Senin, 28 Agustus 2017

Benarkah Public Relations Bisa Meningkatkan Penjualan?


Institute for Public Relations di Florida menerbitkan sebuah laporan mengenai hubungan antara banyaknya liputan media yang dihasilkan dari aktivitas media relations dan hasil bisnis (business outcames). Frasa terakhir ini didefinisikan sebagai perubahan perilaku, penjualan yang bturun atau naik,  lalu lintas toko, niat untuk membeli, dan sebagainya. Namun, hubungan terbalik dapat terlihat. Artinya, publikasi yang negatif bisa saja mengakibatkan penurunan penjualan. Misalnya pers menyebarkan informasi negatif tentang suatu produk pesaing atau perusahaan, yang menyebabkan penjualan menjadi lebih rendah.

Pada tanggal 6 Januari 2006, American College of Chest Physicians menerbitkan sebuah laporan tentang ketidakefektifan obat batuk. "Tidak ada bukti klinis bahwa obat batuk ekspektoran atau supresan over-the-counter meringankan batuk. Namun, laporan tersebut, menyatakan bahwa obat anti-alergi itu efektif karena efek pengeringannya. Item berita ini segera diangkat oleh semua program berita utama (World News Tonight, Today, The Early Show, Good Morning America) dan sebagian besar harian. Perlu dicatat bahwa tidak ada upaya pemasaran yang dilakukan selama periode tersebut. Yang terjadi adalah penjualan menurun drastis.

Gambar di atas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah editorial (kurva biru) sesuai dengan penurunan penjualan yang berarti (kurva merah) dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini menunjukkan sedikit rebound dalam penjualan ketika arus liputan berita tentang obat batuk mereda. Fakta lain yang patut dicatat adalah bahwa sektor lain mendapat keuntungan dari kabar buruk untuk obat-obatan ini. Selama minggu 14 Januari 2006, kunjungan ke dokter untuk penyakit pernafasan meningkat sebesar 14%; Sementara penjualan obat alergi meningkat, mencerminkan dampak positif dari berita lainnya yang dilaporkan dalam artikel yang sama.


Banyak perusahaan menyadari nilai PR sebagai alat pemasaran strategis yang dapat mereka gunakan untuk meningkatkan penjualan produk dan layanan. Apakah digunakan sendiri atau sebagai bagian dari kampanye pemasaran terpadu, dalam banyak hal, PR dapat berkontribusi terhadap penjualan. Ini karena pada dasarnya, program PR dapat dirancang untuk mempengaruhi konsumen pada setiap tahap proses pembelian.

Pertama, misalnya, program PR bisa dirancang untuk meningkatkan awareness (kesadaran), atau keakraban dengan produk dan layanan; kedua, untuk mempengaruhi persepsi tentang manfaat utama atau pembeda; ketiga, meningkatkan kesediaan untuk mempertimbangkan produk dan layanan; keempat, meningkatkan niat untuk mencoba produk dan melakukan pembelian pertama kali; kelima, memberikan jaminan pengalaman positif paska pembelian; dan keenam, membangun preferensi yang sedang berlangsung untuk produk atau layanan.

Ada strategi dan taktik PR yang terbukti dapat digunakan untuk mencapai semua tujuan di atas. Misalnya, strategi PR untuk meningkatkan niat calon konsumen mencoba suatu produk, bisa dilakukan dengan mendorong pengulas atau penulis berita atau endorser merekomendasikan merek. Sebuah taktik untuk memastikan pengalaman pembelian yang positif juga dapat menawarkan percobaan produk gratis melalui sebuah acara yang patut diberitakan.

Selain itu, profesional PR terus mengembangkan teknik baru yang inovatif untuk mengimbangi perubahan dan bentangan media informasi. Misalnya, mereka mengembangkan sarana untuk menjangkau konsumen melalui media yang dihasilkan konsumen, seperti blog dan wiki, dan menggunakan media online dan media lain untuk mendorong mereka menyebutkan kata-kata positif tentang produk dan layanan.

Beberapa analisis yang dipublikasikan mengenai program PR menunjukkan bahwa PR dapat menjadi alat pemasaran yang efektif. Ini karena banyak program PR pada dasarnya berusaha mendorong liputan media. Liputan media tersebut kemudian berinteraksi dengan periklanan yang bisa mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku pasar.

Penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan, periklanan dan liputan berita masing-masing memiliki dampaknya tersendiri bagi konsumen dan ini berinteraksi untuk mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku. Kedua, lingkungan berita memengaruhi dampak iklan. Pada saat "liputan berita" normal (terutama sebagian besar positif dengan beberapa negatif), berita dan periklanan bekerja sama, dan iklan tambahan memiliki dampak positif pada sikap. Pada saat liputan berita meluas dan sangat positif, dampak positif iklan secara bertahap kurang dari pada waktu normal. Namun pada saat liputan berita  meluas dan tonenya negatif, iklan tambahan tidak memiliki dampak inkremental yang positif dan bahkan memiliki efek negatif.

Ketiga, liputan berita dapat memberi dampak besar pada konsumen, sejajar dengan periklanan. Eksekutif pemasaran yang disurvei PR Week dan Millward Brown yang diminta membandingkan keefektifan PR dengan periklanan dan pemasaran langsung untuk tugas-tugas tertentu, menyatakan bahwa PR adalah disiplin pemasaran yang paling efektif untuk meluncurkan produk atau layanan baru (55%), membangun kesadaran (52%), menghasilkan kata dari mulut ke mulut (51%) dan membangun reputasi merek (50%).

Minggu, 27 Agustus 2017

Branding Masculinity


Akhir-akhir ini iklan memainkan peran penting dalam mengukir representasi gender yang lebih positif.  Tren pemberdayaan perempuan yang dikreasikan para penggiat merek yang berlangsung selama beberapa dekade terakhir ternyata tidak melupakan peran mereka dalam membentuk identitas laki-laki.

Dalam beberapa dekade terakhir, publik sering menyaksikan tubuh laki-laki di media dan aktivitas budaya populer. Dulu tubuh atau hal-hal yang merepresentasikan pria sering ditonjolkan pada moment-moment atau event tertentu. Ini setidaknya bisa dilihat pada iklan-iklan rokok, kelompok band, dan sebagainya.

Namun belakangan, pria mendapatkan eksposur yang makin tinggi bukan hanya dari tubuh mereka, tapi juga gaya hidup, preferensi konsumsi dan kebutuhan emosional mereka, terutama sejak kemunculan era metrosexual.

Pria secara bertahap menjadi seakan sejajar dengan wanita di papan reklame, fotografi fashion dan majalah. Ini bisa jadi sesuatu yang baru mengingat sampai beberapa tahun lalu, wanita selalu dimunculkan dalam iklan merek sehingga memunculkan kritik tentang eksploitasi atas gender tertentu. Kini kemunculannya diimbangi dengan kemunculan pria atau setidaknya mereka tampil bersama.

Meningkatnya peran pria bukan hanya dari sisi jumlah gambar pria yang meningkat. Ada representasi baru dalam budaya populer di mana tubuh laki-laki digambarkan secara ideal dan tersifat (Moore 1988; Simpson, 1994). Selain itu, di pasar konsumen di seluruh dunia, pasar produk yang didominasi oleh wanita seperti kosmetik, perawatan pribadi dan bahkan penyempurnaan tubuh, kini menarik lebih banyak konsumen pria.

Publik – terutama penggiat dan pemerhati ilmu sosial dan komentator budaya populer -- mungkin tidak terusik dan berada di luar kepentingan langsung pemasar jika bukan karena perubahan budaya dalam ekspresi budaya maskulinitas yang terjadi selama tahun 1990an. Beberapa pengamat mencatat bahwa pada dekade 1990-an dan 2000-an, maskulinitas menjadi komoditi dan dipasarkan (Kimmel 2012).

Mengutip pendapat Honey (1984), dalam buku Branding Masculinity: Tracing the Cultural Foundations of Brand Meaning, Elizabeth C. Hirschman menyatakan bahwa ketika wanita semakin memasuki wilayah kerja yang selama ini didominasi pria - baik dalam pekerjaan kerah biru dan profesional - dan juga benteng laki-laki tradisional lainnya - seperti militer dan olahraga profesional - maskulinitas itu sendiri menjadi "bermasalah." Hal itu juga terlihat saat Perang Dunia Kedua II, ketika wanita menduduki profesi "maskulin" (Honey 1984).

Lalu apa itu maskulin? Seorang pria tidak bisa lagi diberi label maskulin hanya karena dia melakukan pekerjaan manual, mengemudikan truk, bertugas di angkatan bersenjata, memegang jabatan politik, mengendarai mobil polisi atau memiliki bisnis. Wanita sekarang juga melakukan hal-hal ini - meskipun tidak dalam volume atau jumlah yang sama atau dengan otoritas yang sama.

Anda pernah menonton iklan Axe Deodorant Spray yang menunjukkan seorang lelaki muda memeluk setiap orang -- lelaki perespuan, tua atau muda -- yang dijumpai dengan penuh kasih? Iklan ini seakan menunjukkan perubahan atau pergeseran yang memperkaya konsep tentang maskulinitas.  

"Mengejar perempuan", menurut kajian Hirschman, menggambarkan tindakan maskulin. Tinfdakan ini sering disebut-sebut sebagai ciri maskulinitas Amerika (Kimmel 2012). Berpartisipasi dalam olahraga kontak seperti sepak bola, hoki, sepak bola, tinju /perkelahian/ bela diri, angkat besi/berolahraga dilihat sebagai maskulin, terutama kegiatan-kegiatan yang membutuhkan membutuhkan agresivitas sekaligus kemampuan atletik.

Fenomena ini, menurut Hirschman, memberi titik masuk bagi pemasaran produk bermerek maskulin. Dengan jangkar kerja maskulinitas tradisional yang makin terkikis, kesempatan itu memberikan pemahaman tentang perlunya mengemas maskulinitas dan mempromosikannya (Holt and Thompson 2005; Kimmel 2012), sama seperti feminitas yang berlangsung selama periode-periode sebelumnya (de Grazia 1996; Forty 1986; Kirkham 1996; Sparke 1995).

Pemasar mengiklankan bahwa sekarang seseorang bisa membeli maskulinitas dalam bentuk merek mereka (Buerkle 2011). Komentator budaya setuju. Faludi (1999), misalnya, menyatakan bahwa "manusia dikelilingi oleh budaya yang mendorong mereka untuk memainkan peran publik yang sebelumnya hampir tidak pernah ada. Selama ini peran itu hanya sebatas hanya dekoratif atau sebagai konsumen ... [Manhood]. Sekarang itu ditampilkan, tidak ditunjukkan" (Boudreau 2011).

Apakah budaya maskulinitas yang dimiliki oleh merek itu? Tidaklah cukup hanya untuk menyatakan atau mengklaim bahwa suatu merek maskulin atau hanya memarkirnya di samping koboi. Ada kelompok pria menyebut "bir" sebagai maskulin (dan memang hampir semua iklan bir menargetkan pria), ada juga menyebut “mengunyah tembakau” sebagai maskulin.

Deodoran Old Spice disebut sebagai produk perawatan pria maskulin. Ini cocok dengan kampanye komunikasi pemasaran Old Spice, "Smell like a man, man” hingga dikatakan kampanye berhasil menciptakan posisi maskulin. Hal ini menunjukkan kedua kategori produk dipandang sebagai cara untuk ditampilkan.

Dalam wilayah tertentu orang yang biasa memakai pakaian koboi saat tampil disebut maskulin. Koboi, tentu saja, adalah salah satu "ikon maskulinitas budaya" (Cawelti 1984).
Untuk busana, hanya Nike yang dianggap melambangkan maskulinitas. Ini adalah bukti yang kuat untuk iklan Nike dan upaya pemasaran lainnya. Meski mereka secara agresif mentarget wanita juga, Nike  berhasil menjadi merek jangkar, yakni konsumen pria.

Branding maskulinitas mengusulkan bahwa merek maskulin dibuat, bukan dilahirkan. Maskulinitas adalah cita-cita budaya yang dapat melekat pada berbagai produk dan merek dengan penggunaan simbol, ikon dan gambar yang sesuai. Dalam konteks ini, menurut Hirschman, harus ada persepsi publik tentang resonansi dan keasliannya jika pengelola merek menginginkan hubungan merek-maskulinitas diterima sebagai valid.

Sebelum konsumen laki-laki berusaha "menggantungkan diri dalam maskulinitas", mereka menerima merek yang diberi label maskulin bila ada bukti budaya bahwa memiliki keterkaitan keasliannya sebagai maskulin.  Jadi, kata Hirschman, dalam konteks maskulinitas, dua isu utama yang dihadapi pemasar adalah (1) Aspek budaya kontemporer mana yang dipandang maskulin oleh konsumen? (2) Merek apa yang diyakini mewakili itu?

Hirschman menulis buku itu berdasarkan lebih dari 300 wawancara yang dilakukan terhadap narasumber pria dan wanita di dua generasi - berusia 17 sampai 35 dan mereka yang berusia 40 sampai 60 tahun. Wawancara dilakukan pada orang-orang yang tinggal di dua wilayah yang sangat berbeda di Amerika Serikat, di daerah perkotaan timur laut dan pedesaan tenggara.

Apa yang kita pelajari adalah bahwa ada serangkaian kategori, sikap, aktivitas dan merek produk yang dipandang sebagai maskulinitas dalam budaya Amerika. Terlepas dari beberapa perbedaan regional dan gender - yang akan dibahas secara rinci - ada konsistensi budaya umum baik dalam arti dan representasi maskulinitas. Di atas dasar semiotika inilah upaya pemasaran yang dimaksudkan untuk membangun posisi maskulin di pasar menjadi pilihan terbaik.

Studi ini memperkenalkan prosedur induktif yang bergerak dari tingkat konseptual ke tingkat merek melalui serangkaian beberapa tahapan. Dengan demikian, pembaca tidak hanya mampu melacak kepercayaan konsumen terhadap maskulinitas tetapi juga untuk mengikuti kepercayaan ini melalui rangkaian aktivitas, objek, kategori produk dan, pada akhirnya, merek, diri mereka sendiri.

Hasilnya adalah pengertian yang jelas tentang seberapa atau tidak pentingnya merek tertentu terhadap asosiasi  pria maskulinitas dan identifikasi kategori produk di mana merek-merek ini berada. Buku ini juga menyoroti gerai ritel yang dianggap tepat untuk menemukan dan membeli produk dan merek maskulin.

Penulis seakan ingin mengatakan bahwa dia tahu merek dapat menarik maskulinitas dari lingkungan ritel mereka dan, sebaliknya, membawa merek maskulin membantu menciptakan suasana ritel yang diinginkan oleh konsumen yang mencari produk maskulin.

Sabtu, 26 Agustus 2017

Mengapa PR Harus Berperan Dalam Perubahan di Perusahaan?


Coastal Petroleum adalah perusahaan distributor bensin, minyak pelumas, dan produk minyak bumi yang menurut ukuran regional relatif kecil. Namun perusahaan yang berbasis di Florida itu berkembang pesat dan memiliki sejumlah stasiun bensin di pasar lokal. Keahliannya dalam menegosiasikan kontrak dengan operator stasiun bensin curah dan jaringan distribusi yang dimiliki secara independen berkontribusi pada keberhasilannya. Reputasi perusahaan baik sehingga membuat banyak orang ingin bekerja di perusahaan itu dibandingkan dari pesaing. Karyawan menganggap bekerja di Coastal Company sangat bergengsi. Karena itu, keluar masuknya atau pergantian karyawan di semua level rendah.

Suatu ketika, manajemen senior mulai khawatir sebab selama bertahun-tahun, pendapatan tumbuh dengan cepat namun keuntungan tidak meningkat dalam proporsi yang sama. Salah satu penyebabnya adalah biaya yang terus menerus meningkat secara signifikan. Para pejabat senior perusahaan itu kemudian menetapkan strategi biaya baru. Menurut mereka, kantor pusat Coastal saat ini berada di gedung perkantoran mewah di kawasan pusat ibukota regional yang dekat dengan pertokoan, hotel, restoran dan teater. Biaya sewa perkantoran itu mahal.

Mereka kemudian memutuskan untuk pindah kantor. Keputusan untuk memindahkan kantor karena kebetulan masa sewa kantor yang lama segera berakhir. Pemindahan kantor memberi peluang bagi perusahaan untuk mengurangi kenaikan sewa yang substansial bila tidak mereka pindah ke tempat lain yang sebenarnya lebih efisien. Apalagi selain biaya sewa, kantor harus membayar sejumlah biaya bulanan yang tinggi untuk keperluan seperti saluran telepon langsung ke kilang perusahaan dan terminal penyimpanan.

Jadi, untuk menghemat biaya, manajemen memutuskan untuk memindahkan sekitar 80 persen kantornya ke komplek kilang dan bulkstorage, dimana Coastal memiliki tanah dan bangunan. Kompleks ini terletak di area umum dekat dermaga dan galangan kapal, gudang, pabrik, dan terminal minyak lainnya, yang semuanya letaknya berdekatan dalam satu blok di sepanjang tepi laut. Di kawasan tersebut terdapat sebuah bangunan besar namun kosong karena kantor-kantor di bangunan tersebut oleh Coastal sebelumnya dipindahkan ke pusat kota. Untuk mempersiapkan perpindahan tersebut, bangunan itu didesain dengan penuh lukisan, kedap suara dan direnovasi sehingga memenuhi standar perkantoran modern.

Meski kepindahannya masih beberapa bulan lagi, kasak-kusuk banyak terjadi di kalangan pegawai kantor. Kecemburuan di kalangan karyawan meningkat, candaan karyawan hilang, kinerja memburuk terutama terjadi pada kelompok karyawan yang tidak antusias dengan kepindahan itu.

Manajemen senior khawatir karena mereka pernah mendengar desas-desus liar tentang berbagai aktivitas gerakan karyawan tersebut. Karyawan mengeluhkan tentang waktu mereka yang akan terbuang di jalan karena lokasi perkantoran baru yang jauh dari tempat tinggal mereka, tentang kebisingan dan kotoran dari lokasi baru, dan tentang ketidaknyamanan karena harus tinggal di sekitar pabrik selama makan siang.

Selama itu mereka biasa makan di restoran-restoran yang lebih baik di kota, di mana mereka tidak berbaur dengan buruh pabrik, supir truk dan pekerja industri lainnya. Ada beberapa karyawan yang mulai kasak-kusuk soal perusahaan yang mulai kehilangan semangat kompetitifnya. Yang lainnya mengeluhkan sikap perusahaan, bahkan salah satu salesman terbaiknya berkomentar, "Perusahaan menuju degradasi, masuk ke dalam kelas yang rendah; Kita tidak lagi didorong ke depan; Itu semua karena penghematan."

Apa yang harus dilakukan manajemen? Beberapa konsultan yang dihired perusahaan itu menyarankan untuk memberi karyawan kenaikan gaji guna mengimbangi langkah tersebut. Yang lain percaya bahwa kegelisahan karyawan akan hilang setelah tindakan tersebut dan menganjurkan untuk mengambil pendekatan "wait and see". Yang lain lagi mendukung untuk mencoba mengantisipasi kekhawatiran nyata karyawan dan mengambil tindakan untuk meresponsnya. Misalnya, dengan membuka dan menutup setengah jam lebih awal sehingga karyawan bisa memiliki waktu setidaknya satu jam untuk berbelanja dan melakukan tugas di kota sebelum toko tutup.

Pertanyaannya adalah bila organisasi perlu berubah, apakah kebiasaan lama di antara karyawan sama sulitnya untuk berubah. Ada dua aliran pemikiran untuk membuat perubahan organisasi yang berhasil. Beberapa ahli mengatakan perubahan pola pikir atau budaya merupakan faktor kunci untuk perubahan. Yang lain mengatakan ini terlalu berat dan bahwa mengubah perilaku dan memperkuat tindakan tersebut adalah cara terbaik untuk mengubah pola pikir mereka.

Dalam situasi seperti ini dimana peran public relations? Seperti diketahui, pada dasarnya public relations bisa dipraktekkan dalam berbagai konteks organisasi, mulai dari peran pemerintah dalam atau urusan dengan publik sampai peran komunikasi korporat di organisasi kecil, menengah, besar, dan utuk organisasi yang tidak berorientasi pada profit. Melalui perencanaan dan manajemen komunikasi mereka, praktisi public relations membangun dan meningkatkan reputasi organisasi, membangun dan memelihara hubungan agar organisasi bisa mencapai tujuannya.

Paktek pubic relations sehari-hari memperlihatkan bahwa sebagian besar departemen public relations bertanggung jawab untuk memantau dan merespons perubahan lingkungan eksternal, termasuk isu, harapan, hubungan, dan reputasi, dan pada saat yang sama, juga berkontribusi untuk menjaga lingkungan kerja yang efektif di dalam organisasi melalui komunikasi karyawan. Komunikasi karyawan yang efektif menjelaskan prioritas organisasi dan berbagi informasi organisasi kepada karyawan tentang apa yang terjadi sehingga karyawan memahami dan menerima kebutuhan akan perubahan sehingga mereka melakukan usaha dan mengeluarkan gagasan mereka untuk membantu organisasi mencapai misi dan sasarannya.

Dalam banyak situasi, upaya public relations dihabiskan untuk berusaha menciptakan pesan-pesan yang sempurna guna disampaikan kepada pemangku kepentingan eksternal. Sangat jarang public relations membangun atmosfer internal sebagai upaya untuk mengubah mindset perubahan sebagai sesuatu peluang. Keseimbangan merupakan sesuatu yang penting dan PR internal sebenarnya penting dalam pengelolaan perubahan yang tepat. Intinya, public relations pada dasarnya tidak hanya sekadar berkomunikasi dengan mitra eksternal. Public relations juga harus menjamin berlangsungnya komunikasi internal yang tepat, terutama di perusahaan yang memiliki karyawan dalam jumlah yang besar.

Jumat, 25 Agustus 2017

Change or Die - Perkenalkan Inilah Komunikasi Perubahan


Dalam 150 tahun sejarahnya, Nokia telah berkali-kali melakukan perubahan. Dimulai sebagai pabrik kertas di Finlandia pada tahun 1865 dan kemudian pindah ke industri lain dan negara lainnya, badai perubahan telah menciptakan ancaman sekaligus peluang bagi Nokia. Nokia belum memantapkan dirinya sebagai perusahaan yang memproduksi peralatan jaringan dan telepon sampai tahun 1980an, ketika teknologi mobile lepas landas.

Pada tahun 2007, perusahaan ini merupakan pemain dominan di bisnis ponsel, dengan pangsa pasar global 40% berkat teknologi yang unggul dan keuntungan skala yang sangat besar. Namun bagaimanapun, hanya dalam waktu lima tahun kemudian, Nokia mengalami krisis yang parah: kapitalisasi pasarnya turun 96%. Perusahaan itu seakan membakar uang tunai, dan kerugian operasional lebih dari $ 2 miliar dalam enam bulan pertama tahun 2012 saja.

Sebagai tanggapan, Nokia melakukan perubahan yang dramatis. Pertanyaan strategis besar yang pertama adalah nasib bisnis telepon seluler. Dalam perang ekosistem mobile, iOS Apple dan Android Google dengan cepat menangkap pasar yang lebih besar dan makin membesar, dan mulai memberikan sinyal-sinyal yang menunjukkan bahwa strategi pengembangan ponsel dengan basis Windows tidak mungkin mampu menyelamatkan perusahaan. Sebagai gantinya, Nokia memutuskan untuk menjual bisnis telepon selulernya ke Microsoft. Divestasi tersebut merupakan bagian dari kesepakatan senilai $ 7,2 miliar pada bulan September 2013.


Setelah divestasi, Nokia memiliki tiga portofolio bisnis yang sangat berbeda: infrastruktur jaringan, layanan pemetaan, dan lisensi teknologi dan paten. Hal ini membawa perusahaan ke keputusan strategis besar berikutnya: Haruskah Nokia mengembangkan dirinya sebagai perusahaan portofolio, atau haruskah ia memfokuskan kegiatannya?

Fenomena diatas menggambarkan perusahaan atau organisasi selalu menghadapi tantangan besar untuk bisa mengelola perubahan baik internal maupun eksternal secara efektif. Agar bisa bertahan di tengah arus perubahan lingkungan yang semakin dinamis, perusahaan atau organisasi harus terus-menerus melakukan perubahan strategi, struktur, proses, budaya dan melakukan adaptasi secara cepat. Bila perusahaan atau organisasi tidak mampu melakukan perubahan, mereka sulit bertahan atau berkembang.

Perdebatan soal daya beli yang muncul masyarakat dalam beberapa pekan terakhir masih meninggalkan sisa. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa bisnis saat ini memang telah berubah. Ambil saja pernyataan bahwa daya beli masyarakat turun, hal itu memaksa perusahaan untuk beradaptasi dengan perubahan itu. Demikian pula bila pernyataan banwa dewasa ini ada pergeseran pola belanja masyarakat benar. Konsekuensinya adalah perusahaan harus beradaptasi dengan perubahan itu.

Bedanya, bila perubahan yang terjadi adalah karena penurunan daya beli, sifat perubahan itu itu sementara. Ini kaena bisa saja dalam beberapa bulan mendatang daya beli masyarakat naik. Kalau perubahan itu karena pergeseran cara belanja misalnya, maka perubahan itu bersifat sustain. Artinya, kalau sekarang orang senang berbelanja online atau mengkonsumsi media online dan meninggalkan media konvensioanl seperti cetak, maka perubahan itu bisa dipastikan permanen. Dalam waktu yang lama, orang sulit kembali ke media cetak.

Karena itulah para pemilik perusahaan mungkin cukup arif dalam mensikapi perubahan ini. Dalam beberapa hari ini, ada kabar sebuah perusahaan hipermarket kesulitan membayar utangnya kepada pemasok. Alasannya bisnis sedang lesu. Pertanyaannya adalah apakah kelesuan itu karena pergeseran pola belanja konsumen atau karena penurunan daya beli? Sekali lagi saya katakan, kalau kelesuan karena penurunan daya beli ada harapan situasi akan berbalik kea rah yang positif saat daya beli meningkat. Akan tetapi, bila kelesuan karena pergeseran pola belanja, saya tidak akan bila kondisinya akan bisa berbalik bila perusahaan tidak melakukan perubahan menyeluruh termasuk model bisnisnya.

Banyak kasus perusahaan yang tutup karena perubahan yang orang menyebutnya sebagai disruptive ini karena mereka merasa nyaman dan enggan untuk berubah. Anda mungkin membayangkan bahwa orang akan berubah bila berada dalam kondisi tertekan. Namun banyak kasus menunjukkan bahwa ketika orang tertekan yang terjadi orang semakin pasif (Coleman, 1994). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang akan berubah ketika sadar bahwa pengelola perusahaan sebenarnya berada kondisi yang berbeda dengan perusahaan lain dan dia sebenarnya bisa seperti perusahaan orang lain yang saat ini kinerjanya bagus bila melakukan perubahan. Persoalannya, seringkali rencana perubahan tidak berjalan mulus. Yang terjadi, seringkali muncul penolakan atas rencana perubahan itu.

Lalu bagaimana caranya? Disinilah peran penting komunikasi. Komunikasi seperti apa? Bertentangan dengan kebanyakan studi, Goodman dan Truss (2004) menemukan bahwa dalam mendorong orang untuk berubah, bukan tergantung pada banyaknya informasi yang diberikan kepada mereka. Sebab menurut penelitian Goodman dan Truss tersebut, tidak terdapat banyak perbedaan antara mereka yang telah menerima banyak informasi dan mereka yang tidak.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun sudah menerapkan sebuah rencana strategi komunikasi terbaik, namun dalam beberapa kasus masih terdapat karyawan yang merasa belum menerima informasi yang cukup pada waktu yang tepat dan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, memastikan strategi komunikasi perubahan yang tepat disesuaikan dengan jenis perubahan adalah sangat penting.