Minggu, 03 Maret 2019

Tua tapi Modern, Bisa?



Suatu ketika, menjelang mengisi materi pelatihan mahasiswa untuk perubahan iklim, seorang teman bertanya kepada saya, “Pak Edhy selalu pakai jeans ya?”

“Sejak SMP kelas dua. Kalau nggak pakai jeans , rasanya kurang pedhe,” jawab saya. 
Jika Anda berpikir Levi’s dalah celana jeans, tidak salah tetapi juga tidak tepat. Kenapa? Levi Strauss & Co. memang sejak 165 tahun silam memproduksi dan menyediakan celana jeans. Tetapi, sejak saat itu pula Levi’s melampui akar produk tunggal mereka menjadi menawarkan beragam pakaian jadi, T-shirt yang kini penjualannya mendekati $ 1 miliar.

Intinya, Levi's adalah merek gaya hidup bagi orang banyak dan beragam orang. Itu sebabnya Levi’s berani menggarap pasar T-Shirt. Sebagai merek gaya hidup, Levi’s tidak ingin hanya dikenal sebagai produsen celana.  "Bisnis kaos kami sedang hot-hotnya," kata Jen Sey, Wakil Presiden Senior dan CMO di Levi Strauss, merujuk pada kemeja berlogo batwing yang khas.

Salah satu kelebihan yang dimiliki Levi’s diatas merek-merek jeans lainnya adalah warisan (heritage). Bila Anda membeli celana 501, Anda mendapatkan gaya kasar yang pertama kali dibuat untuk para pencari emas California pada tahun 1873. Ikonnya setia pada merek yang dikenakan oleh ikon dari Marlon Brando hingga Kurt Cobain.

"Heritage namun tetap menjadi modern selalu menjadi tantangan yang harus dihadapi Levi’s," kata Kevin Keller, Profesor Pemasaran Osborn di Tuck School of Business di Dartmouth University. "Merek ini telah menjadi heritage,  Anda (pengelola) tidak bisa membiarkan itu menentukan sendiri siapa Anda.  Anda harus menjadi modern, bergerak maju dan relevan dengan audiens yang jauh lebih muda."

Intinya, menjadi warisan merek saja tidak cukup untuk mempertahankan eksistensi merek di era digital. Kesannya yang “tua” membuat publik jarang mengaitkan Levi Strauss & Co. dengan teknolog. Padahal, merek itu sekarang serius bergerak ke arah itu.

Bulan lalu misalnya, Levi’s baru saja merekrut orag pintar di bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence).  Katia Walsh, yang pernah menjadi kepala pusat data dan analisis Vodafone, bergabung dengan Levi’s  April depan. Disini, Walsh akan fokus membangun "data, analitik dan kecerdasan buatan" yang akan memperkuat usaha bisnis perusahaan saat ini dan masa depan.

Beberapa tahun terakhir, Levi’s memanfaatkan kemajuan teknologi digital.  Pada 2017, misalnya, Levi’s  meluncurkan fitur stylist virtual di situs webnya. Dengan fitur itu, pengunjung menerima saran mode yang digerakkan oleh AI dari chatbot pintar yang berbicara dengan nada percakapan, mengajukan pertanyaan seperti, "Bagaimana Anda ingin jeans Anda masuk ke pinggul dan paha Anda?" , kemudian membuat rekomendasi khusus.

Padatahun yang sama, Levi’s juga bermitra dengan Google untuk memproduksi jaket pesepeda Project Jacquard. Dirancang untuk komuter perkotaan, jaket — yang ditenun dengan benang Jacquard yang konduktif — tautan ke perangkat seluler pemakai melalui Bluetooth, memungkinkan mereka cukup mengetuk manset untuk mengakses musik, panggilan telepon, atau arah.

Levi Strauss & Co. berdiri pada tahun 1853 ketika seorang imigran Bavaria beremigrasi ke San Francisco, California. Awalnya adalah sebuah toko kelontong. Namun, salah satu pelanggan Strauss - seorang penjahit bernama Jacob Davis - datang kepadanya dengan ide bisnis.

Davis memperhatikan pelanggannya berulang kali datang dengan keluhan kerusakan pada saku dan kancing jins denim mereka. Ini memberinya ide untuk menggunakan paku keling tembaga untuk memperkuat kain yang berat itu di titik-titik yang sering rusak itu.

Sayangnya, Davis tidak memiliki modal untuk mewujudkan idenya, sehingga mendekati Strauss - yang memiliki toko tempat Davis membeli bahan denim - dengan ide untuk bergabung bersama dalam usaha tersebut.

Kemitraan ini melahirkan paten desain jean berpaku dan merek jins denim paling ikonik - Levi's. Awalnya dipakai oleh pria pekerja di West Coast, seperti petani, koboi, dan penebang pohon. Kemudian jeans denim menjadi modis di tahun 1950-an-1980-an di kalangan warga subkultur seperti rocker, greaser, dan hippies. Dari awal yang sederhana ini, jeans denim makin popular hingga menjadi barang mode di mana-mana seperti sekarang ini.

Tak banyak merek — dan logo — yang memiliki daya tarik yang langgeng seperti Levi’s. Apalagi saat bisnis  pakaian dan lanskap ritel dipenuhi dengan produk saingan denim. Dua decade lalu, hampir saja Levi's berada di dekat kuburan itu.  Awal 2000-an, tim desain Levi’s terlambat beralih ke mode baru yang populer seperti denim berwarna untuk wanita dan celana jeans khusus untuk pria. Akibatnya, penjualan anjlok.

Namun, perombakan merchandising dengan menawarkan produk trendi tanpa melupakan daya tarik klasik yang lebih tahan lama, dikombinasikan dengan platform pemasaran yang menyegarkan dan fokus pada inovasi digital, membantu Levi’s terhindar dari nasib seperti itu.

Sekarang, di bawah kepemimpinan CEO Chip Bergh, yang dimulai pada tahun 2011, merek yang berbasis di San Francisco ini berharap dapat meraih lebih banyak pangsa pasar pakaian jadi melalui teknologi modern. Levi’s juga menawarkan penyesuaian desain untuk memikat konsumen yang lebih muda.

Tahun lalu, Levi’s juga membangun tempat tujuan wisata dengan membuka toko flagship baru 17.000 kaki persegi di Times Square. Levi’s juga giat di aksi untuk mengatasi masalah sosial yang membebani masyarakat seperti  kontrol senjata agar beresonansi dengan remaja sebagai isu kampanye mereka.

Tahun lalu, Levi’s melaporkan pertumbuhan pendapatan dua digit berturut-turut di kuartal keempat. Untuk kuartal ketiga, yang berakhir 26 Agustus, Levi’s menghasilkan pendapatan bersih $ 1,4 miliar, naik 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Penghasilan bersih untuk kuartal ini adalah $ 130 juta, atau 45 persen lebih dari tahun 2017. Pertumbuhan ini mengikuti tahun 2017 yang kuat, ketika pendapatan yang dicatat Levi sebesar $ 4,9 miliar, penjualan tertinggi dalam satu dekade.

Angka itu memang masih jauh dari masa ketika Levi’s berjaya pada tahun '90 –an. Ketika itu, pendapatan Levi’s mencapai $ 7 miliar. Nilai penjualan itu didorong sebagian oleh kampanye ikon "501 Blues Levi’s" dari satu dekade sebelumnya.

Tapi momentum itu hanya bisa melindungi label tak begitu lama ketika sejumlah saingan bermunculan dan mencuri pangsa pasar. Akhir tahun 90-an, Levi’s menghadapi persaingan dari bawah — Gap yang meningkatkan kampanye penjualan denimnya, sementara department store menciptakan merek jeans label pribadi mereka sendiri, seperti merek JC Penney Arizona.

Dari atas muncul denim desainer, seperti  untuk All Mankind dan Citizens of Humanity. Ini membuat – sekitar awal 2000-an – Levi’s berada pada posisi tengah yang tidak menyenangkan, di mana ia ditekan dari atas dan bawah.

Dalam situasi seperti itu, Levi’s meresponsenya dengan mengejar tren, namun tetap mempertahankan warisan mereknya. "Ketika Anda bekerja di bisnis yang trendi seperti fashion dan pakaian, Anda bisa takut tidak keren dan mengejarnya dengan cara yang tidak autentik," kata Sey. "Kami melakukan beberapa hal dan itu tidak beresonansi dengan konsumen."

Di bisnis denim, Levi's masih berjuang melawan persaing untuk mendapatkan dolar konsumen. Di pasar denim di seluruh dunia senilai $ 95,5 miliar, pada 2017, Levi's hanya menguasai 5,3 persennya. Datar selama lima tahun terakhir, tulis perusahaan riset pasar Euromonitor International.

Di A.S., pasar denim mengalami kontraksi. Penjualan denim turun sebesar 13 persen selama periode lima tahun antara 2012 dan 2017. Ketika peluang dalam denim berkurang, untuk meningkatkan penjualan, Levi's beralih dengan menawarkan produk yang lain, seperti T-shirt. Artinya, Levi’s tetap bertahan sebagai merek gaya hidup, bukan hanya pemasok jeans.

Sabtu, 02 Maret 2019

Dari Contact Economy Ke Attention Economy




Karena konten semakin melimpah dan segera tersedia, perhatian menjadi faktor pembatas dalam konsumsi informasi. Perhatian menjadi semacam komoditi yang langka dan diperebutkan. 

Apa produk utama media massa itu sebenarnya?" Anda nonton siaran langsung pertandingan sepakbola misalnya, berapa banyak iklan yang tayang selama pertandingan berlangsung? 

Anda mungkin menjawab bahwa produk media massa itu terdapat pada maknanya, hiburan, pendidikan, atau hasil komunikasi umum lainnya. Namun itu semua masih memunculkan pertanyaan kembali, apakah benar kita mendapatkan itu.

Yang sering terjadi adalah pertimbangan ekonomi seperti siaran sepak bola tadi. Jaringan televisi membeli hak untuk menyiarkan game atau pertandingan selama satu musim. Tetapi alih-alih menunjukkan permainan secara keseluruhan tanpa jeda, jaringan mengalokasikan waktu untuk iklan sebagai cara untuk mengganti pengeluaran dan, pada akhirnya, menghasilkan laba.

Sponsor komersial membayar hak untuk menunjukkan produk dan layanan mereka kepada demografi khalayak tertentu; sepak bola dan truk pick-up jelas berjalan beriringan. Pemasar memanfaatkan audiensi yang terpikat.

Mungkin itu sah-sah saja. Akan tetapi diakui atau tidak, itu memunculkan keprihatinan, kita ini mau nonton pertandingan sepakbola atau iklan? Studi yang dilakukan oleh Yankelovich Group, lebih dari sepuluh tahun lalu menunjukkan bukti luar biasa bahwa sebagian besar konsumen merasa terlalu banyak iklan di sekitar mereka. 

Artinya, ketika nonton bola misalnya, karena terlalu banyak iklan, orang merasa terganggu tak bisa fokus pada acara pertandingan bola yang ditontonnya. Mereka kesal sehingga tak jarang orang tidak memperhatikan iklan itu dan memindahkan atau mematikannya atau melakukan kegiatan lainnya. Akibanya, iklan itu menjadi berkurang keefektivannya. 

Attention atau perhatian adalah unsur penting dari periklanan yang efektif.  Dalam disiplin komunikasi mendapatkan perhatian, atau diperhatikan mernjadi faktor penting supaya pesan diingat. Jadi kalau saya ingin diingat, yang pertama saya lakukan adalah menemukan cara bagaimana saya diperhatikan. Kalau tidak  diperhatikan, jangan harap orang mengingat saya.

Dalam konteks iklan, sebelum konsumen dapat dipengaruhi oleh pesan iklan, mereka harus terlebih dahulu memperhatikan. Kisah-kisah yang beredar sampai saat ini bahwa orang dapat dipengaruhi oleh iklan tanpa secara langsung memperhatikan, itu adalah mitos.

Misalnya, kasus klasik yang dikemukakan oleh James Vicary pada tahun 1957 — bahwa orang-orang yang terpapar iklan Coca-Cola dan popcorn bawah sadar di bioskop lebih mungkin membeli produk-produk ini setelah mereka meninggalkan teater— sebenarnya melibatkan hasil fabrikasi.

Ini dijelaskan dalam teori Elaboration Likelihood Model Intinya, orang termotivasi untuk memperhatikan sesuatu kalau yang didengar, yang dilihat, atau  rangsangan yang ditangkap indera, sesuai dengan kebutuhannya. Jadi misalnya, kalau saya haus, saya akan memperhatikan omongan irang yang membahas tentang minuman. Ini kalau dalam ELM disebut rute sentral (central route). 

Lalu bagaimana kalau omongaan saya tidak sesuai dengan kebutuhan audiense tetapi saya ingin diperhatikan. Dala situasi seperti ini, saya akan memilih rangsangan atau stimulus misalnya dengan menggunakan judul yang bombastis, huruf besar, suara keras hingga bintang iklan cantik dan menarik. Dalam ELM model ini mengikuti jalur periferal

Saat ini, komunitas akademis yang mempelajari iklan setuju bahwa sejumlah perhatian diperlukan untuk iklan agar bisa berdampak pada konsumen. Artinya, suatu pesan iklan semakin diperhatikan, peluang berdampaknya semakin besar. 

Gagasan ini membuka peluang mengubah paradigm media dari contact economy ke attention economy. Bila dulu seorang pasang iklan misalnya, tarifnya ditentukan besarnya jangkauan (GRP) yang diperkirakan dari sebuah iklan yang disiarkan media, kini beralih ke pengukuran megenai attention (diperhatikan) atau engagement

Ini karena tsunami informasi jangkauan tidak lagi mencerminkan kinerja sebenarnya dari iklan media. Kenapa? Karena jangkuan yang dicapai sebuah iklan belum tentu mencerminan bahwa iklan itu dilihat atau bahkan diperhatikan audience. Percuma kalau iklan cuma menjangkau atau sampai di depan audiens tetapi tidak diperhatikan atau tidak memunculkan minat untuk dibaca.

Jadi saatnya beralih ke attention economy. Kenapa? Dalam kasus siaran pertandingan sepakbola tadi misalnya, yang terjadi adalah kekurangan perhatian karena tidak fokus. Kalau saja acara pertandingan – yang memang sudah diniati audience untuk ditonton – ditonton secara tidak fokus, apalagi iklannya.

Intinya adalah ketika dunia dilanda tsunami informasi, ketika informasi dan pengetahuan menjadi pusat proses polarisasi modal, ketika media semakin terkonvergensi dalam sebuah smartphone, perhatian manusia menjadi sangat langka. Ini karena mereka terlalu sibuk memilih informasi dan media. Karenanya, perhatian (attention) menjadi komoditas yang semakin bernilai.

Dalam konteks baru ini, beberapa penulis ekonomi politik merumuskan fenomena ini dalam gagasan tentang ekonomi perhatian, the attention economy (Simon 1969; Davenport dan Beck 2001). Konsep ekonomi perhatian pertama kali diperkenalkan oleh Herbert A. Simon dalam ceramah ilmiahnya berjudul,  Designing Organizations for an Information-rich World, tahun 1969.  

Selama dekade 1960-an, para ekonom menyebarkan gagasan seperti 'pengetahuan' dan 'informasi' dalam upaya untuk menjelaskan krisis kapitalisme industri dan perubahan radikal yang dipicu olehnya. Dalam masyarakat pasca-industri yang muncul saat itu, proses industri tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya sumber nilai.

Sebaliknya, pengetahuan dan informasi menjadi aspek sentral dari siklus ekonomi, membentuk kembali cara di mana nilai lebih diproduksi dan dieksploitasi. Mode produksi baru pasca industri ini dalam ekonomi politik biasanya disebut sebagai 'kapitalisme pengetahuan' atau 'ekonomi berbasis pengetahuan'.

Definisi Simon tentang ekonomi perhatian harus dipahami sebagai respons terhadap konteks ekonomi baru ini. Menurut Simon, dalam ekonomi paska industri yang muncul, bukan hanya pengetahuan dan informasi yang menjadi pusat proses produktif tetapi juga perhatian yang diperlukan untuk memproses pengetahuan ini dan informasi ini (Simon 1969, p. 6).

Dengan menggunakan logika penawaran dan permintaan secara langsung, Simon berpendapat bahwa kelimpahan pengetahuan dan informasi yang menjadi ciri ekonomi berbasis pengetahuan 'menciptakan kemiskinan perhatian, dan kebutuhan untuk mengalokasikan perhatian secara efisien di antara melimpahnya sumber informasi yang mungkin mengonsumsinya' (pp. 6–7).

Dalam skenario produktif baru ini, pertanyaan ekonomi yang paling mendesak adalah: ‘Bagaimana kita dapat merancang organisasi, perusahaan bisnis, dan lembaga pemerintah, untuk beroperasi secara efektif di dunia seperti itu; bagaimana kita dapat mengatur kembali dengan kebijakan yang bertujuan untuk melestarikan dan mengalokasikan secara efektif perhatian mereka yang langka? Dengan pertanyaan ini, Herbert A. Simon meresmikan bidang baru analisis, The Attention Economy (ekonomi perhatian).

KISAH JAHITAN KLASIK LEVI’S



Pada pertengahan 1980-an Levi Strauss & Co., perusahaan yang saat itu memiliki kapitalisasi senilai US$ 2 miliar, menikmati pangsa pasar yang begitu besar untuk berbagai kategori produk busana. Karena pasarnya yang terasa penuh, mereka merasa perlu meluaskan pasarnya. Tujuannya untuk mempertahankan pertumbuhan. Keputusan perluasan ini didasarkan pada sebuah penelitian segmentasi pasar pakaian pria yang melibatkan 5 segmen pakaian pria yang berbeda.

Pertama, sekitar 26% dari segmen pakaian pria merupakan segmen utilitarian. Orang yang tergolong utilitarian adalah loyalis Levi’s. Mereka mencari pakaian yang nyaman dan tahan lama untuk bekerja sekaligus bermain. Kedua, segmen tradisional umum yang  mewakili 18% dari pasar. Mereka adalah golongan usia yang lebih tua dan cenderung membeli stelan polyester di pusat pertokoan.

Levi’s melakukan penetrasi yang berhasil dalam segmen ini dengan produk Actionwear-nya yang memberi beberapa bonus untuk mengakomodasi kalangan berusia paruh baya. Levi’s juga melakukan serangan terhadap segmen ”pembelanja harga” dan ”kasual trendi”. Namun mereka tidak mempunyai produk untuk segmen ”individualis klasik” sehingga penetrasi di segmen tersebut dianggap mewakili suatu peluang pertumbuhan.
 
Individual klasik adalah pria “pesolek” yang cenderung membeli item-item yang mengandung wool dan berbelanja di toko-toko khusus. Mewakili 21% dari pasar pakaian pria, ia merupakan pembeli berat stelan, dengan aneka ragam stelan yang jauh lebih besar dari segmen manapun.

Berbeda dengan pembelanja tradisional umum, yang menggantungkan pada nasehat isterinya, individualis klasik berbelanja sendirian dan meyakini penilaiannya sendiri atas pakaian. Mereka sangat perhatian terhadap penampilan yang mnarik dan label. Levi’s tidak termasuk dalam pembelian pakaian jenis ini.

Dengan menargetkan pada segmen ini, Levi kemudian meluncurkan Levi’s Tailored Classic, sebuah produk stelan wol pria yang bis adiperbandingkan dengan barang-barang kompetitor dari segi bahan, pengerjaan, dan mode. Distribusi menekankan pada pusat-pusat pertokoan, bukan pada toko-toko khusus, dengan maksud untuk mengekploitasi kehadiran penjualan Levi’s di pusat-pusat pertokoan.

Salah satu aspek yang membedakannya, stelan tersebut dijual secara ”terpisah” jas dan jaket dipilih sendiri-sendiri. Karena itu, para pelanggan bisa lebih mendapatkan kesesuaian, dan kebutuhan untuk modifikasi bisa dikurangi. Lebih jauh, stelan itu dihargai lebih urah dripada stelan desainer namun sejajar dengan produk kompetitor (Hager).

Lepas dari usaha-usaha pengembangan dan peluncuran yang berbiaya mahal, produk tersebut tidak berhasil, dan dukungan promosi ditarik dalam satu thun kemudian. Suatu investasi dalam sumber daya dan reputasi idak mendapatkan imbalan yang setimpal.

Sangat berbeda dengan Docker, produk celana pendek yang dimantapkan pada 1986 tanpa suatu kaitan yang kuat dengan Levi’s, telah mendapatkan keberhasilan yang mengejutkan. Celana cotton yang longgar di atasnya dan mengecil di bagian bawahnya, Dockers memberikan kesesuaian yang ”lebih longgar” pada baby boomer yang telah menanjak dewasa.

Mereka memberikan kenyamanan dan mode yang lebih besar dibandingkan jeans, namun terpisah dari jas. Kenyataannya, Dockers menjadi sebuah merek yang kuat, dengan asosiasi pada celananya yang unik dan pakaian kasual yang baru. Karena itu, nama Dockers mengilustrasikan keuntungan taktis dan strategis dan menciptakan sebuah nama baru.   

Sumber:
Aaker DA, 1991. Managing Brand Equity. Free Press


Jumat, 01 Maret 2019

Negara-negara Dengan Populasi Lelaki Lebih Banyak





Terlepas seberapa penting melihat gender sebagai variabel dalam penentuan strategi pemasaran dan komunikasi pemasaran, realitasnya rasio lelaki dan perempuan penduduk memang tidak selalu imbang. Perserikatan Bangsa-bangsa memperkirakan populasi dunia mencapai sekitar 7,5 - 8 miliar orang pada tahun 2023. 

Dalam beberapa tahun terakhir, dikutip dari herbeauty.co, kesenjangan antara pria dan wanita telah sangat berkurang. Pada tahun 2011, rasio gender sekitar 1: 1 dengan rasio saat lahir diperkirakan sekitar 107 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan yang lahir. Pada 2015, persamaan turun menjadi sekitar 102 pria diantara 100 wanita.

Rasio populasi dunia antara pria dan wanita berfluktuasi. Saat ini, rasio antara pria dan wanita lajang memang relatif sama, tetapi di negara-negara tertentu ada kesenjangan. Ada beberapa penjelasan untuk ini, termasuk perlakuan terhadap perempuan, perang yang telah mengakibatkan migrasi massal dan ketidaksetaraan gender yang telah menyebabkan perempuan meninggalkan negara asal mereka untuk kesempatan kerja yang lebih baik. 

Berikut 15 negara di mana pria mengalami kesulitan menemukan istri karena kekurangan wanita.

1. Qatar
Qatar menjadi yang teratas dalam daftar. Rasio pria dan wanita di negara Timur Tengah yang kaya minyak dan kaya minyak ini adalah 3,41 banding 1. Tingginya gap rasio di Qatar itu sebagian besar disebabkan oleh masuknya imigran laki-laki yang sekarang merupakan 94% dari seluruh tenaga kerja di negara itu. Pemerintah ingin mengeluarkan visa kerja untuk laki-laki asing untuk mengisi posisi manajerial yang terampil dan pekerjaan konstruksi, perempuan asing hampir tidak mungkin mendapat visa jika mereka tidak datang dari tempat-tempat seperti Kanada atau Inggris.

2. Uni Emirat Arab
Pada pergantian abad ke-20, UEA memiliki hanya 40.000 penduduk,  22.000 di antaranya adalah perempuan.  Tetapi penemuan minyak mengubah gurun ini yang penuh dengan desa-desa nelayan ini membuat negara itu menjadi tujuan wisata modern yang menjadikan negara itu kini menjadi sangat kaya.  Orang asing merupakan 85% dari populasi negara dan mereka sebagian besar adalah laki-laki. Dengan kurangnya wanita lajang, banyak pria Emirat meninggalkan negara itu untuk menemukan pasangannya.

3. India
Diperkirakan menyalip China sebagai negara berpenduduk # 1 terbesar di dunia pada tahun 2024, India mengalami situasi kekurangan wanita yang serius. Rasio gendernya saat ini, 1,08 pria untuk setiap perempuan atau terdapat 37 juta lebih pria dari pada perempuan. Sama seperti China, ada fokus pada pemilihan jenis kelamin. Sebagian besar pria India masih diharapkan menjadi pencari nafkah dalam keluarga mereka dan mendukung orang tua mereka begitu mereka bertambah usia. Sayangnya, kesenjangan itu masih akan terus tumbuh selama beberapa tahun mendatang.

4. Amerika Serikat
Menurut sensus pada tahun 2010, terdapat 157 juta wanita di AS dibandingkan dengan 151,8 juta pria. Meskipun demikian, ada beberapa kota besar di mana pria melebihi jumlah wanita, terutama di Los Angeles dan Las Vegas. LA adalah rumah bagi 90.000 lebih banyak pria lajang daripada wanita. Sementara itu, di Sin City, ada 103 pria di atas usia 18 tahun untuk setiap 100 wanita. Artinya, jika Anda seorang wanita lajang yang menikmati sinar matahari sepanjang tahun, pria LA dan Vegas sangat ingin berkenalan dengan Anda!

5. China
Negara terpadat di dunia ini memiliki 40 juta lebih banyak pria daripada wanita. Ini disebabkan oleh kebijakan aborsi selektif jenis kelamin dan keyakinan bahwa ahli waris laki-laki diperlukan. Kesenjangan ini bahkan lebih umum di desa-desa di mana keluarga lebih menghargai laki-laki. Pemerintah berusaha ulai mengatasi masalah ini. Para bujangan China yang memenuhi syarat selalu bisa mencoba untuk memenangkan hati para gadis di negara tetangga Rusia, negara yang justru kekurangan pria.

6. Mesir
Mesir terpadat di dunia Arab menjadi salah satu negara  terbesar di benua Afrika. Dengan rasio 1,05 pria untuk setiap 1 wanita, itu menambah ketidakseimbangan yang signifikan. Mesir adalah masyarakat paternalistik tradisional di mana perempuan diharapkan untuk menjalani kehidupan rumah tangga, tetapi sebagian besar perempuan Mesir yang memiliki pendidikan tinggi bercita-cita bekerja di bidang sains, kedokteran, dan hukum. Akibatnya, banyak dari mereka yang berimigrasi ke negara-negara yang lebih progresif.

7. Yunani
Sekali waktu, Yunani berfungsi sebagai titik transit bagi mereka yang berimigrasi ke Eropa yang kemudian pindah ke Inggris atau Prancis. Tetapi biaya hidup yang relatif murah dan cuaca yang indah sepanjang tahun akhirnya menjadikan Yunani tujuan akhir bagi banyak diantara mereka yang ingin berimigrasi. Sejumlah besar imigran baru berasal dari Timur Tengah adalah laki-laki, yang mendorong rasio gender lebih tinggi ke arah itu. Fenomena ini makin meningkat karena kesetaraan upah antara jenis kelamin buruk. Ini menyebabkan banyak perempuan pindah ke negara-negara Eropa lainnya di mana mereka menerima upah yang lebih adil.

8. Nigeria
Dengan rasio 1,04 pria dan 1 wanita menempatkan Nigeria di antara yang tertinggi di benua Afrika. Perkawinan usia dini, dan sebagainya menyebabkan banyak perempuan berimigrasi untuk mencari tempat-tempat di mana kehidupan mereka akan lebih baik. Hasilnya adalah kesenjangan laki-laki / perempuan yang pasti akan tumbuh. Baru-baru ini pemerintah menyatakan keprihatinan atas jumlah laki-laki dewasa muda yang kesulitan menemukan istri.

9. Afghanistan
Dulu Afghanistan adalah rumah bagi masyarakat yang sangat progresif di mana perempuan bebas  berjalan di jalan-jalan Kabul.  Empat puluh tahun belakangan, di negara ini yang terdengar hanya perang dan kehancuran. Ini mengakibatkan perempuan dan anak-anak berimigrasi dalam jumlah besar sementara para lelaki berperang. Hasilnya adalah rasio gender yang condong ke laki-laki.

10. Swedia
Mirip dengan Norwegia, Swedia mulai melihat peningkatan kecil tapi bertahap dalam rasio pria dan wanita. Dalam beberapa tahun terakhir, di Swediaterdapat sekitar 12.000 lebih banyak laki-laki dari pada perempuan. Angka ini diperkirakan meningkat. Salah satu masalah adalah krisis perumahan di mana tidak ada cukup rumah untuk menampung warga negara Swedia. Akibatnya, semakin banyak orang Swedia pindah ke luar negeri, terutama perempuan. Di sisi lain, imigran dari beberapa negara yang dilanda perang telah menetap di Swedia, termasuk 35.000 laki-laki di bawah umur.

11. Iran
Untuk pertama kalinya dalam sejarah negara itu, jumlah pria di Iran melebihi jumlah wanita. Salah satu factor penyebabnya adalah bahwa makin banyaknya perempuan Iran berpendidikan tinggi dan mereka sering mencari pekerjaan di luar negeri yang sesuai dengan keterampilan mereka. Selain itu, ada  keengganan bagi perempuan Iran modern untuk menikah dan memulai sebuah keluarga sebelum mereka membangun karier mereka.

12. Norwegia
Dalam beberapa tahun terakhir, populasi pria di Norwegia melampaui wanita. Sebagian besar fenomena ini disebabkan oleh imigrasi. Ada sekitar 12.000 lebih pria lajang di negara ini. Sebagai salah satu negara yang paling liberal dan sederajat di dunia, ada beberapa kekhawatiran bahwa kesenjangan populasi gender yang menguntungkan laki-laki akan mengancam sebagian kemajuan yang telah dicapai perempuan dalam beberapa dekade terakhir. Hanya waktu yang akan memberitahu.

13. Islandia
Ketika Anda memikirkan Islandia, dua hal yang biasanya terlintas dalam pikiran: penuh dengan es dan Bjork yang secara harfiah adalah satu-satunya orang yang pernah datang dari sana.  Tetapi ada fakta lain yang layak dikemukakan: Islandia memiliki terlalu banyak pria atau sedikit wanita. Saat ini, ada 1,7% lebih banyak penduduk pria. Ini berarti banyak pria yang makan malam sendirian dengan penerangan lilin.

14. Filipina
Perempuan Filipina banyak yang bekerja di luar negeri seperti Australia, Asia dan bahkan Timur Tengah. Akibatnya, rasio antara pria dan wanita (saat ini 1,02 banding 1) semakin melebar. Statistik terbaru juga menunjukkan bahwa jumlah pasangan yang menikah turun. Ini memberikan bukti lebih lanjut bahwa masalah ini bisa terkait dengan kekurangan wanita.

15. Libya
Dengan populasi yang mencakup 1,07 pria untuk setiap 1 wanita, Libya memiliki kesenjangan rasio gender yang paling lebar di Afrika. Negara ini telah terlibat dalam perang saudara yang berlarut-larut selama beberapa tahun. Ini menyebabkan eksodus perempuan yang rentan. Ditambah lagi dengan peran tradisional yang membatasi perempuan dalam masyarakat Libya. Ini membuat banyak diantara kaum perempuan Libya lebih suka menikah dengan warga asing.

Sumber: https://herbeauty.co/lifestyle/15-countries-where-men-have-difficulties-finding-a-wife-due-to-a-shortage-of-women/?utm_medium=cpc&utm_source=herbeauty.co_desk_id&utm_campaign=herbeauty.co_desk_id&utm_term=5753130&utm_content=2484671