Selasa, 31 Oktober 2023

METIS - KECERDASAN LICIK

 


Antilochus, dalam mitologi Yunani, adalah sosok yang terkenal melalui karya Homer, terutama epos "Iliad." Sebagai putra Raja Pylos, Nestor, Antilochus menjadi salah satu prajurit muda yang ikut serta dalam Perang Troya. Keberaniannya dan kecepatannya di medan perang mencerminkan rasa hormatnya yang mendalam kepada ayahnya.

Dia meninggal saat melindungi ayahnya, Nestor, dari serangan Memnon, seorang pejuang heroik dari Ethiopia yang berpihak pada Troya. Mengingat pengorbanannya, Antilochus dihormati sebagai contoh ideal dari seorang putra yang berbakti. Pengorbanan Antilochus mengukuhkannya sebagai simbol seorang pejuang yang berani dan pengabdian seorang putra kepada orang tuanya.

"Iliad" adalah mahakarya literatur klasik karya Homer, penyair legendaris Yunani. Epos ini mengisahkan peristiwa selama 51 hari di tahun kesepuluh Perang Troya, pertempuran epik antara Troya dan sekutu kerajaan Yunani. Sebagai salah satu karya sastra paling tua, "Iliad" memegang peranan penting dalam sejarah literatur dunia.

Di luar keberanian dan kepahlawanannya itu, salah satu momen terkenal Antilochus dalam "Iliad" adalah ketika dia berlomba kereta kuda, memanfaatkan akal dan strategi untuk mengalahkan pesaing yang memiliki kuda lebih unggul. Meskipun kuda-kuda Antilochus bukan yang tercepat, salah satu keungggulan Antilochus adalah kecerdasan dan strategi yang diajarkan oleh ayahnya, Nestor.

Nestor, dikenal sebagai lambang kebijaksanaan, memberi tahu Antilochus bahwa meskipun kudanya mungkin lebih lambat, dengan strategi yang tepat, dia masih bisa menang. Antilochus benar-benar memperhatikan dan mematuhi petuah ayahnya itu.

Saat balapan berlangsung, Antilochus memanfaatkan metis, kecerdasan taktis Yunani, untuk mengecoh pesaingnya. Strateginya? Pada saat-saat kritis dalam balapan, Antilochus membuat manuver berani dengan mengendarai keretanya melintasi lintasan yang sempit, memaksa pesaingnya, Menelaus, untuk menahan kendaraannya. Manuver ini memungkinkan Antilochus untuk mendapatkan keunggulan dan akhirnya mengungguli Menelaus.

Kemenangan Antilochus bukan semata-mata karena kecepatan atau kekuatan, tetapi karena kecerdasan dan strateginya. Ini menggambarkan esensi dari metis, di mana keberhasilan bisa dicapai melalui kecerdasan dan adaptasi, bukan hanya kekuatan murni. Episode ini menjadi representasi dari nilai-nilai Yunani kuno tentang pentingnya taktik, strategi, dan kecerdasan dalam menghadapi tantangan.

Metis merupakan konsep dalam budaya dan pemikiran Yunani Kuno yang menggambarkan tipe kecerdasan dan cara berpikir khusus. Tidak seperti kecerdasan rasional yang sistematis dan logis, Metis lebih bersifat licik, fleksibel, dan adaptif.

Dalam pemikiran Yunani, Metis mencakup berbagai karakteristik seperti kebijaksanaan, ketajaman berpikir, kecerdikan, kelihaian, kewaspadaan, dan berbagai keterampilan lain yang diperoleh dari pengalaman. Konsep ini mengacu pada kecerdasan yang beradaptasi dengan situasi yang berubah-ubah, ambigu, dan tak terduga, yang tidak dapat diukur atau dianalisis dengan logika murni.

Dalam kalimat lain, Metis adalah kecerdasan yang menekankan pentingnya kelihaian dan adaptabilitas. Bukan hanya logika murni yang dihargai, tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi, memanfaatkan sumber daya yang ada, dan berpikir di luar kotak. Bayangkan Metis sebagai kecerdasan jalan pintas; bukan pendekatan langsung, tetapi pendekatan yang lebih licik, cerdas, dan kreatif.

Menurut Detienne & Vernant (1991), metis berbeda dari diskursus filosofis yang berkembang di Yunani kuno. Konsep metis merepresentasikan jenis kecerdasan yang berbeda dari pemikiran rasional, yang saat itu masih baru dan rapuh. Dalam konteks ini, metis melibatkan kombinasi kecerdasan, kebijaksanaan, ketajaman berpikir, kecerdikan, kelihaian, dan pengalaman. Akibatnya, metis seringkali diabaikan oleh filosof sebagai bentuk kecerdasan alternatif.

Untuk menggambarkan bagaimana metis bisa menjadi sebuah tindakan, Detienne & Vernant (1991) mengambil contoh gurita, hewan yang dikenal dengan adaptabilitas dan kelihaian fisiknya. Disini, gurita dapat dianggap sebagai representasi dari Metis. Gurita, tanpa tulang, dapat mengubah bentuk tubuhnya untuk masuk ke celah sempit untuk menghindari predator atau menangkap mangsa.

Kemampuan gurita untuk mengubah warna kulitnya agar cocok dengan lingkungannya, baik untuk bersembunyi dari musuh maupun untuk mengejutkan mangsa, juga menunjukkan kelihaian dalam dunia alam; bukan berdasarkan kekuatan fisik, tetapi kemampuan adaptasi dan kecerdikan.

Hewan lain yang merepresentasian Metis adalah Rubah. Sebagai simbol kecerdikan dalam banyak kebudayaan, Rubah sering digambarkan sebagai makhluk yang mampu mengelabui predator atau musuh yang lebih kuat dengannya. Dalam berbagai cerita rakyat, rubah mengelabui singa atau hewan buas lainnya dengan kelihaian dan kecerdikan, bukan kekuatan.

Rubah sering kali digambarkan sebagai makhluk yang licik dalam berbagai budaya. Dalam konteks Metis, rubah melambangkan kecerdikan dan kemampuan untuk membuat strategi yang cepat dalam menghadapi ancaman atau mencari makanan. Rubah tidak mengandalkan kekuatan fisik semata, melainkan pada kelihaian dan kemampuan untuk memprediksi serta merespons tindakan musuh atau mangsanya. Dengan demikian, rubah menjadi simbol dari aspek metis yang menekankan pada kecerdasan taktik dan strategi.

Menerapkan Metis ke dalam konteks manusia, seorang pebisnis yang sukses dapat dikaitkan tidak hanya dengan pengetahuan teknis, tetapi juga dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan pasar yang berubah, merespons tantangan, dan memanfaatkan peluang yang muncul. Demikian pula, seorang guru yang mampu menyesuaikan metode pengajarannya sesuai dengan kebutuhan unik setiap siswanya, menunjukkan kefleksibilitasannya dalam mendidik, mengedepankan pemahaman dan partisipasi siswa.

Dalam dunia yang serba cepat dan selalu berubah, pemahaman tentang Metis mengajarkan bahwa terkadang pendekatan yang tidak konvensional, adaptif, dan fleksibel seringkali lebih efektif daripada mengandalkan logika dan kekuatan semata.

 

*REFERENSI*

Detienne, M., & Vernant, J.-P. (1991). Cunning Intelligence in Greek Culture and Society (J. Lloyd, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1974)

Sabtu, 01 Juli 2023

PERADABAN DIMULAI DARI HAL-HAL KECIL

 


Malam-malam, William Cruise, seorang agen khusus FBI, menjemput _"The Mother"_ (yang diperankan oleh Jennifer Lopez), seorang agen dan pembunuh yang tidak disebutkan namanya. 

Dalam perjumpaan setelah lebih dari 12 tahun tak ketemu, _The Mother_ tidak megucapkan “Halo” kepada Cruise. Karena itu, saat masuk ke dalam mobil, Cruise menyindir _The Mother_ dengan mengatakan bahwa peradapan dimulai dari hal-hal kecil seperti menyapa dengan kata _halo_. Mendapat sindirin itu, The Mother pun mengucapkan kata halo.

"Salam" atau "Halo" adalah frasa pembuka yang paling sering digunakan oleh orang-orang di seluruh dunia saat mereka berinteraksi satu sama lain. Misalnya, saat bepergian, "salam" atau "halo" biasanya menjadi alat yang paling efektif untuk memulai dialog dengan orang lain. Tak jarang, topik pembicaraan bisa berkisar tentang fenomena populer saat itu, seperti film terkini "The Mother."

Dalam komunikasi pemasaran, "Salam" atau "Halo" mungkin tampak sepele, namun memiliki peran yang sangat penting. Ini adalah langkah awal dalam membangun hubungan dengan pelanggan atau klien, dan bisa menciptakan kesan pertama yang baik dan hangat. Sapaan sederhana ini dapat membuka pintu untuk percakapan dan interaksi yang lebih dalam, yang pada akhirnya dapat memperkuat hubungan antara merek dan konsumen.

"_The Mother_" yang tayang di Netflix mulai 12 Mei 2023, adalah sebuah film bergenre aksi dan thriller yang disutradarai oleh Niko Caro, dengan pemeran utamanya Jennifer Lopez. The Mother dirilis di pekan Hari Ibu Internasional, dan merupakan sebuah cara dari Netflix untuk memeriahkan momen hari spesial yang jatuh pada 14 Mei.

Ceritanya dimulai dari saat The Mother diinterogasi oleh Agen Khusus Cruise. Di tengah interogasi kelompok yang menginginkan The Mother mati menyerang rumah aman yang menjadi tempat perlindungan The Mother. Cruise ditembak dan terluka parah, agen FBI yang tersisa terbunuh, tetapi The Mother tidak terluka. Dia menyelamatkan hidup Cruise dan membuat bom yang tertunda waktu

The Mother melarikan diri dari sekelompok penyerang berbahaya, kemudian tinggal di tengah hutan bersalju untuk melatih dan menempa dirinya seperti prajurit militer. Suatu hari, ia keluar dari persembunyiannya demi menemui putrinya yang dulu ia tinggalkan, dan melindungi putrinya itu dari para penjahat kejam yang ingin balas dendam.

penjahat kejam yang ingin balas dendam bisa menjadi titik balik penting yang mengancam peradaban. Aksi mereka bisa merusak harmoni dan tatanan masyarakat, mendorong peradaban ke tepi jurang kehancuran.

Namun, dalam menghadapi ancaman tersebut, peradaban seringkali menemukan cara untuk melawan dan bertahan. Mereka mungkin bergerak bersama, melakukan 'hal-hal kecil' seperti berbagi sumber daya, membantu satu sama lain, atau bahkan hanya menunjukkan keberanian dan keteguhan hati dalam menghadapi kesulitan. Ini mengilustrasikan bagaimana 'hal-hal kecil' dalam peradaban - nilai-nilai, tindakan, dan tekad individu - bisa menjadi kekuatan penting dalam melawan ancaman.

Ini bisa dimulai dengan tindakan-tindakan kecil seperti membentuk perlawanan, berbagi informasi, atau merencanakan strategi. Meski masing-masing tindakan ini mungkin tampak kecil, ketika dilakukan bersama-sama, mereka bisa memiliki dampak besar dan bahkan mengubah arah konflik.

Peradaban dimulai dari hal-hal kecil adalah suatu pernyataan yang mengilustrasikan betapa detail kecil dan langkah-langkah kecil dapat membentuk fondasi dari suatu peradaban dan kemajuan masyarakat.

Bahasa misalnya. Sebagai alat komunikasi, mungkin tampak sederhana dan mendasar, namun peranannya dalam pembentukan peradaban sangat besar. Bahasa memungkinkan manusia untuk berbagi ide, berkolaborasi, dan membangun masyarakat. Setiap kata dan kalimat, sekecil apa pun, membantu mengekspresikan gagasan, menyelesaikan konflik, dan membentuk budaya - semua ini adalah unsur penting dari peradaban (Pinker, 1994).

Demikian pula dengan konsep hukum dan aturan. Setiap hukum, meskipun hanya berupa teks singkat dalam dokumen, membentuk dasar bagaimana masyarakat berfungsi dan berinteraksi. Mereka membantu menciptakan struktur dan ketertiban, memungkinkan kerjasama dan koeksistensi damai antara individu dan kelompok dalam masyarakat (Rawls, 1971).

Namun, seiring dengan pentingnya "hal-hal kecil" ini, perubahan sistemik dan tindakan besar seringkali diperlukan. Misalnya, meskipun hukum individu penting, reformasi hukum besar-besaran mungkin diperlukan untuk mengatasi isu-isu seperti diskriminasi atau ketidakadilan sistemik (Sen, 1999).

Gagasannya adalah, pertimbangkan inovasi kecil seperti penemuan roda. Pada awalnya, roda mungkin tampak sebagai penemuan kecil dan sederhana, tetapi dampaknya pada peradaban manusia sangat besar. Roda memungkinkan transportasi barang dan orang menjadi lebih efisien, yang pada gilirannya memfasilitasi perdagangan, penjelajahan, dan ekspansi geografis. Ini mengubah cara hidup manusia dan membantu membentuk peradaban seperti yang kita kenal sekarang (Diamond, 1999).

Pertimbangkan tindakan kecil seperti mendaur ulang atau mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Meskipun masing-masing tindakan ini mungkin tampak kecil dan tidak berarti, ketika dilakukan oleh jutaan atau miliaran orang, mereka dapat memiliki dampak besar terhadap lingkungan dan dapat membantu mencegah perubahan iklim (Harari, 2015).

Namun, penting juga untuk mengakui bahwa walaupun tindakan kecil dapat berdampak besar, perubahan sistemik dan besar seringkali diperlukan untuk mengatasi tantangan terbesar yang dihadapi oleh peradaban kita, seperti ketidaksetaraan ekonomi dan perubahan iklim (Sen, 1999).

Pada akhirnya, pernyataan "Peradaban dimulai dari hal-hal kecil" menekankan pentingnya partisipasi, kerja keras, dan perubahan bertahap, tetapi juga menunjukkan bahwa perubahan besar dan sistemik juga penting.

Referensi:

Diamond, J. (1999). Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies. W.W. Norton & Company.

Harari, Y. N. (2015). Sapiens: A Brief History of Humankind. Harper.

Pinker, S. (1994). The Language Instinct: How the Mind Creates Language. Harper Perennial Modern Classics.

Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Belknap Press.

Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.

 

 

Minggu, 18 Juni 2023

BABAK BELUR DALAM SURVEI: REALITAS VS INTERPRETASI




Di era yang semakin kompetitif ini, pemahaman terhadap pendapat dan preferensi konsumen menjadi suatu keharusan dalam merumuskan strategi penjualan produk. Dalam konteks ini, survei memainkan peran krusial. 

Namun, dari pengalaman seorang peneliti padi di IRRI, Filipina, realitas menunjukkan bahwa hasil survei bisa menjadi labirin penyesatan jika pertanyaannya tidak disusun dengan cermat dan obyektif. Jadi, bagaimana sebenarnya kita menerjemahkan suara konsumen melalui survei? Ini adalah kisah yang menggali lebih dalam tentang peran survei dan tantangan interpretasi di baliknya.

Survei, sebagai alat untuk memahami pendapat dan preferensi konsumen, memiliki potensi yang signifikan dalam menentukan arah kebijakan atau strategi penjualan sebuah produk. Tetapi, dalam praktiknya, interpretasi hasil survei bisa menjadi rumit dan bahkan menyesatkan jika penyusunan pertanyaannya tidak dilakukan dengan hati-hati dan obyektif.

Pagi ini, di group WA, seorang teman yang kini bekerja di pusat penelitian padi (IRRI) di Filipina menceritakan pengalamannya tentang survey. Suatu ketika dia membaca laoran hasil survei yang dilakukan pada konsumen produk organik dan Organisme Hasil Rekayasa Genetik (GMO).

Survei pertama yang dilakukan terhadap konsumen di California menunjukkan preferensi utama pada produk organik yang bebas pestisida daripada non-GMO. Padahal, seperti yang dia yakini, pada kenyataannya, label non-GMO menjadi daya tarik utama di pasar global. Dalam penafsiran dia, setelah membaca hasil survey itu, hasil survei tidak selalu mencerminkan realitas pasar.

Lebih lanjut, survei kedua yang dilakukan oleh ahli komunikasi membuktikan bagaimana framing pertanyaan bisa mempengaruhi hasil survei. Dengan hanya mengubah sudut pandang pertanyaan, respons konsumen terhadap produk GMO dan non-GMO berubah drastis. Artinya, pengetahuan dan persepsi konsumen dapat sangat dipengaruhi oleh cara sebuah pertanyaan disajikan.

Dalam survei terakhir, konsumen Eropa tampaknya menolak adanya DNA rekombinan dalam makanan mereka. Tetapi, ketika ditanya lebih lanjut, hanya sebagian kecil yang benar-benar paham bahwa semua tanaman memiliki DNA. Ini menggarisbawahi betapa rendahnya pemahaman konsumen tentang topik ini dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi jawaban mereka dalam survei.

Dari ketiga contoh ini, terungkap bahwa framing dan penyusunan pertanyaan dalam survei sangat mempengaruhi hasilnya. Dalam konteks ini, penting bagi peneliti untuk menyusun pertanyaan survei yang netral dan dirancang untuk memahami apa yang sebenarnya diinginkan konsumen. Menyesatkan atau mempengaruhi konsumen untuk menjawab sesuai keinginan peneliti hanya akan menghasilkan data yang tidak akurat dan berpotensi merusak kepercayaan konsumen.

Dengan kata lain, survei harus disusun dengan pemahaman yang mendalam tentang subjek dan audiens yang dituju. Hanya dengan cara ini, data yang diperoleh dari survei dapat mencerminkan realitas yang sebenarnya dan memberikan wawasan yang berharga. Kesimpulannya, peran kritis survei dalam memahami konsumen menuntut obyektivitas, kejujuran, dan transparansi dalam proses penyusunan dan interpretasinya.

Kamis, 15 Juni 2023

JURNALISME ERA BUZZER

 


Perkembangan signifikan dalam jurnalisme terjadi sepanjang beberapa dekade terakhir. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi, peran media konvensional berubah dan bergeser seiring munculnya platform media sosial.

Kritik terhadap kondisi jurnalisme saat ini sering merujuk pada dua aspek berbeda: jurnalisme investigatif, yang dianggap puncak kualitas, dan "buzzer statement", bentuk jurnalisme yang kurang substantif dan dianggap merusak kredibilitas profesi.

Jurnalisme investigatif dianggap bentuk jurnalisme yang paling disegani. Dedikasi tinggi terhadap kebenaran dan pencarian informasi yang mendalam membuat jurnalisme investigatif berpotensi mengungkap fakta-fakta penting untuk perubahan sosial. Hal ini mencerminkan nilai-nilai mulia dari jurnalisme: kebenaran, objektivitas, dan pelayanan publik.

Namun, "buzzer statement" berada di sisi lain spektrum jurnalisme. Praktik ini merujuk pada pembuatan konten media untuk tujuan spekulasi atau menciptakan sensasi, sering kali tanpa mempertimbangkan akurasi atau relevansi informasi. Meskipun "buzzer statement" berhasil menarik perhatian dan menghasilkan klik, praktik ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap media.

Krisis kepercayaan publik dan krisis finansial yang dialami media arus utama semakin mempertegas pentingnya isu ini. Masalah muncul saat media, dalam upaya mencari sumber pendapatan tambahan, memilih untuk menerapkan pendekatan yang lebih sensasional dan berfokus pada produksi konten yang mudah menjadi viral. Sayangnya, praktik seperti ini seringkali merendahkan kualitas dan merusak integritas profesi jurnalisme.

Media sosial tumbuh menjadi alternatif penting dalam era ini. Meski memberikan akses kepada publik untuk membagikan dan menemukan informasi dengan cepat, media sosial juga menjadi tempat subur bagi penyebaran informasi palsu dan misinformasi. Dalam konteks di mana 'buzzer statement' menjadi umum, peran media sosial dalam memfasilitasi penyebaran konten viral dapat memperburuk masalah ini.

Secara keseluruhan, perkembangan dalam jurnalisme dan peran media sosial menciptakan tantangan baru dan kompleks. Penting untuk mengingat nilai-nilai utama jurnalisme dan berusaha mempertahankan nilai-nilai tersebut di tengah perubahan ini.

Jumat, 26 Mei 2023

GADO-GADO DAN PECEL: REFLEKSI INKLUSIVITAS DALAM WARISAN KULINER INDONESIA


Gado-gado dan pecel, dua ikon kulinari khas Indonesia, tidak hanya menawarkan rasa yang lezat namun juga melukiskan inklusivitas budaya dan sosial dalam cermin kuliner Indonesia. Dari pedagang kaki lima hingga restoran mewah, kedua hidangan ini merayakan keragaman dan keterjangkauan, sambil mempertahankan esensi dan integritas mereka di tengah tekanan modernisasi dan globalisasi.

Gado-gado dan pecel adalah khas kuliner Indonesia. Mereka sering menghiasi meja makan sehari-hari maupun dalam berbagai acara spesial. Meski kedua makanan ini memiliki dasar yang sama, yaitu berupa sayuran rebus yang disiram dengan bumbu kacang dan disajikan dengan kerupuk atau peyek, terdapat perbedaan dan persamaan unik yang membuat keduanya menjadi makanan yang istimewa.

Gado-gado, yang berasal dari Betawi atau Jakarta, memiliki rasa bumbu kacang yang lebih kental dan manis. Dalam penyajiannya, sering kali ditambahkan lontong dan telur rebus. Gado-gado mencerminkan kekayaan dan keragaman kuliner ibu kota, di mana berbagai elemen dapat dipadukan menjadi satu hidangan yang nikmat.

Dari situs Dinas Kebudayaan DKI, asal-usul nama gado-gado berasal dari istilah "digado" dalam bahasa Betawi yang berarti dikonsumsi tanpa nasi. Ini karena, dalam kebanyakan kasus, gado-gado tidak dimakan dengan nasi, melainkan dengan lontong sebagai alternatif pengganti nasi.

Sementara itu, pecel, makanan khas dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, memiliki bumbu kacang yang lebih encer dan rasa yang cenderung pedas. Sayuran yang digunakan dalam pecel biasanya lebih beragam dan bisa mencakup daun singkong dan kacang panjang. Pecel membawa nuansa pedesaan dan tradisional, dengan kepedasan yang menjadi cerminan dari kehangatan dan keberanian masyarakat Jawa.

Namun, meskipun gado-gado dan pecel memiliki perbedaan dalam hal asal daerah dan komposisi bumbu, kedua makanan ini memiliki kesamaan yang mencolok. Mereka berdua menyajikan kombinasi sayuran rebus dan bumbu kacang, menciptakan komposisi rasa yang unik dan menggugah selera. Nilai gizi yang seimbang dari kedua makanan ini juga membuat mereka menjadi pilihan yang sehat, memberikan protein, serat, dan berbagai vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh.

Di samping itu, baik gado-gado maupun pecel juga menunjukkan fleksibilitas yang memungkinkan penyesuaian berdasarkan preferensi individu. Anda bisa menambah atau mengurangi jenis sayuran, atau bahkan menyesuaikan level kepedasan dari bumbu kacang sesuai dengan selera Anda.

Gado-gado dan pecel adalah contoh luar biasa dari inklusivitas kuliner, dengan bahan-bahan yang dapat disesuaikan berdasarkan preferensi individu. Misalnya, bagi mereka yang tidak mengkonsumsi daging, gado-gado menawarkan sumber protein lain seperti tempe dan tahu. Selain itu, berbagai jenis sayuran dalam gado-gado memastikan asupan nutrisi yang seimbang.

Namun, inklusivitas gado-gado memiliki batas. Bagi mereka yang memiliki alergi kacang, makanan ini dapat menimbulkan masalah serius, mengingat bumbu kacang adalah komponen kunci. Selain itu, gula yang biasanya ditambahkan ke dalam bumbu dapat menjadi masalah bagi individu dengan diabetes atau mereka yang sedang mengikuti diet rendah gula.

Gado-gado juga mencerminkan inklusivitas sosial dan budaya. Makanan ini dapat ditemukan di seluruh Indonesia, dari penjual kaki lima hingga restoran berbintang, menunjukkan bahwa gado-gado dinikmati oleh berbagai kalangan.

Seperti halnya gado-gado, pecel juga menunjukkan inklusivitas dalam komposisi bahan-bahannya. Bagi mereka yang mengikuti diet vegan atau vegetarian, pecel bisa menjadi pilihan yang baik. Namun, pecel juga memiliki tantangan yang sama dengan gado-gado dalam hal alergi kacang.

Selain itu, pedasnya bumbu pecel mungkin tidak cocok untuk beberapa orang, terutama mereka yang memiliki masalah pencernaan atau mereka yang tidak terbiasa dengan makanan pedas. Ini menggarisbawahi pentingnya variasi dalam penyajian dan resep untuk memastikan makanan bisa dinikmati oleh sebanyak mungkin orang.

Dari perspektif budaya, pecel dan gado-gado memiliki inklusivitas yang kuat. Pecel dan gdo-gadon telah menjadi bagian integral dari kuliner Jawa dan dapat ditemukan di berbagai daerah di Jawa, baik di warung makan pinggir jalan hingga restoran mewah.

Inklusivitas adalah aspek penting dalam setiap sektor kehidupan, termasuk dalam konteks pedagang gado-gado dan pecel di Indonesia. Kedua jenis makanan ini mewakili keragaman dan keterjangkauan kuliner Indonesia, mencerminkan inklusivitas dalam masyarakat yang beragam.

Pedagang gado-gado dan pecel biasanya bisa ditemukan di berbagai tingkat sosial ekonomi, dari penjual kaki lima di pinggir jalan hingga restoran berbintang. Hal ini mencerminkan inklusivitas ekonomi, memungkinkan semua lapisan masyarakat untuk menikmati hidangan tersebut.

Namun, pertanyaan inklusivitas lebih lanjut muncul ketika kita melihat siapa yang memasak dan menjual makanan ini. Apakah peluang tersebut terbuka bagi semua orang, atau apakah ada hambatan tertentu untuk sekelompok orang tertentu?

Inklusivitas juga relevan dalam konteks aksesibilitas makanan bagi konsumen. Baik gado-gado maupun pecel memiliki variasi bahan dan penyajian yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan diet dan preferensi masing-masing individu.

Tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa variasi ini tetap ada dan dapat diakses oleh semua orang, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan diet, seperti alergi kacang atau diet rendah gula.

Inklusivitas berarti menghormati dan mewujudkan keragaman budaya dalam kuliner. Gado-gado dan pecel, sebagai bagian dari warisan kuliner Indonesia, mewakili inklusivitas budaya dan regional. Tantangannya adalah bagaimana menjaga keaslian dan integritas hidangan ini dalam menghadapi tekanan modernisasi dan globalisasi.

Penting juga untuk mempertimbangkan keterbatasan inklusivitas ini, seperti masalah alergi dan toleransi terhadap rasa tertentu. Gambaran ini menunjukkan bahwa inklusivitas dalam makanan bukan hanya tentang memenuhi berbagai preferensi diet, tetapi juga mempertimbangkan kesehatan dan keberagaman budaya.

RUJUKAN

Brissenden, R. (2007). Southeast Asian Food: Classic and Modern Dishes from Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand, Laos, Cambodia and Vietnam. Tuttle Publishing.

Forbes, M. L. (2011). Rice, Spice and All Things Nice: Savor the Flavors of South-East Asian Cooking. Roli Books.

Kamis, 30 Maret 2023

KEPEMIMPINAN PUBLIC RELATIONS DAN PROBLEMATIKANYA


Kepemimpinan industri public relations (PR) era digital memiliki banyak tantangan. Para profesional public relations saat ini bekerja di lingkungan yang semakin sulit dan kompleks. Tekanan dari luar organisasi meliputi akuntabilitas baru, pemangku kepentingan yang semakin berkuasa, sikap skeptis publik yang semakin meningkat, dan lanskap komunikasi yang baru.

Secara internal, ada tuntutan yang semakin meningkat untuk menunjukkan kontribusi strategis, sekaligus membutuhkan kemampuan untuk melatih dan memberikan saran kepada manajer senior yang terpapar tekanan lingkungan ini. Ini sekaligus mencerminkan adanya problematika yang dihadapi kepemimpinan publis relations saat ini.

Beberapa problematika kepemimpinan public relations dipaparkan Anne Gregory dan Paul E. Willis di buku Strategic Public Relations Leadership (Routledge, 2023).  Salah satu masalah kepemimpinan dalam PR adalah terkait dengan pengukuran hasil yang akurat.

Dalam industri PR, seringkali sulit untuk mengukur dampak dari kampanye PR. Banyak perusahaan hanya memperhatikan output dan bukan outcome, sehingga hasil yang diukur tidak selalu sesuai dengan tujuan awal kampanye PR. Ini menimbulkan masalah ketika para pemimpin PR harus mempertanggungjawabkan anggaran yang telah digunakan kepada manajemen atas dampak kampanye yang dilakukan.

Selain itu, para pemimpin PR juga dihadapkan pada tantangan untuk dapat menavigasi perubahan lingkungan bisnis yang terus berubah. Di era digital saat ini, para pemimpin PR harus mampu memahami dan mengikuti tren media sosial dan teknologi yang terus berkembang, serta dapat menyesuaikan strategi PR dengan berbagai perubahan tersebut.

Problematik kepemimpinan PR juga berkaitan dengan tuntutan untuk memiliki keterampilan yang lebih luas, termasuk kemampuan untuk memahami data dan teknologi. Para pemimpin PR perlu mampu menggunakan teknologi dan alat analitik untuk mengumpulkan data dan menganalisisnya, sehingga dapat memahami kebutuhan dan preferensi konsumen secara lebih baik. Selain itu, kemampuan untuk memahami angka dan data juga sangat penting untuk mengukur keberhasilan kampanye PR dan menentukan arah strategi PR di masa depan.

Kepemimpinan PR juga harus mampu mengembangkan dan mempertahankan budaya perusahaan yang positif dan inklusif. Hal ini dapat membantu meningkatkan kepuasan karyawan dan memperkuat citra merek perusahaan. Para pemimpin PR harus dapat menciptakan budaya yang mendorong kreativitas dan inovasi, serta membangun hubungan yang baik antara karyawan, klien, dan mitra bisnis.

Terakhir, kepemimpinan PR juga harus dapat mengelola krisis dengan baik. Dalam industri PR, krisis dapat terjadi sewaktu-waktu dan dapat berdampak negatif pada citra merek dan reputasi perusahaan. Oleh karena itu, para pemimpin PR harus mampu mengatasi krisis dengan cepat dan tepat, serta mampu membangun kembali citra positif perusahaan dengan cara yang efektif.

Beberapa saran dan solusi yang ditawarkan Willis dan Gregory untuk mengatasi problematik kepemimpinan dalam industri public relations. Pertama, penting bagi pemimpin public relations untuk memahami dan mengevaluasi peran mereka dalam organisasi secara menyeluruh.

Seorang pemimpin public relations harus memahami dan mengambil tanggung jawab dalam memahami tujuan, nilai, dan misi organisasi serta memastikan bahwa public relations berkontribusi secara efektif dalam mencapai tujuan tersebut. Hal ini juga termasuk membangun kemitraan yang strategis dengan pemimpin dan anggota tim lainnya.

Kedua, penting bagi pemimpin public relations untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan yang memadai. Willis dan Gregory menekankan bahwa seorang pemimpin public relations harus memahami tugas dan tanggung jawabnya, termasuk dalam mengembangkan strategi, mengelola tim, mengkomunikasikan informasi dengan jelas, dan memastikan transparansi dan akuntabilitas.

Ketiga, pemimpin public relations juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang teknologi dan media sosial serta bagaimana mengelola dampaknya pada organisasi dan masyarakat. Pemimpin public relations harus mampu menggunakan teknologi dan media sosial secara efektif dalam mendukung tujuan organisasi serta mengatasi tantangan dan risiko yang terkait dengan penggunaannya.

Buku ini memberikan wawasan yang berguna tentang kontribusi strategis public relations dan kepemimpinan public relations. Dalam menjelaskan topik yang kompleks, para penulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan contoh kasus yang relevan.

Buku ini dapat menjadi sumber bacaan yang berguna bagi praktisi public relations yang ingin meningkatkan kemampuan strategis mereka atau para eksekutif senior yang ingin memahami kontribusi public relations dalam mencapai tujuan organisasi.(Edhy Aruman)

Rujukan:

Gregory, A., & Willis, P. E. (2023). Strategic Public Relations Leadership, Second Edition. Routledge.

Minggu, 19 Maret 2023

ANTARA KOMUNIKASI PERUBAHAN DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN



Komunikasi perubahan dan komunikasi pembangunan memiliki beberapa kesamaan. Keduanya berfokus pada menghasilkan perubahan positif dalam suatu lingkungan atau masyarakat, melibatkan individu dan kelompok secara aktif dalam proses perubahan, dan memerlukan partisipasi masyarakat dalam merancang dan melaksanakan program atau kebijakan. Perbedaannya?

Tahun 2019, Christele J. Amoyan dan Pamela A. Custodio menulis artikel yang menyoroti masalah aktivitas pertambangan di Filipina dan dampaknya terhadap masyarakat terpinggirkan di wilayah tambang. Menurut mereka, kurangnya partisipasi dan pengaruh masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdampak pada penindasan dan ketidakadilan sosial.

Christele J. Amoyan saat ini merupakan dosen di Departemen Komunikasi di Pamantasan ng Lungsod ng Maynila, sedangkan Pamela A. Custodio adalah seorang peneliti dan konsultan komunikasi pembangunan.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat ini, Christele J. Amoyan dan Pamela A. Custodio mengajukan tesis tentang pentingnya komunikasi pembangunan (DevCom) dalam memberdayakan masyarakat yang menghadapi masalah sosial. Model komunikasinya adalah dengan menciptakan ruang dialogis untuk mengangkat suara orang-orang yang terpinggirkan.

DevCom, menurut mereka, dapat menciptakan ruang dialogis di mana suara yang terpinggirkan dapat didengar, dan perspektif mereka dapat dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan. Disini pentingnya melihat dinamika kekuasaan yang terlibat dalam kegiatan pertambangan, dan perlunya DevCom untuk menjadikan masyarakat berpartisipati dan inklusif.

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN

Meminjam pendapat Nora C. Quebral (2012), Amoyan dan Custodio mendefinisikan komunikasi pembangunan (DevCom) sebagai teori komunikasi yang berkembang dari disiplin akademik di Asia Tenggara. Tujuan akhir DevCom adalah memberdayakan individu dan komunitas untuk mewujudkan potensi penuh mereka. Sejak kelahirannya pada tahun 1950-an, DevCom awalnya bertindak sebagai komunikator agenda pedesaan dan pertanian. Namun, teori ini terus berkembang dan mulai terlibat dalam wacana sosial-ekonomi, serta berkembang seiring dengan era baru teknologi informasi dan komunikasi.

Ketika mengangkat masalah terpinggirkannya penambang di Filipina, Amoyan dan Custodio menyoroti perlunya diskusi yang bukan hanya membahas DevCom dalam konteks teoritis, melainkan pada tindakan praktis yang dapat meningkatkan komunitas dan menciptakan perubahan sosial. Secara keseluruhan, penulis membuat argumen yang meyakinkan tentang potensi Nora C. Quebral untuk menciptakan praktik pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Berdialog dalam konteks komunikasi pembangunan (DevCom) sangat penting untuk memberdayakan individu dan komunitas yang terpinggirkan, termasuk dalam konteks aktivitas pertambangan. Berdialog dapat menciptakan ruang dialogis di mana suara-suara yang terpinggirkan dapat didengar dan perspektif mereka dapat dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks pertambangan, berdialog penting untuk mengatasi dinamika kekuasaan yang terlibat dalam aktivitas pertambangan, dan DevCom harus menjadi partisipatif dan inklusif dalam memasukkan suara dan perspektif yang beragam. Lebih jauh, berdialog tidak hanya berbicara mengenai teori, tetapi juga harus fokus pada tindakan konkret yang dapat meningkatkan masyarakat dan menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan.

Gagasan tersebut memiliki makna bahwa aspek yang lebih kritis dari DevCom tidaklah murni teoretis. Sebagai komunikator untuk perubahan sosial, DevCom berkonsentrasi pada penerapan teori ke dalam tindakan yang sungguh-sungguh yang akan mengangkat orang dari segala bentuk kemiskinan.

Konsep komunikasi pembangunan terus berkembang dan mulai terlibat dalam wacana sosial-ekonomi, serta berkembang dengan era baru teknologi informasi dan komunikasi. Dalam prakteknya, DevCom menggunakan pendekatan pengembangan yang berbeda dan menempatkan orang di pusat transformasi sosial dengan kapasitas manusia kolektif mereka, dari perspektif pembangunan pedesaan terpadu.

Pertanyaan penting yang mereka ajukan adalah bagaimana DevCom dapat membantu mengatasi situasi konflik sosial di negara-negara berkembang, dan memberi suara kepada mayoritas populasi yang terpinggirkan dalam dialog, terutama ketika perhatian terpusat di kabupaten dan kota perkotaan.

Namun, sebelum itu, Amoyan dan Custodio menyarankan untuk mengkritik pertanyaan Quebral tentang "Bagaimana memberi suara kepada yang tidak bersuara?" Mengutip Freire (1985), ketiadaan suara bukan berarti ketiadaan tanggapan. Sebaliknya, proposisi ini menyampaikan pesan bahwa ketiadaan suara sebagai bentuk dari kurangnya konten kritis dari mereka yang menderita ketidakadilan (Freire, 1985).

Dalam pandangan Freire, "kurangnya konten kritis" merujuk pada ketidakmampuan seseorang untuk secara kritis menganalisis situasi sosial dan politik di sekitarnya, serta kesadaran akan hak-hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang aktif.

Dalam konteks Filipina seperti yan ditunjukkan Amoyan dan Custodio (2019), individu atau kelompok yang menderita ketidakadilan kurang memiliki pengetahuan atau kesadaran tentang hak-hak mereka dan kurang mampu mengartikulasikan perspektif mereka secara kritis. Mereka kurang berpartisipasi dalam proses dialog dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Disinilah perlunya memperkuat suara mereka agar dapat terlibat secara aktif dalam perubahan sosial dan pembangunan yang lebih adil.

DIALOG

Dalam konteks dialog sebagai model komunikasi, ada persamaan dan sekaligus perbedaan antara komunikasi perubahan dan komunikasi pembangun. Persamaan pandangan antara komunikasi pembangunan dan komunikasi perubahan, keduanya mendorong partisipasi aktif individu atau kelompok yang terlibat dalam perubahan.

Dalam konteks pembangunan maupun perubahan, dialog dianggap penting untuk menciptakan ruang bagi individu atau kelompok yang terpinggirkan untuk menyuarakan perspektif mereka. Keduanya juga mendorong keterlibatan partisipatif dan inklusif dari seluruh pihak yang terlibat dalam perubahan untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.

Persamaan lainnya antara komunikasi pembangunan dan komunikasi perubahan adalah pada fokus keduanya dalam membawa perubahan pada individu, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan. Kedua disiplin ini juga memperhatikan aspek partisipatif dan inklusif dalam proses perubahan.

Namun, perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Tujuan akhir dari komunikasi pembangunan adalah memberdayakan individu dan komunitas untuk mencapai potensi penuh mereka dan membangun masyarakat yang lebih baik dan berkelanjutan. Sementara tujuan akhir dari komunikasi perubahan adalah mempengaruhi perubahan perilaku, sikap, dan pandangan individu atau kelompok tertentu dalam konteks organisasi atau perusahaan.

Selain itu, dalam praktiknya, komunikasi pembangunan lebih sering digunakan dalam konteks pembangunan sosial, ekonomi, dan politik, sementara komunikasi perubahan lebih sering digunakan dalam konteks perubahan organisasi atau perusahaan. Komunikasi perubahan cenderung lebih terfokus pada peningkatan efisiensi dan produktivitas organisasi, sedangkan komunikasi pembangunan cenderung lebih terfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

Dalam hal strategi, komunikasi pembangunan cenderung lebih mengutamakan strategi partisipatif dan pemberdayaan masyarakat, sementara komunikasi perubahan cenderung lebih mengutamakan strategi top-down dan menggunakan otoritas untuk mempengaruhi perubahan.

REFERENSI

Amoyan, C. J., & Custodio, P. A. (2019). Development Communication and the Dialogic Space: Finding the Voices Under the Mines. In M. J. Dutta & D. B. Zapata (Eds.), Communicating for Social Change: Meaning, Power, and Resistance (pp. 71-87). Palgrave Macmillan.

Freire, P. (1985). The politics of education: Culture, power, and liberation. South Hadley, MA.: Bergin & Garvey.

Librero, F. (2005). Status and trends in development communication research in the Philippines. Media Asia, 32(1), 35–38

Quebral, N.  C. (2012). Development communication primer. Penang, MY: Southbound Sdn. Bhd.