Banyak organisasi dan perusahaan mencoba untuk memulai
diskusi, terutama di media sosial. Bila
dikelola dengan baik kampanye dapat mengasilkan keterlibatan berbasis
pelanggannya dan meningkatkan profil perusahaan. Namun, bila kampanye
dijalankan dengan tidak hati-hati bisa jadi malah meningkatkan kemarahan massa
di online.
Contoh kasus adalah kampanye #RaceTogether yang dilakukan
Starbucks baru-baru ini. Kampanye yang dimulai dengan niat yang baik untuk
memulai diskusi tentang ras, namun justru menjadi boomerang. Ini seakan
mengukuhkan argumen bahwa masalah rasial tetap saja sensitive, dimanapun
termasuk di Amerika Serikat sebagai negara yang menjadi kiblat demokrasi.
Howard Schultz, CEO Starbucks, ungkin saja bermaksud baik. Dia
berpikir jaringan gourmet kopi yang dikelolanya harusnya memiliki tanggung
jawab untuk menangani hubungan antar ras Amerika. Setelah serangkaian rapat internal
di perusahaan, dia memutuskan untuk meluncurkan kampanye "RaceTogether",
bekerjasama dengan koran USA Today. Tujuannya, menggugah percakapan, kasih
sayang dan tindakan di sekitar ras di Amerika, sementara mereka menunggu kopi
mereka.
Masalah kesenjangan rasial sering tabu di perusahaan
Amerika, tetapi selama beberapa bulan terakhir Starbucks mengadakan diskusi
forum terbuka bagi karyawan untuk berbicara tentang hal itu. Minggu ini, itu
didorong lebih jauh, mendorong barista untuk memulai percakapan dengan
pelanggan.
Schultz berharap dapat mempromosikan satu tingkatan baru
pemahaman dan sensitivitas tentang masalah ini. "Kami memiliki masalah di
negeri ini dengan memandang ras dan ketidaksetaraan ras dan kami percaya kami
lebih baik dan kami percaya negara ini lebih baik,” kata Schultz.
Ras bukanlah masalah ortodoks, bahkan topik yang tidak nyaman
dibicarakan dalam pertemuan tahunan Starbuck. Mr Schultz mengakui pada
pertemuan tahunan perusahaan bagi pemegang saham beberapa hari sebelumnya, dia
sempat mengatakan bahwa "pada saat orang lain melihat biaya, risiko,
alasan dan keputusasaan, kita melihat dan menciptakan jalur kesempatan lain.
Itulah soal peran dan tanggung jawab perusahaan publik."
Meskipun tampaknya bermaksud baik, kampanye menimbulkan
reaksi negatif. Kampanye disambut dengan cemoohan dari para wartawan dan dengan
vitriol pengguna media sosial. Seorang barista Starbucks, yang diundang untuk
menulis #Racetogether pada cangkir kopi, menanggapi dengan tweet mengejek. "Menjadi
barista sudah cukup sulit. Membicarakan #RaceTogether dengan seorang wanita di Lululemon
saat menuangkan bumbu labu, itu kejam, " tweeted Ijeoma Oluo.
Corey duBrowa, Senior Vice President Komunikasi Global,
secara pribadi diserang badai tweet bernada marah. Dia sempat menghapus account
Twitter-nya Senin malam, tapi bergabung kembali kurang dari 24 jam kemudian.
"Tadi malam saya merasa diserang secara pribadi dalam nada negatif,"
kata duBrowa dalam sebuah posting di Medium. "Saya kewalahan karena volume
dan jangka waktu diskusi yang mepet, dan aku bereaksi."
Sementara itu, Mr Schultz melalui CNN dan tempat-tempat lain
untuk berusaha mempertahankan inisiatif. Meskipun dia mendapatkan berita yang baik
untuk dilaporkan kepada para pemegang saham, sebagian besar diskusi hari itu
dikhususkan untuk mengendalikan kerusakan akibat #RaceTogether.
Sejak itu, Starbucks menghapus frasa dan stiket
#RaceTogether yang ada di cangkir kopi, dan merilis pernyataan kepada karyawan
bahwa kampanye secara keseluruhan akan berlanjut hanya sampai 22 Maret.
Schultz menulis:
Meskipun telah ada kritik dari inisiatif - dan saya tahu ini
tidak mudah buat salah satu dari Anda - izinkan saya meyakinkan Anda bahwa kami
tidak mengharapkan pujian universal. Jantung RaceTogether selalu tentang
kemanusiaan: janji American Dream harus tersedia untuk setiap orang di negeri
ini, bukan hanya beberapa orang terpilih. Kami menghormati karena kami percaya
bahwa dengan memulai dialog seperti ini adalah yang paling penting.
Jadi apa yang salah? Kampanye media sosial memang mudah
dibajak oleh para pengkritiknya. Ketika suara pencela mulai menenggelamkan
kampanye yang aslinya baik, secara tiba-tiba merek menghentikan pesannya, dan
mulai defensif. Jika organisasi tidak memiliki rencana untuk melawan pesan
negatif, seluruh kampanye bisa hilang.
Analis Networked Insights Christina Dorn yang mempelajari
kampanye tersebut menemukan bagaimana pola respon negatif tersebut. Pada 17 Maret
atau beberapa haru setelah kampanye dimulai, volume diskusi tentang Starbucks
meningkat 266 persen. Namun, sepertiga dari mention yang muncul bisa dikategorikan sebagai "hate" dan 60
persen tanggapan negatif. Hanya tujuh persen dari pesan dalam diskusi konsumen
itu yang positif.
Pada 18 Maret, percakapan meningkat 408 persen di antara
pemasaryang tergabung dalam grup Networked Insights dibandingkan dengan tren
beberapa bulan sebelumnya. Namun demikian, 62 persen dari postingan mereka pada
umumnya bernada negatif atau sangat kritis terhadap kampanye.
Persepsi penghinaan warga Amerika untuk #RaceTogether tampaknya
berakar pada sintimen bahwa Starbucks telah mengambil alih masalah sosial yang
serius untuk keuntungan ekonomi sendiri. Perhatian yang tiba-tiba Starbuck pada
isu-isu rasial dianggap sebagai gimmick pemasaran. Memang, merek cenderung
dihargai ketika mereka menyelaraskannya dengan hal-hal yang bersifat kebaikan. Konsumen sering berterima kasih atas
kesempatan untuk merasakan diri benar tanpa harus melakukan sesuatu yang lebih
dari melakukan pembelian.
Tetapi untuk kampanye yng ini, Starbuck butuh sesuatu yang
otentik dan bukan hanya kesan sinis atau melayani diri sendiri. Kampanye TOMS
Shoes, yang menyumbangkan sepasang sepatu untuk anak miskin untuk setiap
pasangan yang dibeli konsumen, berhasil meskipun mendapatkan kritik dari
beberapa ekonom.
Kampanye Dove "Real Beauty" juga demikian. Tapi
itu masuk akal untuk sebuah merek body-wash populer dengan basis pelanggan
wanita yang secara signifikan mengatasi masalah citra tubuh. Inisiatif Starbucks
dari "percakapan ras" ini sebaliknya terasa kurang organik dan
otentik.
Sebagian dari sumbernya adalah masalah kepraktisan:
bagaimana orang seharusnya berbicara tentang ras dalam interaksi 30 detik
dengan orang asing sambil mengambil kopi untuk pergi? Masalah lainnya adalah branding.
Mengingat kepemimpinan perusahaan didominasi kulit putih, sekitar 40% barista
adalah ras minoritas, tetapi hanya tiga dari 19 eksekutif Starbucks adalah
orang-orang kulit berwarna dan kaya,
percakapan itu terasa dipaksakan dan canggung.
Starbucks memiliki catatan memperlakukan karyawan lebih baik
daripada kebanyakan jaringan ritel makanan cepat saji. Musim panas lalu
perusahaan menjadi berita utama karena tawarannya untuk menutup biaya kuliah stafnya
yang bekerja setidaknya 20 jam seminggu. Tapi pendapatan barista masih sesedikit
sekitar $ 7,60 per jam. Banyak juga yang mengeluhkan terbatasnya akses terhadap
asuransi, jam kerja tidak dapat diandalkan dan toko-toko yang kekurangan staf.
Mungkin karena itu, bisa dimengerti jika beberapa orang tampak sangat
bersemangat untuk membicarakan tentang rasisme.
Lalu pelajaran apa yang bisa dipetik Starbucks? Memang sulit
untuk menjaga pesan kampanye sosial, terutama ketika berkaitan dengan tema-tema
yang sensitive seperti ras. Saat menjalankan kampanye sosial, bersiaplah menerima
hasilnya yang mungkin baik atau positif, tapi juga bisa juga negatif.