia dilupakan atau ditinggalkan sendirian oleh orang lain. Bila orang tersebut memberikan manfaat, orang mendekat dan dia bakal dikenang sekalipun orang tersebut sudah meninggal. Contohnya para pahlawan. Jasanya dikenang, orangnya juga tetap dikenal. Demikian halnya dengan perusahaan atau merek. Merek ditinggalkan pelanggannya bila tidak berhasil memberikan value pada pelanggannya.

Gagasan tentang manfaat disini situasional. Bermakna tidaknya, tinggi rendahnya makna atau manfaat  tergantung pada situasi. Ketika saya memiliki uang, kalau orang bermaksud meminjamkan uangnya kepada saya, tentu manfaatnya jauh berkurang ketimbang ketika dia meminjamkannya saat saya tidak mempunyai uang atau sedang sangat membutuhkannya.

Gagasan ini yang kemudian digunakan orang dalam menciptakan suatu produk. Ambil contoh Godrej. Suatu ketika, perusahaan konglomerat asal India ini mengalami penurunan pangsa pasar lemari es karena serbuan merek asing. Menghadapi situasi itu, seperti yang ditulis Rory McDonald dari Harvard Business School, Godrej tidak mau mundur. Mereka tetap bersaing pasar konvensional sambil berinovasi dengan produk yang bisa memenuhi kebtuhan orang yang selama ini belum terlayani pendingin Godrej. Mereka ini adalah orang-orang yang memebutuhkan mesin pendingin murah. 

Alih-alih bersaing dengan merek global yang menguasai 15 persen pasar konsumen yang mampu beli lemari es, Godrej memutuskan membidik 85% penduduk yang selama itu belum terlayani oleh merek global. Disini ada sesuatu yang sifatnya non-konsumsi yang menjadikan pasar ini penting, yakni banyak rumah tangga di pedesaan India yang tidak bisa menyimpan makanan. Karena itu, mereka harus membeli makanan mereka setiap hari. Ini tentu membutuhkan waktu dan biaya yang mahal. Masalah lainnya adalah, kondisi listrik di pedesaan terputus-putus dan tegangannya turun naik, sesuatu yang membuat lemari es tidak berfungsi optimal.

Godrej lalu mengembangkan mengembangkan solusi "cukup baik", yakni kulkas portabel chotuKool, yang harganya rendah, dioperasikan dengan daya baterai, dan menggunakan kantor pos sebagai saluran penjualan/jaringan distribusi baru. Hasilnya, produk itu memenangkan lima penghargaan innovasi ternasional, dengan harga yang 1/3 harga lemari es konvensional.

Dalam buku The Next Evolution of Marketing: Connect with Your Customer by Marketing with Meaning (McGrawHill, 2010) Bob Gilbreath mengatakan bahwa tradisional marketing kini sudah out-of-date karena kecanggihan publik yang mengkonsumsi sesuatu guna menghindari strategi marketing biasa – bahkan menggunakan media sosial sekalipun.

Dalam konteks ini Gilbreath menyebut strategi yang diklaimnya sebagai marketing with meaning. Gilbreath mendefinisikan marketing with meaning sebagai marketing yang memberikan nilai tambah (added value) kepada masyarakat. Nilai tambah seperti apa? Gilbreath membuat hierarki meaning yang terdiri atas tiga tingkatan di dalam sebuah segitiga. Konsep ini, menurut Gilbreath, merupakan perpaduan antara hierarki kebutuhan Abraham Maslow dan hierarki ekuitas merek dimana merek menempel di hati dan pikiran publik.

Pada level paling bawah, suatu marketing harus bisa memberikan nilai bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup (survival needs). Ini yang disebut Gilbreath sebagai meaningful solutions. Lapis kedua keatas adalah attachment (cinta, rasa memiliki, pertemanan, dan keluarga) needs atau sebagai meaningful connections. Kemudian yang paling atas adalah esteem (rasa percaya diri, kreativitas, problem solving, rasa menghormati kepada dan oleh sesama) needs. Ini yang disebut sebagai meaningful achievements.

Pada hierarki terbawah atau dasar meaning solution untuk memenuhi kebutuhan survival, bisa dilakukan dengan memberi benefit dan informasi langsung seperti menawarkan sesuatu yang bermanfaat, penghematan, dan reward keras seperti pemberian sample dan reward untuk setiap pembelian. Dalam sehari-hari ini dikenal dengan promo penjualan.

Dalam bukunya itu, Gilbreath tidak menyarankan insentif atau promo berupa diskon. Sebab selain bisa mendorong terjadinya perang harga, diskon terlalu sering dan sangat biasa, dalam jangka panjang bisa merusak nilai yang dipersepsikan dan peringkat ekuitas. Namun demikian, dalam konteks meaning terutama dalam situasi seperti sekarang, langka itu saya kira efektif dalam membangun image bahwa BUMN berpihak kepada rakyat.

Tingkatan lebih tingggi, menurut Gilbreath, adalah meaningful connections. Ini bisa menempa suatu ikatan penting antara merek dan pelanggan potensial. Bila berhasil dieksekusi, meaningful connection menempatkan produk, jasa atau merek ke level emosional yang lebih tinggi, mengikat merek pada sesuatu kepentingan lebih dalam di benak pelanggan.

Biasanya, ini dilakukan melalui entertainment yang dikemas dengan baik melalui penciptaan suatu pengalaman yang unik, menyediakan outlet yang kreatif, atau membangun serta mendorong suatu ikatan pertemanan antara satu dengan yang lain atau kelompok.  Intinya disini adalah menciptakan pengalaman-pengalaman yang dapat di-share ke orang lain.  

Tingkatan yang paling tinggi adalah meaningful achievements.  Bila meaningful connections mewakili tahapan dalam membangun hubungan (relationship) yang lebih berarti (meaning) antara orang dan brand, meaningful achievement akan memperbaiki (improvement) kehidupan pelanggan, membantu orang untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, atau menjadikan mereka mampu mengubah ke arah yang positif komunitas dan dunia mereka.  

Lalu dapatkah kita mengimplementasikan strategi Marketing with Meaning jika produk barang atau layanan kita “bau”? Tidak, Anda tidak akan memenangkan pasar jika kualitas barang atau jasa Anda di bawah rata-rata. Marketer yang brilian sekalipun tidak pernah membuat produk gagal memenuhi ekspektasi pelanggannya bisa berhasil. Seperti diketahui, teknik pemasaran yang dilakukan film-film Hollywood banyak diakui sebagai brilian. Namun, berapapun anggaran iklan yang dihabiskan untuk mempromosikan suatu film, jika film itu jelek negatif word of mouth pasti beredar cepat dan cepat meluas melalui media sosial.  

Jadi apa yang harus dilakukan sebuah rumah sakit misalnya, bila menjadi pembicaraan negatif? “Ya perbaiki apa yang menjadi pembicaraan negatif itu. Bila layanan perawatnya misalnya, maka layanan perawat itu yang harus diperbaiki,” tulis Gilbreath dalam blog-nya (http://www.marketingwithmeaning.com/2010/01/07/how-meaningful-marketing-can-help-a-non-innovative-brand/).

Point ini sekaligus mengingatkan kepada para marketer, tugas mereka bukan hanya membuat iklan yang meaningful misalnya, marketer juga harus mulai memberikan arahan kepada konsumen tentang bagaimana menggunakan produk yang kita jual sehingga mereka memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

Minggu, 04 Februari 2018

Wonderful Indonesia – Belajar dari Cara Thailand Mengubah Citra Wisata Sex-nya (2)


Beberapa waktu lalu, saya diundang Kantor Staf Presiden sebagai peserta Focus Group Discussion (FGD) tentang Nation Brand. Dal diskusi itu hadir para akademisi, pelaku bisnis baik bisnis online, kreatif seperti advertising dan musik, serta dari kalangan penggiat sosial. Ada sekitar 40an orang hadir dalam diskusi di Bina Graha dan dihadiri oleh Kepala Staf Presiden (saat itu) Teten Masduki.

Banyak masukan yang muncul, termasuk salah satunya dari seorang profesor, bintang film, dan artis penyanyi. Yang pertama menceritakan pengalamannya tentang situasi yang ditemui saat dia keluar dari bandara Bangka Belitung. Dia menjumpai banyak hal-hal yang mungkin bisa melemahkan branding. Sedangkan sang artis menceritakan pengalamannya saat mendampingi tetamunya dari luar negeri di Papua. Dia mengemukakan hal yang sama, yang bisa melemahkan branding.

Saya sendiri saya lupa mendapat giliran yang ke berapa untuk berbicara. Namun dalam forum itu saya menegaskan perlunya Indonesia untuk membangun nation brand. Sebab bagaimana pun saat ini hampir semua negara berlomba berebut investasi dan tamu wisatawan. Bila tidak sekarang, Indonesia tertinggal jauh oleh negara-negara lain, termasuk negara tetangga.

Saya mengilustrasikan bagaimana Sri Langka yang keamanannya selalu terganggu melakukan branding. India yang beberapa tahun lalu dilanda bom dan kasus pemerkosaan mahasiswa yang dilakukan oleh segerombolan remaja juga melakukan branding. Vietnam yang baru mengalami masa damai paska perjanjian Paris tahun 1975 dan disana sini masih dijumpai sisa-sisa ranjau juga melakukan branding. Alhamdulillah response teman-teman yang hadir positif.   

Harus diakui bahwa Indonesia menghadapi banyak persoalan sosial yang mungkin bisa melemahkan reputasinya. Namun demikian hal tersebut bukannya tidak mungkin untuk diubah. Banyak negara yang berhasil mengubah citranya.

Ambil contoh Thailand. Salah satu isu yang paling penting menempatkan Thailand pada kerugian yang signifikan adalah citra pariwisata seks Thailand. Kaitan kuat antara Thailand dan wisata seks dimulai selama Perang Vietnam pada 1960-an dan 1970-an, ketika Thailand dan militer AS menandatangani perjanjian yang memungkinkan tentara AS untuk datang ke Thailand untuk ‘Istirahat dan Rekreasi’ (Truong, 1990; Miller, 1995).

Sampai beberapa tahun silam, Thailand memiliki masalah serius terkait perdagangan seks, seperti halnya banyak terjadi di negara lainnya. Namun, ada persepsi bahwa masalah yang dihadapi Thailand jauh lebih buruk karena banyak orang berpikir bahwa negara tersebut menyediakan akses yang mudah pada layanan ini. Kusy (1991) mengklaim bahwa industri seks Thailand telah menjadi objek wisata tersendiri. Dalam beberapa buku panduan wisata, beberapa kawasan lampu merah ini sengaja direkomendasikan.

Berapa jumlah pelacur di Thailand, sangat bervariasi dan menjadi subyek perdebatan kontroversial. Statistik yang dilaporkan oleh Kantor Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 1998 menunjukkan bahwa dari total 104.262 karyawan di 7.759 perusahaan tempat layanan seksual, 64.886 orang menjual layanan seks, sementara 39.376 adalah personil pendukung, misalnya pemilik atau penyediaa fasilitas pendukung lainnya (Lim, 1998). Laporan Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri AS (2005) memperkirakan bahwa ada 200.000-300.000 pekerja seks di Thailand.

Sebagai negara kecil yang sedang berkembang, Thailand menyadari kebutuhan untuk meningkatkan nation brand nya untuk bersaing di pasar global yang kompetitif. Untuk itu Thailand melakukan branding. Langkah pertama dari proyek yang diprakarsai oleh Pemerintah Thailand ini adalah mengetahui dan mempelajari bagaimana orang-orang di seluruh dunia melihat kekuatan dan kelemahan bangsanya.

Untuk memperbaiki citra negatif ini, Thailand mengambil dua langkah perbaikan nyata, yakni kebijakan pemerintah dan peningkatan citra melalui strategi place branding. Beruntung Thailand memiliki banyak fitur dan image yang positif, seperti pemandangan alam yang indah, sejarah yang kaya dan budaya yang unik.

Untuk itu, Pemerintah Thailand menggandeng LSM dan organisasi lainnya, baik lokal maupun internasional, bekerja proaktif menengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah Thailand mengambil kebijakan menghentikan penghisapan para pekerja seks. Kebijakan lain adalah meningkatkan program pencegahan dan memberikan lebih banyak pilihan gaya hidup bagi mereka yang terlibat dalam prostitusi. Salah satu contoh dari hal ini di Thailand adalah program konseling di bidang pendidikan dan pekerjaan yang ditujukan secara khusus pada gadis-gadis muda beresiko direkrut ke dalam perdagangan seks.

Sementara itu, kualitas positif Thailand di berbagai tingkat, mulai dari lingkungan fisik pelayanan publik, hiburan dan rekreasi atraksi dan sifat rakyat Thailand dieksplotasi dan dikomunikasikan dengan agresif. Komponen kolektif ini memberikan kesempatan bagi Thailand untuk bersaing di pasar global. Thailand memiliki keuntungan dari berbagai wisata alam yang beragam, terdiri dari pegunungan, hutan, air terjun, sungai dan pantai, dikombinasikan dengan sejarahnya dan budaya yang kaya.

Thailand juga menawarkan segala bentuk tradional dariThailand. Perayaan tradisional dan kegiatan untuk menikmati memeriahan Thailand ditawarkan dan dikelola sedemikian rupa sehingga wisatawan mendapatkan pengalaman yang menarik. Ini termasuk tawaran Thailand sebagai salah satu tempat terbaik untuk berbelanja, di mana pengunjung dapat menemukan berbagai pilihan produk dan layanan dengan harga yang wajar.

Infrastruktur yang bisa merusak daya tarik Thailand juga diperbaiki, termasuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh atraksi dan kemeriahan serta persoalan sosial seperti kemacetan lalu lintas, polusi dan pengelolaan limbah yang buruk. Meskipun penelitian Branding Thailand menemukan bahwa konsumen (yaitu wisatawan) kurang mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dibandingkan dengan atraksi rekreasi dan hiburan, namun pemerintah Thailand terus berusaha meningkatkan infrastruktur dan pelayanan publik (misalnya perlindungan terhadap warga, termasuk wisatawan dan propertinya; jaminan sosial dan pendidikan bagi warganya ) terus dikembangkan untuk mengakomodasi perluasan industri pariwisata.

Untuk menerapkan perbaikan citra yang efektif, Thailand mengkomunikasikan elemen dan karakteristik positifnya kepada wisatawan dan penduduk local. Ini perlu dialukan sebab bagaimanapun citra suatu tempat dipengaruhi oleh nilai yang dirasakan yang disampaikan kepada pelanggan. Kampanye pariwisata biasanya membawa slogan atau slogan untuk menyatukan dan menggarisbawahi nilai dan identitas tempat yang dipromosikan juga dilakukan.

Dalam konteks komunikasi, beberapa temuan penelitian tentang Thailand menunjukkan bahwa kata 'eksotis' paling sering dikaitkan dengan citra Thailand dan menyampaikan kualitas luar biasa dari negara ini. Namun demikian, penggunaan kata ini justru dihindari karena dapat menyampaikan atribut seksual dan memicu kesan pariswisata seks.

Hall (1992) mencatat bahwa bagian dari daya tarik Thailand terhadap turis seks adalah karena citra 'oriental eksotis'-nya dengan biaya prostitusi yang rendah. Secara umum, Thailand memiliki keunikan eksotisme. Thailand memiliki image kehangatan dan keakraban yang pada dasarnya dapat menyampaikan keramahan. Namun beberapa orang mengasosiasikan ini sebagai karakteristik pelacur Thailand yang membedakan mereka dari pekerja seks di negara lain yang seringkali dianggap terlalu dingin dan dikomersialkan (Davidson dan Taylor, 1996).

Apalagi kadang kala fleksibilitas yang mencirikan orang Thailand muncul dalam bentuk yang mengarah pada persepsi negatif. Dalam sebuah penelitian terhadap wisatawan seks Inggris di Thailand (ibid), beberapa responden merujuk pada sifat wanita Thailand yang dianggap patuh dan akomodatif secara genetis dan budaya cenderung terhadap subordinasi dan penyangkalan diri.

Bila Australia Selatan memiliki slogan 'Relax, Indulge, Discover, Enjoy' dan Maladewa memiliki slogan 'The Sunny Side of Life', kampanye pariwisata Thailand untuk  membangun kesadaran masyarakat bahwa Thailand berubah dilakukan dengan menggunakan konsep 'Amazing Thailand.' . Ini merupakan bentuk lain dari implementasi gagasan yang didasarkan pada persepsi tentang eksotika Thailand.

Slogan itu ditonjolkan karena banyaknya wisatawan yang menikmati eksperimennya dengan sesuatu yang baru, eksotis atau berbeda dari lingkungan rumah atau kehidupan sehari-hari mereka. Hanya saja, dalam memilih kata-kata untuk mewakili dan memposisikan citra negara, tidak hanya harus mempertimbangkan makna positif tetapi juga kemungkinan menyiratkan konotasi negatif.
Alat komunikasi merek lain adalah penggunaan simbol visual. 

Beberapa tempat menggunakan situs yang dapat dengan mudah menancap di benak orang dan terkait dengan tempat tertentu. Misalnya, Opera House dengan Sydney, Tembok Besar China dengan Beijing dan Taj Mahal dengan Agra. Simbol visual yang sukses perlu melambangkan dan memperkuat citra suatu tempat tertentu dan juga harus konsisten dengan slogan atau tema tempat itu.

Perkembangan merek terbaru Hong Kong memilih slogan 'Asia's World City' dan memilih menggunakan gambar naga. Logo ini juga menggabungkan huruf HK dan nama negara yang ditulis dengan kaligrafi China. Idenya adalah untuk menyampaikan perasaan yang dinamis, kecepatan dan perubahan serta mencerminkan karakteristik negara (Yu, 2003). Namun demikian, kampanye branding tempat ini menemui karena pengenalan dan pemahaman yang rendah dan memerlukan pengembangan lebih lanjut untuk mengkomunikasikan citra yang benar kepada penduduk lokal dan wisatawan internasional dan investor.

Kotler dkk. (2002) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menangani citra negatif suatu tempat adalah dengan menggunakan 'denying visual' untuk mengalahkan target audiens dengan citra positif. Strategi ini hadir dengan resiko. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam kamapnye brandingnya, Bangkok selalu ditampilkan seakan menggambarkan dirinya sendiri dengan menggunakan gambar Grand Palace yang digambarkan sebagai gambar yang indah dan tenang, padahal kenyataannya Grand Palace terletak di tengah kota di tengah kemacetan yang padat.

'Penyangkalan visual' ini membuat frustrasi di kalangan pengunjung yang memiliki harapan tinggi karena mereka merasa ditipu oleh kampanye pencitraan merek. Porritt (2006) mengemukakan bahwa wisatawan yang mengerti merasa sangat tidak nyaman dengan ketidakcocokan antara image yang diproyeksikan melalui alat pemasaran dan kenyataan yang dialami pelancong.

Selain penggunaan negara dalam simbol visual, Thailand juga telah digambarkan oleh image orang Thailand (misalnya gambar pramugari cantik yang digunakan oleh Thai Airways International) yang dirancang untuk menyampaikan posisi keramahan Thailand. Namun, penggunaan image wanita Thailand juga harus dipikirkan dengan baik, terutama karena stigma negatif dari perdagangan seks di Thailand.


Dalam sebuah studi penelitian yang menggunakan kelompok fokus pengunjung asing yang dilakukan oleh Otoritas Pariwisata Thailand, satu peserta merujuk pada serangkaian papan reklame jalan raya sebuah maskapai yang memerankan serangkaian gadis muda yang tersenyum. Lalu persepsi yang muncul dari gambar pada papan reklame tersebut adalah asosiasi negara dengan pariwisata seks.