Sabtu, 30 November 2013

Bringing the Spirit of the Brand to Life

Hari-hari belakangan ini, brand activation menjadi begitu happening. Hampir semua brand  – terutama yang besar --  menjalankan activation. Ini meninginkadikasi baha mereka seakan sepakat bahwa brand activation sebagai salah satu bentuk promosi merek berhasil mendekatkan dan menciptakan interaksi merek dengan penggunanya.
Bentuk-bentuk brand activation beragam mulai dari event pertandingan olahraga, hiburan, kebudayaan, sosial, atau aktivitas public yang menarik perhatian lainnya. Aktivitas-aktivitas tersebut diyakini  dapat membangun dialog dan interaksi antara merek dan konsumennya. Dialog berarti, pertama, brand menyampaikan pesan secara dua arah, tidak searah seperti halnya iklan misalnya. Kedua, interaksi berarti merek dan konsumen seakan melakukan sesuatu yang saling mempengaruhi dan memiliki efek.
Secara umum diketahui bahwa terdapat dua cara bagaimana makna suatu merek  diinternalisasi konsumen. Perspektif pertama adalah pemasar menciptakan makna simbolis untuk produk atau merek dan “menyuntikkannya” ke dalam "dunia yang telah dibentuk oleh budayanya" (McCracken, 1986). Perspektif ini mengasumsikan bahwa produk memperoleh makna yang stabil, dan bahwa konsumen menerima makna yayang "disediakan" untuk mereka. Mereka memilih produk dan merek yang sesuai dengan identitas diri (Aaker 1997), atau kepribadian dan nilai-nilai mereka (Holt, 1997) .
Perspektif lain adalah bahwa konsumen menggunakan cara-cara kreatif untuk menggabungkan dan menyesuaikan makna sesuai kehidupan mereka sendiri. Makna produk, merek, dan iklan tidak dirasakan sama oleh semua konsumen, tetapi ditafsirkan sesuai dengan kehidupan individu. Preferensi individu adalah campuran dari interpretasi, wacana, atau kerangka kerja yang digunakan oleh konsumen untuk menghubungkan merek, situasi sosial, dan individu (Holt 1997)
Disini pentingnya peran pesan yang disampaikan pesan merek melalui brand activation. Karena terjadi dialog dan kemudian satu sama lain mengendeorse merek dan makna merek, maka pesan yang disampaikan melalui brand activation menjadi kredibel, jelas (hasil dari proses mendengar, melihat, merasakan dan menngerti), serta nampak (visibel) sehingga seakan membangkitkan brand spirit menjadi suatu realitas kehidupan nyata.
Melalui dialog dan interaksi itu, pemasar dapat membangun makna baru dari merek yang dikelolanya.  Bila dahulu brand dianggap sebagai suatu bentuk perlindungan konsumen, yang memberikan garansi terhadap realibilitas dan kualitas, melalui interaksi dan dialog, makna brand berubah menjadi semakin luas. Brand bukan lagi sekedar tanda, tetapi mencerminkan suatu gaya hidup.
Ketika menggelar activation pada acara pameran seluler 2012, XL mengajak target audience-nya menjangkau mimpi teknologi masa depan. Bila sebelumnya public memaknai provider seluler sebagai penyedia jasa — menyusul perkembangan sosial media dan internet di Indonesia – mendapatkan koneksi seluler yang cepat dan relasi yang luas, kini makna itu ingin diubah XL.
Di booth-nya, XL menggelar berbagai aktivitas untuk menjangkau para Gadget Mania, Dynamic and Effective Person, serta orang-orang yang up to date and stylish dari kalangan wanita dan pria usia 15-35 tahun. Melalui itu, XL ingin mengajak audience ke realitas yang selama itu mungkin hanya sebagai mimpi. Dengan perkembangan teknologi komunikasi saat ini, pubik sekarang dapat melihat masa depannya ketika mereka merencanakannya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah brand activation yang biasanya hanya dibatasi oleh ruang itu efisien? Bukankah audiencenya terbatas sehingga biaya per kontaknya menjadi tinggi? Menjawab persoalan ini, praktisi seakan tak kehilangan akal. Mereka mengkomunikasikannyamelalui berbagai tool komunikasi sehingga menjangkau public yang lebih luas.  
Juni lalu, Unilever mulai menayangkan iklan yang isinya memberi peluang kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menjadi orang Indonesia pertama yang terbang ke luar angkasa sejauh 103 km dari bumi. Tak mengherankan bila kemudian program yang diklaim sebagai pertama kali di Indonesia ini mendapat respon positif dari masyarakat, terutama dari kalangan muda usia yang akrab dengan dunia digital. Tak kurang dari 60.000 orang dari kota-kota besar di Indonesia mendaftarkan diri via Website www.axeapolo.com dan jejaring sosial Facebook.com/AXE.ID.
Taktik ini menjadi terobosan dari kebuntuan iklan-iklan deodorant yang dinilai terlalu konvesional. Di masa lalu, public sering dipertontonkan iklan yang menunjukkan pria menyemprotkan merek atau jenis cologne tertentu ke tubuhnya dan beberapa waktu kemudian perempuan-perempuan berdatangan mendekati pria itu.
Meskipun digunakan secara luas, saat ini iklan tersebut diyakini tidak seefektif seperti pada awal-awal tema ini ditayangkan. Ini karena orang tidak lagi mempercayai mereka. Kini pengiklan parfum cenderung menggambarkan produk seperti membangun dan meningkatkan hubungan romantisme. Beberapa merek mengangkat tema fantasi misalnya dengan membuat seorang pria atau wanita merasa lebih sensual, ketimbang mengubah manusia menjadi "magnet” atau seorang wanita menjadi bak diva.
Beberapa merek kini memanfaatkan tema-tema fantasi untuk mengkomunikasikan benefitnya. Tema  fantasi dirancang untuk membawa audience ke pengalaman di luar batasan yang mereka percaya sebagai sebuah realitas, meski dalam beberapa kasus beberapa fantasi ditujukan agar audience untuk bersikap realistis. Dengan memanfaatkan teknologi digital (multimedia), orang-orang kreatif di periklanan dapat menghasilkan urutan fantasi yang seolah-olah nyata.
Sedemikian pentingkah fantasi itu? Pada dekade 1960an, Ernest Bormann dengan kelompok mahasiswa dari Universitas Minnesota, menemukan suatu fenomena yang kemudian disebut sebagai proses sharing fantasi. Dalam konsep ini ada asumsi bahwa pada dasarnya seseorang itu adalah pendramatisir. Menurut konsep yang secara akademis disebut Teori Konvergensi Simbolik ini  seseorang cenderung mendramatisasi pesan dengan menggunakan permainan kata-kata, cerita, analogi, dan atau pidato yang menghidupkan interaksi dalam kelompok sehingga membentuk suatu fantasi.
Kongkritnya, setiap kali seseorang itu memasuki dalam sebuah kelompok maka senantiasa terjadi semacam obrolan atau pembicaraan atau saling bertukar kisah/story. Apa yang dianggap penting untuk diperbincangkan itulah yang disebut sebagai tema fantasi. Dalam setiap topik kisah itu senantiasa akan ditemui tokoh/karakter yang dianggap tokoh, juga ada dalam sebuah seting tertentu dan akhirnya ada dalam bingkai legitimasi tertentu misalnya yang menjadi sumber legitimasi itu adalah hal yang bersifat religius, atau politik atau keadilan dan sebagainya.
Disini setiap individu akan saling berbagi fantasi karena kesamaan pengalaman atau karena orang yang mendramatisi pesan memiliki kemampuan retoris yang baik. Suatu cerita, lelucon, atau permainan kata-kata yang sering terjadi dalam suatu kelompok tampaknya tidak bermakna apa-apa. Semuanya tidak memiliki efek dalam interaksi selanjutnya. Akan tetapi, kadang-kadang salah seorang dari anggota kelompok mengambil pesan tersebut kemudian membumbui cerita itu dan mungkin mendramatisi pesan dengan gaya cerita masing-masing. Dalam teori konvergensi simbolik, partisipasi ini dikenal dengan rantai fantasi dan saat hal itu terjadi, individu-individu tersebut telah berbagi kelompok fantasi.
Dalam konvergensi simbolik dibutuhkan adanya visi retorik, hikayat, dan kesadaran yang berkelanjutan. Karena itu, konvergensi simbolik tidak memerlukan komunikasi besar-besaran seperti layaknya promosi yang menghabiskan biaya. Cukup melalui kelompok kecil yang memiliki kredibilitas menyebarkan informasi ke masyarakat.
Sementara itu  Holbrook (2006) menggarisbawahi pentingnya fantasi, perasaan, dan hal-hal yang menyenangkan dalam perilaku konsumen. Fantasi dan cerita meningkatkan keterlibatan konsumen, membantu konsumen memahami realitas, dan seringkali mampu  menyampaikan ide-ide secara lebih efektif dari sekedar fakta. Sebab seperti diketahui, kebanyakan cerita dimulai dengan masalah, hambatan, atau keadaan tidak seimbang (menggambarkan konsumen ke dalam tindakan dan mendorong identifikasi dengan protagonis), menggambarkan tindakan untuk mencapai resolusi, dan mengandung pelajaran yang dipelajari (Merchant, Ford, dan Sargeant 2010; Woodside, Sood, dan Miller 2008).

Yang jadi persoalan, seringkali fantasi dibangun tidak rasional. Seringkali, iklan dibuat sedemikian tidak rasional untuk mempermudah audience mengingat merek yang diiklan tersebut. Dalam konteks ini, fantasi dapat diciptakan melalui event, mulai dari liburan impian, kapal pesiar hingga hamburger seperti yang dilakukan DiGiorno pizza. Jadi pilih mana, brand activation, iklan atau mengintegrasikan brand activation dengan taktik komunikasi pemasaran lainnya? 

Minggu, 10 November 2013

Memberitahu Yang Boleh dan Tidak Boleh Di-Tweet Karyawan

Bulan lalu di luar dugaan saya ketemu dengan seorang teman lama di lounge Bandara Minangkabau Padang. Hampir 15 tahun saya tak pernah ketemu dia dan dia kini menduduki posisi kepala divisi komunikasi perusahaan di sebuah kelompok perusahaan besar di Jakarta. Kami ngobrol ke sana kemari, hingga dia bertanya, “Ada urusan apa Ed ke Padang?”
“Ada training tentang public relations,” jawab saya.
“Menurut kamu, di era media sosial sekarang ini, apakah sebaiknay perusahaan membolehkan setiap karyawannya berbicara tentang perusahaannya melalui media sosial?”
Saya belum sempat menjawab, dia langsung melanjutkan, “kalau menurut saya, sialakn saja, asal bicara yang menjadi urusan dia dan bukan menyangkut orang lain atau rahasia.”


Saya merenungkan pernyataan itu, dan dalam hatu saya mengakui, mungkin ada benarnya. Akan tetapi, harus diakui bahwa saat ini perusahaan memang sulit mengontrol arus informasi. Sangat banyak cara untuk menyebarkankan informasi secara cepat. Persoalannya, di era dimana kecepatan informasi – hanya Anda yang harus menjadi yang pertama mengetahui -- dinilai lebih tinggi dibandingkan akurasinya, bagaimana perusahaan berharap menyimpan pesan secara benar dan konsisten dan bagaimana caranya bisa cepat keluar.
Salah satu jawabannya adalah perusahaan harus memiliki kebijakan atau aturan khusus dan menegakkannya secara konsisten. Devon Brady, manajer komunikasi pada Siemens Corporation seperti dikutip PR tactics, mengatakan bahwa aturan tersebut harus menunjukkan batas yang jelas yang dapat membuat perbedaan besar. "Ya, orang-orang dapat men-tweet apa saja yang mereka inginkan - baik atau buruk - tetapi juga ingat bahwa sebagian besar perusahaan saat ini memiliki kebijakan media sosial yang mencoba untuk mengatur sekitar tweeting/posting informasi tentang perusahaan dan mengidentifikasikan diri Anda sebagai seseorang yang bekerja untuk atau berafiliasi pada perusahaan tersebut," kata Brady .
" Itu bukan untuk mengatakan bahwa tidak boleh melakukannya. Tetapi dari sudut pandang perusahaan, mereka perlu dilatih dan dibiasakan untuk memebadakan antaraapa yang bisa dan tidak boleh mereka lakukan, terutama yag berkaitan dengan informasi tentang perusahaan. "
Biarkan karyawan Anda mengetahui bahwa jika mereka membocorkan informasi yang bukan wewenangnya dan sebelum Anda mengetahui atau menyetujuinya, ada konsekuensinya. Seperti diketahui, bila itu dilakukan karyawan melalui Twitter atau Facebook, hal itu bisa dikenali. Akan tetapi, bila informasi itu disiarkan melalui email -- meskipun email perusahaan dan Anda bisa mengawasinya -- atau melalui pesan teks.
Namun demikian, menetapkan konsekuensi dan memberitahukan kepada semua karyawan akan konsekuensi tersebut merupakan cara yang baik untuk meyakinkan karyawan bahwa mereka tidak seharusnya menjadi orang-orang yang menyebarluaskan informasi tentang perusahaan, terutama jika mereka tidak memiliki informasi yang resmi.
"Jika perusahaan memiliki budaya yang kuat dan karyawan merasa terkoneksi dengan perusahaan dan menjadi bagian dari keberhasilan perusahaan, mereka akan lebih cenderung untuk tidak membiarkan sesuatu 'bocor' sebelum keluar secara resmi kepada pubik," kata Brady . "Jika budaya perusahaan lemah, Anda mungkin bisa melihat lebih banyak orang tidak peduli pada perlindungan informasi perusahaan."

Selasa, 05 November 2013

Tren Baru dalam Cara Perusahaan Melakukan Kebaikan

Ketika tanker Exxon Valdez menabrak karang di lepas pantai Alaska pada Maret 1989 dan  menumpahkan jutaan galon minyak ke perairan, dengan cepat menjadi krisis internasional. Lebih dari itu, peristiwa itu juga membawa para pecinta lingkungan ke dalam arena perhatian baru perusahaan (dan non-perusahaan).
Tragedi itu bisa jadi merupakan umpan baik untuk meningkatkan perhatian pada praktik bisnis yang sehat dalam kaitannya dengan lingkungan. Ini merupakan titik awal dimulainya gelombang inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), khususnya terhadap lingkungan. Betapa tidak, menurut perkiraan, kerusakan itu mengakibatkan kerugian sebesar $ 287 juta, ganti rugi sebesar $ 5 miliar dan garis pantai sepanjang 1.900 kilometer  terkena dampaknya.
Tapi sekarang, lebih dari 20 tahun kemudian, CSR mengalami evolusi redefinisi. Beberapa survey mengungkapkan temuan yang menantang perusahaan yang secara tradisional memfokuskan CSR-nya pada “green" saja. Wacana CSR pun bergeser. Walaupun penekanan atas pengelolaan dampak negatif masih sangat penting, namun nada wacananya makin jauh dari sumbang. 
Banyak pakar dan perusahaan yang progresif telah melihat betapa CSR bisa dilihat sebagai konsep yang membawa peluang besar bagi peningkatan kinerja ekonomi perusahaan—di samping peluang peningkatan kualitas hubungan perusahaan dengan pemangku kepentingannya.
Ambil contoh yang dilakukan Nestle di Lampung. Daerah di ujung timur Pulau Sumatra itu dikenal sebagai penghasil kopi yang utama di Indonesia. Sayangnya, Lampung dihadapkan kepada permasalahan produktifitas dan kualitas kopi akibat banyaknya tanaman kopi yang sudah tua.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai ancaman bagi Nestle – produsen Nescafe – yang menggunakan biji kopi robusta dari Lampung sebagai bahan bakunya. Nescafe yang memang menggunakan 100 persen biji kopi Indonesia yang dibeli langsung dari 12.000 petani kopi di provinsi Lampung.
Itulah yang kemudian membuat Nescafe menggagas kampanye The Nescafe Plan – Di Balik Secangkir Nescafe.  Melalui program ini, selama 2013-2020, Nescafe  akan membagikan 18 juta bibit tanaman kopi robusta berkualitas untuk peremajaan kopi kepada petani kopi di Lampung. “Dalam konteks ini,  Nescafe berupaya mengembangkan produksi kopi yang berkelanjutan di Lampung serta meningkatkan  kesejahteraan para petani melalui kemitraan berkesinambungan bersama dengan kelompok tani. Di NestlĂ© kami menyebutnya Creating Shared  Value (CSV),” kata Arshad Chaudry, Presiden Direktur PT Nestle Indonesia.
Creating Shared Value (CSV) adalah sebuah konsep dalam strategi bisnis yang menekankan pentingnya memasukkan masalah dan kebutuhan sosial dalam perancangan strategi perusahaan. CSV merupakan pengembangan dari konsep tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer pada tahun 2006. Ini merupakan terobosan pendekatan CSR yang selama itu – menurut Porter dan Kramer -- dilakukan terputus dari bisnis dan mengaburkan banyak peluang besar bagi perusahaan ketika mereka melakukan kegiatan untuk masyarakat.
Konsep CSV didasari pada ide adanya hubungan interdependen antara bisnis dan kesejahteraan sosial. Porter mengkritik bahwa selama ini bisnis dan kesejahteraan sosial selalu ditempatkan berseberangan. Pebisnis rela mengorbankan kesejahteraan sosial demi keuntungan semata, misalnya dengan melakukan proses produksi yang tidak memperhatikan lingkungan atau menciptakan polusi. Disinilah Porter dan Kramer memberikan alternative gagasan CSV yang menekankan adanya peluang untuk membangun keunggulan kompetitif dengan cara memasukan masalah sosial sebagai bahan pertimbangan utama dalam merancang strategi perusahaan.
Ada dua aspek penting dalam strategi penciptaan nilai bersama Porter dan Kramer. Pertama, inisiatif harus mampu menciptakan nilai bagi perusahaan dengan meningkatkan daya saing. Kedua, inisiatif harus menciptakan nilai bagi masyarakat dengan memajukan kondisi sosial dalam masyarakat di mana perusahaan beroperasi. Konsep Porter dan Kramer ini mengasumsikan bahwa nilai sosial didefinisikan relatif terhadap biaya.
Hal ini membawa inisiatif penciptaan nilai bersama lebih dekat ke pendekatan filantropi strategis yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas hasil-hasil sosial relatif terhadap investasi. Pertanyaan kunci di sini adalah bagaimana caranya suatu inisiatif menghasilkan dampak sosial yang lebih besar untuk setiap dolar yang dikeluarkan.
Program The Nescafe Plan sendiri merupakan inisiatif  global dari Nestle yang dimulai pada tahun 2010 untuk mendukung pola bercocok tanam, produksi serta konsumsi yang  bertanggung jawab. Melalui program ini perusahaan juga dapat meningkatkan keunggulan kompetitif dengan melakukan investasi di komunitas di mana mereka beroperasi. Awal 1990an, NestlĂ© merintis program ini dengan berhubungan sangat dekat dengan Distrik Susu Moga di India. Disini nestle melakukan investasi pada infrastruktur lokal, dan mentransfer teknologi kelas dunia untuk membangun rantai suplai yang kompetitif sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kesehatan masyarakat, pendidikan yang lebih baik, dan pertumbuhan ekonomi.
Semakin banyak, perusahaan yang menjalankan innisiatif penciptaan nilai bersama dengan mengembangkan strategi bisnis yang menguntungkan dan memberikan manfaat sosial yang nyata. Pemikiran ini menciptakan peluang baru bagi keuntungan dan keunggulan kompetitif merek atau perusahaan. Pada saat yang sama, inisitif tersebut menguntungkan masyarakat karena membantu memecahkan masalah-masalah global yang mendasar.
Konsep penciptaan nilai bersama didasarkan pada ide untuk melakukan kegiatan yang bisa meningkatkan keeratan hubungan antara bisnis dan masyarakat. Dalam konteks ini, menjadikan filantropi sebagai fokus utama dalam pengembangan CSV. Porter dan Kramer (1999) mengkritik filantropi karena gagal dalam menciptakan nilai sosial karena kurangnya strategi.
Sebuah filantropi yang lebih strategis akan memfokuskan pada misi dan menekankan efektivitas dalam memberikan dampak sosial yang terukur. Porter dan Kramer (2002) berpendapat bahwa filantropi perusahaan juga harus secara strategis meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan tersebut. Karenanya, inisiatif sosial perusahaan harus diintegrasikan dengan strategi bisnis inti sehingga secara strategis CSR mampu membedakan dan memberi jarak perusahaan dari para pesaingnya.
Porter dan Kramer (2011) berargumen bahwa kapitalisme itu sendiri dapat diciptakan kembali melalui upaya mengejar nilai bersama guna memajukan kondisi ekonomi dan sosial di mana perusahaan beroperasi. Inisiatif tersebut seyogyanya juga sekaligus meningkatkan daya saing perusahaan. Inti dari pendekatan ini adalah bahwa perusahaan mengkaitkan keunggulan kompetitif dengan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dengan mencari titik-titik yang menguntungkan dari persimpangan antara peluang bisnis dan nilai-nilai sosial
Ketika Toyota memperkenalkan Prius, sebuah kendaraan hybrid listrik/bensin, Toyota berhasil mendapatkan keunggulan kompetitif dengan memasarkan sebuah kendaraan yang tidak hanya memberikan keuntungan ekonomis, namun juga berdampak positif bagi lingkugan. Urbi, sebuah perusahaan konstruksi asal Meksiko, mengembangkan pasar perumahan dengan memberikan kredit murah untuk pekerja dengan gaji kecil, Whole Foods Market telah menjadi pemimpin kategori di segmen supermarket dengan menawarkan makanan organik dan alami kepada konsumen yang sadar lingkungan.
Saat ini, terdapat puluhan ribu perusahaan multinasional. Bisnis perusahaan-perusahaan ini sangat tergantung pada jaringan yang luas dari afiliasi, pemasok dan distributor agar dapat secara efektif melakukan bisnis secara global. Banyak dari perusahaan-perusahaan multinasional yang dirundung masalah karena berbagai dampak sosial dan lingkungan mereka operasi.
Agar operasi mereka bisa keberlanjutan perusahaan biasanya bergerak melalui tahapan pembelajaran dan mulai mengintegrasikan berkeberlanjutan kedalam strategi mereka. Mereka sadar bahwa mereka mempunyai potensi dan peluang terkait dengan keberlanjutan tersebut. Sebagai perusahaan multinasional mereka memiliki potensi untuk meningkatkan inovasi, mendorong penciptaan kekayaan, transfer teknologi, meningkatkan produktivitas, memenuhi kebutuhan dasar, meningkatkan standar hidup, dan meningkatkan kualitas hidup jutaan orang di seluruh dunia.
Dari perspektif strategis, Porter dan Kramer mengajukan ide penciptaan nilai bersama (creating shared value-CSV) yang melibatkan upaya untuk menciptakan nilai ekonomi dengan cara yang juga menciptakan nilai bagi masyarakat melalui inisiatif mengatasi kebutuhan dan tantangan mereka. Dalam konteks akademik, strategi CSV merupakan irisan dari studi pembangunan, strategi, teori pemangku kepentingan, inovasi, dan menjadi ukuran pencapian dari triple-bottom-line.
Sebagaimana artikel di Harvard Business Review tentang CSV, perusahaan dapat mengejar peluang nilai bersama pada tiga tingkatan: reconceiving produk dan pasar, mendefinisikan kembali produktivitas dalam rantai nilai, dan kemungkinkankan pengembangan sebuah klaster. Peluang penciptaan nilai bersama di setiap tingkat akan berbeda menurut industri, perusahaan, dan geografi, tergantung pada bagaimana karakter bisnis erusahaan dan strategi bersinggungan dengan isu-isu sosial .
Penciptaan nilai bersama dari produk reconceiving dan pasar berfokus pada pertumbuhan pendapatan, pangsa pasar, dan profitabilitas yang timbul dari manfaat pembangunan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dilakukan oleh produk dan jasa perusahaan. Penciptaan nilai bersama juga bisa dilakukan melalui penentuan kembali produktivitas dalam rantai nilai yang berfokus pada perbaikan dalam operasi internal yang meningkatkan biaya, akses terhadap input, kualitas, dan produktivitas dicapai melalui perbaikan lingkungan, pemanfaatan sumber daya yang lebih baik, investasi dalam karyawan, kemampuan pemasok , dan daerah lainnya. .
Selain itu, penciptaan nilai bersama bisa dilakukan memalalui pengembangan klaster lokal berasal seperti memperbaiki lingkungan eksternal bagi perusahaan melalui investasi masyarakat dan memperkuat pemasok lokal, institusi lokal, dan infrastruktur lokal dengan cara yang juga meningkatkan produktivitas bisnis.
Pada tahun 2008, setelah enam bulan mempelajari kebutuhan populasi kelas menengah ke bawah di Brazil yang sedang tumbuh, Coca - Cola mengidentifikasi bahwa kebutuhan pengembangan keterampilan di kalangan pemuda berpenghasilan rendah sebagai isu sosial inti fokus strategis. Sementara pemerintah Brasil berhasil memberikan pendidikan dasar untuk semua anak-anak, kebanyakan orang muda dengan pendapatan rendah memiliki sedikit atau tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan karena kurangnya keterampilan yang relevan dan kesempatan kerja yang terbatas di komunitas mereka.
Untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan kerja dari orang-orang muda, Coca - Cola berusaha menggunakan rantai nilai perusahaan. Dengan bermitra dengan LSM lokal, Inisiatif Coletivo melatih pemuda setempat selama dua bulan di ritel, pengembangan bisnis, dan kewirausahaan. Mereka juga  menempatkan beberapa pemuda peritel lokal yang menjadi mitra Coca-Cola untuk mendapatkan pengalaman kerja pertama mereka dan merekomendasikan ide untuk perbaikan.
Dengan menjalankan inisitif ini, Coca - Cola berharap pengecer kecil dapat meningkatkan operasi mereka secara signifikan dengan bantuan pelatihan dan mengakibatkan peningkatan penjualan produk Coca - Cola serta  penetrasi lebih tinggi pada konsumen segmen kelas menengah ke bawah yang sedang tumbuh.
Hasilnya, sekitar 30 persen dari anak muda orang yang dilatih langsung mendapatkan pekerjaan pertama mereka di Coca-Cola atau salah satu mitra, dan setidaknya 10 persen mendirikan bisnis mereka sendiri dengan dukungan kredit mikro dari perusahaan. Dari perspektif bisnis, investasi dalam situs Coletivo menguntungkan dalam waktu hanya dua tahun.