Hari-hari belakangan ini, brand activation menjadi
begitu happening. Hampir semua brand –
terutama yang besar -- menjalankan
activation. Ini meninginkadikasi baha mereka seakan sepakat bahwa brand
activation sebagai salah satu bentuk promosi merek berhasil mendekatkan dan
menciptakan interaksi merek dengan penggunanya.
Bentuk-bentuk brand activation beragam mulai dari
event pertandingan olahraga, hiburan, kebudayaan, sosial, atau aktivitas public
yang menarik perhatian lainnya. Aktivitas-aktivitas tersebut diyakini dapat membangun dialog dan interaksi antara
merek dan konsumennya. Dialog berarti, pertama, brand menyampaikan pesan secara
dua arah, tidak searah seperti halnya iklan misalnya. Kedua, interaksi berarti
merek dan konsumen seakan melakukan sesuatu yang saling mempengaruhi dan
memiliki efek.
Secara umum diketahui bahwa terdapat dua cara
bagaimana makna suatu merek
diinternalisasi konsumen. Perspektif pertama adalah pemasar menciptakan
makna simbolis untuk produk atau merek dan “menyuntikkannya” ke dalam
"dunia yang telah dibentuk oleh budayanya" (McCracken, 1986).
Perspektif ini mengasumsikan bahwa produk memperoleh makna yang stabil, dan
bahwa konsumen menerima makna yayang "disediakan" untuk mereka.
Mereka memilih produk dan merek yang sesuai dengan identitas diri (Aaker 1997),
atau kepribadian dan nilai-nilai mereka (Holt, 1997) .
Perspektif lain adalah bahwa konsumen menggunakan
cara-cara kreatif untuk menggabungkan dan menyesuaikan makna sesuai kehidupan
mereka sendiri. Makna produk, merek, dan iklan tidak dirasakan sama oleh semua
konsumen, tetapi ditafsirkan sesuai dengan kehidupan individu. Preferensi
individu adalah campuran dari interpretasi, wacana, atau kerangka kerja yang
digunakan oleh konsumen untuk menghubungkan merek, situasi sosial, dan individu
(Holt 1997)
Disini pentingnya peran pesan yang disampaikan pesan
merek melalui brand activation. Karena terjadi dialog dan kemudian satu sama
lain mengendeorse merek dan makna merek, maka pesan yang disampaikan melalui
brand activation menjadi kredibel, jelas (hasil dari proses mendengar, melihat,
merasakan dan menngerti), serta nampak (visibel) sehingga seakan membangkitkan
brand spirit menjadi suatu realitas kehidupan nyata.
Melalui dialog dan interaksi itu, pemasar dapat
membangun makna baru dari merek yang dikelolanya. Bila dahulu brand dianggap sebagai suatu
bentuk perlindungan konsumen, yang memberikan garansi terhadap realibilitas dan
kualitas, melalui interaksi dan dialog, makna brand berubah menjadi semakin
luas. Brand bukan lagi sekedar tanda, tetapi mencerminkan suatu gaya hidup.
Ketika menggelar activation pada acara pameran
seluler 2012, XL mengajak target audience-nya menjangkau mimpi teknologi masa
depan. Bila sebelumnya public memaknai provider seluler sebagai penyedia jasa —
menyusul perkembangan sosial media dan internet di Indonesia – mendapatkan
koneksi seluler yang cepat dan relasi yang luas, kini makna itu ingin diubah
XL.
Di booth-nya, XL menggelar berbagai aktivitas untuk
menjangkau para Gadget Mania, Dynamic and Effective Person, serta orang-orang
yang up to date and stylish dari kalangan wanita dan pria usia 15-35 tahun.
Melalui itu, XL ingin mengajak audience ke realitas yang selama itu mungkin
hanya sebagai mimpi. Dengan perkembangan teknologi komunikasi saat ini, pubik
sekarang dapat melihat masa depannya ketika mereka merencanakannya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah brand
activation yang biasanya hanya dibatasi oleh ruang itu efisien? Bukankah
audiencenya terbatas sehingga biaya per kontaknya menjadi tinggi? Menjawab
persoalan ini, praktisi seakan tak kehilangan akal. Mereka
mengkomunikasikannyamelalui berbagai tool komunikasi sehingga menjangkau public
yang lebih luas.
Juni lalu, Unilever mulai menayangkan iklan yang
isinya memberi peluang kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menjadi orang
Indonesia pertama yang terbang ke luar angkasa sejauh 103 km dari bumi. Tak
mengherankan bila kemudian program yang diklaim sebagai pertama kali di
Indonesia ini mendapat respon positif dari masyarakat, terutama dari kalangan
muda usia yang akrab dengan dunia digital. Tak kurang dari 60.000 orang dari
kota-kota besar di Indonesia mendaftarkan diri via Website www.axeapolo.com dan
jejaring sosial Facebook.com/AXE.ID.
Taktik ini menjadi terobosan dari kebuntuan
iklan-iklan deodorant yang dinilai terlalu konvesional. Di masa lalu, public
sering dipertontonkan iklan yang menunjukkan pria menyemprotkan merek atau
jenis cologne tertentu ke tubuhnya dan beberapa waktu kemudian
perempuan-perempuan berdatangan mendekati pria itu.
Meskipun digunakan secara luas, saat ini iklan
tersebut diyakini tidak seefektif seperti pada awal-awal tema ini ditayangkan.
Ini karena orang tidak lagi mempercayai mereka. Kini pengiklan parfum cenderung
menggambarkan produk seperti membangun dan meningkatkan hubungan romantisme.
Beberapa merek mengangkat tema fantasi misalnya dengan membuat seorang pria
atau wanita merasa lebih sensual, ketimbang mengubah manusia menjadi "magnet”
atau seorang wanita menjadi bak diva.
Beberapa merek kini memanfaatkan tema-tema fantasi
untuk mengkomunikasikan benefitnya. Tema
fantasi dirancang untuk membawa audience ke pengalaman di luar batasan
yang mereka percaya sebagai sebuah realitas, meski dalam beberapa kasus
beberapa fantasi ditujukan agar audience untuk bersikap realistis. Dengan
memanfaatkan teknologi digital (multimedia), orang-orang kreatif di periklanan
dapat menghasilkan urutan fantasi yang seolah-olah nyata.
Sedemikian pentingkah fantasi itu? Pada dekade
1960an, Ernest Bormann dengan kelompok mahasiswa dari Universitas Minnesota,
menemukan suatu fenomena yang kemudian disebut sebagai proses sharing fantasi.
Dalam konsep ini ada asumsi bahwa pada dasarnya seseorang itu adalah pendramatisir.
Menurut konsep yang secara akademis disebut Teori Konvergensi Simbolik ini seseorang cenderung mendramatisasi pesan
dengan menggunakan permainan kata-kata, cerita, analogi, dan atau pidato yang
menghidupkan interaksi dalam kelompok sehingga membentuk suatu fantasi.
Kongkritnya, setiap kali seseorang itu memasuki
dalam sebuah kelompok maka senantiasa terjadi semacam obrolan atau pembicaraan
atau saling bertukar kisah/story. Apa yang dianggap penting untuk
diperbincangkan itulah yang disebut sebagai tema fantasi. Dalam setiap topik
kisah itu senantiasa akan ditemui tokoh/karakter yang dianggap tokoh, juga ada
dalam sebuah seting tertentu dan akhirnya ada dalam bingkai legitimasi tertentu
misalnya yang menjadi sumber legitimasi itu adalah hal yang bersifat religius,
atau politik atau keadilan dan sebagainya.
Disini setiap individu akan saling berbagi fantasi
karena kesamaan pengalaman atau karena orang yang mendramatisi pesan memiliki
kemampuan retoris yang baik. Suatu cerita, lelucon, atau permainan kata-kata
yang sering terjadi dalam suatu kelompok tampaknya tidak bermakna apa-apa.
Semuanya tidak memiliki efek dalam interaksi selanjutnya. Akan tetapi,
kadang-kadang salah seorang dari anggota kelompok mengambil pesan tersebut
kemudian membumbui cerita itu dan mungkin mendramatisi pesan dengan gaya cerita
masing-masing. Dalam teori konvergensi simbolik, partisipasi ini dikenal dengan
rantai fantasi dan saat hal itu terjadi, individu-individu tersebut telah
berbagi kelompok fantasi.
Dalam konvergensi simbolik dibutuhkan adanya visi
retorik, hikayat, dan kesadaran yang berkelanjutan. Karena itu, konvergensi
simbolik tidak memerlukan komunikasi besar-besaran seperti layaknya promosi
yang menghabiskan biaya. Cukup melalui kelompok kecil yang memiliki kredibilitas
menyebarkan informasi ke masyarakat.
Sementara itu Holbrook (2006) menggarisbawahi pentingnya
fantasi, perasaan, dan hal-hal yang menyenangkan dalam perilaku konsumen.
Fantasi dan cerita meningkatkan keterlibatan konsumen, membantu konsumen
memahami realitas, dan seringkali mampu menyampaikan ide-ide secara lebih efektif dari
sekedar fakta. Sebab seperti diketahui, kebanyakan cerita dimulai dengan
masalah, hambatan, atau keadaan tidak seimbang (menggambarkan konsumen ke dalam
tindakan dan mendorong identifikasi dengan protagonis), menggambarkan tindakan
untuk mencapai resolusi, dan mengandung pelajaran yang dipelajari (Merchant,
Ford, dan Sargeant 2010; Woodside, Sood, dan Miller 2008).
Yang jadi persoalan, seringkali fantasi dibangun
tidak rasional. Seringkali, iklan dibuat sedemikian tidak rasional untuk
mempermudah audience mengingat merek yang diiklan tersebut. Dalam konteks ini,
fantasi dapat diciptakan melalui event, mulai dari liburan impian, kapal pesiar
hingga hamburger seperti yang dilakukan DiGiorno pizza. Jadi pilih mana, brand
activation, iklan atau mengintegrasikan brand activation dengan taktik
komunikasi pemasaran lainnya?