Selasa, 31 Oktober 2023

METIS - KECERDASAN LICIK

 


Antilochus, dalam mitologi Yunani, adalah sosok yang terkenal melalui karya Homer, terutama epos "Iliad." Sebagai putra Raja Pylos, Nestor, Antilochus menjadi salah satu prajurit muda yang ikut serta dalam Perang Troya. Keberaniannya dan kecepatannya di medan perang mencerminkan rasa hormatnya yang mendalam kepada ayahnya.

Dia meninggal saat melindungi ayahnya, Nestor, dari serangan Memnon, seorang pejuang heroik dari Ethiopia yang berpihak pada Troya. Mengingat pengorbanannya, Antilochus dihormati sebagai contoh ideal dari seorang putra yang berbakti. Pengorbanan Antilochus mengukuhkannya sebagai simbol seorang pejuang yang berani dan pengabdian seorang putra kepada orang tuanya.

"Iliad" adalah mahakarya literatur klasik karya Homer, penyair legendaris Yunani. Epos ini mengisahkan peristiwa selama 51 hari di tahun kesepuluh Perang Troya, pertempuran epik antara Troya dan sekutu kerajaan Yunani. Sebagai salah satu karya sastra paling tua, "Iliad" memegang peranan penting dalam sejarah literatur dunia.

Di luar keberanian dan kepahlawanannya itu, salah satu momen terkenal Antilochus dalam "Iliad" adalah ketika dia berlomba kereta kuda, memanfaatkan akal dan strategi untuk mengalahkan pesaing yang memiliki kuda lebih unggul. Meskipun kuda-kuda Antilochus bukan yang tercepat, salah satu keungggulan Antilochus adalah kecerdasan dan strategi yang diajarkan oleh ayahnya, Nestor.

Nestor, dikenal sebagai lambang kebijaksanaan, memberi tahu Antilochus bahwa meskipun kudanya mungkin lebih lambat, dengan strategi yang tepat, dia masih bisa menang. Antilochus benar-benar memperhatikan dan mematuhi petuah ayahnya itu.

Saat balapan berlangsung, Antilochus memanfaatkan metis, kecerdasan taktis Yunani, untuk mengecoh pesaingnya. Strateginya? Pada saat-saat kritis dalam balapan, Antilochus membuat manuver berani dengan mengendarai keretanya melintasi lintasan yang sempit, memaksa pesaingnya, Menelaus, untuk menahan kendaraannya. Manuver ini memungkinkan Antilochus untuk mendapatkan keunggulan dan akhirnya mengungguli Menelaus.

Kemenangan Antilochus bukan semata-mata karena kecepatan atau kekuatan, tetapi karena kecerdasan dan strateginya. Ini menggambarkan esensi dari metis, di mana keberhasilan bisa dicapai melalui kecerdasan dan adaptasi, bukan hanya kekuatan murni. Episode ini menjadi representasi dari nilai-nilai Yunani kuno tentang pentingnya taktik, strategi, dan kecerdasan dalam menghadapi tantangan.

Metis merupakan konsep dalam budaya dan pemikiran Yunani Kuno yang menggambarkan tipe kecerdasan dan cara berpikir khusus. Tidak seperti kecerdasan rasional yang sistematis dan logis, Metis lebih bersifat licik, fleksibel, dan adaptif.

Dalam pemikiran Yunani, Metis mencakup berbagai karakteristik seperti kebijaksanaan, ketajaman berpikir, kecerdikan, kelihaian, kewaspadaan, dan berbagai keterampilan lain yang diperoleh dari pengalaman. Konsep ini mengacu pada kecerdasan yang beradaptasi dengan situasi yang berubah-ubah, ambigu, dan tak terduga, yang tidak dapat diukur atau dianalisis dengan logika murni.

Dalam kalimat lain, Metis adalah kecerdasan yang menekankan pentingnya kelihaian dan adaptabilitas. Bukan hanya logika murni yang dihargai, tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi, memanfaatkan sumber daya yang ada, dan berpikir di luar kotak. Bayangkan Metis sebagai kecerdasan jalan pintas; bukan pendekatan langsung, tetapi pendekatan yang lebih licik, cerdas, dan kreatif.

Menurut Detienne & Vernant (1991), metis berbeda dari diskursus filosofis yang berkembang di Yunani kuno. Konsep metis merepresentasikan jenis kecerdasan yang berbeda dari pemikiran rasional, yang saat itu masih baru dan rapuh. Dalam konteks ini, metis melibatkan kombinasi kecerdasan, kebijaksanaan, ketajaman berpikir, kecerdikan, kelihaian, dan pengalaman. Akibatnya, metis seringkali diabaikan oleh filosof sebagai bentuk kecerdasan alternatif.

Untuk menggambarkan bagaimana metis bisa menjadi sebuah tindakan, Detienne & Vernant (1991) mengambil contoh gurita, hewan yang dikenal dengan adaptabilitas dan kelihaian fisiknya. Disini, gurita dapat dianggap sebagai representasi dari Metis. Gurita, tanpa tulang, dapat mengubah bentuk tubuhnya untuk masuk ke celah sempit untuk menghindari predator atau menangkap mangsa.

Kemampuan gurita untuk mengubah warna kulitnya agar cocok dengan lingkungannya, baik untuk bersembunyi dari musuh maupun untuk mengejutkan mangsa, juga menunjukkan kelihaian dalam dunia alam; bukan berdasarkan kekuatan fisik, tetapi kemampuan adaptasi dan kecerdikan.

Hewan lain yang merepresentasian Metis adalah Rubah. Sebagai simbol kecerdikan dalam banyak kebudayaan, Rubah sering digambarkan sebagai makhluk yang mampu mengelabui predator atau musuh yang lebih kuat dengannya. Dalam berbagai cerita rakyat, rubah mengelabui singa atau hewan buas lainnya dengan kelihaian dan kecerdikan, bukan kekuatan.

Rubah sering kali digambarkan sebagai makhluk yang licik dalam berbagai budaya. Dalam konteks Metis, rubah melambangkan kecerdikan dan kemampuan untuk membuat strategi yang cepat dalam menghadapi ancaman atau mencari makanan. Rubah tidak mengandalkan kekuatan fisik semata, melainkan pada kelihaian dan kemampuan untuk memprediksi serta merespons tindakan musuh atau mangsanya. Dengan demikian, rubah menjadi simbol dari aspek metis yang menekankan pada kecerdasan taktik dan strategi.

Menerapkan Metis ke dalam konteks manusia, seorang pebisnis yang sukses dapat dikaitkan tidak hanya dengan pengetahuan teknis, tetapi juga dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan pasar yang berubah, merespons tantangan, dan memanfaatkan peluang yang muncul. Demikian pula, seorang guru yang mampu menyesuaikan metode pengajarannya sesuai dengan kebutuhan unik setiap siswanya, menunjukkan kefleksibilitasannya dalam mendidik, mengedepankan pemahaman dan partisipasi siswa.

Dalam dunia yang serba cepat dan selalu berubah, pemahaman tentang Metis mengajarkan bahwa terkadang pendekatan yang tidak konvensional, adaptif, dan fleksibel seringkali lebih efektif daripada mengandalkan logika dan kekuatan semata.

 

*REFERENSI*

Detienne, M., & Vernant, J.-P. (1991). Cunning Intelligence in Greek Culture and Society (J. Lloyd, Trans.). University of Chicago Press. (Original work published 1974)