Tiga pekan lalu, sahabat saya - Simon
Jonatan -- kirim kabar via What’s App. Intinya dia mengabarkan kalau masa
kerjanya sebagai Presiden Direktur PT Bintang Toedjoe berakhir 31 Desember
2021. Kaget tidak kaget mendengarnya.
Tidak kaget karena awal 2020, Simon sudah mengisyaratkan
bahwa tahun 2021 dia balik lagi ke habitatnya di PT Swaragangsing, sebuah
perusahaan yang bergerak di jasa konsultansi pemasaran. Sampai awal Desember
2021, tak ada kabar. Baru pada minggu kedua itu Simon mantab memberitahu saya.
Beberapa teman di Majalah Mix, SWA dan media lainnya kaget
mendengar kabar itu. Mereka bertanya Simon akan pindah kemana. Beberapa teman
yang kontak Simon menanyakan itu belum mendapat jawaban.
Simon dikenal akrab dengan media. Teman-teman mengenal Simon
sebagai eksekutif yang identik dengan Extra Joss, sebuah merek yang
dibesarkannya. Alumni jurusan Teknologi Industri IPB itu membesarkan ExtraJoss
dengan terobosan pemasaran yang tidak biasa.
Tak banyak eksekutif perusahaan se-bejo Simon Jonatan. Dia mampu membuat sesuatu menjadi luar biasa.
Simon juga mampu membalikkan keadaan dari merek yang rugi, pasarnya tergerus
dimakan pesaing, bahkan diperkirakan jatuh, menjadi merek yang bersinar
kembali. Kilas perjalanan kariernya
mirip Steve Jobs; membesarkan merek, meninggalkan merek itu, diminta kembali
mengendalikan merek yang kinerjanya melorot , dan berhasil memulihkannya.
Simon menjadi pemain utama dalam membesarkan merek, Extra
Joss. Saat ExtraJoss besar, Simon meninggalkannya dan sibuk dengan bisnis
Swagangsing, konsultan pemasaran. Ditinggal Simon, pasar ExtraJoss tergerus
oleh manuver pesaingnya.
Pimpinan dan pemilik Kalbe Farma sebagai induk Bintang
Toedjoe mendatangi Simon dan memintanya bergabung kembali. Dia berhasil membalik keadaan sehingga
ExtraJoss moncer kembali. Bahkan ketika
pandemi Covid-19 merebak, Simon berhasil membuat Bejo dengan jahe merahnya yang
sebenarnya follower di kategorinya, menjadi merek produk yang bersinar.
Ketika dia dipercaya mengelola ExtraJoss yang muncul di
tengah pasar minuman berenergi yang dikuasai merek kemasan botol, muncul dalam
kemasan sachet. Selain harganya jauh lebih murah dan praktis, kemasan sachet
menjadikannya sebagai pembeda.
Tagline iklan yang diluncurkan Maret 1996 “Ini biangnya. Buat apa beli botolnya?”
memikat dan membumi. Daya tariknya semakin kokoh karena dukungan Donny Kesuma,
sang bintang iklan yang berprofesi sebagai atlet dan artis sinetron berbadan
kekar itu.
Banyak orang berpendapat bahwa tagline itu seakan-akan
menyindir Lipovitan kemasan botol yang sedang menjadi raja pasar minuman energi
saat itu. Penjualan Extra Joss booming hingga mencapai Rp 10 miliar dan terus
meningkat tiga kali lipat per tahun. ExtraJoss pun menjadi tulang punggung
Bintang Toedjoe.
Diurut dalam timeline bisnis dan kariernya, Simon lulus tiga
kali ujian. Ketika bergabung dengan
Bintang Toedjoe, tahun 1990an, Simon Jonathan tidak pernah membayangkan bahwa
dia dan perusahaan tempatnya bekerja
bakal menghadapi tiga kali krisis hebat.
Krisis pertama terjadi pada tahun 1998, yang kedua terjadi pada tahun
2008 dan terakhir tahun 2020. Dalam situasi goncangan hebat krisis-krisis
tersebut, tak banyak perusahaan atau individu yang berhasil selamat, namun
Bintang Toedjoe yang dinakhodai Simon berhasil melaluinya.
Tahun 1998 – saat Indonesia berada pada puncak krisis
moneter dan reformasi politik 1998 – posisi Extra Joss sebagai market leader justru
semakin kuat. Penjualannya melejit dan
menjadikan Extra Joss sebagai produk konsumer pertama di Grup Kalbe yang
penjualannya tembus Rp 100 miliar per tahun. Ini amunisi bagi Extra Joss untuk demakin
agresif dan percaya pada kekuatan produk serta tagline. Salah satu iklan ExtraJoss yang
terkenal : Boleh ceplas-ceplos, asal
jangan adu jotos dan Bercerai kita
ngos, bersatu kita JOSS makin memperkokoh penjualan ExtraJoss dan posisinya
sebagai marlet leader.
Namun di tengah-tengah euphoria kesuksesan itu, tahun 2002,
Simon mengundurkan diri dari Bintang Toedjoe.
Sejatinya, saat keluar, masih ada visi Simon yang belum terwujud,
yakni menjadikan herbal sebagai tulang punggung bisnis sebelum keluar dari
Bintang Toedjoe. Itu sebabnya, sekeluarnya
dari Bintang Toedjoe dan fokus pada PT
Swaragangsing, diam-diam melalui
perusahaannya itu, Simon melakukan riset
pasar terkait herbal. Hasil riset itu menunjukkan
potensi besar di bisnis herbal.
Dari hasil riset herbal tersebut, membuat Simon semakin yakin
bahwa masa depan herbal dan produk-produk turunannya adalah sangat besar. Ini
juga sejalan dengan trend dunia yang “back
to nature”, memakai “herbal
ingredients” dan sebagainya untuk konsumsi sehari-hari, suplemen, atau
untuk pengobatan (natural remedy).
Delapan tahun setelah mengundurkan diri dari Bintang Toedjoe,
16 September 2010 Simon pulang kandang.
Keputusan itu dibuat setelah para pendiri Kalbe, perusahaan induk
Bintang Toedjoe, terus menerus merayunya untuk “menyelamatkan” anak yang
dilahirkannya yang saat itu sedang dalam kondisi terpuruk. Simon diminta
mengembalikan pamor Extra Joss dan mengembalikan fitrah pertumbuhan perusahaan.
“Bintang Toedjoe telah kehilangan omset produk utama sebesar 70%. Dan, saya
diberi waktu tiga tahun untuk mengembalikannya,” ungkap Simon.
Saat bergabung kembali, posisinya masih direktur
pemasaran. Sebelum masa tiga tahun, pasar
Extra Joss ngejoss kembal dan marwah Bintang Toedjoe kokoh kembali. Rahasianya?
“Tahun pertama -- tiga-enam bulan
pertama-- saya fokuskan ke marketing & bisnis development, R&D, dan
keuangan,” ungkap Simon. Dia mentransformasi Bintang Toedjoe dalam arti
melakukan perubahan mendasar dalam cara
bisnis dijalankan untuk membantu mengatasi perubahan lingkungan pasar yang
membuat perusahaan sakit. Ibarat mesin, kondisi lama itu harus dibongkar dan
menggantinya dengan format atau komponen-komponen baru.
Keberhasilan itu membuat dia naik posisi menjadi Presiden
Direktur. Saat itulah, dia membuktikan bahwa visinya sangat relevan, dan terbukti saat pandemic Covid-19.
Pertengahan 2020, Bejo Jahe Merah, sirup
untuk membantu meredakan efek masuk angin yang dijual dalam kemasan sachet “meledak”.
Awal pandemic Covic-19 tahun 2020 menjadi
salah satu titik berpengaruh terhadap jahe merah dan produk turunannya di
Indonesia. Ketika obat atau vaksin untuk virus Covid19 belum ditemukan, maka
orang mencari berbagai hal untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, termasuk
mengikuti langkah-langkah yang dilakukan orang yang menjadi panutan. Ketika Presiden Joko Widodo minum
empon-empon, maka seketika empon-empon menjadi laris manis untuk mencegah covid.
Hal ini juga berpengaruh kepada penjualan Bejo Jahe Merah. Saat
empon-empon menjadi issue untuk mencegah covid, maka BT memutuskan untuk
semakin memperkenalkan Jahe Merah sebagai ghost
brand yang dipopulerkan. Jahe merah muncul berkali-kali di detik.com dan
media online lainnya sebagai content marketing.
Jahe merah juga menjadi bahasan utama para para KOL (key opinion
leader) sehingga jahe merah mendadak menjadi barang yang dicari-cari dan
harganya ibarat emas. Harga jahe merah di pasaran yang biasanya Rp 25,000
perkilo, melonjak menjadi Rp 100,000 perkilo dan barangnya stock out. Kepopuleran
jahe merah ini, bahkan menarik perhatian stasiun TV Jepang NHK dan mengulas
jahe merah. Dalam ulasan itu, BT menjadi bagian dari business report pandemi
covid di Indonesia.
Efeknya, selama Maret-April 2020, omset Bejo Jahe Merah
meningkat tiga kali lipat. Keberhasilan
ini tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan ghost
branding jahe merah di berbagai media. Peningkatan omset Bejo Jahe Merah
juga berdampak ke kapasitas produksi internal.
Produksi farmasi Bintang Toedjoe running full shift, saat perusahaan
lain justru ditutup selama PSBB.
Bisa jadi ada faktor bejo.
Namun, di balik keberuntungan itu ada kekuatan yang membuat Simon mampu
menangkap peluang yang muncul di balik krisis-krisis yang terjadi. Kekuatan pertama
adalah keyakinan Simon pada visi perusahaan yang juga selaras dengan visi
dirinya.
Visi mencerminkan ide yang ingin dicapai. Tantangannya
adalah sejauh mana visi tersebut mampu memotivasi anggota organisasi untuk
memberikan kinerja yang unggul, dan sejauh mana visi menentukan tujuan serta
bagaimana tujuan itu dapat menguntungkan anggota.
Disini Simon merefleksikan dirinya sebagai transformational leader, pemimpin yang memotivasi
pengikutya untuk mencapai tujuan perusahaan.
Dia berperan lebih dari pemimpin yang transaksional dan menciptakan
nilai lebih bagi organisasi. Pemimpin seperti
ini bertindak sebagai mentor dan penasihat, serta memperhatikan pengembangan
pribadi, pembelajaran, dan penyediaan kebutuhan karyawan.
Tahun-tahun pertama 12 tahun sesi kedua bergabung Bintang
Toedjoe, Simon selalu wanti-wanti ke karyawan tentang pentingnya turn around. Selanjutnya, dia membangun
pondasi sustainability dengan menjadikan herbal sebagai tulang punggung
bisnis. Infrastruktur rantai pasokan
bahan baku diperkuat dengan meningkatkan kesejahteraan petani pemasok melalui
inisiatif yang dalam bahasa Michael Porter dan Mark Krammer sebagai Creating Shared Value (CSV).
Itu sekaligus membuktikan komitmen Bintang Toedjoe
dalam pengembangan komunitas dan
sebagainya. Komitmen penting lainnya adalah penguatan Environmental, Social And Corporate
Governance (ESG). Salah satunya adalah pembangunan pabrik dengan konsep green building dan taman herbal bejo
sebagai destinasi wisata di Deltamas, Cikarang, Jawa Barat.
Simon memberikan tantangan, misi, perspektif yang lebih
luas, rasa hormat, dan kepercayaan bagi karyawan, dan menjadi panutan bagi
karyawan mereka. Dia menciptakan suasana kepercayaan dan memotivasi karyawan
untuk bekerja bagi organisasi di luar kepentingan pribadi mereka.
Suasana batin seperti itulah yang berhasil menciptakan
kekuatan kedua, yakni keyakinan bahwa pada setiap krisis selalu ada peluang. Cara pandang ini berbeda dengan model linier
yang melihat krisis sebagai ancaman. Simon percaya bahwa di dalam kehidupan selalu
ada harmoni, ada keseimbangan, ada yang baik dan ada yang sebuah buruk.
Demikian dengan krisis, di dalamnya terdapat dua kondisi yakni peluang dan
ancaman. Ketika seseorang melihat krisis sebagai ancaman, yang sering terjadi
adalah kepanikan, termasuk dalam pengambilan keputusan tentang bagaimana keluar
dari krisis itu.
Dua hal tersebut telah menginspirasi dan menuntun Simon menemukan
cara bagaimana mengendalikan biduk perusahaan yang besar itu selamat dari
krisis. Karena situasinya yang tidak biasa, Simon berkeyakinan bahwa untuk
selamat dari krisis diperlukan langkah-langkah yang tidak biasa. Acuannya
adalah jika seorang pimpinan melakukan sesuatu yang biasa dilakukan sebagaimana
saat tidak krisis, itu menandakan pimpinan itu tidak siap menghadapi krisis.
Kekuatan ketiga adalah, keyakinan Simon bahwa bejo atau
keberuntungan merupakan fungsi dari peluang atau kesempatan dan kesiapan. Contoh paling sederhana adalah ketika berada
dalam situasi krisis. Dapat disaksikan bahwa dalam situasi krisis kebanyakan
perusahaan atau merek menghentikan promosi misalnya iklan mereka. Ini merupakan
fenomena yang umum.
Namun bagi orang yang mau bertindak tidak biasa, dia melihat
itu sebagai peluang. Kenapa? Ketika dalam suatu kondisi orang tidak menampakkan
diri, orang gampang melupakannya. Itu
sebabnya, dalam situasi seperti itu merek atau perusahaan yang beriklan
misalnya, dia berpeluang untuk menggantikan posisi merek atau perusahaan yang
tidak beriklan itu. Ini karena orang lebih ingat pada mereka ketimbang merek
atau perusahaan yang sat itu tidak menampakkan diri.
Tak mudah menjadi pemimpin transformasional. Ini karena
didalamnya terdapat beragam kepentingan. Hanya pemimpin yang tahan banting dan
memiliki strategi serta visi kuat yang berhasil melalui ini. Namun, semua itu tidak akan mulus tanpa
dukungan stakeholder, terutama pemegang saham, karyawan, konsumen. Disini Simon
berhasil membangun DNA Transformasional, sebuah tim transformasi yang bekerja dan
mendemokrasikan munculnya ide dan inovasi.
Semuanya dimulai dan diakhiri pelanggan. Pada titik inilah
Simon selalu mendengungkan #TanpaKalianPastiTidakTerjadi. Akan adakah babak ke 3 panggilan ke Simon untuk mengelola bisnis Bitang Toedjoe dan Extra Joss?