Senin, 25 September 2017

Cult Brand


Stalinisme erat hubungannya dengan pengkultusan terhadap seseorang, pelanggaran hukum, dan kamp-kamp dengan segala represinya. Saya berharap hal seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi di Rusia – Vladimir Putin

Sebuah bursa yang sangat maju tidak akan bisa menjadi sebuah klub yang mengkultuskan atau fanatik pada etika - Max Weber (1894)

Kalimat yang disampaikan Putin dan Weber itu mengesankan bahwa pengkultusan, dalam hal ini terhadap suatu individu adalah tidak baik. Benarkah? Dalam kajian marketing communicatons,  cult branding adalah strategi menciptakan pengalaman merek yang membuat orang memperoleh pengalaman tersebut mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap suatu merek. Perasaan ini memberikan kesadaran bersama dengan orang lain melakukan ritual bersama.

Para pemasar sengaja atau tidak sengaja, namun dalam ini saya cenderung mengatakan sebagai sesuatu yang sengaja menciptakan perasaan ini. Sebab bagaimanapun cult branding sangat efektif karena rasa memiliki itu mendorong banyak pelanggan setianya ikut meyakinkan teman-teman dan keluarganya untuk memilih merek tersebut atas dasar rasa cinta yang mendalam dan merasa terhubung dengan merek tersebut.

Banyak merek-merek yang bisa dikategorikan ke dalam cult brand. Di banyak kajian, merek-merek seperti Amazon, Nike, Harley Davidson, Apple dan banyak lagi termasuk Samsung diilustrasikan sebagai cult brand.

Suatu merek yang dikultuskan memiliki sekelompok orang menyebarkan berita, merekomendasikan, melakukan pembelaan dan mengubah produk yang mungkin saat itu pingiran menjadi merek utama.

Apple sering dibantu oleh mereka yang tergabung dalam komunitas pengguna Apple (Muniz, 2001). Misalnya, ada komunitas yang secara sukarela membantu pengguna Apple lainnya yang kurang bisa mengoptimalkan penggunaan Apple.

Mereka terus mengumpulkan umpan balik dari pengguna dan menyampaikan ke Apple dan berbagi kisah sukses mereka karena menggunakan Apple. Dengan mengikuti mereka, Apple mampu melengkapi dan memberikan pelanggannya perangkat tambahan produk yang mereka inginkan.

Komunitas itupun dianggap sebagai bagian dari Apple. Fenomena ini menunjukan adanya pertukaran diantara yang mengkultuskan dan yang dikultuskan.

Mungkin Anda sering melihat bagaimana logo dan gambar Harley-Davidson, Nike, Playboy, Coca-Cola, VW, dan Apple diukir secara secara permanen ke dalam kulit (tato) pelanggan di seluruh dunia. Selama bertahun-tahun para peneliti pemasaran terus mengidentifikasi merek-merek yang memiliki pelanggan esktrim yang dengan sukarela mentato dirinya dengan suatu merek.

Meskipun logo dan gambar merek dalam tato mungkin tampak terlalu ekstrem bagi pemasar, apa yang mereka lakukan itu mencerminkan dari paduan suara pelanggan terhadap suatu merek. Pelanggan-pelanggan radikal ini bisa jadi memahami bisnis Anda pada tingkat yang lebih dalam dan lebih bermakna daripada pemasar merek itu sendiri. Itu sebabnya, pemasar harus terlibat, berbicara, dan yang paling penting adalah mendengarkan suara mereka.

Jadi mengapa mereka melakukannya? Mengapa penggemar para pecinta merek rela mencakar tubuh mereka dengan tanda perusahaan? Ada banyak alasan psikologis yang dimiliki pelanggan dengan tato dari perusahaan yang mereka cintai. Seseorang mentato dirinya dengan logo merek tertentu, seringkali karena ingin dia dianggap sebagai bagian dari kelompok sosial tertentu.

Disini pemersatunya adalah tato merek. Tato merek membantu pelanggan membangun ikatan dengan orang lain dalam kelompok sosial yang sama yang memiliki kepentingan dan nilai bersama. Tato merek mengirim pesan bahwa mereka termasuk dalam komunitas unik dan bermakna secara pribadi. Anda hanya "mendapatkan pesan" jika Anda adalah bagian dari kelompok itu.


Mereka juga merasa bahwa dengan mentoto tubuhnya dengan suatu merek, mereka seakan menemukan asosiasi yang berarti. Tato merek mengingatkan pelanggan akan nilai pribadi sebab tato  adalah lencana permanen dengan makna khusus. Ini menciptakan isyarat ingatan yang kuat dari kenangan, pengalaman, emosi, dan asosiasi positif lainnya yang mereka miliki dengan merek tersebut. Sebuah gambar tunggal, seperti yang ditunjukkan oleh tato, dapat merangkum serangkaian kenangan dan perasaan yang kompleks.

Bahkan sebagian orang merasa bahwa tato merek merupakan penghubung dengan cita-cita. Tato merek adalah pengingat kehidupan ideal pelanggan. Merek menjadi terkait dengan cita-cita tertentu, karena Apple misalnya telah menjadi terkait erat dengan kreativitas, kecantikan, dan ekspresi diri. Pelanggan melihat tanda merek sebagai pengingat akan cita-cita ini, dan mereka menarik kekuatan dari image tersebut. 

Cult branding tidak mudah, tidak cukup dengan promosi besar-besaran dan berharap orang-orang mengadopsinya sebagai jalan hidup. Untuk mencapai hubungan khusus dengan konsumen, merek harus memiliki daya tarik yang unik yang dirasakan hingga ke konsumen akar rumput.

Orang harus dibuat merasa menjadi bagian dari merek dan menjadi bagian dari komunitas orang-orang yang memiliki minat yang sama. Budaya yang dibangun di sekitar merek berdasarkan pada kepribadian kelompok kecil. Dari sana, mereka menyebarkan dan merekrut lebih banyak pengikut.

Dalam kajian sosiologi, teori pertukaran sosial menyatakan bahwa dalam sebuah hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling mempengaruhi (Homans 1950). Di dalam masyarakat, publik dapat melihat adanya perilaku yang saling mempengaruhi diantara mereka yang saling berhubungan yang didalamnya terdapat unsur ganjaran, pengorbanan dan keuntungan.

Ganjaran merupakan segala hal yang diperoleh melalui pengorbanan. Pengorbanan merupakan sesuatu  yang dihindarkan ata setidaknya diminimalkan. Sedangkan keuntungan merupakan fungsi dari ganjaran dikurangi oleh pengorbanan.

Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, dan persahabatan. Suatu hubungan akan langgeng manakala masing-masing merasakan keuntungan.  Namun demikian, keuntungan tadi tidak selalu bisa dirasionalkan.

Pengkultusan juga tak selamanya menguntungkan dan berdampak baik. Menurut Melton (1992), pengkultusan adalah contoh dalam kelompok masyarakat kita yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Dalam literature sosiologi, kultus sering digambarkan sebagai fenomena sekelompok kecil dalam masyarakat yang mengabdi pada seseorang, sebuah ide, atau sebuah pergerakan. Pengkultusan ini sering dibangun di seputar keyakinan agama yang tidak lazim dan mempunyai keyakinan serta  standarnya sendiri (norma-norma kelompok). Yang sering terjadi, keyakinan dan standar itu diajarkan kepada para anggota baru melalui indoktrinasi yang berkepanjangan.

Karena itu, pengkultusan pada umumnya melemahkan anggota secara individu dengan membuatnya tergantung pada kelompok untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, ada kultus yang meyakini bahwa kiamat segera datang dan bahwa hanya kelompok mereka yang selamat.

Kultus, seperti keleompok _Heaven’s Gate_ (Pintu Gerbang Surga) yang melakukan bunuh diri massa pada tahun 1997, berhubungan dengan anggotanya melalui website salah satunya (Melton 1986 dan Kornblum 1997).  

Maret 22-23, 1997, tiga puluh sembilan anggota aktif Gerbang Surga bunuh diri. Mereka menelan campuran beracun dari barbiturat dan alcohol. Begitu nafas melambat dan terjatuh, mereka menutup serta mengikat tas plastik di kepala. Mereka melakukan itu mengikuti pedoman yang telah mereka pelajari beberapa tahun sebelumnya.

Mereka meletakkan hidup duniawi mereka ke dalam apa yang mereka sebut sebagai ritual yang sempurna dan menunjukkan kepedulian yang mendalam. Sesuai dengan adat kelompok, masing-masing anggota mengenakan seragam yang sama. Tetapi dalam beberapa bulan terakhir mereka anggota kelompok telah menambahkan dengan tulisan _Heaven’s Gate Away Team_ dan memposisikan mereka hanya sebagai pengunjung planet ini ketimbang sebagai penduduk.

Mereka juga menutupi dirinya dalam kain kafan berwarna ungu. Kain kafan sering dijumpai dalam kebiasaan penguburan lama yang hampir universal. Ungu sebagai pengingat bahwa tidak hanya musim Paskah tetapi -- seperti Robert W. Balch dan David Taylor tunjukkan, ini adalah warna favorit Nettles.

Setiap anggota membawa uang lima dan tiga perempat dolar, sebuah praktek standar yang harus diikuti anggota agar mereka terhindari dari kesulitan karena keuangan apabila mereka terdampar di suatu paska kematian mereka.

Setiap anggota membersihkan dan merapikan semua hal yang terkait dengan bunuh diri massal itu dan membuang kantong plastik dan mengalungkan kain kafan almarhum sahabat  mereka. Sang pemimpin, Applewhite mengakhiri hidupnya pada hari kedua bunuh diri, bersama dengan pembantu terdekatnya.

Fenomena bunuh diri kelompok Gerbang Surga ini menunjukkan adanya keyakinan dalam diri mereka, bahwa bunuh diri adalah tindakan keagamaan. Para anggotanya memahami bunuh diri bukan sebagai kematian melainkan sebagai sebuah penobatan atau wisuda, memutuskan hubungan dengan dunia yang mereka yakini kian membusuk sehingga dapat membebaskan jati diri mereka menuju ke langit tingkat berikutnya. Itu menunjukkan bahwa keyakinan memang irrasional.

  
Melton JG. Encyclopedic Handbook of Cults in America. New York: Garland
Kornblum J. 1997 March 27. Web Ties to Mass Suicide Probed. CNET News (Online). Available:                 http://www.news.com/News/Item/0.4.9192.00.html
Weber M. 1894. Stock and Commodity Exchanges (translated by S. Lestition, 2000). Theory and
           Society 29: 305-338. 
http://www.salon.com/2014/11/15/anatomy_of_a_mass_suicide_the_dark_twisted_story_behind_a_u fo_death_cult/

Minggu, 24 September 2017

The Rise of the Empowered Consumer


Škoda adalah contoh utama dari sebuah merek yang gagal karena asosiasi merek negatif. Pada akhir tahun 90an, meski secara teratur memenangkan penghargaan industri, Škoda dikenal luas sebagai mobil yang memalukan untuk dimiliki. Penelitian oleh Millward Brown menemukan bahwa 60% orang bahkan tidak mempertimbangkan untuk membeli Škoda.

Pendekatan Škoda adalah untuk mengatasi asosiasi merek asosiasi negatif ini. Iklannya terkenal menggunakan nada mencela diri sendiri saat membicarakan reputasinya, dan menunjukkan orang-orang terkejut dengan kualitas model baru ini.

Dalam prakteknya strategi ini dimulai dengan sebuah riset pasar yang memberi pandangan jujur kepada konsumen yang memikirkan merek tersebut. Dengan memahami apa yang dikatakan konsumen, Škoda dapat menemukan celah di pasar - pengemudi yang tidak terlalu sadar merek, namun selalu mencari nilai atas uang yang mereka keluarkan untu mobil yang andal.

Saat ini, riset pasar serupa tentang persepsi merek dapat dilakukan dengan cepat, efisien biaya dan skala dengan menggunakan mendengarkan sosial. Menganalisis kata sifat dan ungkapan yang digunakan oleh konsumen secara online saat membicarakan tentang berbagai merek mobil dapat membantu produsen menemukan celah di pasar dan cara unik untuk memposisikan merek. Ini dapat membantu mereka melihat kekuatan yang ada di mata konsumen, dan kesempatan untuk membedakan dari kompetisi.

Seperti yang ditunjukkan Škoda, reputasi merek tidak diatur dalam ruang yang selalu statis tidak bergerak atau berubah. Mereka selalu bergerak sehingga agar tetap bisa memegang kendali dan maju, merek perlu memastikan bahwa mereka selalu mendengarkan konsumen. Riset pasar bukan lagi sesuatu yang bisa ditugaskan, dilakukan dan diarsipkan. Riset pasar harus dilakukan secara terus menerus, terukur dan didukung oleh data dan wawasan real-time. Pendengar sosial menawarkan itu semua, meski  terserah kepada produsen apakah mau memanfaatkan kesempatan itu dan mengubahnya menjadi tindakan atau tidak.

Cara lama para pemasar dan tenaga penjualan untuk produk mobil baru misalnya, mungkin tidak akan berbeda dengan pemasaran atau penjualan mobil bekas. Mereka berdiri di depan dan selalu ingin memberikan penjelasan atau berbicara kepada calon customernya tentang produk yang dijualnya. Penjual merasa memiliki kekuatan yang menentukan informasi yang tersedia bagi pembeli. Dengan kata lain, pemasar atau penjual merasa memiliki pengetahuan yang lebih banyak dari calon pembelinya.

Kekuasaan tersebut kini tinggal mitos. Media dan teknologi sosial telah melahirkan konsumen yang diberdayakan. Dengan hanya beberapa sentuhan pada smartphone mereka, konsumen bisa mendapatkan semua informasi semua produk yang mereka butuhkan. Mereka dapat dengan cepat mengakses ulasan jurnalis, blogger dan sebagainya tentang produk tersebut, membandingkannya dengan model saingan, dan melihat apakah ada orang lain yang menawarkan kesepakatan yang lebih baik, sambil berdiri di showroom mobil tersebut.

Pelanggan lebih tahu berarti sekarang lebih banyak faktor yang dipertimbangkan ke dalam pengambilan keputusan pembelian. Penelitian online adalah bagian tak terpisahkan dari proses pembelian. Dalam onteks inilah merek perlu memastikan bahwa mereka menyelaraskan posisi produk, pesan pemasaran dan penawaran dengan kebutuhan konsumen dan kemudian membuat semua terlihat dan terlihat secara online. Fenomena ini sekaligis mengubah paradigm pemasaran dari lebih banyak bicara ke lebih banyak mendengarkan. Ini berarti kesempatan baru bagi pemasar untuk memahami perilaku konsumen.

Bagi sebagian orang, kebangkitan konsumen yang diberdayakan mungkin terasa seperti ancaman terhadap model bisnis tradisional. Padahal, hal itu bisa diterjemahkan sebagai kesempatan seismik bagi mereka yang memilih untuk mendengarkan. Setiap hari jutaan orang beralih ke media sosial untuk memberi tahu dunia tentang pengalaman, pemikiran dan pendapat mereka.

Efek akumulatif dari semua obrolan sosial ini telah menciptakan kumpulan data konsumen terbesar yang pernah ada. Triliunan percakapan konsumen tersebar di seluruh web pada topik yang dibayangkan. Bagi industri yang penuh dengan konsumen bergairah seperti industri otomotif, peluang yang dihadirkan dengan mendengarkan di media sosial sangat besar. Faktanya, 38% konsumen berkonsultasi dengan media sosial sebelum melakukan pembelian mobil. Sinyal pembeli sudah ada di sana, sekarang ada merek untuk mengerti maksudnya.

Melalui media sosial, rantai makanan cepat saji untuk keluarga di AS, Wendy menemukan orang-orang khawatir makan di restorannya karena mereka tidak mengetahui kandungan gizi makanannya, dan tidak ingin memecahkan makanan mereka. Wendy's lalu mengembangkan aplikasi dengan informasi nutrisi yang relevan. Wendy's juga mengubah branding value burgernya untuk mendorong orang menshare valuenya.

Dell meluncurkan pusat komando yang bertugas mendengarkan suara-suara di media sosial pada tahun 2010. Dengan menggunakan perangkat lunak Radian6, mereka dapat memantau percakapan pelanggan dalam 11 bahasa. Tujuan utamanya adalah untuk mendengarkan dan menanggapi apa yang pelanggan katakan, dan untuk menarik umpan balik ke bisnis. Kini, Dell terkenal sebagai merek sosial dan bahkan menawarkan pelatihan mendengarkan media sosial ke bisnis lain.

Rantai restoran AS Morton's Steak House memicingkan sebuah tweet oleh seorang pria yang memiliki lebih dari 100.000 pengikut, yang mengatakan bahwa makan malam steak mereka akan menjadi akhir yang sempurna untuk penerbangannya. Perusahaan Morton’s Steak House kemudian mengirim pelayan bertuksedo untuk menyambut pria dengan makan malam steak saat dia turun dari pesawat.

Platform mendengarkan media sosial memberi kesempatan kepada merek cara mengubah data konsumen tidak terstruktur yang besar menjadi wawasan konsumen yang dapat dicerna dan dapat ditindaklanjuti. Wawasan ini harus terbentuk di setiap aspek siklus pengembangan produk mobil misalnya, dari desain produk hingga strategi penetapan harga terhadap pesan dalam komunikasi pemasaran.

Jumat, 22 September 2017

Transactional Journalism



Pagi tanggal 15 Juli 2009, Marc Ambinder, editor politik The Atlantic, mengirimi Philippe Reines, juru bicara Hillary Clinton yang sangat agresif, sebuah email kosong dengan judul subjek, "Apakah Anda memiliki salinan pidato HRC (singkatan nama Hillary) untuk dibagikan?" 

Konteks pertanyaan dalam email ini  menyangkut sebuah pidato yang direncanakan Clinton untuk disampaikan pada hari itu di depan the Council on Foreign Relations, sebuah kelompok pemikir masalah kebijakan luar negeri yang berpengaruh, di Washington. Tiga menit setelah email awal Ambinder, Reines membalas dengan tiga kata: "Ada dua kondisi." Setelah Ambinder menanggapinya dengan "oke," Reines mengiriminya daftar kondisi tersebut.

September tahun lalu, JK Troter, dari Gawker.com, mengungkap serangkaian email yang menunjukkan bagaimana  Ambinder mengizinkan Reines untuk mendikte pilihan kata dan membingkai sebuah cerita tentang sebuah pidato kebijakan Juli 2009 yang disampaikan oleh Hillary Clinton tersebut. Sebagai imbalannya, Reines memberi Ambinder, sekarang menjadi editor pada The Week, sebagai pihak yang pertama yang membaca konsep pidato yang disiapkan Hillary Clinton sehingga dia bisa menulis review lebih awal tentang pidato tersebut, sementara warawan lainnya harus menunggu usai isi pidato itu disampaikan Hillary Clinton.

Para penggiat jurnalistik menyebut praktik yang dilakukan Ambinder dan Reines itu sebagai jurnalistik transaksional, sebuah frasa yang mengacu pada hubungan bersahabat dan saling menguntungkan yang telah dikembangkan antara reporter dan orang-orang yang mereka laporkan. 

Para penggiat mengkritik praktik tersebut karena pada saat itulah hubungan bisa melintasi garis di luar kewajaran. Hubungan tersebut bisa negatif karena bisa bersifat transaksi yang tidak transparan dan – di bawah transkasi rahasia itu -- bisa dimanfaatkan para pelakunya untuk menyerang baik secara formal maupun implisit, lawan politik atau pesaing bisnisnya melalui pelaporan berita dengan topic dan cara tertentu.

Wartawan mungkin menawarkan perlakuan yang baik dengan imbalan mendapatkan "suapan". Mereka mungkin setuju untuk membiarkan subjek wawancara menentukan hal-hal ketika membahas topik dan waktu penerbitan. Mereka mungkin berjanji untuk mengajukan beberapa pertanyaan dan menghindari yang lain. Mereka dapat melakukan hubungan yang nyaman yang memungkinkan pelaporan mereka dipengaruhi dengan cara yang tidak mereka ungkapkan kepada publik. 

Biasanya wartawan memberikan perlakuan yang paling baik kepada mereka yang secara ideologis mereka selaras. “Semua ini melintasi garis etis,” kata veteran wartawan, Sharyl Attkisson, dalam bukunya The Smear How Shady Political Operatives and Fake News Control What You See, What You Think, and How You Vote.

Jurnalisme transaksional menghasilkan dinamika yang menyesatkan. Ini karena pejabat publik bisa memanipulasi pers untuk bersaing mendapatkan informasi, propaganda atau siaran pers yang akan disampaikan pemerintah baik yang bersifat promosi agenda atau melumpuhkan lawan. Wartawan yang pertama kali mempublikasikan handout ini tentu senang dan bangga karena mendapat tepukan hangat dari belakang rekan-rekannya.

"Bagus sekali!" kata mereka.

Dalam dunia jurnalistik adalah sebuah prestasi yang membanggakan – setidaknya bagi dirinya sendiri – apabila seorang wartawan mendapat cerita eksklusif sebagai hasil kecerdikan dan ketekunannya. Apalagi bila bocoran itu berasal dari sumber penting semisal pejabat tinggi pemerintah atau pimpinan puncak perusahaan. Ini menunjukkan wartawan tersebut berbeda dengan lainnya. "Bila Anda adalah salah satu pengendus paling top dalam suatu 'rantai aliran informasi', Anda akan mendapatkan info terlebih dahulu,” kata seorang wartawan kawakan. “…..dan itu sangat membanggakan. "

Kamis, 21 September 2017

Undue Identification


Diakui atau tidak, media sering membuat kita mendefinisikan sesuatu, termasuk mendefisinikan apa yang normal dan yang abnormal, termasuk apa yang tidak tepat atau salah di dalam masyarakat. Karena informasi dari media, orang menyebut seseorang atau orang lain dengan sebutan semisal "pemarah" dan sebagainya.

Dalam kajian semantik media ada konsep yang disebut dengan undue identification (pengenalan yang tidak pas atau pantas) atau kegagalan dalam melihat perbedaan antara anggota kategori, atau kelompok. Kelompok yang sejatinya berbeda dianggap sama atau disamakan. Susahnya kalau penyamaan itu bernada negatif.

Satu jenis umum dari undue identification adalah stereotyping. Misalnya, anggapan bahwa ibu mertua adalah orang yang suka ikut campur dan cerewet, atau pria Italia itu pecinta sejati, adalah contoh-contoh dari undue identification. Media atau mungkin kita – melalui postingan di grup whatsApp atau media sosial -- sengaja atau tidak sengaja juga sering memunculkan beberapa sub-kelompok seperti tamak, pemalas, penakut atau semacamnya.

Pada 1987, Muhammad Kamal, Duta Besar Yordania untuk Washington menulis sebuah artikel yang berjudul Why Tar Arabs and Islam di New York Times, 16 February 1987. Dia menunjukkan bahwa jurnalisme Amerika menyamaratakan “Muslim – Teroris – Arab” secara simplistic sementara ada hampir 200 juta orang Arab dan hampir satu miliar muslim di dunia.

Mereka diberi label “teroris” ketika media meliput aksi pemboman bom bunuh diri dan menyebut mereka sebagai “muslim” dan “Arab.” Kamal mengamati bahwa media tidak pernah menyebut Baader-Meinhof sebagai “teroris Kristen” atau Tentara Merah dari Jepang sebagai “Teroris Shinto.”
  
Pelabelan itu bisa jadi merugikan pihak yang diberi label. Dalam kajian tentang propaganda, pelabelan ini disebut sebagai name calling. Tujuan dari propaganda name calling yaitu untuk mempengaruhi orang agar menolak suatu ide tertentu tanpa mengoreksi ataupun memeriksanya terlebih dahulu. Biasanya ide, orang atau kelompok itu diberi label buruk untuk menjatuhkan atau menurunkan kewibawaan seseorang atau kelompok tertentu.

Lalu bagaimana cara membedakan agar beberapa -- katakanlah -- orang memiliki nama yang sama bisa dikenali bahwa seseorang yang memiliki kemiripan nama itu berbeda dengan yang lain? Untuk mengatasi problem itu, para pakar semantik pernah merekomendasikan penggunaan nomor indeks untuk mencegah undue identification

Apabila kita mencantumkan sebuah nomor indeks misalnya pada kata mahasiswa setiap saat kita memakainya, kita mungkin tidak berpikir bahwa semua mahasiswa adalah sama.

Contohnya, Aruman-1 bukanlah Aruman-2, atau mengambil contoh lain bahwa Arab-1 bukanlah Arab-2. Disini tentu bukan persoalan banyaknya angka yang kita gunakan. Yang jauh lebih penting adalah kita menyadari bahwa anggota sebuah kelompok memiliki kesamaan sekaligus memiliki perbedaan karakteristik satu dengan yang lainnya.

Yang juga menjadi persoalan manakala label ke satu, ke dua dan seterusnya itu kemudian diidentikan dengan kualitas atau karakter semisal angka dua diidentikan dengan kualitas nomor dua atau KW-2 atau derajat peringkat. Dalam konteks ini sepertinya pemberi label ingin menunjukkan bahwa KW-2 itu masih di bawah KW-1 atau yang asli (Ori).  

Dalam konsep komunikasi pemasaran, kadang-kadang untuk bisa menarik perhatian, perlu sesuatu yang bersifat menyerang, terutama untuk menarik perhatian dari pihak yang bukan pendukung. 

Ada asumsi bahwa konsumen yang memiliki sikap tidak mendukung mungkin mengalokasikan sedikit perhatian terhadap suatu merek. Karena itu, perlu diciptakan suatu pesan yang bisa menarik perhatian, dalam hal ini adalah menyerang.

Atau bisa juga kampanye menyerang tersebut dinilai sebagai salah satu bentuk ketidakberdayaan menghadapi kinerjanya yang melorot atau melihat merek lain yang makin mencorong. Beberapa tahun lalu, CEO BlackBerry, John Chen, menyampaikan komentarnya tentang popularitas iPhone. "Saya menyebut kalian (pengguna iPhone) sebagai pemeluk dinding," kata Chen saat berbicara di depan forum  Oasis Montgomery Summit.

Menurut laman CNET, inti dari humor ini terkait dengan baterai iPhone yang cepat habis, bahkan tidak cukup untuk satu hari, kata Chen. Itu sebabnya, pengguna iPhone mencari dinding yang memiliki outlet listrik untuk menambah daya battereinya. 

Namun, sebenarnya ini bukan hanya akibat baterai iPhone yang tidak bisa bekerja dengan baik, tetapi ada begitu banyak aplikasi iOS yang menggoda penggunanya untuk mengunduh dan menggunakannya, yang semakin menguras "daya hidup" iPhone.

Jika mengacu pada pendapat Jack Trout dan Steve Rivkin dalam buku Repositioning: Marketing in An Era of Competition, Change, Crisis, yang dilakukan Capres dan Chen tersebut pada dasarnya mereka mereposisi pesaingnya. Dalam kaitan itu, merek pesaing dibuat lebih banyak memiliki kelemahan dibandingkan dengan merek dia sendiri.

Jadi dalam konsep ini, repositioning tidak hanya dilihat pada bagaimana suatu perusahaan memperbaiki diri untuk mengungguli pesaingnya, tapi juga bisa dilakukan dengan cara membangun persepsi public bahwa pesaingnya tidak lebih baik dari dirinya. Fenomena itu banyak kita jumpai akhir-akhirnya dimana beberapa partai yang kadernya terlibat korupsi berusaha membangun persepsi bahwa korupsi yang dilakukan kader partainya masih kecil, sementara yang dikorupsi atau jumah kader partai lainnya lebih banyak.
 
Beberapa tahun lalu, Kodak - perusahaan film yang kini sudah bangkrut, mencoba melawan produsen tinta dengan menyebut mereka sebagai perusahaan printer besar yang mengajari konsumen menjadi boros. Tidak seperti Kodak yang mengajari hemat. Untuk mendukung kampanye tersebut, Kodak mengirim orang ke situs Web produsen tinta dan menuliskan perhitungan biaya yang harus dikeluarkan pengguna tinta printer.

Ketika McDonald mempromosikan kopi latte dan capuccinonya, mereka membangun dan berkampanye melawan snobby coffee-nya Starbucks dengan menyebut sebagai suatu kesombongan. Malalui kampanye yang dilakukan melalui website yang diberi nama Unsnobbycoffee.com, McDonald ingin menunjukkan kepada pelanggannya bahwa  mereka tidak perlu belajar "bahasa kedua" untuk memesan minumannya.

Referensi : Severin WJ and Tankard Jr JW. 2001. Communications Theories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media. New York: Addison Wesley Longman.       

Rabu, 20 September 2017

Bagaimana Caranya Agar "Perbedaan" (Differensiasi) Diperhatikan ?


Anda memperhatikan mobil Innova terbaru? Apakah merek mobil itu masih mencantumkan Kijang? Apakah mereknya masih Kijang Innova? Nama Kijang di mobil versi 2017 yang dulu dikenal sebagai Kijang Innova itu kini punya kakak, Innova Venturer. Artinya, Innovasi bukan monopoli Kijang karena ada Innova Venturer.

Mungkin karena Innova lebih menginternasional ketimbang Kijang Innova yang kental dengan aroma lokal sehingga untuk menciptakan kesan internasional, dibuatkan Innova Venturer, selain tentu saja untuk membidik pasar di luar Kijang. Proses itu tidak berlangsung seketika namun dilakukan secara bertahap. Kenapa?

Februari 2015, Coca-Cola dengan sedikit gula mulai muncul di toko-toko dan restoran di Kanada. Saat itu, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana selera lidah Kanada merespons perubahan - dengan asumsi bahwa mereka dapat mengenali perubahan itu.

Saat meluncurkan produk tersebut, Coca-Cola Kanada mengatakan bahwa selama lebih dari satu abad, versi minuman ringan nomor satu yang beredar di Kanada memiliki lebih banyak gula daripada di AS. Namun pada bulan Januari, Coke mengumumkan mulai memproduksi versi Kanada dengan jumlah gula yang sama seperti di AS dan juga menjualnya dalam kaleng dan botol yang lebih kecil.

Itu berarti Coke di Kanada beralih dari minuman cola yang mengandung lebih banyak gula daripada Pepsi yang mengandung lebih sedikit. Untuk kemasan kaleng 355 ml, kandungan gula Coke Kanada turun tujuh persen dan 12,5 persen dalam jumlah kalori. Apa yang ada di balik keputusan Coke mengubah kebiasaan yang telah berlangsung satu abad itu?

Dalam beberapa tahun terakhir, orang-orang Kanada mulai mengkonsumsi lebih sedikit gula yang dapat dilihat dari porsi pasokan energi makanan yang berasal dari gula dan pemanis. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB mengatakan bahwa di Kanada, jumlah tersebut turun dari 14,1 persen pada tahun 2002 menjadi 12 persen pada tahun 2014.

Orang Amerika, di sisi lain, menerima 17,1 persen pasokan energi makanan dari gula dan pemanis pada 2014, dan itu berarti tidak berubah sejak tahun 2002. Orang Kanada makin sadar bahwa mengkonsumsi terlalu banyak gula secara signifikan meningkatkan risiko kematian akibat penyakit jantung atau stroke. FAO mengatakan bahwa untuk negara maju, sebagai satu kelompok, konsumsi gula turun dari 13 persen pada tahun 2004 dan 12,4 persen pada tahun 2014.

Perbedaan utama antara orang Kanada dan Amerika dalam hal konsumsi gula tambahan adalah karena minuman ringan. Menurut Canadian Sugar Institute, konsumsi minuman ringan per kapita di AS dua kali lipat dari Kanada. Sementara itu, konsumsi tersebut menurun di kedua negara (terutama untuk minuman diet). Meski begitu, minuman ringan tersebut tetap menjadi sumber utama penambahan gula di kedua negara itu.

Lalu apakah orang memperhatikan perubahan itu? Jika tingkat kemanisan Coke berubah, orang mungkin tidak memperhatikan penurunan gula tujuh persen, kata pakar rasa Julie Mennella dari Monell Chemical Senses Center Philadelphia. “Orang tidak mungkin merasakan perbedaan pengurangan 7% pada kadar gula di Coke,” kata Julie Mennella yang juga seorang psikobiolog itu.

Psikolog mengukur ambang ensorik yang mereka sebut perbedaan yang mencolok (a just-noticeable difference - JND). Untuk minuman dengan jumlah gula dalam cola standar, eksperimen menyarankan, Coke harus mengurangi jumlah gula hingga hampir dua kali lipat yang dilakukan Coke atau Coke harus mengurangi kadar gulanya hingga sekitar 14 % agar orang Kanada mengenali perubahan tersebut.

Dalam cabang disiplin ilmu psikologi eksperimental ada konsep yang disebut a just-noticeable difference (JND) atau seberapa besar perubahan atau perbedaan yang harus dilakukan agar perbedaan itu benar-benar terlihat atau terdeteksi . Ini juga dikenal sebagai batas perbedaan, ambang batas diferensial, atau perbedaan yang paling mencolok. Secara sederhana, hukum Weber itu menyatakan bahwa Anda tidak akan selalu memperhatikan perbedaan pada hal-hal yang sedikit perubahannya.

Misalnya, jika Anda mengangkat benda seberat 10kg, Anda tidak akan mudah melihat adanya perbedaan jika menambahkan tambahan seberat 0,1 kg. Jika, bagaimanapun, Anda menambahkan tambahan 1kg, perbedaannya akan mudah terlihat. Dalam contoh ini, penambahan berat ekstra (1kg) untuk membuat seseorang memperhatikan perbedaan berat benda yang diangkat itu disebut ambang perbedaan.

Dalam marketing, hukum Weber, diaplikasikan dimana produsen dan pemasar berusaha menentukan JND yang relevan untuk produk mereka karena dua alasan yang sangat berbeda. Jika perubahan suatu produk mengalami perubahan negatif (pengurangan) semisal pengurangan ukuran produk, kualitas, atau kenaikan harga produk, mereka berusaha agar pengurangan itu tidak dirasakan konsumen. Hal itu dilakukan misalnya dengan cara dengan melakukan perbaikan di sisi lainnya, misalnya dengan cara memperbarui kemasan sehingga produk itu menjadi terkesan lebih mewah.

Sebaliknya, ketika perubahan positif dilakukan – misalnya kualitas produk dinaikan, produsen atau pemasar sangat beringinan – bahkan harus -- memenuhi atau melebihi ambang diferensial konsumen. Mereka ingin konsumen melihat dan benar-benar merasakan adanya perbaikan yang dilakukan. Karena itu, biasanya bila ada perubahan positif, produsen atau pemasar melakukan kampanye besar-besaran untuk menunjukkan perubahan positif itu.

Dalam marketing, merek dapat mede-posisi pesaingnya dengan mengambil posisi ekstrem. Suatu merek dapat membuat mere pesaingnya tampak hambar. Ingat Hummer? Awal 1990an, hampir semua SUV merek seperti Jeep dan Ford menawarkan “kegarangan” kepada pelanggan dengan mempromosikan ketangguhan dan kekasaran mereka. Kemudian, Hummer datang ke pasar dengan model besar yang sengaja dirancang untuk terlihat seperti truk militer dan itu membuat semua SUV lainnya terlihat kecil dan mungil.

Dalam pemilihan presiden AS November lalu, posisi Trump tentang kebijakan imigrasi, kebijakan luar negeri, pajak perusahaan dan topik hangat lainnya adalah ujung kanan paling konservatif. Gaya kurang ajar dan nada berani ini juga melebihi standar. Karena itu, dia telah membuat calon presiden lain seperti Rand Paul dan Ted Cruz, yang sebelumnya memposisikan diri sebagai berani tampak moderat atau rata-rata alias tidak ada perbedaan.

Bagaimana Cara Orang atau Perusahaan Menghadapi Pengganggu?

David dalam perjalanan menuju ke tempat kerja. Dia berkereta karena moda itu yang memungkinkan dia datang tepat waktu. Kebetulan pagi itu David harus presentasi di depan Bos-nya. Di stasiun, David melihat ada kedai kopi. Dia mampir karena dia merasa masih ada waktu minum kopi sambil up-date informasi yang bisa mendukung presentasinya. Dia punya waktu 10 menit menunggu pesanan dan layanan. 

Setelah pesan kopi, David duduk di meja sambil menunggu agar waktu tak sia-sia dia mengeluarkan smartphone-nya. Dia membuka Twitter, scan sebentar hingga akhirnya dia menemukan artikel menarik. Sebuah artikel di New Yorker. Dia klik di atasnya, dan mulai membaca. Begitu selesai membaca, sang barista memanggil namanya pertanda kopi siap. 

Ilustrasi itu disampaikan Clayton M. Christensen, professor Harvard Business School, yang memperkenalkan Teori Disruptive Innovation. Dia mengatakan itu terkait dengan disruptive yang melanda media massa sekarang ini. Menurut dia, fenomena David menggambarkan suatu pekerjaan besar yang harus dilakukan oleh pengelola media. Itu yang dia sebut sebagai acuan tentang bagaimana media dan tentunya praktisi public relations berkooptasi dengan disruptive. 


Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali dan selalu mempertimbangkan pembacanya. "Saya memiliki waktu cuma 10 menit. Bantu isi saya dengan sesuatu yang menarik atau menghibur. " David memilih menggunakan Twitter, padahal di sebelahnya tergeletak sebuah surat kabar. Dia sebenarnya juga bis amembunuh waktu menunggunya dengan permainan dari App Store. Atau mungkin dia bisa mulai membalas e-mail-nya. Tapi dia memilih membaca berita. 


Kenapa? Karena dia butuh informasi untuk memperkaya presentasinya. Jadi bagaimana PR bekerja dala situasi seperti ini? Dalam era media baru, ada keyakinan yang muncul bahwa untuk menonjol Anda harus juga “mengganggu”. Tetapi, Anda seharusnya tidak mengganggu demi gangguan ini. Pastikan Anda tetap otentik, asli dan Anda memiliki relevansi merek. 


Perlu diingat bahwa apa yang mengganggu saat ini, besok menjadi biasa. Memilih media terkait dengan siapa yang diharapkan membaca atau terpapar informasi yang ingin disampaikan perusahaan kepada public. Dalam marketingada sejumlah kriteria misalnya, target haruslah kompatibel dengan tujuan dan citra organisasi. Target juga memberi peluang untuk dijangkau dengan kemampuan sumber daya yang ada. 


Selain itu, target harus menawarkan potensi keuntungan yang menarik, seperti ukuran, pertumbuhan, profitabilitas, skala ekonomi dan risiko rendah. Memahami dunia melalui lensa dari jobs-to-be-done memberi kita wawasan yang luar biasa ke dalam perilaku orang. Praktisi public relations sudah mengetahui banyak hal tentang disruptive. Internet dan media sosial telah mengubah paradigm dan cara kerja profesi PR. Namun, bekerja di bidang PR hari ini sungguh menyenangkan tapi butuh penyegaran, menantang dan jauh lebih menarik karena perubahan lanskap media dan audiensnya. 


Fenomena David juga bisa dijumpai di ruang tunggu dokter misalnya. Saat duduk di ruang tunggu, dalam pikiran sang pasien ada pesan, "Saya punya 10 menit untuk membunuh waktu tunggu saya. Bantu saya mengisi waktu kosong ini.” Secara tradisional, manajaemen klinik membantu pasien dengan menyediakan majalah di ruang tunggu. Namun, saat ini, banyak pasien mencari kesibukan dengan menggunakan smartphone atau iPad yang memungkinkan mereka untuk menangani email dan membaca artikel dari website yang menurut mereka menarik. 

Sebelum smartphone, majalah pilihan populer karena bis amembunuh kejenuhan. Jika pasien tidak membaca atau kebagian majalah yang tersedia terbatas, mereka duduk bengong karena tidak bisa melakukan apa-apa. Sekarang, dengan smartphone, mereka bisa chattingan. Namun itu hanya terjadi pada sebagian orang. Sebagian lainnya ingin tetap update informasi.


"Saya memiliki 10 menit untuk cadangan. Bantu saya isi dengan sesuatu yang menarik atau menghibur" itu pikiran yang muncul pada David saat keluar rumah dalam perjalanan menuju stasiun kereta. Dia selesai membaca artikel New Yorker, sayangnya Twitter bukanlah pilihan utama karena ada daerah-daerah tertentu yang tidak memiliki sinyal, termasuk di bawah tanah.


Tahun 1980an, IBM menjadi korban gerilya dari perusahaan-perusahaan yang menerapkan strategi disruptive innovation (inovasi yang mengganggu). Sebagai pemain dominan di komputer mainframe, pasar produk IBM digerogoti ketika terjadi revolusi komputer pribadi (mini). Banyak perkantoran dan industry yang berali dari computer mainframe ke computer pribadi (PC). 

Saat itu, manajemen IBM melihat komputer pribadi sebagai ancaman yang lebih besar bagi model bisnis dan bertekad untuk tidak tertinggal lagi. Alih-alih menghilangkan beban berat dengan mengurangi sumber dayanya, sebagai perusahaan yang selama ini terkenal karena produk teknologinya, IBM memilih jalan yang berbeda. Mereka mengirim tim kecil ke Boca Raton, Florida, jauh dari kantor pusat perusahaan yang di bagian utara NY, untuk mengembangkan produk yang sama sekali baru. Setahun kemudian, PC IBM menjadi salah satu produk yang paling sukses dalam sejarah. 

Bagaimana IBM bisa melakukan itu? Bukankah dalam binsi PC, IBM bukan pemain pertama? Di pasar juga sudah beredar banyak merek PC. Dalam era makin gencarnya gerakan disruptive innovation, pemain lama bisa saja mempertahankan keunggulan sambil terus meningkatkan kinerjanya. Dalam kasus IBM tadi, yang membuat PC sebagai inovasi yang mengganggu bukan hanya ukuran dan harganya sehingga disebut komputer mini low-end


Namun tu menunjukkan perubahan radikal dalam perusahaan yang selama itu fokus ke mainframe menjadi produsen komputer mini sambil tetap mempertahankan computer besarnya. Perubahan ini sekaligus mengubah model bisnis misalnya dari semula membidik pelanggan perusahaan kini bergeser ke pasar retail atau perorangan. Hal ini membutuhkan kerja tambahan yang luar biasa. 


Selain itu, IBM berhasil membangun keunggulan bersaing dari perubahan biaya yang secara radikal dicapainya karena mereka pada dasarnya merakit kembali mesin mereka dengan tetap menggunakan komponen standar. Sebagai pembuat komponen yang harganya terus-menerus meningkat, keunggulan biaya yang dicapai IBM membuatnya berhasil mempertahankan (atau meningkatkan) keuntungan mereka, bahkan saat mereka meningkatkan kekuatan, kapasitas, dan utilitas mesin, keuntungan mereka juga semakin bertambah. 


Disinilah keunggulan IBM diatas pemain lainnya. Pilihan dan sumber daya yang dimiliki IBM tidak dimiliki oleh produsen computer mini lainnya. Pilihan strategis dengan mengupayakan peningkatan keunggulan IBM yang berfokus pada desain yang lebih efektif dari sistem kustom mahal yang menyelamatkan IBM. Selama hampir sepuluh tahun, IBM tanpa henti memfokuskan upayanya pada peningkatan laba per saham dan meningkatkan harga sahamnya, dengan cara apapun yang diperlukan. 


Bisa dibayangkan dampaknya bila IBM melakukan pemotongan biaya, merumahkan staf mereka yang berpengalaman dan mempekerjakan pekerja dengan keahlian yang lebih murah, bisa berakibat pada penurunan kompetensi teknis mereka, mencekik birokrasi dan meningkatan kekakuan yang disebabkan oleh upaya hanya untuk membuat target pendapatan tetap. Bila itu yang terjadi, ketidakmampuan untuk berinovasi dan ketergantungan akibat pada akuisisi inovasi, bisa merusak model bisnis dan strategi masa depan mereka. Melalui keunggulan biaya yang mereka miliki, begitu pendapatan jatuh, IBM bisa menyelamatkan labanya melalui pemotongan biaya yang dilakukan tanpa henti. 


Perusahaan lain yang selamat dari gempuran disruptive innovation adalah Fujifilm. Perusahaan ini selamat bukan karena mengembangkan lini baru dari kamera digital, namun karena mereka bisa menggunakan kemampuan dan kompetensinya dalam bahan kimia dan teknologi informasi untuk mengembangkan produk dan layanan yang sukses di bisnis pelapisan, kosmetik, dan pengolahan dokumen. Fujifilm terus membuat beberapa kamera, tetapi hampir tidak merecoups biaya operasional. Keberhasilan Fujifilm bukan hanya karena pola pikir manajemen yang berbeda. Fujifilm juga berkomitmen untuk berinovasi sebagai cara untuk mempertahankan hidup, dengan cara terus meningkatkan keterampilan, desain, dan fasilitas yang ada pada mereka. 


Hari-hari ini, setiap bisnis harus berinovasi. Bisnis tak lagi bisa mengandalkan keunggulan lama dan dengan pongahnya menjalankan bisnisnya dengan model lama atau sama dengan cara lama. Data menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 87% dari perusahaan yang ada di daftar Fortune 500 pada tahun 1955, kini sudah tidak ada lagi. 


Perusahaan saat ini tidak dapat berdiri diam. Mereka harus mengejar dan berusaha menemukan strategi inovasi. Beberapa perusahaan berinvestasi dalam R & D, yang lain menggunakan teknologi canggih untuk meningkatkan produk yang ada, dan yang lainnya menciptakan kemitraan inovasi untuk bersama-sama memecahkan masalah sulit yang mereka hadapi.


Namun, jika perusahaan hanya mengandalkan upaya tersebut, sejatinya masih rentan dari rongrongan inovasi yang mengganggu. Perusahaan masih ditantang menemukan dan melakukan perubahan dalam model bisnis. Ini karena perubahan yang mengganggu mengancam setiap organisasi, industri, dan aspek masyarakat lainnya. Diakui atau tidak, perubahan yang mengganggu bekerja dua arah. 

Efek negatifnya bisa dirasakan hanya oleh penerima, tetapi juga produsen. Ambil contoh Airbnb. Layanan online ini membantu orang mengubah rumah mereka menjadi hotel. Mereka tidak hanya mendapatkan keuntungan finansial dari orang-orang yang telah menyewa rumah mereka. Sementara penyewanya mendapatkan pengalaman yang baik. Meskipun demikian, ada juga efek negatifnya, misalnya beberapa penyewa yang notabenenya adalah penghuni jangka pendek membuat tetangga mereka marah karena pesta-pesta yang mereka adakan. 


Fakta lainnya, perusahaan membuat marah sebagian warga kota karena pemilik dan penghuninya sama-sama tidak membayar pajak. Dalam buku Combatting Disruptive Change, penulis buku ini mencoba membawa pembaca mengkaji secara kritis ide-ide utama yang berkaitan dengan disruptive change dan startups. Secara sistematis buku ini memaparkan tantangan dan kebutuhan yang harus dipenuhi perusahaan untuk menghadapi perubahan berat atau yang membuat sebuah startup sukses. 


Penulis buku ini, Ian Mitroff menguraikan tentang tindakan awal yang perlu dilakukan perusahaan untuk melindungi dirinya dari serbuan pengganggu agar mereka bisa bertahan. Mengutip kasus seperti Facebook, Uber, dan Airbnb, penulis buku ini menganalisis agen pengganggu di industri yang sedang berkembang. Karena itu, buku ini bermanfaat bagi mahasiswa, akademisi, dan pengusaha yang ingin mengembangkan produk atau jasa baru. 


Tesis yang diajukan penulis buku ini untuk memerangi perubahan yang mengganggu dibangun atas dua premis dasar. Pertama, meskipun banyak inovasi evolusioner, dalam hal ini mereka hanya memperbaiki ide-ide yang ada, namun inovasi tersebut sangat dirasakan sebagai sesuatu yang radikal. Ambil contoh Airbnb dan Uber, perubahan yang mereka lakukan seakan radikal karena yang mereka lakukan adalah mengubah model bisnis standar sehungga perubahannya benar-benar dirasakan.


 Premis kedua, bila dicermati secara mendalam, banyak tantangan bisnis mendasar dasar yang tidak benar-benar dijawab oleh pengganggu secara komprehensif dan sistematis, meski harus diakui bahwa mereka berhasil menemukan dan menggeksploitasi nilai jual utama mereka. Di sisi lain, perusahaan yang diganggu meresponnya hanya dengan perubahan gaya lama. Misalnya, ketika banyak orang mulai menyukai belanja online karena lebih cepat, murah, nyaman tidak ribet, kapanpun bisa, Dollar General, jaringan store berkantor pusat di Goodlettsville, Tennessee, hanya memperkenalkan konsep kecil-toko, yang disebut DGX, di Nashville, Tennessee.

 Menghadapi perubahan yang mengganggu Mitroff menyarankan agar pengelola bisnis berpikir seperti seorang manajer krisis. Mitroff menunjukkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk dapat mengantisipasi dan merencanakan untuk jangkauan luas dan jenis krisis sekarang bisa menyerang setiap organisasi semua organisasi. Disini langkah yang dilakukan Amazon dengan mempekenalkan Amazon Go, perlu dicermati. Desember lalu, Amazon mengumumkan peluncuran konsep ritel baru, Amazon Go. 

Sementara yang mungkin selintas tampak sebagai toko fisik, Amazon menemukan cara yang benar-benar bisa mengubah cara toko fisik beroperasi – yaitu tanpa checkout sehingga pembelanja tidak lagi perlu menunggu dalam antrean. Belanja bebas checkout memungkinkan pembelanja hanya tinggal mengambil dari rak toko, melihat dan membeli atau tidak membelinya (mengembalikan ke rak) dan dengan teknologi sensor secara otomatis mendeteksi ketika produk diambil dari atau kembali ke rak dan melacak mereka ke dalam keranjang virtual. 


Setelah selesai belanja, pembelanja bisa langsung meninggalkan toko. Tak lama setelah itu, Amazon mengirimkan tagihan yang dapat didebet dari akun pembelanja di Amazon dan pembelanja menerima bukti tagihan dan pembayaran. Argos, elektronik dan peralatan rumah tangga berbasis U.K. pengecer, menawarkan pengiriman pada hari yang sama untuk produk yang dibeli secara online dan di dalam toko. Waktu pengiriman mereka cuma 60 menit. Intinya, untuk mempertahankan pelanggan dan bertahan hidup, toko fisik harus menemukan cara merangkul keinginan baru konsumen yang kini semakin mementingkan kenyamanan dan harga yang lebih murah. Mereka harus menemukan kembali proposisi nilai mereka dan memberikan alasan baru kepada pembeli untuk berbelanja secara pribadi.



Disruptive in Public Relations


David dalam perjalanan menuju ke tempat kerja. Dia berkereta karena moda itu yang memungkinkan dia datang tepat waktu. Kebetulan pagi itu David harus presentasi di depan Bos-nya. Di stasiun, David melihat ada kedai kopi. Dia mampir karena dia merasa masih ada waktu minum kopi sambil up-date informasi yang bisa mendukung presentasinya. Dia punya waktu 10 menit menunggu pesanan dan layanan. 

Setelah pesan, duduk di meja sambil menunggu agar waktu tak sia-sia dia mengeluarkan smartphone-nya. Dia membuka Twitter, scan sebentar hingga akhirnya dia menemukan artikel menarik. Sebuah artikel di New Yorker. Dia klik di atasnya, dan mulai membaca. Begitu selesai membaca, sang barista memanggil namanya pertanda kopi siap. 

Ilustrasi itu disampaikan Clayton M. Christensen, professor Harvard Business School, yang memperkenalkan Teori Disruptive Innovation. Dia mengatakan itu terkait dengan disruptive yang melanda media massa sekarang ini. Menurut dia, fenomena David menggambarkan suatu pekerjaan besar yang harus dilakukan oleh pengelola media. Itu yang dia sebut sebagai acuan tentang bagaimana media dan tentunya praktisi public relations berkooptasi dengan disruptive. 

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali dan selalu mempertimbangkan pembacanya. "Saya memiliki waktu cuma 10 menit. Bantu isi saya dengan sesuatu yang menarik atau menghibur. " David memilih menggunakan Twitter, padahal di sebelahnya tergeletak sebuah surat kabar. Dia sebenarnya juga bis amembunuh waktu menunggunya dengan permainan dari App Store. Atau mungkin dia bisa mulai membalas e-mail-nya. Tapi dia memilih membaca berita. 

Kenapa? Karena dia butuh informasi untuk memperkaya presentasinya. Jadi bagaimana PR bekerja dala situasi seperti ini? Dalam era media baru, ada keyakinan yang muncul bahwa untuk menonjol Anda harus juga “mengganggu”. Tetapi, Anda seharusnya tidak mengganggu demi gangguan ini. Pastikan Anda tetap otentik, asli dan Anda memiliki relevansi merek. 

Perlu diingat bahwa apa yang mengganggu saat ini, besok menjadi biasa. Memilih media terkait dengan siapa yang diharapkan membaca atau terpapar informasi yang ingin disampaikan perusahaan kepada public. Dalam marketingada sejumlah kriteria misalnya, target haruslah kompatibel dengan tujuan dan citra organisasi. Target juga memberi peluang untuk dijangkau dengan kemampuan sumber daya yang ada. 

Selain itu, target harus menawarkan potensi keuntungan yang menarik, seperti ukuran, pertumbuhan, profitabilitas, skala ekonomi dan risiko rendah. Memahami dunia melalui lensa dari jobs-to-be-done memberi kita wawasan yang luar biasa ke dalam perilaku orang. Praktisi public relations sudah mengetahui banyak hal tentang disruptive. Internet dan media sosial telah mengubah paradigm dan cara kerja profesi PR. Namun, bekerja di bidang PR hari ini sungguh menyenangkan tapi butuh penyegaran, menantang dan jauh lebih menarik karena perubahan lanskap media dan audiensnya. 

Fenomena David juga bisa dijumpai di ruang tunggu dokter misalnya. Saat duduk di ruang tunggu, dalam pikiran sang pasien ada pesan, "Saya punya 10 menit untuk membunuh waktu tunggu saya. Bantu saya mengisi waktu kosong ini.” Secara tradisional, manajaemen klinik membantu pasien dengan menyediakan majalah di ruang tunggu. Namun, saat ini, banyak pasien mencari kesibukan dengan menggunakan smartphone atau iPad yang memungkinkan mereka untuk menangani email dan membaca artikel dari website yang menurut mereka menarik. 

Sebelum smartphone, majalah pilihan populer karena bis amembunuh kejenuhan. Jika pasien tidak membaca atau kebagian majalah yang tersedia terbatas, mereka duduk bengong karena tidak bisa melakukan apa-apa. Sekarang, dengan smartphone, mereka bisa chattingan. Namun itu hanya terjadi pada sebagian orang. Sebagian lainnya ingin tetap update informasi.

"Saya memiliki 10 menit untuk cadangan. Bantu saya isi dengan sesuatu yang menarik atau menghibur" itu pikiran yang muncul pada David saat keluar rumah dalam perjalanan menuju stasiun kereta. Dia selesai membaca artikel New Yorker, sayangnya Twitter bukanlah pilihan utama karena ada daerah-daerah tertentu yang tidak memiliki sinyal, termasuk di bawah tanah. Jadi kenapa penyedia jasa commuter laine tidak menyediakan akses internet?

Selasa, 19 September 2017

PLAIN FOLKS


Miral adalah film tahun 2010 yang disutradarai oleh Julian Schnabel dan diangkat dari novel karya Rula Jebreal dengan judul yang sama. Miral berkisah tentang empat wanita yang berkawan akrab dan mempunyai tujuan sama, yakni mencari keadilan, harapan dan rekonsiliasi di tengah dunia yang dibayang-bayangi oleh konflik, kemarahan dan perang.

Ceritanya dimulai pada tahun 1948 di Yerusalem, ketika Hind Husseini membuka sebuah panti asuhan untuk anak-anak pengungsi, yang dari hari ke hari jumlahnya semakin mengkhawatirkan. Salah satu dari anak-anak ini adalah Miral, remaja berusia tujuh belas tahun, yang tiba di panti asuhan pada usia tujuh tahun, setelah kematian ibunya yang tragis.

Selama periode perlawanan Intifada berlangsung, anak-anak perempuan dari panti asuhan Nyonya Hind dikirim untuk memastikan pendidikan anak-anak di kamp-kamp pengungsian. Miral dikirim ke Ramallah, sebuah kamp yang terletak di Balkan timur. Di sini dia bertemu dengan Hani, seorang aktivis politik dan jatuh cinta.

Di sebagian hidupnya yang berada di tengah-tengah kekejaman perang, Miral menemukan dirinya dalam sebuah pertempuran pribadi yang mencerminkan dilema dirinya sendiri: dia ikut berperang seperti orang-orang sebelum dia atau mengikuti ajaran Mother Hind, yaitu bahwa pendidikan adalah satu-satunya solusi yang membuka jalan menuju perdamaian.

Para ilmuwan menyoroti bahwa dengan menampilkan dirinya sebagai "orang polos", komunikator tersebut ingin meyakinkan audiensenya bahwa gagasannya bagus karena mereka melibatkan orang biasa sehingga cocok buat mereka (Lee, 1937). Secara umum komunikator ingin dirinya dianggap atau dimasukkan ke dalam kelompok orang biasa, bukan sebagai orang atasan yang terputus hubungannya dengan orang bawah. Untuk membangun kesan itu, para politisi berusaha penampilan perilaku sealami mungkin dan normal.
  
Pada tataran interpretasi audience, dapat dikatakan  bahwa film tersebut merupakan salah satu film propaganda. Ini karena melalui karakter utama (Miral, seorang gadis biasa), penonton dicoba untuk diyakinkan bahwa perdamaian di wilayah Israel dimungkinkan jika kedua belah pihak mencapai sebuah konsensus (Panaite 2014).

Dalam kajian propaganda ada konsep yang dikenal dengan plains folks atau metode yang dipakai oleh komunikator atau pembicara dalam upanya untuk meyakinkan audience bahwa dia dan gagasan-gasannya adalah bagus karena mereka merupakan “bagian dari rakyat”, “rakyat yang lugu” (Lee dan Lee 1993 halaman 93).

Metode ini sering dipakai dalam politik. Karena dalam banyak kasus metode ini dirasa efektif, maka periklanan juga menggunakan metode ini sebagai cara untuk membujuk audience. Misalnya, ada seorang model dalam iklan TV yang mempromosikan produk kecantikan mengatakan, “Jangan membenci saya karena saya cantik. Saya juga seperti kamu karena pada saat saya baru tidur pada pagi hari, saya cantik persis seperti kamu.”

Ada iklan lain, iklan merek lokal sebuah makanan panggang menunjukkan pemandangan “menuju kampung halaman” dan lagu pengiring tentang “lahan kain biru”, sedangkan serangkaian ilan merek es krim lokal menceritakan sapi-sapi yang mengira sebuah kota kecil adalah surge dan orang-orang pedesaan memuji es krim tersebut (Severin and Tankard 2001).

Pada safari kampanye Juli 1992, keluarga Clinton dan Senator serta Mrs. Al Gore difoto dengan pakaian kasual, duduk di atas tumpukan jerami sambil berbicara dengan para petani di dekat Utica, Ohio. Latar belakangnya adalah lading jagung, peralatan panen, dan beberapa pakaian. New York Time lalu menuliskan itu dengan judul Just Folks (http://www.nytimes.com/1992/07/26/weekinreview/just-folks-what-s-meant-and-what-s-mean-in-the-family-values-battle.html).

Beberapa hari setelah terpilih, sebuah artikel berita utama tentang keuangan Clinton menyebutkan bahwa sebelum Clinton terpilih sebagai presiden, posisi keluarga Clinton termasuk dalam kelompok satu persen warga berpendapatan dan kelompok tiga persen warga berpendapatan bersih tertinggi di Amerika Serikat. (Anrig and MacDonald 1992).

Ini berarti bahwa sebetunya keluarga Clinton itu termasuk keluarga kaya. Pertanyaannya adalah apakah mungkin dalam kesehariannya kegiatan Clinton seperti yang dia tampilkan seperti yang difoto tadi? Apakah itu sekadar pencitraan?

Tiga tahun kemudian, Presiden Clinton kembali ke citra rakyat biasa yang sederhana. Seorang reporter menulis (Nicols 1995), Presiden Clinton yang merakyat dengan memakai jins biru, boat koboi… menghabiskan waktu 48 jam di sebuah tempat dimana posisi politiknya telah melemah… Kunjungan dua hari ke Colorado dan Montanaini adalah waktu bagi Clinton untuk memperkuat citranya bahwa sebagai “rakyat sederhana” yang akan dia manfaatkan pada pemilihan umum berikutnya (halaman 8A).

Banyak hal yang bisa digunakan oleh politisi untuk membangun citranya sebagai rakyat atau sebagai orang yang dekat dengan rakyat. Bagi para politisi, pemilihan tempat liburanpun menjadi sebuah keputusan politik. Seorang penulis, Seelye (1999) menyebutkan bahwa Presiden dan Nyonya Clinton merencanakan liburan musim panas tahun 1999 ke Adirondack atau Shelter Island, negara bagian New York, tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Kunjungan itu bukanlah sekadar datang dan tanpa agenda apa-apa. Menurut Seelye, kunjungan itu seakan mengungkapkan agenda Ny. Clinton yang mengangankan sebuah kampanye untuk kursi Senat dari New York.

Pada 1996, dalam rangka menggalang dukungan, Clinton telah dua kali berlibur ke Wyoming, berkemah dan mendaki, untuk mengambil hati para pecinta lingkungan. Dia sangat ingin pergi ke kebun anggur Martha untuk liburan musim panas tahun 1997 dan 1998. Kandidat Presiden dari partai Republik George W Bush selama pembukaan kampanye akhir pekannya, bergaul dengan para pelanggan Madden Family Restaurant di Derry, New Hampshire.

Disitu, sebelum dia pergi ke meja makan, dia ikut melayani penjualan dan membantu menyediakan kopi. Seorang multi-jutawan yang – untuk beberapa saat – hanyalah “rakyat sederhana” (Associated Press 1999). Bagi politisi, bisa diakatakan bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah seakadar melakukan tapi memiliki agenda politik.

Saat krisis ekonomi Amerika Serikat 2011, Presiden Obama melakukan liburan ke Martha’s Vineyard, Massachusetts. Liburan seseorang yang saat itu menjabat presiden bagi warga Amerika sudah biasa. Persoalannya adalah liburan itu dilakukan seorang presiden saat Amerika dilanda krisis. Liburan ini dikritik sebagai kegagalan Obama berempati terhadap nasib puluhan juta orang Amerika karena krisis tersebut.

Betapa tidak, saat rakyatnya menghadapi kesulitan ekonomi, Obama menghabiskan uang pajak yang besarnya diperkirakan mencapai $ 50.000 per minggu untuk menyewa rumah dan staf keamanan mencapai jutaan dolar. Obama saat itu berlibur selama 11 hari. Kritik itu tak mengganggu liburannya karena di kota kecil itu Obama menghabiskan waktu liburannya dengan bersepeda, berbelanja di toko grosir meski sesekali main golf.


Sabtu, 16 September 2017

Public Relations dan Perang Saudara


Ketika sebuah perusahaan yang bergerak di bisnis buah-buahan, antara lain pisang, the United Fruit Company, baru masuk di Macondo, sebuah kota hutan di dekat utara (Karibia) pantai Kolombia, 80 km sebelah selatan dari Santa Marta, awalnya memang membawa modernisasi. Namun beberapa waktu kemudian berubah menjadi “bencana.”

Dalam novelnya yang berjudul One Hundred Years of Solitude, Gabriel García Márquez menulis, perusahaan itu telah "mengubah pola hujan, mempercepat siklus panen dan memindahkan sungai."  Perusahaan itu mengimpor “dictator” dan "pembunuh bayaran yang dengan parang” menjalankan roda pemerintahan dan kehidupan kota. Mereka juga tak segan-segan melepaskan ribuan peluru pada pekerja yang melakukan protes. Ketika perusahaan pisang itu pergi, Macondo runtuh.

Lebih dari seratus tahun – sejak 1821 -- Guatemala diperintah oleh diktator sayap kanan kaki tangan penjajah Spanyol. Negara itu baru memperoleh kemerdekaannya tahun 1944. Ada periode singkat melakukan reformasi dan tertatih. Betapa tidak, sebagian besar kelas penguasa yang telah bercokol selama lebih dari 120 tahun, telah melembagakan kebijakan yang melayani kepentingan kaum aristokrat tuan tanah.

Pertengahan abad ke-20, 2,2 persen penduduk Guatemala menguasai lebih dari 70 persen dari tanah. Sebagian besar rakyat Guatemala tidak memiliki yang cukup untuk bertahan hidup. Struktur ekonomi feodal telah memberi peluang bagi tuan tanah untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Salah satu pemilik tanah yang diuntungkan dari struktur ekonomi itu adalah United Fruit Company, sebuah perusahaan multinasional yang pada 1950-an memiliki sekitar 550.000 hektare lahan di Guatemala.

United Fruit berubah menjadi Chiquita Brands International, menjadi majikan besar, tuan tanah, dan eksportir pisang terbesar di Guatemala selama hampir setengah abad. Selain perkebunan pisang yang besar, perusahaan menguasai hampir semua jalur rel di Guatemala, satu-satunya pelabuhan di pantai Atlantik, dan armada yang memiliki lima puluh dua kargo yang mengangkut pisang ke Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa.

Sebagian besar sejarahnya, perusahaan memanfaatkan hubungan dekatnya dengan berbagai orang kuat Guatemala untuk bernegosiasi yang memungkinkan United Fruit beroperasi secara menguntungkan. Pada tahun 1936, misalnya, United Fruit menegosiasikan kontrak sembilan puluh sembilan tahun dengan Guatemala yang membebaskan perusahaan dari pajak internal dan jaminan bahwa pekerja akan dibayar dengan upah rendah.

Pada tahun 1941, perusahaan tersebut menyewa seorang konsultan baru, keponakan Sigmund Freud, Edward Bernays, yang berhasil mengadaptasikan disiplin psikoanalisis yang dipelopori Freud, dalam konteks public relations. Bernays dikenal sebagai "bapak kehumasan" menyusul bukunya yang terbut pada 1928, Propaganda. Di buku tersebut dia mengatakan bahwa adalah demi kebebasan dan demokrasi, tugas masyarakat minoritas yang  cerdas memanipulasi “pikiran kelompok" yang tidak berpikir.

United Fruits sangat peduli dengan citranya. Di Amerika Tengah, UF dikenal sebagai el pulpo (gurita) – yang tentakelnya ada dimana-mana. Akan tetapi di AS, United Fruit dipandang sebagai perusahaan bermasalah. Di bawah bimbingan Bernays, perusahaan tersebut mulai mengeluarkan berbagai  informasi ke media tentang apa saja yang dilakukannya, dan merebranding wilayah tersebut sebagai "Amerika Tengah".

Kondisi Itu mulai berubah pada Juni 1944. Ketika itu serangkaian demonstrasi jalanan tanpa kekerasan oleh guru dan siswa menyebabkan pengunduran diri Jenderal Jorge Ubico, seorang diktator yang telah memerintah negara itu selama hampir tiga belas tahun. Pemerintahan Ubico digantikan oleh orang kuat militer lainnya, Jenderal Federico Ponce. Namun empat bulan kemudian Ponce dijatuhkan oleh kudeta militer yang dipimpin dua orang perwira -Mayor Angkatan Darat Francisco Arana dan Kapten Jacobo Arbenz. Dikenal sebagai Revolusi Oktober, kudeta 1944 itu menempatkan tiga orang pemerintahan sementara, dan menetapkan konstitusi baru yang membawa reformasi ekonomi dan politik bangsa, termasuk pemilihan umum demokratis pertama di negara itu.

Awal tahun 1950an, The United Fruit Company menghadapi persoalan pengambilalihan properti tidak terolah yang sangat luas di Guatemala oleh pemerintahan baru Arbenz. Oleh pemerintah, lahan itu akan didistribusikan lagi kepada para petani yang tidak memiliki lahan. The United Fruit Company menolak kompensasi yang ditawarkan pemerintah atas lahan yang tidak terolah tadi yang didasarkan pada nilai lahan untuk pajak. The United Fruit Company menolak karena kompensasi itu tidak memadai. 

Untuk mengatasi persoalan itu, dalam bukunya An American Company, Thomas P. McCann (1976), bekas vice president public relations the United Fruit Company, dibantu Bernays, perusahaan tersebut menyebarkan isu bahwa gerakan itu terinspirasi oleh komunis. Bernays menghubungi kontak-kontaknya di surat kabar yang mungkin bisa menerima pandangan perusahaan. Bernays membangun dan menanamkan cerita di surat kabar dan majalah utama mengenai "pengaruh komunisme Guatemala yang terus berkembang," mendorong The New York Times untuk menunjuk wartawan yang bersimpati pada tujuannya, dan bahkan berhasil mendapatkan liputan dalam jurnal liberal seperti The Nation.

Pada tahun 1952, Bernays membawa sekelompok jurnalis itu ke Guatemala dengan biaya Chiquita untuk "mengumpulkan informasi," namun segala sesuatu yang dilihat dan didengar oleh audiens (wartawan tadi) dipentaskan dan diatur secara hati-hati oleh tuan rumah mereka.
Dalam bukunya itu, McCann menulis tentang bagaimana perusahaan itu mengatur perjalanan wartawan dengan label misi "pencarian fakta" ke Guetamala untuk menggiring para jurnalis Amerika Serikat. Mereka ditunjukkan “demonstrasi orang komunis” yang sengaja dirancang dan dipertontonkan saat kedatangan para jurnalis itu. Mereka juga merancang agar bagaimana caranya publik Amerika di”spin” sehingga menimpakan kesalahannya ke pemerintahan Guetamala. Wartawan-wartawan diskenario mengejar cerita palsu tentang tembakan dan bom.

Guatemala ditulis wartawan sebagai tempat yang dicekam oleh “teror komunis." Departemen Luar Negeri AS juga diyakinkan akan adanya ancaman komunis. Kebetulan Menteri Luar AS saat itu, John Foster Dulles pernah menjadi pengacara pada sebuah perusahaan lawfirm di New York, Sullivan and Cromwell, yang mewakili kepentingan hukum the United Fruit Company di Amerika Tengah. Saudara laki-lakinya, Allen adalah Direktur CIA.

Ketika artikel yang mendukung klaim Chiquita akan dicetak, Bernays menawarkan bantuan untuk mendistribusikan ulang artikel tersebut ke pejabat tinggi pemerintah dan penulis lainnya. Bernays juga membantu seorang anggota Kongres yang mencetak ulang artikel tersebut dalam catatan Kongres. Bernays juga mendirikan jaringan "agen intelijen" untuk "melakukan survei intelijen pribadi" mengenai "situasi politik dan ideologis" di Guatemala, dan memberikan laporan dari agen-agen palsu ini kepada pers dengan menyebutnya berasal dari "sumber otoritatif" atau "pejabat intelijen yang tidak disebutkan namanya." Sepanjang konflik, Bernays tetap menjadi sumber informasi penting bagi media. Saat invasi dimulai, dia memberi tahu sebagian besar “informasi kelas satu” tersebut kepada media berita utama di AS.

Pemerintahan resmi Guetamala kemudian digulingkan oleh invasi CIA yang menggunakan fasilitas United Fruit Company sebagai basis operasinya. Guetamala kemudian menderita karena perang saudara paling lama dan paling sengit di Amerika Tengah, sebagai akibat dari adanya tekanan yang dilakukan oleh oligarki (sekelompok orang yang berkuasa dalam suatu negara) sayap kanan yang konservatif dan konsentrasi kekayaan yang kaku (Gruson, 1990). Lebih dari 100 ribu orang meninggal akibat perang saudara yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun itu.   
       
Senin, 3 Februari 1975, seorang pria melemparkan dirinya dari jendela kantornya, di lantai 44 di atas Park Avenue, New York. Dia menggunakan tasnya untuk menghancurkan kaca jendela, dan kemudian membuangnya sebelum dia melompat, mengeluarkan kertas bertebaran blok di sekitar. Kaca jatuh ke jalan di tengah arus lalu lintas yang padat, tapi luar biasa tidak ada orang lain yang terluka. Tubuhnya mendarat jauh dari jalan, dekat kantor pos. Para tukang pos membantu petugas darurat membersihkan kekacauan sehingga bisnis sehari-hari bisa berlanjut. Pelompat itu segera diidentifikasi sebagai Eli Black, chief executive United Fruit Company, yang telah menghasilkan keuntungan besar sejak akhir abad ke-19.

Dunia baru saat ini mungkin jauh dari situasi saat awal berkembangnya profesi PR. Hari-hari optimistis seperti di era Bernays, Dan Edelman dan Harold Burson bila tetap menjalankan praktek seperti yan diceritakan di atas bisa jadi makin surut. PR memang dianggap memiliki kemampuan untuk men"spin" cerita untuk klien mereka. Pemikir PR dan blogger top Gini Dietrich dalam buku Spin Sucks mengajarkan tentang bagaimana berkomunikasi dengan jujur, bertanggung jawab, terbuka, dan otentik serta benar-benar mendapatkan kepercayaan pelanggan, stakeholder, investor, dan masyarakat. Menurut Dietrich, "spin" menyiratkan ketidakbenaran. Di luar implikasi moral, berbohong adalah bisnis yang buruk.

Transparansi adalah suatu keharusan. Spin sudah mati. Etika, nilai-nilai dan perilaku dan bukan pernyataan misi, menyediakan kerangka kerja bagi komunikasi masa depan. Lembaga kini dituntut untuk menunjukkan kepemimpinan melalui tindakan bukan kata-kata. Persoalannya adalah PR masih terlalu sibuk berbicara, tidak bertindak, dan konsultan PR sering memberi saran kepada klien untuk melakukan hal yang sama. 

Rabu, 13 September 2017

Kenapa Sesuatu yang Disruptif itu Tidak selalu Berhasil?


Tahun 1990, TAG Heuer berencana membuat jam olahraga yang tidak biasa karena jam itu ingin diposisikan sebagai jam tangan prestisius. Bekerjasama dengan biro iklan, perusahaan mengidentifikasi beberapa varian jam TAG Heuer yang bisa mendukung pertumbuhan penjualan dan meningkatkan keuntungan. 

Ini berarti mereka harus menemukan sebuah visi baru dari sebuah jam yang mengesankan kemewahan. Bukan sekadar kemewahan, jam itu juga haryus bisa memunculkan makna mewah. 

TAG juga sadar bahwa untuk mencapai itu, mereka tidak cukup membuat jam. Jam itu haru dikomunikasikan dengan cara yang tidak biasa sehingga mengesankan kemewahan tadi namun tetap menunjukkan fungsinya sebagai penunjuk waktu. 

Berdasarkan visi tersebut, TAG merancang aktivitas  pemasaran dan komunikasi pemasaran, mulai dari harga jam tangan tadi, iklan, sponsorship, hubungan masyarakat, dan sebagainya.

Selama proses tesebut, ada sedikit kendala, yakni adanya anggapan umum yang namanya arloji olahraga, betapapun bagusnya, tetap saja bukan jam mewah. Anggapan itu harus diubah. 

Untuk itu TAG harus berjuang meyakinkan target marketnya beberapa pesan yang menunjukkan alasan bahwa jam tangan juga bisa mewah. Ini dianggap sebagai gagasan yang disruptif karena dinilai mengubah gagasan yang berkembang saat itu.

Visi baru yang ingin dibangun TAG adalah bahwa prestise bukanlah cerminan sederhana dari daya beli seseorang, namun lebih merupakan simbol kekuatan mental seseorang. Disini TAG harus membuktikan kepada konsumen bahwa kemewahan dapat didefinisikan secara berbeda. Disinilah letak kekuatan pikiran yang membuat perbedaan.

Kampanye 'Success Is a Mind Game' TAG Heuer menggunakan gagasan kekuatan mental untuk menjembatani kesenjangan antara dunia olahraga dan kemewahan. Dalam iklan televisi dan majalah, ditunjukkan sikap para atlet yang selalu membayangkan musuh mereka  yang hebat – seperti hiu, batang dinamit, pisau cukur, abyss yang tidak biasa - untuk mendorong mereka agar mampu melampaui batas mereka. 

Intinya: prestise itu bukan lagi tentang daya beli seseorang tapi simbol kekuatan mental seseorang.

Berkat visi baru TAG Heuer yang dikampanyekan melalui iklannya yang disruptif itu, dalam enam tahun, penjualan TAG Heuer meningkat lebih dari 200%. Yang lebih mengesankan lagi, harga jam tangan TAG juga neik rata-rata sebesar 80%.

TAG Heuer membuat berita di tahun 2005, saat Brad Pitt, Uma Thurman dan Juan Pablo Montoya bergabung dengan Tiger Woods, Maria Sharapova, Kimi Raikkonen, Steve McQueen dan Yao Ming sebagai bagian dari Tim Impian Duta Merek TAG Heuer. 

Ketiga selebriti itu adalah bagian dari kampanye "Apa yang baru saja kamu buat?" yang diproduksi oleh Patrick Demarchelier, fotografer fashion ternama. Hasilnya: sebuah kampanye gaya yang sempurna mewujudkan perpaduan antara olahraga dan gaya hidup glamor yang seperti yang diinginkan TAG Heuer.

Melalui kampanye ini, beberapa perusahaan – termasuk TAG -- mencoba menjauhkan diri dari merek lain dan menargetkan kelompok sasaran tertentu. Rolex membedakan dirinya dengan memasang dan mempertahankan pesan mereknya - keandalan dan kinerja. 

Patek Philippe menekankan keasliannya dan fakta sebagai warisannya penting. Pesannya adalah bahwa orang-orang membeli arloji adalah untuk generasi berikutnya dan membangun persepsi bahwa produk mereka adalah mahakarya yang menembus batas waktu sehingga pas sebagai barang-barang kolektor. TAG Heuer, sebaliknya menekankan sporty pada jam tangannya.

Sementara daya tarik emosiobal status Rolex misalnya, mudah dipindahkan ke Asia (merek tersebut mewakili status dan prestise di seluruh dunia dan berhasil menjangkau pengguna hingga ke Indonesia), namun gagasan yang menekankan jam tangan sporty seperti yang dilakukan TAG Heuer masih belum bisa diterima masyarakat khususnya di Asia. 

Atribut sporty dan performa TAG tampil relevan bagi pembeli dan untuk memotivasi konsumen untuk membeli cocok bagi konsumen Eropa. Gagasan ini kemudian diadopsi untuk pasarAsia. TAG Heuer memprakarsai menginisiasi gagasan ini di China dengan kampanye Inner Strength (Kekuatan Batin) yang diluncurkan pada tahun 1998.

Kampanye tersebut, walaupun sukses nyata di Eropa, tetapi gagal total di China. Kenapa? Di Eropa, nilai olahraga bersifat fisik dan mental, sedangkan di China itu murni fisik. Konsumen di Eropa memakai jam tangan olahraga untuk memberi contoh kebugaran fisik atau kekuatan spiritual mereka. Jam tangan olah raga, seperti yang oleh TAG Heuer, sesuai untuk nilai tersebut dan dengan demikian harga premium untuk produk adalah wajar. 

Namun di China, jam tangan olahraga masih dianggap sebagai sesuatu yang bersifat fungsional dan dianggap sebagai jam tangan santai. Karena itu gagasan membuat jam olahraga premium secara bisnis tidak layak karena  konsumen di China merasa tidak layak membayar harga premium untuk sebuah jam tangan olahraga.

Jawaban yang diberikan oleh konsumen China setelah kampanye gagal tersebut misalnya: "Memakai jam tangan olahraga untuk bekerja seperti memakai sandal untuk menghadiri opera", atau "Saya tidak dapat membenarkan membayar RMB 7.000 (US $ 840) untuk jamuan olahraga yang hanya dikenakan saat saya berolahraga".