Jumat, 27 Desember 2019

Asam Hitam dan Coklat di Pasar Bintaro 2



Pukul 09.00 belanja di Pasar Bintaro 2 hampir selesai. Di tas bawaan sudah ada paha ayam potong, ati nggak pakai ampela, tempe, telur, ikan bawal, jeruk lemon lokal, bumbu-bumbu seperti ketumbar, cabe rawit merah yang kini lagi murah, daun sereh, jahe, lengkuas. Beli jahenya lumayan banyak – sekilo.

Biasanya beli tahu, tapi setiap Selasa dan Jum’at ada penjual tahu yang lewat depan rumah pakai motor. Alhamdulillah, terbeli karena biasanya, penjual tahu bermotor itu suka agak “balap” jalannya. Isteri saya komplain, “Abang bilang tahu-tahu kencang, tapi pas buka pintu, abang sudah nggak kelihatan karena cepet jalannya.” Hari ini dia jalan agak lambat karena di depan motor ada anaknya usia 5 tahun ikut ngebonceng keliling. “Lagi liburan sekolah. Jadi ikutan sekalian jalan-jalan,” kata penjual tahu itu.

Balik lagi ke cerita di Pasar Bintaro, pas mau keluar, dia warung sebelah kanan arah keluar saya lihat ada asam Madura.  Wah, kata orang ini yang disebut impuls. Dari rumah tak ada niatan untuk beli asam, tapi pas lihat asam, jadi pingin beli. Pedagang warung yang lokasinya pas dekat pintu itu pintar menata. Barang dagangannya ditata apik sehingga kelihatan semua. Ada emping, kacang ijo, gula merah, minyak goreng, dsb diatur sedemikian rupa sehingga seakan warna-warna menarik dipandang.

Penataan dengan penonjolan produk-produk tertentu yang pembeliannya tak sering itu yang membuat saya kagum. Pengaturan barang dagangan itu yang membuat saya berhenti di warung itu. Karena melihat asam, saya jadi berubah pikiran, ayam yang rencana semula mau saya goreng, saya berubah pikiran jadi ingin saya bacem. Demikian pula tempe. Dari mau bikin tempe tepung, jadi bacem tempe yang membutuhkan asam.

Pengalaman beli di warung itu, harganya memang agak miring. Gula aren misalnya kalau di warung lainnya harganya bisa Rp 40 ribu sebungkus isi 1 kilo lebih, di warung itu bisa didapat dengan harga Rp 30 ribu. Harganya nggak naik-nari dari empat tahun lalu. Lima tahun lalu harganya sempat Rp 28 ribu, kemudian naik jadi Rp 30 ribu. Juga ada monyak goreng kelapa yang di warung lain harganya Rp 60 ribuan per 2 liter, di warung itu Cuma Rp 52 ribu per dua liter.

Saya lihat pembeli di warung itu banyak. Mungkin karena harganya murah itu. Tapi justru itu saya jadi bertanya-tanya, kalau fenomenanya seperti itu apakah teori sliding price- di pasar tradisional yang dikemukakan Clifford Geertz masih berlaku ya?  Apakah di konsep itu kini tengah bergeser ke arus konsep ekonomi firma?

Dalam lingkungan pasar tadisional, persaingan yang terjadi bukan antara penjual dengan penjual sebagaimana dalam perekonomian firma, melainkan antara pembeli dan penjual. Menurut Geertz (1992:33) di pasar tradisional berlaku sistem harga luncur (sliding price system) untuk membedakan antara ekonomi pasar dan ekonomi firma.

Konsep firma dalam Geertz ditandai dengan tempat permanen, hari kerja yang penuh, harga yang agak lebih pasti sehingga jarang terjadi tawar menawar, penyesuaian barang dengan selera kekotaan, pegawai toko yang tetap, perencanaan berdasarkan tata buku yang sistematis dan semuanya ditujukan untuk mencapai tujuan jangka panjang, agresif mencari pelanggan, dan sebagainya.

Dengan sistem harga luncur, persaingan bukan antara pedagang dengan pedagang melainkan antara pedagang yang ingin mendapat keuntungan yang besar dengan pembeli yang ingin mendapatkan harga murah. Prosesnya adalah melalui tawar menawar harga. Pembeli mencoba menawar harga yang dipatok penjual menjadi lebih murah.

Itu yang menjadi kekhasan dari pasar tradisional yang tidak dijumpai di retail modern yang harganya sudah dipatok. Di pasar tradisional tak ada upaya pedagang pasar untuk “menarik” pengunjung pasar untuk mampir ke tokonya. Di sisi lain tak ada upaya menata barang sedemikian sehingga membuat pengunjung pasar menghampiri kios atau lapaknya.  Sekarang, yang saya jumpai di warung dekat pintu itu mirip ciri-ciri firma yang saya gambarkan itu.

Kekaguman saya belum berhenti disitu. Di warung tadi saya lihat ada dua macam asam Madura, satu berwarna coklat yang satunya lagi hitam. Jadi apa bedanya? Tanya saya,. “Yang hitam sudah lama, yang coklat masih baru. ” Saya percaya dengan jawaban itu. Dua-duanya saya pegang, dan memang beda. Yang item agak keras, yang coklat masih empuk, lunak. “Wah kalau begitu saya beli yang empuk saja,” kataku.

“Tapi Pak, kalau untuk jamu atau obat, lebih bagus yang item Pak,” kata pedagang itu tadi.
“Kok…kenapa larinya ke obat,” kataku dalam hati.

“Oh…mungkin dia lihat uban saya,” pikirku. Uban menunjukkan umur dan umur menyiratkan kebutuhan seseorang. Lagi-lagi saya kagum sama pedagang itu karena bisa membaca kebutuhan pelanggan atau konsumennya yang tidak diungkapkan atau latent needs itu.

Lalu apakah saya beli asam yang item? Tidak. Saya memang sering membuat jamu asam kunyit rebusan. Tapi kali ini saya ingin buat bacem temped an bacem ayam. Jadi yang beli asam yang berwarna coklat.  

Selasa, 12 November 2019

Bagi Steve Jobs, Menciptakan Buzz itu Penting



Bagi Steve Jobs, public relations sangatlah penting, seperti design produk. Dua hal itu yang membuat Apple seakan maju selangkah ketimbang pesaingnya. Jadi seberapa pentingkan PR bagi Apple?

Walt Mossberg dari Wall Street Journal bercerita betapa Jobs sangat membutuhkan publisitas. Beberapa hari setelah Jobs kembali sebagai CEO Apple, pada tahun 1997, Jobs menelpon Mossberg. “Pada Minggu malam, selama empat atau lima akhir pekan berturut-turut,” kata Mossberg. Telepon pada hari Minggu itu menjadi diskusi maraton, berdurasi 90 menit, luas, dan tidak direkam.

Perhatian Jobs tidak terbatas pada Wall Street Journal. Mantan penulis Gizmodo, Brian Lam Walter, juga bercerita tentang bagaimana Jobs berusaha dekat dengan media. Walter bercerita entang email pribadi dan panggilan dengan Jobs, meskipun itu berakhir setelah Gizmodo secara kontroversial membeli prototipe iPhone 4 yang hilang.

Juni 2004, Apple Inc meluncurkan produk barunya, IPhone 4. Ini adalah iPhone generasi keempat, menggantikan 3GS dan mendahului 4S. Sebelum peluncuran resminya, dua prototipnya menjadi perhatian media. Ini karena pada 27 Januari 2010, situs web gadget Engadget menyiarkan  gambar dua iPhone 4 yang sebenarnya belum dirilis.

Sejak itu, iPhone menjadi pembicaraan. Pada 19 April 2010, situs web gadget Gizmodo melaporkan bahwa mereka telah membeli prototipe iPhone itu seharga $ 5.000 dari seseorang. Prototipe ini dilaporkan hilang oleh seorang karyawan Apple, Grey Powell, di Redwood City, California.

Tidak lama setelah Gizmodo menerbitkan informasi terperinci tentang prototipe, rekanan hukum Apple secara resmi meminta telepon untuk dikembalikan ke Apple, dan Gizmodo merespons dengan maksud untuk bekerja sama.

Masih banyak cerita tentang bagaimana Jobs melihat pentingnya PR dan publisitas.  Akhir tahun 1970-an, Steve Jobs menerima investasi besar pertamanya untuk perusahaan Apple. Investasi itu datang dari Mark Markkula senilai $ 250.000. Uang itu dimaksudkan untuk pengembangan produk Apple II yang baru, produk Apple besar pertama yang benar-benar menggoyang pasar komupter saat itu.

Ketika Jobs menerima uang itu, sebelum ia mulai berinvestasi dalam perangkat keras baru, Job membutuhkan bantuan dari profesional PR terbaik di Silicon Valley, Regis McKenna. Jobs tahu sebelum dia bisa fokus membangun produk yang diluncurkan perusahaannya, dia perlu merencanakan kampanye public relations.

Dengan profesional PR tersebut, Jobs ingin fokus pada beberapa hal yang akan membantu membedakan merek Apple dengan merek lain sebelum produk utamanya memasuki pasar. Salah satu hal pertama yang dilakukan adalah wawancara eksklusif dengan jurnalis dan menciptakan kesadaran merek. Kekuatan wawancara eksklusif itu yang akhirnya membantu Jobs membangun merek di masa-masa awal Apple.

Intinya, bagi Jobs, menciptakan Buzz itu penting. Dalam trailer film Steve Jobs, penggemar dapat melihat gambar kerumunan penggemar Apple yang menginjak-injak kaki dan bersorak. Mereka bersemangat dan tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat mereka menunggu Jobs berjalan ke panggung dan memperkenalkan produk terbarunya. Ini adalah gambaran yang banyak orang temukan dan identik dengan nama Steve Jobs. Gebrakan kegembiraan ini adalah sesuatu yang sangat dihargai oleh Jobs.

Jobs selalu berusaha menciptakan kegilaan dan kegembiraan di seputar peluncuran produk dan konferensi pers. Ini adalah sesuatu yang selalu dia lakukan. Banyak yang menyebut Jobs identik dengan  produk yang diluncurkan. Orang tak peduli dengan berapa banyak produk yang diluncurkan. Orang selalu saja mendapatkan kegembiraan dan Jobs selalu mendapat perhatian publik dan media setiap kali sesuatu yang baru dia perkenalkan ke pasar.

Shopee Dan E-Commerce Sumbang Kenaikan Belanja Iklan TV Sampai Kuartal III-2019



 Pesta Diskon 11.11 (11 November) telah menjadi salah satu agenda rutin untuk industri ritel dan platform perdagangan yang berbasis elektronik (e-commerce) sejumlah negara di dunia, seperti Tiongkok, Taiwan dan Singapura. Agenda yang juga kerap dikenal dengan nama Singles Day ini turut menjadi agenda tahunan para pebisnis e-commerce di Indonesia sejak tiga-empat tahun terakhir. 

Mereka saling berlomba memberikan penawaran harga dan layanan terbaik kepada konsumen juga berupaya maksimal untuk menarik perhatian masyarakat untuk berbelanja secara masif lewat transaksi daring (online).

Aktivitas industri e-commerce Indonesia saat ini memang masih terus menunjukkan tren positif di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi nasional yang masih stabil di kisaran angka 5% dan tren perlambatan ekonomi global disertai peringatan resesi. Aktivitas positif para pelaku e-commerce ini bisa tercemin, salah satunya dari keberanian dalam mengeluarkan belanja iklan dan promosi termasuk pada agenda Pesta Diskon 11.11.

Hasil monitoring riset iklan tv Adstensity menunjukkan belanja iklan tv industri e-commerce pada Januari-September 2019 mengalami kenaikan belanja iklan yang mencapai Rp 3,96 triliun, atau meningkat 11,54% year on year (yoy) dibandingkan Januari-September 2018 yang mencapai Rp 3,55 triliun. Dari sisi jumlah iklan, periode Januari–September 2019 tercatat mencapai 111.480 iklan, atau naik 3,76% pada periode yang sama tahun 2018 yang mencapai 107.443 iklan. 

Hal ini menjadi catatan positif tersendiri, mengingat tahun ini relatif sepi agenda besar nasional (diluar Pemilu 2019) apabila dibandingkan tahun lalu dengan agenda Pilkada Serentak 2018, Asian Games 2018, Asian Para Games 2018 dan Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018.

Sementara itu, kondisi berbeda terjadi pada sektor ritel. Belanja Iklan Televisi Sektor Ritel menurun agak drastis, yakni sebesar 35,94% dibandingkan Januari sampai September tahun 2018. Hasil monitoring Adstensity menunjukan bahwa pada periode Januari – September tahun 2019 total belanja iklan industri ritel mencapai Rp 286,16 miliar, atau turun sebesar 35,94% year on year (yoy) dibandingkan dengan Januari-September tahun 2018 yang mencapai Rp 446,69 miliar. 

Sedangkan, jumlah iklan selama Januari-September 2019 terdapat 9.399 iklan, atau turun 32,77% dari periode yang sama tahun tahun 2018 yang mencapai 13.981 iklan.

Penurunan belanja iklan sektor ritel ini menunjukkan bahwa pebisnis ritel masih selektif dan hati-hati dalam mengeluarkan belanja iklannya dan masih mencermati momentum untuk mengeluarkan belanja khusus iklan. Relatif sepinya agenda nasional tahun ini (diluar Pemilu) juga patut ditengarai membuat pengusaha lebih irit dalam mengeluarkan belanja iklan.

10 Besar Merek Iklan Belanja Terbanyak

            Shopee menjadi brand e-commerce yang paling besar mengeluarkan belanja iklan televisi selama periode Januari-September tahun 2019, yaitu sebesar Rp 776,96 miliar. Posisi kedua terdapat Blibli.com dengan belanja iklan Rp 527,68 miliar. Traveloka berada di posisi ketiga dengan belanja iklan sebesar Rp 406,47 miliar. Posisi keempat Misteraladin.com dengan belanja iklan Rp 388,07 miliar. 

Posisi kelima, Tokopedia dengan belanja iklan Rp 268,34 miliar. Peringkat keenam ditempati oleh Lazada dengan belanja iklan Rp 220,21 miliar. Peringkat ketujuh, Tiket.com dengan belanja Rp 208,61 miliar. Selanjutnya, The F Thing dengan belanja Rp 175,79 miliar pada peringkat kedelapan. Di posisi kesembilan, Sorabel berbelanja Rp 162,65 miliar. Posisi kesepuluh, Bukalapak mengeluarkan belanja Rp 155,77 miliar.

Untuk Sektor Ritel, brand terbanyak mengeluarkan belanja iklan televisi selama periode Januari-September 2019 adalah Ikea Alam Sutera dengan belanja mencapai Rp 87,90 miliar. Posisi kedua terdapat Transmart dengan belanja iklan Rp 82,20 miliar. Matahari berada di posisi ketiga dengan belanja iklan sebesar Rp 61,89 miliar. Posisi keempat, Depo Bangunan dengan belanja iklan Rp 14,46 miliar

Lalu, posisi kelima ada Ramayana dengan belanja iklan Rp 6,37 miliar. Pada posisi keenam dan ketujuh, Planet Ban dan Giant sama-sama mengeluarkan belanja iklan Rp 5,44 miliar. Posisi kedelapan, Trans Park Mall mengeluarkan belanja Rp 4,27 miliar. Selanjutnya, posisi kesembilan ditempati oleh Celebrity Fitness dengan belanja iklan sebesar Rp 4,24 miliar. Lalu, posisi kesepuluh ada Alfamidi dengan belanja iklan sebesar Rp 3,81 miliar.








Minggu, 08 September 2019

Berbeda


Seorang perwira psyop dari Pasukan Khusus memberi nasehat kepada dua orang anaknya – kebetulan seorang diantara adalah autism.  Perwira tadi yang dalam  _the Accountant_ diperankan oleh Robert C. Treveiler mendidik anaknya dengan keras. Alih-alih menempatkan salah seorang anaknya yang autism tetsebut di sekolah khusus, perwira tadi mendidik sendiri anak-anaknya.

Dia ingin anak-anaknya menjadi tangguh. Mereka dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dunia yang penuh ketidakadilan melalui latihan bela diri yang cukup keras. Ini paradoksnya, ini yang menjadi bahan kritikan -- sang ayah ingin anaknya melawan ketidakadilan, namun mendidik anaknya secara tidak adil, yakni menyamakan antara anak biasa dengan yang berkebutuhan khusus.

Menjelang dewasa, kedua anak itu berpisah. Anak berkebutuhan khusus itu (Christian Wolf yang diperankan oleh Ben Afleck) masuk perguruan tinggi dan menjadi seorang akuntan, sementara saudaranya yang tidak menyandang berkebutuhan khusus menjadi salah seorang jagoan bagi seseorang yang sedang diincar polisi karena melakukan kegiatan illegal. 

Christian menjadi akuntan hebat yang dapat menyelesaikan dan membedah pembukuan hanya dalam itungan malam. Padahal, kalau akuntan biasa membutuhkan berbulan-bulan. Justru disini persoalannya, hasil forensic itu yang membuat Christian dikejar-kejar orang-orang bayaran yang dipekerjakan oleh oleh orang mempekerjakan Christian juga. Orang yang mempekerjakan Christian itu juga yang menjadi bos saudara Christian.

Bagaimana sang perwira tadi mendidik anaknya. Saya masih ingat pesan dia, _“Jadilah orang yang berbeda. Dengan menjadi orang yang berbeda, kalian membuat orang lain takut.”_ Tak percaya?
Seperti yang disebutkan sebelumnya, jika orang melihat Anda, dan Anda melakukan hal yang persis sama dengan yang mereka lakukan dan dengan cara yang sama, pengaruh apa yang harus Anda ubah? Pikiran yang sama berlaku ketika Anda berpikir. Jika Anda tidak menunjukkan kepada orang lain cara berpikir yang baru, bagaimana Anda akan memengaruhi pemikiran mereka?


Dengan menjadi berbeda, orang dapat menunjukkan bahwa ada cara lain dan cara itu mungkin lebih baik atau lebih efisien. Itu berarti orang itu menunjukkan bahwa dia itu beripikir dan berkreasi untuk memberi alternatif. Berbeda dengan orang yang selalu setuju, termasuk dengan atasan atau gagasan arus utama.

Tetapi, harus dimaklumi bahwa bisa jadi orang lain resisten terhadap perubahan, dan paa waktu-waktu tertentu hal itu dapat menyebabkan kesulitan. Juga harus dimaklumi bahwa orang lain mungkin tidak menghargai hal yang Anda lakukan. Kenapa? Salahnya mungkin mereka tidak menemukan atau mendapati cara baru yan Anda tawarkan misalnya, lebih baik dari sudut pandang mereka.

Baca : https://www.edhyaruman.com/2017/09/bagaimana-caranya-agar-perbedaan.html

Namun, harus disadari pula bahwa pada dasarnya manusia adalah sekelompok ciptakan Tuhan yang berbeda-beda. Tak ada orang yang sama. Sementara sebagian besar dari kita bergerak dengan masyarakat kita dalam cakupan yang luas, sebagian besar akan memiliki perbedaan kecil yang mencirikan dirinya sehingga berbeda dengan yang lain. Ini bisa macam-macam bentuknya, mulai dari bentuk fisik hingga sikap dan pemikiran.

Kekhasan itu sebetulnya yang dapat menyebabkan reaksi yang menarik dari beberapa orang, termasuk penentangan dari orang lain. Pertanyaannya sekarang apakah Anda akan menjadi orang yang dicuekin karena pemikiran yang generik, pembenci karena Anda sering berbeda pemikiran sehingga dimasukkan dalam kelompok nyinyir, dibenci atau diperhatikan? Atau pemberi alternative? Disini kita masing-masing harus menentukan apakah rasa sakit itu sepadan dengan manfaat yang kita peroleh darinya.

Dengan menjadi berbeda, kita memang bisa membuat beberapa orang terkesan, tetapi bisa juga membuat orang lain merasa terganggu, bajkan malah membencinya. Namun sekali lagi harus disadari bahwa tindakan seseorang terkadang dilakukan secara sadar atau sengaja, di lain waktu, itu tidak disengaja.

Tidak ada cara yang diterima secara universal untuk berpikir atau berperilaku. Setiap orang sedikit berbeda, dan akan bereaksi dengan definisi mereka sendiri. Jadi pertanyaannya menjadi bagaimana Anda ingin mempengaruhi atau mengubah dunia Anda?

Minggu, 01 September 2019

Pilih Sebagai Pemberi atau Penerima (1)




Selama ini pemahaman kita (saya?) tentang bagaimana seseorang bisa sukses bisa jadi salah. Banyak buku-buku terlaris dari New York Times dan Wall Street Journal yang mebahas tentang bagaimana seseorang bisa sukses, apakah itu karya Malcolm Gladwell, Daniel Pink, The Power of Habit, dan Quiet. Selama beberapa generasi, orang berfokus bahwa kesuksesan seseorang lebih dikarenakan adanya  pendorong individu seperti gairah, kerja keras, bakat, dan keberuntungan.

Tetapi hari ini, situasinya mungkin berubah sehingga kesuksesan bukan lagu hanya bergantung pada pendorong individu melainkan semakin tergantung pada bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Faktor dari luar itu bukan seberapa besar orang lain membantu kita, malah sebaliknya seberapa besar kita membantu mereka. Pertanyaannya apakah membantu itu harus berupa materi?

Seperti diketahui, dalam pergaulan sehari-hari, mengadopsi konsep Homans (1958), orang selalu melakukan pertukaran antara satu sama lain sebagai aktivitas sehari-hari.  Yang dipertukarkan bisa k berwujud atau tidak berwujud. Disini ada “hukum” bahwa pertukaran yang mambangun relasi itu akan langgeng bila masing-masing mendapatkan keuntungan. Bila tidak memberikan keuntungan, kuat dugaan pertukaran tersebut tidak akan berulang kembali karena lawannya sudah tidak percaya lagi misalnya.

Dalam hubungannya dengan pekerjaan, setiap kali orang berinteraksi dengan orang lain, dia selalu memiliki pilihan yang harus diambil: Apakah berusaha mengambil sesuatu atau value sebanyak mungkin, atau menyumbangkan value tanpa khawatir tentang apa yang diterimanya sebagai imbalan?

Namun harap dicatat bahwa di dunia itu posisi seseorang tidak selalu ada di dua kutup yang berseberangan.  Terkadang si A berada di kutup yang satu, terkadang dia pindah ke kutup lainnya. Dalam buku Give and Take : A Revolutionary Approach to Success, Adam Grant (Viking - Penguin Books Ltd, 2013) menulis ada dalam kesehatian atau katakanlah di tempat kerja, ada tiga tipe orang yang sering dijumpai. Ada tipe Taker, Giver, dan Matcher.

Menurut Grant, di tempat kerja, seorang giver (pemberi) adalah jenis yang relatif jarang. Mereka memiringkan timbal balik ke arah lain, lebih suka memberi lebih dari yang mereka dapatkan. Sedangkan pengambil cenderung fokus pada diri sendiri, mengevaluasi apa yang orang lain dapat tawarkan kepada mereka, pemberi adalah fokus lain, lebih memperhatikan apa yang orang lain butuhkan dari mereka.

Preferensi ini bukan tentang uang: pemberi dan penerima tidak dibedakan dengan berapa banyak uang yang mereka sumbangan baik berupa amal atau kompensasi dari yang mereka dapatkan bila mereka menjalankan perintah dari majikan mereka. Pemberi dan pengambil berbeda dalam sikap dan tindakan mereka terhadap orang lain. Jika Anda seorang pengambil, Anda membantu orang lain secara strategis, bila manfaatnya lebih besar daripada biaya pribadi.

Jika Anda seorang pemberi, Anda dapat menggunakan analisis biaya-manfaat yang berbeda: Anda membantu kapan pun manfaatnya kepada orang lain melebihi biaya pribadi. Atau, Anda mungkin tidak memikirkan biaya pribadi sama sekali. Anda membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Jika Anda seorang pemberi pekerjaan, Anda hanya berusaha untuk ikhlas membagikan waktu, energi, pengetahuan, keterampilan, gagasan, dan koneksi Anda kepada orang lain yang membutuhkan atau dapat memanfaatkannya.

Taker atau pengambil memiliki tanda- tanda yang khas: suka berhitung dan selalu ingin mendapatkan lebih dari yang mereka berikan. Mereka memiringkan timbal balik untuk kepentingan mereka sendiri, menempatkan kepentingan mereka sendiri di atas kebutuhan orang lain. Takers percaya bahwa dunia adalah tempat yang kompetitif. Mereka merasa bahwa untuk berhasil, mereka harus lebih baik daripada yang lain.

Untuk membuktikan kompetensi mereka, mereka mempromosikan diri sendiri dan memastikan mereka mendapatkan banyak pujian atas upaya mereka. Mereka selalu berhati-hati dan berusaha keras untuk melindungi diri. "Jika saya tidak mendahului," pikir mereka, "mereka pasti tidak akan ada yang mau."

Lalu apakah pemberi itu harus seperti Bunda Teresa atau Mahatma Gandhi. Tidak, menjadi pemberi tidak membutuhkan tindakan atau pengorbanan yang luar biasa. Anda hanya perlu fokus melakukan tindakan demi kepentingan orang lain. Contohnya, Anda cukup memberikan bantuan, memberikan bimbingan, berbagi kredit, atau membangun koneksi untuk orang lain. Di luar tempat kerja, jenis perilaku ini sangat umum.

Menurut penelitian yang dipimpin oleh psikolog Yale, Margaret Clark, kebanyakan orang bertindak seperti pemberi ketika berada dalam hubungan yang sangat dekat. Dalam pernikahan dan pertemanan misalnya, kita berkontribusi kapan pun bisa tanpa berpikir untuk mendapatkan imbalan. Namun di tempat kerja, memberi dan menerima menjadi lebih rumit.

Secara profesional, beberapa dari orang terkadang bertindak seperti pemberi atau pengambil, dengan  mengadopsi gaya ketiga. Seseorang menjadi matchers yang berusaha menjaga keseimbangan antara memberi dan menerima. Matcher melakukan sesuatu dengan menggunakan prinsip keadilan: ketika mereka membantu orang lain, mereka melindungi diri mereka sendiri dengan mencari timbal balik. Jika Anda seorang matcher, Anda percaya pada gayung bersambut, dan hubungan Anda diatur oleh pertukaran bantuan.

Memberi, menerima, dan matcher adalah tiga gaya dasar interaksi sosial, tetapi garis-garis di antara keduanya tidak sulit. Anda mungkin menemukan bahwa Anda beralih dari satu gaya timbal balik ke gaya yang lain saat Anda bepergian melintasi berbagai peran dan hubungan kerja yang berbeda. (BERSAMBUNG)

Sabtu, 17 Agustus 2019

KOLABORASI



Secara individu, seekor semut mungkin tidak mampu berbuat banyak dan tidak mempunyai kekuatan. Namun, secara kolektif, semut mampu mencapai hal-hal besar. Mereka membangun dan mempertahankan sarang, mencari makan, merawat induk, membagi kerja, membentuk jembatan, dan banyak lagi.

Itu yang membuat nasib semut berbeda dengan dinosaurus. Sejak puluhan juta tahun yang lalu, semut selamat dari perubahan lingkungan, iklim dan usia. Mereka kini masih dijumpai di banyak tempat di dunia seperti sekarang ini. Sementara itu, dinosaurus kini punah. Yang masih ada sekarang adalah cerita-cerita atau dongengan tentang binatang raksasa itu.

Apa rahasia kesuksesannya? Ekologi semut memang luar biasa. Kuncinya adalah pada sosialitas (Keller dan  Gordon, 2009). Apabila barisan dan ekologinya diperhatikan, melalui berbagai cara, komunitas semut seakan memamerkan sebuah organisasi sosial yang luar biasa. Bayangkan, mereka hidup dalam masyarakat yang terorganisir yang terdiri dari individu-individu yang saling bekerja sama, berkomunikasi, dan membagi tugas sehari-hari.

Semut memiliki kemampuan mengesankan dalam menemukan jalan mereka, membangun sarang mereka, dan menemukan persediaan makanan. Mereka bukan hanya makhluk yang efisien, tetapi pekerja keras dan hemat yang dapat beradaptasi dengan berbagai ekosistem dan bertahan dalam kondisi cuaca buruk.

Sebagai sebuah komunitas, semut terbagi dalam paling tidak dua lapis. Yang memerintah atau ratu, dan yang diperintah atau anak buah. Mereka berkomunikasi satu sama yang lain dan berbagi tugas untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan mereka. Ratu semut atau lebah tidak dilayani karena dia memerintahkan semut anak buanya untuk melakukannya. Evolusi seakan mengajarkan serangga bahwa perlindungan ratu berarti perlindungan kumpulan gen mereka untuk bertahan hidup.

Hal yang sama berlaku untuk orang-orang yang bekerja bersama dalam kolaborasi. Orang yang bekerja dengan inovator tidak bekerja untuknya karena mereka telah diperintahkan untuk melakukannya, tetapi karena mereka ingin inovasi itu berhasil. Mereka semua memiliki visi dan tujuan yang sama (dalam arti, "gen" yang sama); mereka ingin sukses, dan mereka ingin melihat inovasi mereka menyebar dan diterima oleh dunia luar.

Kolaborasi yang efektif antara perusahaan dan organisasi penelitian adalah kunci keberhasilan sistem inovasi. Terobosan yang paling radikal seperti penemuan pesawat televisi, pesawat terbang, email, dan bahkan papan permainan Monopoly, bisa terjadi karena adanya kolaborasi.

Kreativitas memang telah lama dianggap sebagai hadiah individu, seseorang mendapatkan penghargaan seagai yangterbaik dari sekolah, organisasi atau industri. Namun bagaimana jika kepercayaan paling umum tentang cara kerja kreativitas itu salah? Keith Sawyer dalam Group Genius: The Creative Power of Collaboration (Basic Books, 2008) meruntuhkan beberapa mitos paling populer tentang kreativitas tersebut.

Menurut Sawyer (2008), kreativitas selalu kolaboratif — bahkan sekalipun ketika Anda sendirian. Berbagi hasil penelitiannya yang terkenal tentang kelompok jazz, ansambel teater, dan analisis percakapan, yang dilakukan Sawyer menunjukkan kepada bagaimana menjadi lebih kreatif dalam pengaturan kelompok kolaboratif, bagaimana mengubah dinamika organisasi menjadi lebih baik, dan bagaimana memanfaatkan cadangan kita sendiri kreativitas.

Kolaborasi adalah instrumen untuk memfasilitasi penciptaan, pertukaran, dan transfer pengetahuan dalam ekosistem yang dinamis. Tujuannya adalah untuk mengembangkan kompetensi dan sumber daya yang unik untuk meningkatkan daya saing (Asheim & Coenen, 2005; Etzkowitz & Leydesdorff, 2000). Kolaborasi terdiri dari pembelajaran dari pengetahuan yang ada dan penciptaan pengetahuan baru untuk mencapai daya saing (Asheim & Coenen, 2005).

Namun kolaborasi juga menciptakan kesalingtergantungan antara organisasi dan evolusi nilai (Adner & Kapoor, 2010; Autio & Thomas, 2014), dan membutuhkan biaya. Kenapa? Kolaborasi melibatkan penanganan masalah bersama. Individu yang berbeda mungkin membawa beragam perspektif ke dalam suatu masalah.

Dalam ekosistem inovasi, perusahaan tidak berinovasi secara individu, melainkan bergantung pada sumber daya dan pengetahuan organisasi lain (Adner & Kapoor, 2010). Masing-masing individu  berupaya dan mempunyai cara untuk mengatasi masalah. Namun, dengan bekerja bersama, peluang  mereka untuk menemukan solusi atas masalah itu lebih besar dan solusinya jauh lebih bagus dan tidak akan bisa dicapai oleh siapa pun apabila bekerja sendiri-sendiri.

Seseorang harus melakukan atau mengeluarkan upaya mengkomunikasikan pendekatan seseorang kepada yang lain. Kolaborasi memerlukan persetujuan tentang strategi untuk mengatasi masalah. Pada titik ini, seorang mungkin sulit atau tidak membantu.

Ketika ekosistem inovasi tumpang tindih, bidang inovasi menjadi sangat dinamis (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000). Pengembangan proses kolaboratif untuk belajar dan menciptakan pengetahuan menimbulkan tantangan khusus bagi para pelaku inovasi. Mungkin ada seseorang yang menolaknya. Hal itu sering terjadi manakala kelompok menumbuhkan kemungkinan patologi epistemik lain seperti pemikiran yang lebih menekankan ego dan latar belakang masing-masing, atau ketika muncul ketidaktahuan kolektif.

Apakah kolaborasi itu bermanfaat atau berbahaya tergantung pada pertimbangan biaya dan manfaatnya. Banyak penelitian tentang kolaborasi difokuskan pada penghitungan, berteori, dan membandingkan berbagai biaya dan manfaat ini. Para peneliti biasanya fokusnya adalah pada manfaat atau bahaya bila berkolaborasi dan risiko manakala mereka yang terlibat langsung dalam upaya kolaborasi.  

Sabtu, 06 Juli 2019

POWER OF MEANING – TUKANG BATU




Suatu ketika seorang pria keluar jalan-jalan pada pagi hari. Dalam perjalanan dia melihat tiga orang tukang batu melakukan kegiatannya. Dia mendatangi tiga tukang batu yang sibuk di tempat kerja. Pria itu penasaran ingin mengetahui apa yang sedang mereka bangun.

Bertanyalah dia kepada tukan batu pertama, apa yang dia lakukan? Si tukang batu menjawab dengan kesal bahwa dia sedang sibuk meletakkan batu bata.

Pria tadi merasa belum mendapatkan jawaban yang lengkap. Dalam pikirannya dia bertanya-tanya tentang apa hasil akhir dari susunan bata itu. Jawaban tukang batu pertama benar-benar belum memberi wawasan pria tersebut lebih jauh tentang apa yang sedang mereka bangun. Karenanya, dia bertanya kepada tukang batu berikutnya.

“Seperti apa bentuknya?”

Si tukang batu memandangnya sekilas dan menjawab, “Saya sedang sibuk membangun tembok.”

Jawaban itu makin membuat pria itu penasaran. Dia ingin mengetahui tembok seperti apa yang akan dibangun tukang batu tersebut. Dia melanjtkan perjalanan sebentar mendatangi tukang batu ketiga, dilihatnya tukang batu ketiga itu bekerja sambil bersiul riang.

Apa yang dilihatnya itu membuatnya makin penasaran dan memutuskan untuk bertanya untuk yang terakhir kalinya. “Apa yang bapak kerjakan?”

Sang tukang batu berhenti bekerja, mengusap alisnya dan menjawab dengan bangga, "Saya sedang membangun katedral baru kota."

Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya motivasi dan harga diri yang ada pada seseorang ketika dia melakukan sesuatu atau bekerja. Agar seseorang menikmati pekerjaan atau mengerjakan sesuatu dengan senang, dia perlu mengetahui bahwa apa yang dia kerjakan itu berkontribusi pada sesuatu dan memiliki makna yang lebih dalam.

Dalam cara yang disederhanakan, ini menunjukkan pentingnya bagi sebuah organisasi atau perusahaan untuk menjelaskan atau menceritakan sesuatu yang bisa menjadi suar yang memotivasi karyawan, dan memastikan perusahaan menyampaikan pesan tersebut dengan jelas dan konsisten.

Selasa, 25 Juni 2019

Halal Branding




Konsep branding untuk pasar Muslim memang tidak dapat dipisahkan dari iman dan harus melibatkan pertimbangan kebutuhan spiritual dari target konsumen (Muslim).  Dalam hal merek halal, dimensi spiritual sangat penting. Perspektif holistik memungkinkan rekonsiliasi antara etos spiritual Halal - Thayyiban dan aplikasi untuk merek berbasis agama.

Saat ini, permintaan akan obat-obatan yang mematuhi peraturan Muslim terus meningkat. Meningkatnya permintaan global akan obat-obatan halal sejalan dengan meningkatnya minat dan kekhawatiran umat Islam mengenai status obat-obatan halal.

Banyak dari mereka menantang industri tentang asal-usul bahan-bahan dari produk-produk ini, dan apakah mereka sesuai dengan gaya hidup Islam. Produk farmasi halal tidak hanya harus bebas dari bahan-bahan haram, tetapi mereka juga harus thayyib yang merupakan istilah yang diberikan untuk barang dan produk yang memenuhi standar kualitas. 

Secara umum, thayyib mengacu pada produk yang bersih, murni dan diproduksi berdasarkan proses dan prosedur standar. Dengan demikian, produk farmasi seharusnya tidak hanya halal, tetapi juga harus dinilai bersih menurut hukum Syariah.

Simbolisme potensial dari Halal dan Thayyiban, asosiasi positif dari konsep dan sikap moral yang kuat pada intinya memberikan sinyal tentang cara branding yang dapat mewujudkan pencarian spiritual merek dengan "niat ilahi". Karenanya, hubungan antara merek dan konsumen berhenti menjadi materialistis dan berubah menjadi perbuatan baik (Alserhan, 2011).

Konsep-konsep Halal dan Toyyiban memperluas pemikiran konseptual untuk memasukkan unsur-unsur baru di luar tanggung jawab sosial, untuk mencakup evolusi makna merek dari "nilai-nilai berorientasi fungsional. Nilai-nilai ini ditambah dengan nilai-nilai berorientasi emosional -- ketika kecanggihan manajemen merek meningkat -- mendorong janji visioner itu menambah nilai bagi semua pemangku kepentingan.  

Dimensi fungsional mencerminkan atribut nyata dan manfaat dari produk atau layanan yang terkait dengan merek. Dimensi emosional mencerminkan atribut yang tidak berwujud dan didorong oleh nilai. Dimensi spiritual mencerminkan atribut holistik dan pandangan terhadap merek yang berasal dari sistem kepercayaan, menambah komponen yang kuat untuk konstruksi merek tradisional.

Dalam Islam, keputusan pemasaran yang berkaitan dengan distribusi sangat penting. Dalam Islam, keputusan mengenai distribusi produk atau layanan harus mempertimbangkan bahwa maksimalisasi laba belum tentu yang paling tepat untuk kesejahteraan masyarakat. Bencana Exxon Valdes 1989 yang mengakibatkan jutaan galon minyak mentah yang tumpah di Alaska akan diminimalkan jika, misalnya, tanker berkulit ganda digunakan oleh Exxon.

Menurut prinsip-prinsip Islam, saluran distribusi tidak seharusnya membuat beban harga dan penundaan bagi pelanggan akhir. Penyimpangan etis dalam saluran distribusi seperti keterlambatan yang tidak perlu dalam pengiriman memaksa pelanggan untuk kembali berulang kali dan dengan demikian menyebabkan ketidaknyamanan yang tidak perlu, tidak diperbolehkan.

Islam tidak melarang perwakilan agensi dan saluran sebagai perantara untuk memfasilitasi gerakan dan fungsi akuisisi. Praktik yang tidak etis dalam pendistribusian bisa berupa pengemasan yang lemah atau gampang rusak tanpa keamanan dan perlindungan yang memadai untuk produk, pengemasan yang tidak sesuai, dan produk berbahaya dan beracun harus diangkut dengan sangat hati-hati tanpa kelalaian.

Menyakiti orang di jalan saat mengangkut barang berbahaya tidak bisa dimaafkan dan sama dengan praktik pemasaran yang tidak adil. Distributor seharusnya tidak menggunakan paksaan; mereka juga seharusnya tidak membuat beban bagi pelanggan akhir dalam hal harga dan keterlambatan yang lebih tinggi.

Tujuan akhir distribusi dalam Islam adalah untuk menciptakan nilai dan untuk menyediakan produk dan layanan yang memuaskan secara etis. Namun, dalam kerangka etis Islam, tujuan utama saluran distribusi adalah untuk menciptakan nilai dan mengangkat standar kehidupan dengan menyediakan produk dan layanan yang secara etis memuaskan (Saeed dkk., 2001).

Pariwisata halal telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir untuk memenuhi kebutuhan pelancong Muslim yang ingin menikmati layanan liburan penuh. Pada saat yang sama, mereka memiliki  persyaratan agama, adat dan budaya Islam. Sejumlah negara telah mengadaptasikan tawaran pariwisata mereka untuk memasukkan fasilitas dan akomodasi sesuai dengan kepercayaan religius wisatawan Muslim.

Destinasi favorit sebagian besar adalah negara-negara Islam seperti Malaysia, Turki dan Mesir. Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara non-Muslim termasuk Australia, Singapura dan Prancis telah menunjukkan minat yang kuat dalam pariwisata halal.

Destinasi-destinasi itu adalah favorit di antara pelancong Muslim karena mereka memiliki lembaga sertifikasi halal, yang memudahkan wisatawan untuk menemukan outlet makanan halal bersertifikat saat berlibur di sana. Malaysia, misalnya, termasuk terkemuka dalam industri pariwisata halal, dan berhasil menarik wisatawan Muslim dari seluruh dunia, terutama wisatawan Timur Tengah.

Baru-baru ini, Malaysia menempati peringkat pertama di antara 10 tujuan liburan ramah halal terbaik di dunia. Pemeringkatan didasarkan pada beberapa faktor termasuk ketersediaan makanan halal, fasilitas sholat dan akomodasi ramah halal.

Tantangannya adalah bagaimana pemasaran untuk wisatawan Muslim dilakukan tanpa mengasingkan non-Muslim. Sebab bagaimanapun, hotel dan destinasi yang melayani wisatawan Muslim tidak ingin menarik segmen wisatawan Muslim dengan mengorbankan pasar lain. Karena itu satu tantangannya adalah bagaimana strategi pemasaran yang harus mereka jalankan.

Salah satu pendekatan adalah memasarkan diri mereka sebagai hotel atau destinasi ramah keluarga tanpa menggunakan istilah "Muslim" atau "Halal." Al Jawhara, grup hotel yang berbasis di Dubai melakukan hal itu. Dalam iklan mereka, Jawhara mempromosikan "keramahan berorientasi keluarga yang unik," terlepas dari kenyataan bahwa hotel tersebut jelas melayani kebutuhan Muslim.

Grup hotel lain yang berhasil mengakomodasi kebutuhan Muslim sekaligus inklusif dan tidak menyebut dirinya sebagai hotel halal adalah Shaza Hotels. Operator hotel mewah ini berfokus pada keramahtamahan Arab yang otentik yang didasarkan pada nilai-nilai dan moral, dan karenanya menarik baik bagi Muslim maupun non-Muslim.

Cara lain untuk menghindari dilema pemasaran kepada umat Islam sementara yang lain tidak membuat orang lain dilanggar, adalah memasarkan kepada pemirsa Muslim melalui saluran pemasaran yang ditargetkan, seperti media Muslim, publikasi lokal di negara-negara mayoritas Muslim, serta kampanye iklan bertarget.

Dimensi ini erat kaitannya juga dengan tingkat religiusitas dari target pasar. Dalam konteks ini pengelola merek perlu memahami fenomena bahwa di dalam kalangan Muslim sendiri terdapat segmentasi.  Di masyarakat Muslim biasa dijumpai misalnya ada Muslim yang sangat religius dan Muslim yang tidak terlalu religious. Ini memiliki pengaruh pada inisiatif pemasaran, terutama komunikasi dan pengiriman pesan.

Keragaman tersebut memiliki implikasi tersehadap strategi pemasaran atau komunikasi pemasaran yang dibuat. Dalam konteks ini ada kesadaran akan pentingnya mengedukasi konsumen tentang halal. Ini sekaligus menjadi mendidik konsumen tentang arti halal merupakan tantangan. Di sini perusahaan memiliki dilema. Di satu sisi, jika mereka ingin menjangkau konsumen non-Muslim misalnya, mereka harus menjelaskan apa itu halal.

Di sisi lain, konsumen mungkin memiliki keraguan jika konsep ini tidak dijelaskan dengan benar. Misalnya, kelompok kepentingan seperti aktivis hak-hak hewan mungkin memiliki keraguan tentang metode penyembelihan yang diperlukan. Namun, makanan halal  dan sehat, dapat menjangkau konsumen yang berorientasi kesehatan jika konsep tersebut dikomunikasikan dengan cara yang benar.

Pengecer besar seperti Tesco sangat terampil dalam mengelola merek makanan dari semua sumber, termasuk makanan etnis. Salah satu implikasi untuk komunikasi merek adalah menjaga profil halal tetap rendah dan profil merek tetap tinggi.

Dengan melakukan hal itu, umat Islam yang mencari makanan halal bisa melihat logo sertifikasi halal dalam cetakan kecil di bagian belakang kemasan, dan non-Muslim dapat melihat merek lebih awal dan pesan merek yang menyoroti atribut rasional dan emosional seperti kesehatan, keaslian organik, dan sebagainya.