Senin, 12 Mei 2014

Bukan Hanya Bergeser, Kekuasaan juga Membusuk


Lima tahun lalu, public di Indonesia belum mengenal Joko Widodo, Dahlan Iskan, Tri Rismaharini, Ridwan kamil dan sebagainya. Namun nama-nama itu kini popularitasnnya mengalahkan tokoh-tokoh yang lima tahun banyak disebut sebagai pemimpin nasional. Itulah effect dari the More Revolution, the Mobility Revolution, dan the Mentality Revolution

Ketika memberikan pembekalan kepada para peserta Dialog Kebangsaan pada akhir April lalu, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA, sempat menyinggung soal buku The End of Power dengan menyebut sebagai buku yang layak baca.
Tak berlebihan. Ini karena buku ini bukan hanya mengajukan premis tentang pergeseran kekuasaan dari satu negara ke negara lain, dari satu partai politik ke partai politik yang lain, atau dari satu model bisnis ke model bisnis yang lain, penulis buku ini, Moisés Naim juga mengajukan tesis tentang membusuknya kekuasaan.

Bila pada 1977, sekitar 89 negara diperintah oleh pemimpin yang otoriter, saat ini lebih dari setengah populasi dunia hidup dalam alam demokrasi. 


Di perusahaan, para CEO kini memiliki banyak keterbatasan dan lama mereka memagang jabatan juga lebih pendek dari pendahulunya. Alat-alat perang modern, kini jauh lebih murah dan lebih mudah diakses, sehingga memungkinkan bagi kelompok-kelompok seperti Hizbullah untuk membeli drone sendiri misalnya. Dalam semester kedua tahun 2010, sepuluh hedge fund dunia menghasilkan pendapatan yang melampui gabungan pendapatan enam bank terbesar di dunia.

Bisa dikata bahwa buku ini merupakan potret perjuangan Naim sendiri. Selama karirnya, Moises Naim telah terombang-ambing antara menjadi mahasiswa dan praktisi kekuasaan. Bagaimana tidak, pada usia dewasa sebelum waktunya, yakni 36 tahun, dia diangkat menjadi menteri perdagangan dan industri Venezuela.

Kemudian dia menjabat sebagai Direktur Bank Sentral Venezuela dan direktur eksekutif Bank Dunia. Dia menjadi seorang profesor ekonomi, seorang kolumnis yang produktif, seorang penulis beberapa buku tentang hubungan internasional dan editor majalah Foreign Policy. Sebagai seorang pembicara di berbagai pertemuan elit mulai dari Davos, Bilderberg hingga Sun Valley, Naim telah memberikan semacam pengaruh intelektual yang membentuk pendapat  dalam dunia pemerintahan, keuangan dan media.

Yang menarik adalah, pada saat para kritikus pemerintah, bank-bank besar, raja media dan konsentrasi kekayaan, mengutuk kekuatan mereka yang jumlahnya cuma 1 % itu, Naim justru berpendapat bahwa kekuatan para pemimpin - mulai dari politik, perusahaan, militer, agama, serikat pekerja – menghadapi persoalan yang lebih besar. Persoalan yang mereka hadapi lebih kompleks di satu sisi tapi di sisi lainnya tangan mereka menjadi lebih lemah daripada masa-masa sebelumnya.

Tantangan bukan hanya datang dari pesaing langsung, tetapi dari elemen-elemen yang mungkin tidak diduga sebelumnya. Para pemberontak, partai politik pinggiran, start-up yang innovatif, hacker, aktivis yang terorganisir secara longgar, media warga, pemimpin muda, dan individu karismatik kini datang entah dari mana dan mengguncang tatanan lama. Mereka semua adalah micropowers: aktor kecil, dan tidak diketahui. Selama ini mereka-mereka yang diabaikan itu menemukan cara untuk melemahkan, memagari, atau menggagalkan pemain-pemain besar.

Pembusukan kekuatan ini melampaui pergeseran pengaruh dari negara maju ke negara-negara berkembang, atau di antara wilayah di dunia. Berakhirnya Perang Dingin dan kelahiran Internet membantu munculnya micropowers. Tetapi mereka bukan berarti menjadi satu-satunya faktor penting. Naim menunjuk pada tiga revolusi besar -- yakni the More Revolution, the Mobility Revolution, dan the Mentality Revolution – yang menjadi pemicu munculnya microplayers tadi.

The more revolution merujuk pada situasi bahwa saat ini orang, negara, kota, partai politik, dan tentara jumlahnya semakin banyak. Saat ini juga lebih banyak perusahaan yang menjual barang dan jasa, lebih banyak senjata dan lebih banyak obat-obatan; lebih banyak siswa yang memiliki komputer; lebih banyak pengkhotbah dan sekaligus lebih banyak penjahat. Output ekonomi dunia telah meningkat lima kali lipat sejak tahun 1950. Pendapatan per kapita telah tiga setengah kali lebih besar dari sebelumnya. Yang paling penting, terdapat lebih banyak orang – sekitar 2 miliar lebih banyak -- dari dua dekade lalu. Pada tahun 2050 populasi dunia akan menjadi empat kali lebih besar daripada satu abad sebelumnya.

Beberapa kelompok dan gerakan pemberontak politik lahir dan terkenal saat ini – menurut catatan Naim seperti Tea Party , the Pirate Parties di Eropa dan, terakhir Gerakan Bintang Lima di Italia – karena lebih fleksibel dan relative lebih mudah diorganisasir, kini muncul sebagai kelompok yang lebih kuat. Di sisi lain, seperti yang terjadi di dunia bisnis, konglomerat  yang memiliki usaha beragam seperti energi, media, perbankan, transportasi dan IT kini harus menghadapi persaingan yang lebih berat karena semakin banyaknya pesaing, termasuk diantaranya dari negara-negara berkembang. Di sisi lain pula, mereka kini menghadapi serangan musuh lain -- seperti pemberontak, teroris dan geng militer seperti Meksiko Zetas -- yang kini menjadi semakin dikendalikan.

"Revolusi mobilitas" berupa pergerakan orang, barang, uang, ide-ide, dan nilai-nilai pada tingkat yang  tak terbayangkan. Mobilitas orang dan ide kini mengakhiri captive audiences, dalam artian sebuah ide tidak hanya untuk kalangan tertentu tapi untuk semua orang.  Dengan "revolusi mobilitas," menurut Naim, pergerakan orang, ide-ide dan modal berlangsung  dengan cara yang lebih mudah daripada yang pernah mereka lakukan. Misalnya, diaspora dan masyarakat imigran telah mengubah keseimbangan kekuasaan baik di dalam komunitas baru mereka sendiri maupun keseimbangan geopolitik yang lebih besar dengan menyebarkan ide-ide dan lewat pengiriman uang ke negara asal mereka.

Revolusi mobilitas menciptakan kelas menengah baru , makin meluas  dan cepat tumbuhnya kesadaran bahwa orang lain lebih makmur, lebih memiliki kebebasan, dan pemenuhan pribadi daripada yang mereka lakukan. Para anggota baru dari kelas menengah global berusaha mengejar keterketinggalan mereka.  Masyarakat di banyak negara Islam misalnya, mengubah tradisi yang selama ini dipegangnya. Ini ditandai dengan  kebangkitan industri fashion yang ditujukan untuk perempuan berjilbab, desakan untuk sistem perbankan tanpa bunga seperti yang terjadi di negara-negara Barat yang memiliki komunitas imigran Muslim yang besar.

Akhirnya, revolusi mentalitas – mencerminkan perubahan besar dalam pola pikir, harapan, dan aspirasi yang mengantarkan pergeseran ini. Ini berarti terjadi suatu transformasi aspirasi, harapan dan nilai-nilai sehingga individu tak lagi menganggap sesuatu sebagai hal yang biasa. Revolusi mentalitas menggambarkan efek dari dua fenomena lain bahwa populasi saat ini memiliki pola berpikir yang berbeda. Sebagai akibat dari paparan yang terjadi di lebih banyak tempat, lebih orang, dan ide-ide, orang menjadi semakin sulit menerima kebijaksanaan atau menunjukkan hormat kepada bentuk-bentuk kekuasaan tradisional. Ilustrasi tentang ini adalah semakin banyaknya orang yang mempertanyakan kebijakan pemerintah, agamawan dan hak-hak perusahaan.

Namun, semua itu bukan berarti menjadi pertanda akhir dari peran negara, militer konvensional, bisnis besar atau gereja-gereja. Mereka bisa saja masih eksis, namun kekuasaannya makin dibatasi dan posisi mereka menjadi kurang aman. Para pemain besar yang saat ini tampak kuat kini makin sulit menyelesaikan masalah tersebut. Dalam konteks ini, menurut Naim, kekuasaan menjadi semakin penting bila memiliki fungsi sosial. Dalam arti kata, perusahaan misalnya, bisa menjalankan fungsi itu dengan melaksanakan tidak hanya apa yang menjadi tanggungjawabnya, tetapi menjalankan aksi sosial ketika kekuasaan gagal.

Yang ada sekarang, kata Naim, sudah terlalu banyak, terlalu banyak yang bergerak, dan terlalu banyak tuntutan dan perspektif perubahan. Pada kondisi seperti itu, orang baru bisa muncul setiap saat dan secara efektif bisa menantang atau melemahkan kekuatan Anda. Tesis ini menjadi relevan manakala dikaitkan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Kemunculan tokoh-tokoh nasional baru yang selama ini tidak diperhitungkan karena tertutup tokoh-tokoh lama membuktikan hipotesis Naim. Lima tahun lalu, public di Indonesia belum mengenal Joko Widodo, Dahlan Iskan, Tri Rismaharini, Ridwan kamil dan sebagainya. Namun nama-nama itu kini popularitasnnya mengalahkan tokoh-tokoh yang lima tahun banyak disebut sebagai pemimpin nasional.

Intinya, More, Mobility, dan Mentality Revolutions menantang model kekuasaan tradisional. Dalam model kekuasaan yang besar, terpusat, organisasi dikoordinasi melalui pengerahan sumber daya yang luar biasa. Semakin berkembangnya tiga revolusi tersebut, organisasi yang mengandalkan pemaksaan menghadapi persoalan semakin tingginya biaya, bukan  hanya mempertahankan pangsa pasar tetapi juga untuk mengawasi pasar mereka.

Sebagai pengamat yang tajam, Moisés Naim – kata Francis Fukuyama – dalam the End of Power menawarkan perspektif baru yang menarik tentang mengapa kekuasaan menghadapi tantangan lebih berat dari sebelumnya. Gambarannya lebih mendalam tentang pergeseran kekuasaan di berbagai usaha manusia, dari bisnis sampai politik dan militer, pertama, membuka mata pembaca untuk melihat fenomena yang biasanya tidak terkait. Kedua, memaksa pembaca untuk berpikir ulang tentang  bagaimana dunia telah berubah dan bagaimana kita perlu meresponnya.


Judul Buku           : The End of Power: From Boardrooms to Battlefields and Churches to States, Why Being in Charge Isn’t What It Used to Be
Penulis                 : Moisés Naim
Penerbit               : Basic Books, 2013

Tebal                    : 306 halaman