Sabtu, 01 Juli 2023

PERADABAN DIMULAI DARI HAL-HAL KECIL

 


Malam-malam, William Cruise, seorang agen khusus FBI, menjemput _"The Mother"_ (yang diperankan oleh Jennifer Lopez), seorang agen dan pembunuh yang tidak disebutkan namanya. 

Dalam perjumpaan setelah lebih dari 12 tahun tak ketemu, _The Mother_ tidak megucapkan “Halo” kepada Cruise. Karena itu, saat masuk ke dalam mobil, Cruise menyindir _The Mother_ dengan mengatakan bahwa peradapan dimulai dari hal-hal kecil seperti menyapa dengan kata _halo_. Mendapat sindirin itu, The Mother pun mengucapkan kata halo.

"Salam" atau "Halo" adalah frasa pembuka yang paling sering digunakan oleh orang-orang di seluruh dunia saat mereka berinteraksi satu sama lain. Misalnya, saat bepergian, "salam" atau "halo" biasanya menjadi alat yang paling efektif untuk memulai dialog dengan orang lain. Tak jarang, topik pembicaraan bisa berkisar tentang fenomena populer saat itu, seperti film terkini "The Mother."

Dalam komunikasi pemasaran, "Salam" atau "Halo" mungkin tampak sepele, namun memiliki peran yang sangat penting. Ini adalah langkah awal dalam membangun hubungan dengan pelanggan atau klien, dan bisa menciptakan kesan pertama yang baik dan hangat. Sapaan sederhana ini dapat membuka pintu untuk percakapan dan interaksi yang lebih dalam, yang pada akhirnya dapat memperkuat hubungan antara merek dan konsumen.

"_The Mother_" yang tayang di Netflix mulai 12 Mei 2023, adalah sebuah film bergenre aksi dan thriller yang disutradarai oleh Niko Caro, dengan pemeran utamanya Jennifer Lopez. The Mother dirilis di pekan Hari Ibu Internasional, dan merupakan sebuah cara dari Netflix untuk memeriahkan momen hari spesial yang jatuh pada 14 Mei.

Ceritanya dimulai dari saat The Mother diinterogasi oleh Agen Khusus Cruise. Di tengah interogasi kelompok yang menginginkan The Mother mati menyerang rumah aman yang menjadi tempat perlindungan The Mother. Cruise ditembak dan terluka parah, agen FBI yang tersisa terbunuh, tetapi The Mother tidak terluka. Dia menyelamatkan hidup Cruise dan membuat bom yang tertunda waktu

The Mother melarikan diri dari sekelompok penyerang berbahaya, kemudian tinggal di tengah hutan bersalju untuk melatih dan menempa dirinya seperti prajurit militer. Suatu hari, ia keluar dari persembunyiannya demi menemui putrinya yang dulu ia tinggalkan, dan melindungi putrinya itu dari para penjahat kejam yang ingin balas dendam.

penjahat kejam yang ingin balas dendam bisa menjadi titik balik penting yang mengancam peradaban. Aksi mereka bisa merusak harmoni dan tatanan masyarakat, mendorong peradaban ke tepi jurang kehancuran.

Namun, dalam menghadapi ancaman tersebut, peradaban seringkali menemukan cara untuk melawan dan bertahan. Mereka mungkin bergerak bersama, melakukan 'hal-hal kecil' seperti berbagi sumber daya, membantu satu sama lain, atau bahkan hanya menunjukkan keberanian dan keteguhan hati dalam menghadapi kesulitan. Ini mengilustrasikan bagaimana 'hal-hal kecil' dalam peradaban - nilai-nilai, tindakan, dan tekad individu - bisa menjadi kekuatan penting dalam melawan ancaman.

Ini bisa dimulai dengan tindakan-tindakan kecil seperti membentuk perlawanan, berbagi informasi, atau merencanakan strategi. Meski masing-masing tindakan ini mungkin tampak kecil, ketika dilakukan bersama-sama, mereka bisa memiliki dampak besar dan bahkan mengubah arah konflik.

Peradaban dimulai dari hal-hal kecil adalah suatu pernyataan yang mengilustrasikan betapa detail kecil dan langkah-langkah kecil dapat membentuk fondasi dari suatu peradaban dan kemajuan masyarakat.

Bahasa misalnya. Sebagai alat komunikasi, mungkin tampak sederhana dan mendasar, namun peranannya dalam pembentukan peradaban sangat besar. Bahasa memungkinkan manusia untuk berbagi ide, berkolaborasi, dan membangun masyarakat. Setiap kata dan kalimat, sekecil apa pun, membantu mengekspresikan gagasan, menyelesaikan konflik, dan membentuk budaya - semua ini adalah unsur penting dari peradaban (Pinker, 1994).

Demikian pula dengan konsep hukum dan aturan. Setiap hukum, meskipun hanya berupa teks singkat dalam dokumen, membentuk dasar bagaimana masyarakat berfungsi dan berinteraksi. Mereka membantu menciptakan struktur dan ketertiban, memungkinkan kerjasama dan koeksistensi damai antara individu dan kelompok dalam masyarakat (Rawls, 1971).

Namun, seiring dengan pentingnya "hal-hal kecil" ini, perubahan sistemik dan tindakan besar seringkali diperlukan. Misalnya, meskipun hukum individu penting, reformasi hukum besar-besaran mungkin diperlukan untuk mengatasi isu-isu seperti diskriminasi atau ketidakadilan sistemik (Sen, 1999).

Gagasannya adalah, pertimbangkan inovasi kecil seperti penemuan roda. Pada awalnya, roda mungkin tampak sebagai penemuan kecil dan sederhana, tetapi dampaknya pada peradaban manusia sangat besar. Roda memungkinkan transportasi barang dan orang menjadi lebih efisien, yang pada gilirannya memfasilitasi perdagangan, penjelajahan, dan ekspansi geografis. Ini mengubah cara hidup manusia dan membantu membentuk peradaban seperti yang kita kenal sekarang (Diamond, 1999).

Pertimbangkan tindakan kecil seperti mendaur ulang atau mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Meskipun masing-masing tindakan ini mungkin tampak kecil dan tidak berarti, ketika dilakukan oleh jutaan atau miliaran orang, mereka dapat memiliki dampak besar terhadap lingkungan dan dapat membantu mencegah perubahan iklim (Harari, 2015).

Namun, penting juga untuk mengakui bahwa walaupun tindakan kecil dapat berdampak besar, perubahan sistemik dan besar seringkali diperlukan untuk mengatasi tantangan terbesar yang dihadapi oleh peradaban kita, seperti ketidaksetaraan ekonomi dan perubahan iklim (Sen, 1999).

Pada akhirnya, pernyataan "Peradaban dimulai dari hal-hal kecil" menekankan pentingnya partisipasi, kerja keras, dan perubahan bertahap, tetapi juga menunjukkan bahwa perubahan besar dan sistemik juga penting.

Referensi:

Diamond, J. (1999). Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies. W.W. Norton & Company.

Harari, Y. N. (2015). Sapiens: A Brief History of Humankind. Harper.

Pinker, S. (1994). The Language Instinct: How the Mind Creates Language. Harper Perennial Modern Classics.

Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Belknap Press.

Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.

 

 

Minggu, 18 Juni 2023

BABAK BELUR DALAM SURVEI: REALITAS VS INTERPRETASI




Di era yang semakin kompetitif ini, pemahaman terhadap pendapat dan preferensi konsumen menjadi suatu keharusan dalam merumuskan strategi penjualan produk. Dalam konteks ini, survei memainkan peran krusial. 

Namun, dari pengalaman seorang peneliti padi di IRRI, Filipina, realitas menunjukkan bahwa hasil survei bisa menjadi labirin penyesatan jika pertanyaannya tidak disusun dengan cermat dan obyektif. Jadi, bagaimana sebenarnya kita menerjemahkan suara konsumen melalui survei? Ini adalah kisah yang menggali lebih dalam tentang peran survei dan tantangan interpretasi di baliknya.

Survei, sebagai alat untuk memahami pendapat dan preferensi konsumen, memiliki potensi yang signifikan dalam menentukan arah kebijakan atau strategi penjualan sebuah produk. Tetapi, dalam praktiknya, interpretasi hasil survei bisa menjadi rumit dan bahkan menyesatkan jika penyusunan pertanyaannya tidak dilakukan dengan hati-hati dan obyektif.

Pagi ini, di group WA, seorang teman yang kini bekerja di pusat penelitian padi (IRRI) di Filipina menceritakan pengalamannya tentang survey. Suatu ketika dia membaca laoran hasil survei yang dilakukan pada konsumen produk organik dan Organisme Hasil Rekayasa Genetik (GMO).

Survei pertama yang dilakukan terhadap konsumen di California menunjukkan preferensi utama pada produk organik yang bebas pestisida daripada non-GMO. Padahal, seperti yang dia yakini, pada kenyataannya, label non-GMO menjadi daya tarik utama di pasar global. Dalam penafsiran dia, setelah membaca hasil survey itu, hasil survei tidak selalu mencerminkan realitas pasar.

Lebih lanjut, survei kedua yang dilakukan oleh ahli komunikasi membuktikan bagaimana framing pertanyaan bisa mempengaruhi hasil survei. Dengan hanya mengubah sudut pandang pertanyaan, respons konsumen terhadap produk GMO dan non-GMO berubah drastis. Artinya, pengetahuan dan persepsi konsumen dapat sangat dipengaruhi oleh cara sebuah pertanyaan disajikan.

Dalam survei terakhir, konsumen Eropa tampaknya menolak adanya DNA rekombinan dalam makanan mereka. Tetapi, ketika ditanya lebih lanjut, hanya sebagian kecil yang benar-benar paham bahwa semua tanaman memiliki DNA. Ini menggarisbawahi betapa rendahnya pemahaman konsumen tentang topik ini dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi jawaban mereka dalam survei.

Dari ketiga contoh ini, terungkap bahwa framing dan penyusunan pertanyaan dalam survei sangat mempengaruhi hasilnya. Dalam konteks ini, penting bagi peneliti untuk menyusun pertanyaan survei yang netral dan dirancang untuk memahami apa yang sebenarnya diinginkan konsumen. Menyesatkan atau mempengaruhi konsumen untuk menjawab sesuai keinginan peneliti hanya akan menghasilkan data yang tidak akurat dan berpotensi merusak kepercayaan konsumen.

Dengan kata lain, survei harus disusun dengan pemahaman yang mendalam tentang subjek dan audiens yang dituju. Hanya dengan cara ini, data yang diperoleh dari survei dapat mencerminkan realitas yang sebenarnya dan memberikan wawasan yang berharga. Kesimpulannya, peran kritis survei dalam memahami konsumen menuntut obyektivitas, kejujuran, dan transparansi dalam proses penyusunan dan interpretasinya.

Kamis, 15 Juni 2023

JURNALISME ERA BUZZER

 


Perkembangan signifikan dalam jurnalisme terjadi sepanjang beberapa dekade terakhir. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi, peran media konvensional berubah dan bergeser seiring munculnya platform media sosial.

Kritik terhadap kondisi jurnalisme saat ini sering merujuk pada dua aspek berbeda: jurnalisme investigatif, yang dianggap puncak kualitas, dan "buzzer statement", bentuk jurnalisme yang kurang substantif dan dianggap merusak kredibilitas profesi.

Jurnalisme investigatif dianggap bentuk jurnalisme yang paling disegani. Dedikasi tinggi terhadap kebenaran dan pencarian informasi yang mendalam membuat jurnalisme investigatif berpotensi mengungkap fakta-fakta penting untuk perubahan sosial. Hal ini mencerminkan nilai-nilai mulia dari jurnalisme: kebenaran, objektivitas, dan pelayanan publik.

Namun, "buzzer statement" berada di sisi lain spektrum jurnalisme. Praktik ini merujuk pada pembuatan konten media untuk tujuan spekulasi atau menciptakan sensasi, sering kali tanpa mempertimbangkan akurasi atau relevansi informasi. Meskipun "buzzer statement" berhasil menarik perhatian dan menghasilkan klik, praktik ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap media.

Krisis kepercayaan publik dan krisis finansial yang dialami media arus utama semakin mempertegas pentingnya isu ini. Masalah muncul saat media, dalam upaya mencari sumber pendapatan tambahan, memilih untuk menerapkan pendekatan yang lebih sensasional dan berfokus pada produksi konten yang mudah menjadi viral. Sayangnya, praktik seperti ini seringkali merendahkan kualitas dan merusak integritas profesi jurnalisme.

Media sosial tumbuh menjadi alternatif penting dalam era ini. Meski memberikan akses kepada publik untuk membagikan dan menemukan informasi dengan cepat, media sosial juga menjadi tempat subur bagi penyebaran informasi palsu dan misinformasi. Dalam konteks di mana 'buzzer statement' menjadi umum, peran media sosial dalam memfasilitasi penyebaran konten viral dapat memperburuk masalah ini.

Secara keseluruhan, perkembangan dalam jurnalisme dan peran media sosial menciptakan tantangan baru dan kompleks. Penting untuk mengingat nilai-nilai utama jurnalisme dan berusaha mempertahankan nilai-nilai tersebut di tengah perubahan ini.

Jumat, 26 Mei 2023

GADO-GADO DAN PECEL: REFLEKSI INKLUSIVITAS DALAM WARISAN KULINER INDONESIA


Gado-gado dan pecel, dua ikon kulinari khas Indonesia, tidak hanya menawarkan rasa yang lezat namun juga melukiskan inklusivitas budaya dan sosial dalam cermin kuliner Indonesia. Dari pedagang kaki lima hingga restoran mewah, kedua hidangan ini merayakan keragaman dan keterjangkauan, sambil mempertahankan esensi dan integritas mereka di tengah tekanan modernisasi dan globalisasi.

Gado-gado dan pecel adalah khas kuliner Indonesia. Mereka sering menghiasi meja makan sehari-hari maupun dalam berbagai acara spesial. Meski kedua makanan ini memiliki dasar yang sama, yaitu berupa sayuran rebus yang disiram dengan bumbu kacang dan disajikan dengan kerupuk atau peyek, terdapat perbedaan dan persamaan unik yang membuat keduanya menjadi makanan yang istimewa.

Gado-gado, yang berasal dari Betawi atau Jakarta, memiliki rasa bumbu kacang yang lebih kental dan manis. Dalam penyajiannya, sering kali ditambahkan lontong dan telur rebus. Gado-gado mencerminkan kekayaan dan keragaman kuliner ibu kota, di mana berbagai elemen dapat dipadukan menjadi satu hidangan yang nikmat.

Dari situs Dinas Kebudayaan DKI, asal-usul nama gado-gado berasal dari istilah "digado" dalam bahasa Betawi yang berarti dikonsumsi tanpa nasi. Ini karena, dalam kebanyakan kasus, gado-gado tidak dimakan dengan nasi, melainkan dengan lontong sebagai alternatif pengganti nasi.

Sementara itu, pecel, makanan khas dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, memiliki bumbu kacang yang lebih encer dan rasa yang cenderung pedas. Sayuran yang digunakan dalam pecel biasanya lebih beragam dan bisa mencakup daun singkong dan kacang panjang. Pecel membawa nuansa pedesaan dan tradisional, dengan kepedasan yang menjadi cerminan dari kehangatan dan keberanian masyarakat Jawa.

Namun, meskipun gado-gado dan pecel memiliki perbedaan dalam hal asal daerah dan komposisi bumbu, kedua makanan ini memiliki kesamaan yang mencolok. Mereka berdua menyajikan kombinasi sayuran rebus dan bumbu kacang, menciptakan komposisi rasa yang unik dan menggugah selera. Nilai gizi yang seimbang dari kedua makanan ini juga membuat mereka menjadi pilihan yang sehat, memberikan protein, serat, dan berbagai vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh.

Di samping itu, baik gado-gado maupun pecel juga menunjukkan fleksibilitas yang memungkinkan penyesuaian berdasarkan preferensi individu. Anda bisa menambah atau mengurangi jenis sayuran, atau bahkan menyesuaikan level kepedasan dari bumbu kacang sesuai dengan selera Anda.

Gado-gado dan pecel adalah contoh luar biasa dari inklusivitas kuliner, dengan bahan-bahan yang dapat disesuaikan berdasarkan preferensi individu. Misalnya, bagi mereka yang tidak mengkonsumsi daging, gado-gado menawarkan sumber protein lain seperti tempe dan tahu. Selain itu, berbagai jenis sayuran dalam gado-gado memastikan asupan nutrisi yang seimbang.

Namun, inklusivitas gado-gado memiliki batas. Bagi mereka yang memiliki alergi kacang, makanan ini dapat menimbulkan masalah serius, mengingat bumbu kacang adalah komponen kunci. Selain itu, gula yang biasanya ditambahkan ke dalam bumbu dapat menjadi masalah bagi individu dengan diabetes atau mereka yang sedang mengikuti diet rendah gula.

Gado-gado juga mencerminkan inklusivitas sosial dan budaya. Makanan ini dapat ditemukan di seluruh Indonesia, dari penjual kaki lima hingga restoran berbintang, menunjukkan bahwa gado-gado dinikmati oleh berbagai kalangan.

Seperti halnya gado-gado, pecel juga menunjukkan inklusivitas dalam komposisi bahan-bahannya. Bagi mereka yang mengikuti diet vegan atau vegetarian, pecel bisa menjadi pilihan yang baik. Namun, pecel juga memiliki tantangan yang sama dengan gado-gado dalam hal alergi kacang.

Selain itu, pedasnya bumbu pecel mungkin tidak cocok untuk beberapa orang, terutama mereka yang memiliki masalah pencernaan atau mereka yang tidak terbiasa dengan makanan pedas. Ini menggarisbawahi pentingnya variasi dalam penyajian dan resep untuk memastikan makanan bisa dinikmati oleh sebanyak mungkin orang.

Dari perspektif budaya, pecel dan gado-gado memiliki inklusivitas yang kuat. Pecel dan gdo-gadon telah menjadi bagian integral dari kuliner Jawa dan dapat ditemukan di berbagai daerah di Jawa, baik di warung makan pinggir jalan hingga restoran mewah.

Inklusivitas adalah aspek penting dalam setiap sektor kehidupan, termasuk dalam konteks pedagang gado-gado dan pecel di Indonesia. Kedua jenis makanan ini mewakili keragaman dan keterjangkauan kuliner Indonesia, mencerminkan inklusivitas dalam masyarakat yang beragam.

Pedagang gado-gado dan pecel biasanya bisa ditemukan di berbagai tingkat sosial ekonomi, dari penjual kaki lima di pinggir jalan hingga restoran berbintang. Hal ini mencerminkan inklusivitas ekonomi, memungkinkan semua lapisan masyarakat untuk menikmati hidangan tersebut.

Namun, pertanyaan inklusivitas lebih lanjut muncul ketika kita melihat siapa yang memasak dan menjual makanan ini. Apakah peluang tersebut terbuka bagi semua orang, atau apakah ada hambatan tertentu untuk sekelompok orang tertentu?

Inklusivitas juga relevan dalam konteks aksesibilitas makanan bagi konsumen. Baik gado-gado maupun pecel memiliki variasi bahan dan penyajian yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan diet dan preferensi masing-masing individu.

Tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa variasi ini tetap ada dan dapat diakses oleh semua orang, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan diet, seperti alergi kacang atau diet rendah gula.

Inklusivitas berarti menghormati dan mewujudkan keragaman budaya dalam kuliner. Gado-gado dan pecel, sebagai bagian dari warisan kuliner Indonesia, mewakili inklusivitas budaya dan regional. Tantangannya adalah bagaimana menjaga keaslian dan integritas hidangan ini dalam menghadapi tekanan modernisasi dan globalisasi.

Penting juga untuk mempertimbangkan keterbatasan inklusivitas ini, seperti masalah alergi dan toleransi terhadap rasa tertentu. Gambaran ini menunjukkan bahwa inklusivitas dalam makanan bukan hanya tentang memenuhi berbagai preferensi diet, tetapi juga mempertimbangkan kesehatan dan keberagaman budaya.

RUJUKAN

Brissenden, R. (2007). Southeast Asian Food: Classic and Modern Dishes from Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand, Laos, Cambodia and Vietnam. Tuttle Publishing.

Forbes, M. L. (2011). Rice, Spice and All Things Nice: Savor the Flavors of South-East Asian Cooking. Roli Books.

Kamis, 30 Maret 2023

KEPEMIMPINAN PUBLIC RELATIONS DAN PROBLEMATIKANYA


Kepemimpinan industri public relations (PR) era digital memiliki banyak tantangan. Para profesional public relations saat ini bekerja di lingkungan yang semakin sulit dan kompleks. Tekanan dari luar organisasi meliputi akuntabilitas baru, pemangku kepentingan yang semakin berkuasa, sikap skeptis publik yang semakin meningkat, dan lanskap komunikasi yang baru.

Secara internal, ada tuntutan yang semakin meningkat untuk menunjukkan kontribusi strategis, sekaligus membutuhkan kemampuan untuk melatih dan memberikan saran kepada manajer senior yang terpapar tekanan lingkungan ini. Ini sekaligus mencerminkan adanya problematika yang dihadapi kepemimpinan publis relations saat ini.

Beberapa problematika kepemimpinan public relations dipaparkan Anne Gregory dan Paul E. Willis di buku Strategic Public Relations Leadership (Routledge, 2023).  Salah satu masalah kepemimpinan dalam PR adalah terkait dengan pengukuran hasil yang akurat.

Dalam industri PR, seringkali sulit untuk mengukur dampak dari kampanye PR. Banyak perusahaan hanya memperhatikan output dan bukan outcome, sehingga hasil yang diukur tidak selalu sesuai dengan tujuan awal kampanye PR. Ini menimbulkan masalah ketika para pemimpin PR harus mempertanggungjawabkan anggaran yang telah digunakan kepada manajemen atas dampak kampanye yang dilakukan.

Selain itu, para pemimpin PR juga dihadapkan pada tantangan untuk dapat menavigasi perubahan lingkungan bisnis yang terus berubah. Di era digital saat ini, para pemimpin PR harus mampu memahami dan mengikuti tren media sosial dan teknologi yang terus berkembang, serta dapat menyesuaikan strategi PR dengan berbagai perubahan tersebut.

Problematik kepemimpinan PR juga berkaitan dengan tuntutan untuk memiliki keterampilan yang lebih luas, termasuk kemampuan untuk memahami data dan teknologi. Para pemimpin PR perlu mampu menggunakan teknologi dan alat analitik untuk mengumpulkan data dan menganalisisnya, sehingga dapat memahami kebutuhan dan preferensi konsumen secara lebih baik. Selain itu, kemampuan untuk memahami angka dan data juga sangat penting untuk mengukur keberhasilan kampanye PR dan menentukan arah strategi PR di masa depan.

Kepemimpinan PR juga harus mampu mengembangkan dan mempertahankan budaya perusahaan yang positif dan inklusif. Hal ini dapat membantu meningkatkan kepuasan karyawan dan memperkuat citra merek perusahaan. Para pemimpin PR harus dapat menciptakan budaya yang mendorong kreativitas dan inovasi, serta membangun hubungan yang baik antara karyawan, klien, dan mitra bisnis.

Terakhir, kepemimpinan PR juga harus dapat mengelola krisis dengan baik. Dalam industri PR, krisis dapat terjadi sewaktu-waktu dan dapat berdampak negatif pada citra merek dan reputasi perusahaan. Oleh karena itu, para pemimpin PR harus mampu mengatasi krisis dengan cepat dan tepat, serta mampu membangun kembali citra positif perusahaan dengan cara yang efektif.

Beberapa saran dan solusi yang ditawarkan Willis dan Gregory untuk mengatasi problematik kepemimpinan dalam industri public relations. Pertama, penting bagi pemimpin public relations untuk memahami dan mengevaluasi peran mereka dalam organisasi secara menyeluruh.

Seorang pemimpin public relations harus memahami dan mengambil tanggung jawab dalam memahami tujuan, nilai, dan misi organisasi serta memastikan bahwa public relations berkontribusi secara efektif dalam mencapai tujuan tersebut. Hal ini juga termasuk membangun kemitraan yang strategis dengan pemimpin dan anggota tim lainnya.

Kedua, penting bagi pemimpin public relations untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan yang memadai. Willis dan Gregory menekankan bahwa seorang pemimpin public relations harus memahami tugas dan tanggung jawabnya, termasuk dalam mengembangkan strategi, mengelola tim, mengkomunikasikan informasi dengan jelas, dan memastikan transparansi dan akuntabilitas.

Ketiga, pemimpin public relations juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang teknologi dan media sosial serta bagaimana mengelola dampaknya pada organisasi dan masyarakat. Pemimpin public relations harus mampu menggunakan teknologi dan media sosial secara efektif dalam mendukung tujuan organisasi serta mengatasi tantangan dan risiko yang terkait dengan penggunaannya.

Buku ini memberikan wawasan yang berguna tentang kontribusi strategis public relations dan kepemimpinan public relations. Dalam menjelaskan topik yang kompleks, para penulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan contoh kasus yang relevan.

Buku ini dapat menjadi sumber bacaan yang berguna bagi praktisi public relations yang ingin meningkatkan kemampuan strategis mereka atau para eksekutif senior yang ingin memahami kontribusi public relations dalam mencapai tujuan organisasi.(Edhy Aruman)

Rujukan:

Gregory, A., & Willis, P. E. (2023). Strategic Public Relations Leadership, Second Edition. Routledge.

Minggu, 19 Maret 2023

ANTARA KOMUNIKASI PERUBAHAN DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN



Komunikasi perubahan dan komunikasi pembangunan memiliki beberapa kesamaan. Keduanya berfokus pada menghasilkan perubahan positif dalam suatu lingkungan atau masyarakat, melibatkan individu dan kelompok secara aktif dalam proses perubahan, dan memerlukan partisipasi masyarakat dalam merancang dan melaksanakan program atau kebijakan. Perbedaannya?

Tahun 2019, Christele J. Amoyan dan Pamela A. Custodio menulis artikel yang menyoroti masalah aktivitas pertambangan di Filipina dan dampaknya terhadap masyarakat terpinggirkan di wilayah tambang. Menurut mereka, kurangnya partisipasi dan pengaruh masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdampak pada penindasan dan ketidakadilan sosial.

Christele J. Amoyan saat ini merupakan dosen di Departemen Komunikasi di Pamantasan ng Lungsod ng Maynila, sedangkan Pamela A. Custodio adalah seorang peneliti dan konsultan komunikasi pembangunan.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat ini, Christele J. Amoyan dan Pamela A. Custodio mengajukan tesis tentang pentingnya komunikasi pembangunan (DevCom) dalam memberdayakan masyarakat yang menghadapi masalah sosial. Model komunikasinya adalah dengan menciptakan ruang dialogis untuk mengangkat suara orang-orang yang terpinggirkan.

DevCom, menurut mereka, dapat menciptakan ruang dialogis di mana suara yang terpinggirkan dapat didengar, dan perspektif mereka dapat dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan. Disini pentingnya melihat dinamika kekuasaan yang terlibat dalam kegiatan pertambangan, dan perlunya DevCom untuk menjadikan masyarakat berpartisipati dan inklusif.

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN

Meminjam pendapat Nora C. Quebral (2012), Amoyan dan Custodio mendefinisikan komunikasi pembangunan (DevCom) sebagai teori komunikasi yang berkembang dari disiplin akademik di Asia Tenggara. Tujuan akhir DevCom adalah memberdayakan individu dan komunitas untuk mewujudkan potensi penuh mereka. Sejak kelahirannya pada tahun 1950-an, DevCom awalnya bertindak sebagai komunikator agenda pedesaan dan pertanian. Namun, teori ini terus berkembang dan mulai terlibat dalam wacana sosial-ekonomi, serta berkembang seiring dengan era baru teknologi informasi dan komunikasi.

Ketika mengangkat masalah terpinggirkannya penambang di Filipina, Amoyan dan Custodio menyoroti perlunya diskusi yang bukan hanya membahas DevCom dalam konteks teoritis, melainkan pada tindakan praktis yang dapat meningkatkan komunitas dan menciptakan perubahan sosial. Secara keseluruhan, penulis membuat argumen yang meyakinkan tentang potensi Nora C. Quebral untuk menciptakan praktik pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Berdialog dalam konteks komunikasi pembangunan (DevCom) sangat penting untuk memberdayakan individu dan komunitas yang terpinggirkan, termasuk dalam konteks aktivitas pertambangan. Berdialog dapat menciptakan ruang dialogis di mana suara-suara yang terpinggirkan dapat didengar dan perspektif mereka dapat dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks pertambangan, berdialog penting untuk mengatasi dinamika kekuasaan yang terlibat dalam aktivitas pertambangan, dan DevCom harus menjadi partisipatif dan inklusif dalam memasukkan suara dan perspektif yang beragam. Lebih jauh, berdialog tidak hanya berbicara mengenai teori, tetapi juga harus fokus pada tindakan konkret yang dapat meningkatkan masyarakat dan menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan.

Gagasan tersebut memiliki makna bahwa aspek yang lebih kritis dari DevCom tidaklah murni teoretis. Sebagai komunikator untuk perubahan sosial, DevCom berkonsentrasi pada penerapan teori ke dalam tindakan yang sungguh-sungguh yang akan mengangkat orang dari segala bentuk kemiskinan.

Konsep komunikasi pembangunan terus berkembang dan mulai terlibat dalam wacana sosial-ekonomi, serta berkembang dengan era baru teknologi informasi dan komunikasi. Dalam prakteknya, DevCom menggunakan pendekatan pengembangan yang berbeda dan menempatkan orang di pusat transformasi sosial dengan kapasitas manusia kolektif mereka, dari perspektif pembangunan pedesaan terpadu.

Pertanyaan penting yang mereka ajukan adalah bagaimana DevCom dapat membantu mengatasi situasi konflik sosial di negara-negara berkembang, dan memberi suara kepada mayoritas populasi yang terpinggirkan dalam dialog, terutama ketika perhatian terpusat di kabupaten dan kota perkotaan.

Namun, sebelum itu, Amoyan dan Custodio menyarankan untuk mengkritik pertanyaan Quebral tentang "Bagaimana memberi suara kepada yang tidak bersuara?" Mengutip Freire (1985), ketiadaan suara bukan berarti ketiadaan tanggapan. Sebaliknya, proposisi ini menyampaikan pesan bahwa ketiadaan suara sebagai bentuk dari kurangnya konten kritis dari mereka yang menderita ketidakadilan (Freire, 1985).

Dalam pandangan Freire, "kurangnya konten kritis" merujuk pada ketidakmampuan seseorang untuk secara kritis menganalisis situasi sosial dan politik di sekitarnya, serta kesadaran akan hak-hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang aktif.

Dalam konteks Filipina seperti yan ditunjukkan Amoyan dan Custodio (2019), individu atau kelompok yang menderita ketidakadilan kurang memiliki pengetahuan atau kesadaran tentang hak-hak mereka dan kurang mampu mengartikulasikan perspektif mereka secara kritis. Mereka kurang berpartisipasi dalam proses dialog dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Disinilah perlunya memperkuat suara mereka agar dapat terlibat secara aktif dalam perubahan sosial dan pembangunan yang lebih adil.

DIALOG

Dalam konteks dialog sebagai model komunikasi, ada persamaan dan sekaligus perbedaan antara komunikasi perubahan dan komunikasi pembangun. Persamaan pandangan antara komunikasi pembangunan dan komunikasi perubahan, keduanya mendorong partisipasi aktif individu atau kelompok yang terlibat dalam perubahan.

Dalam konteks pembangunan maupun perubahan, dialog dianggap penting untuk menciptakan ruang bagi individu atau kelompok yang terpinggirkan untuk menyuarakan perspektif mereka. Keduanya juga mendorong keterlibatan partisipatif dan inklusif dari seluruh pihak yang terlibat dalam perubahan untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.

Persamaan lainnya antara komunikasi pembangunan dan komunikasi perubahan adalah pada fokus keduanya dalam membawa perubahan pada individu, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan. Kedua disiplin ini juga memperhatikan aspek partisipatif dan inklusif dalam proses perubahan.

Namun, perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Tujuan akhir dari komunikasi pembangunan adalah memberdayakan individu dan komunitas untuk mencapai potensi penuh mereka dan membangun masyarakat yang lebih baik dan berkelanjutan. Sementara tujuan akhir dari komunikasi perubahan adalah mempengaruhi perubahan perilaku, sikap, dan pandangan individu atau kelompok tertentu dalam konteks organisasi atau perusahaan.

Selain itu, dalam praktiknya, komunikasi pembangunan lebih sering digunakan dalam konteks pembangunan sosial, ekonomi, dan politik, sementara komunikasi perubahan lebih sering digunakan dalam konteks perubahan organisasi atau perusahaan. Komunikasi perubahan cenderung lebih terfokus pada peningkatan efisiensi dan produktivitas organisasi, sedangkan komunikasi pembangunan cenderung lebih terfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

Dalam hal strategi, komunikasi pembangunan cenderung lebih mengutamakan strategi partisipatif dan pemberdayaan masyarakat, sementara komunikasi perubahan cenderung lebih mengutamakan strategi top-down dan menggunakan otoritas untuk mempengaruhi perubahan.

REFERENSI

Amoyan, C. J., & Custodio, P. A. (2019). Development Communication and the Dialogic Space: Finding the Voices Under the Mines. In M. J. Dutta & D. B. Zapata (Eds.), Communicating for Social Change: Meaning, Power, and Resistance (pp. 71-87). Palgrave Macmillan.

Freire, P. (1985). The politics of education: Culture, power, and liberation. South Hadley, MA.: Bergin & Garvey.

Librero, F. (2005). Status and trends in development communication research in the Philippines. Media Asia, 32(1), 35–38

Quebral, N.  C. (2012). Development communication primer. Penang, MY: Southbound Sdn. Bhd.

 

 

Kamis, 16 Maret 2023

KOMUNIKASI PERUBAHAN: ANTARA DRAMATURGI DAN STORYTELLING


Tahun 2017, aktris Hollywood, Alyssa Milano, mengajukan tagar #MeToo di Twitter untuk memberikan dukungan kepada korban pelecehan seksual. Gerakan ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan melibatkan jutaan orang yang membagikan pengalaman mereka terkait pelecehan seksual melalui media sosial dan kampanye publik.

Milano adalah seorang aktris, produser, dan aktivis asal Amerika Serikat. Ia dikenal atas perannya dalam sejumlah film dan serial televisi, seperti "Who's the Boss?", "Charmed", dan "Melrose Place". Sebagai seorang aktris Hollywood yang dikenal luas, Milano memiliki posisi sosial yang relatif tinggi dalam masyarakat dan industri hiburan. Sebagai seorang publik figur, ia memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penggemar dan pengikutnya di media sosial.

Beberapa tokoh terkenal seperti Ashley Judd, dan Taylor Swift telah menjadi bagian dari gerakan ini dengan menceritakan pengalaman mereka terkait pelecehan seksual yang mereka alami. Ashley Judd misalnya, menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser film Harvey Weinstein. Sementara Taylor Swift menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dialami saat berpose untuk foto bersama seorang DJ.

Selain mereka, beerapa artis juga pernah mengalami pelecehan dan mereka berani berbagi pengalaman mereka. Rose McGowan menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein dan berperan penting dalam mengangkat isu ini ke permukaan. Ada lagi, Asia Argento -aktris Italia - yang menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein, dan Kesha (penyanyi) yang menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser musik Dr. Luke.

Rose McGowan adalah seorang aktris, penulis, dan aktivis asal Amerika Serikat. Ia terkenal dalam perannya dalam beberapa film seperti "Scream", "Jawbreaker", dan "Grindhouse". Ia juga dikenal sebagai salah satu korban pelecehan seksual oleh produser film Harvey Weinstein.

Setelah mengungkapkan pengalamannya, ia menjadi salah satu penggiat utama dalam gerakan #MeToo dan berperan penting dalam mengangkat isu pelecehan seksual di industri hiburan dan mendorong perubahan dalam budaya kerja yang lebih aman dan adil. McGowan juga merupakan penulis buku otobiografi yang berjudul "Brave" yang menceritakan pengalamannya dalam industri film dan perjuangannya sebagai aktivis.

Para korban pelecehan seksual ini secara ternag-terangan menunjukkan dampak yang telah mereka rasakan. Ini memberikan peluang bagi mereka untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari masyarakat, dan sekaligus memperkuat gerakan #MeToo sebagai sebuah gerakan sosial. Para korban membagikan kisah-kisah mereka melalui media sosial dan berbagai media lainnya, yang membantu membangun kesadaran tentang masalah ini dan mendorong tindakan.

Fenomena ini memberikan petunjuk bahwa -- dalam gerakan #MeToo -- storytelling menjadi alat yang sangat penting untuk memperkuat sebuah Gerakan. Banyaknya korban pelecehan seksual yang berani berbicara dan membagikan pengalaman mereka dengan cara yang sangat emosional dan mendalam. Ini  memungkinkan orang lain memahami betapa pentingnya isu tersebut.

Storytelling dalam gerakan #MeToo juga membantu memperjuangkan perubahan dalam hukum, kebijakan organisasi, dan budaya seksual yang lebih aman dan adil. Dengan memperlihatkan dampak nyata dari pelecehan seksual dan kebutuhan untuk perubahan, storytelling dalam gerakan #MeToo membantu mengubah pandangan masyarakat tentang isu ini dan memperjuangkan tindakan nyata untuk memerangi pelecehan seksual.

Gerakan #MeToo adalah contoh yang sangat kuat dari bagaimana gerakan pengalaman dan storytelling dapat digunakan untuk menciptakan perubahan sosial dan membantu orang untuk terlibat secara aktif dalam isu-isu penting yang mempengaruhi kehidupan mereka. Storytelling dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam menciptakan perubahan sosial dan membantu orang untuk terlibat secara aktif dalam isu-isu penting yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Tahun 2017, Cojuharenco dan Patient menulis artikel Journal of Management. Artikel ini mmbahas tentang bagaimana storytelling dapat mempengaruhi orang lain, baik secara individual maupun kelompok. Menurut mereka, ada empat empat elemen penting dalam storytelling, yakni konten, kredibilitas, emosi, dan koneksi.

Konten mengacu pada apa yang diceritakan dan bagaimana ceritanya disusun. Kredibilitas mengacu pada kepercayaan orang terhadap narator atau sumber cerita. Emosi terkait dengan bagaimana cerita dapat memengaruhi emosi orang dan koneksi terkait dengan bagaimana cerita dapat membentuk hubungan dan koneksi antara narator dan pendengar.

Dalam pandangan Tufte (2017), Gerakan #MeToo menggunakan elemen-elemen dramaturgi, seperti cerita (naratif), karakter, dan adegan, untuk menciptakan pesan dan aksi yang efektif dalam mencapai tujuan perubahan sosial. Konsep ini mengacu pada cara komunikasi dan tindakan yang dapat diorganisir dan dipersiapkan untuk menciptakan perubahan sosial yang diinginkan.

Tahun 1959, Irving Goffmann menulis buku "The Presentation of Self in Everyday Life" yang membahas tentang konsep dramaturgi dalam kehidupan sehari-hari. Goffman menganggap kehidupan sosial sebagai panggung di mana setiap individu memainkan peran yang berbeda-beda. Seperti seorang aktor, setiap orang mempersiapkan diri dan mempresentasikan dirinya secara berbeda tergantung pada situasi dan orang yang ada di sekitarnya.

Buku ini membahas bagaimana individu memanipulasi citra dirinya dan menciptakan "kesan" tertentu dalam interaksi sosial mereka. Goffman menjelaskan bahwa kesan yang dihasilkan dari interaksi sosial adalah hasil dari upaya individu untuk mempresentasikan diri sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang lain dan konteks sosial yang ada.

Goffman juga membahas tentang peran kelas sosial dalam mempengaruhi cara individu mempresentasikan diri. Dia menunjukkan bahwa individu dari kelas sosial yang berbeda dapat memainkan peran yang berbeda dalam interaksi sosial, dan citra diri mereka akan dipengaruhi oleh identitas sosial mereka.

Dalam konteks Gerakan #MeToo, Tufte (2017) membandingkan gerakan sosial dengan drama, di mana ada elemen-elemen penting yang harus dipertimbangkan agar aksi dan pesan dapat disampaikan secara efektif. Seperti dalam drama, gerakan sosial harus mempertimbangkan beberapa elemen penting, termasuk cerita (naratif), karakter, dan adegan, untuk menciptakan sebuah "dramaturgy" atau tatacara drama yang efektif untuk mencapai tujuan gerakan sosial.

Cerita (naratif) dalam dramaturgy of social change merujuk pada cara pesan atau informasi disampaikan dalam gerakan sosial. Pesan tersebut harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat dan memicu tindakan yang diinginkan.

Karakter dalam dramaturgy of social change merujuk pada siapa yang terlibat dalam gerakan sosial dan bagaimana karakter tersebut dipersepsikan oleh masyarakat. Karakter yang kuat dan konsisten dapat membantu membangun dukungan dan mengubah pandangan masyarakat terhadap isu sosial.

Adegan dalam dramaturgy of social change merujuk pada lingkungan dan konteks di mana gerakan sosial berlangsung. Lingkungan ini dapat mempengaruhi cara pesan dan tindakan diinterpretasikan oleh masyarakat.

Dengan memperhatikan elemen-elemen ini, dramaturgy of social change dapat membantu gerakan sosial untuk menciptakan pesan dan aksi yang efektif untuk mencapai tujuan perubahan sosial yang diinginkan.

REFERENSI

Cojuharenco, I., & Patient, D. (2017). Storytelling and social influence: A literature review, theoretical framework, and agenda for future research. Journal of Management, 43(1), 166-195.

Goffman, I. (1959). The presentation of self in everyday life. Anchor Books.

Tufte, T. (2017). Dramaturgy of social change: The #MeToo movement. In T. Tacchi & T. Tufte (Eds.),    Communicating for change: Concepts to think with (pp. 67-80). ANU Press.