24 April 2013, sebuah bangunan beton Rana Plaza di kawasan
Savar, Dhaka, Bangladesh, runtuh dan membuat 3.500 pekerja garmen terjebak di
dalamnya. Rana Plaza memproduksi pakaian untuk merek ternama seperti Benetton
Group, BonmarchĂ©, The Children’s Place, El Corte InglĂ©s, Joe Fresh, Mango,
Primark, dan Walmart.
Menurut sejumlah laporan berita, musibah itu mengakibatkan 1.129
orang meninggal dunia dan 2.515 orang lainnya yang terluka berhasil diselamatkan
dari gedung tersebut. Sehari sebelum bangunan ambruk, manajemen mengabaikan
peringatan tentang keamanan gedung. Alih-alih meliburkan karyawannya, manajemen
mengancam tidak akan membayar gaji satu bulan jika pekerja tidak kembali
bekerja.
Bencana tersebut sangat mengerikan sehingga banyak konsumen di
negara-negara Barat menganggapnya sebagai isyarat untuk membangkitkan kesadaran
kepedulian konsumen terhadap nasib pekerja. Banyak orang memandang bencana Rana
Plaza sebagai dimulainya gerakan "fair trade” (perdagangan yang adil) dalam
industry busana siap pakai.
Salah satu merek busana ternama, H & M, menjadi sasaran empuk
para aktivis yang peduli pada perlakuan buruk terhadap pekerja garmen.
Meskipun H & M tidak menggunakan Rana Plaza - dan itu sudah ditegaskan oleh
H & M -- namun H & M adalah pembeli produk garmen siap pakai dari Bangladesh
terbesar. Itu yang membuat H & M terseret di dalamnya.
Dua pekan setelah bencana, kelompok penggiat hak azas manusia, Avaaz menyebarkan petisi melalui online yang menyerukan agar H & M membayar sesuai dengan standar keselamatan kebakaran dan mengurangi bahaya di tempat kerja di pabrik-pabrik di Bangladesh. Petisi itu mendapat dukungan dari 900 ribu tandatangan. Sejak ituah, H & M yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Rana Plaza terseret kedalamnya. Karena kampanye tersebut, muncul persepsi publik bahwa H & M terkait dengan perlakuan tidak adil terhadap pekerja garmen global.
Awalnya, H & M tidak merespon. Untuk meningkatkan
tekanan pada perusahaan Swedia tersebut, Avaaz meluncurkan sebuah kampanye yang
menampilkan foto CEO H & M, Karl-Johan Persson, yang disandingkan di atas
seorang wanita Bangladesh yang menangis. Tiga minggu setelah bangunan ambruk, H
& M setuju untuk menandatangani rencananya yang secara hukum mengikat.
Sebagai pemimpin industri fashion yang cepat dalam produksi
dan citra, tindakan H & M untuk memperbaiki kondisi pekerja garmen di
Bangladesh dipuji dan sekaligus diplototi secara ketat oleh kelompok konsumen
dan buruh, juga oleh media. Sejak musibah Rana Plaza, H & M berkomitmen terhadap
inisiatif hijau, seperti daur ulang, pengurangan limbah, dan peningkatan
penggunaan bahan organik dan non-transgenik (organisme rekayasa genetika).
Setahun setelah musibah, sekelompok warga di lima puluh lima
negara berpartisipasi dalam Fashion
Revolution Day (Hari Revolusi Mode) pertama, yang disponsori oleh kelompok
advokasi industri, Fashion Revolution.
Ini menandai ulang tahun pertama bencana Rana Plaza dan mendorong lahirnya
sebuah gerakan yang bertekad untuk tidak menerima pakaian murah dengan
mengorbankan mata pencaharian - dan potensi kehidupan - para pekerja yang
membuat pakaian tersebut.
Melalui sebuah kampanye multimedia, selebriti
menunjukkan dukungan mereka untuk para pekerja garmen di seluruh dunia dengan
mengenakan pakaian mereka #InsideOut dan "Who Made Your Clothes?" Event Fashion Revolution Day mendapat lebih
dari 6,6 juta hits di Google, trending topik dunia di Twitter, dan menjangkau lebih
dari 80 juta orang.
Ini adalah salah satu dari beberapa kampanye media sosial
yang dirancang untuk menekan pengecer global seperti Walmart, Benneton,
Matalan, dan Primark agar membantu membuat kondisi pekerja garmen menjadi lebih
baik dan berkontribusi pada Rana Plaza Donors Trust Fund. Kampanye tersebut
menunjukkan hasil yang positif: Walmart, bersama dengan Walmart Foundation dan
Asda, anak perusahaan supermarket Inggris Walmart, menyumbang $ 3 juta kepada
BRAC USA ("BRAC" yang sebelumnya berdiri untuk Komite Bantuan Rehabilitasi
Bangladesh). Sepertiga dari uang itu masuk ke dana perwalian Rana Plaza.
The
Gap Foundation,
The Children's Place, dan
Benetton Group juga melangkah maju
dengan komitmen finansial.
Begitu bom pertama meledak yang diikuti bom kedua selama lomba
maraton di Boston, April lalu, kepanikan melanda Lenox Hotel. Ketidakpastian
dan ketakutan merasuki para tamu hotel yang terletak di kedua sisi lokasi
ledakan bom tersebut. semua orang yang berada di sekitar lokasi kejadian berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
Petugas hotel bergegas mengevakuasi para tamu yang menghuni 214-kamar
hotel itu. Satu persatu mereka dipandu keluar hotel setelah sebelumnya diberitahu melalui pengumuman. Dalam waktu kurang dari 10 menit, hotel ini kosong. Ponsel, dompet,
komputer dan tablet ditinggalkan, dibuang sembarangan di meja dan kursi.
Dalam Susana kekacauan yang menyertai kejadian itu, Daniel
Donahue dan stafnya menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan tamu. "Itu
yang bisa kita coba lakukan," kata VP dan direktur pengelola Lenox itu.
"Satu-satunya yang kita punya adalah media sosial. Kita tidak tahu di mana
tamu kami. ... Tidak ada yang bisa mendapatkan suatu pegangan dari mereka. Tidak
ada saluran komunikasi. Saluran telepon tidak bekerja, dan suatu saat staf kami
menemukan pelindung ... kami menuju ke media yang tepat, yakni media sosial:
Twitter, Facebook dan situs kami," katanya.
Sebelum kejadian, Donahue menilai bahwa segala perlengkapan yang
mereka memiliki, termasuk strategi manajemen krisis cukup solid. Tetapi setelah
pemboman, seperti yang diakui oleh salah seorang staf, media sosial yang kuat
dan dapat memberikan ketenangan di saat krisis. "Ini adalah alat yang bisa
sangat, sangat, sangat kuat bila digunakan dengan benar," katanya.
Daniel Edward Craig, founder of social media consultancy
Reknown, mengatakan media sosial efektif selama krisis karena "semakin
banyak orang akan saluran ini untuk mendapatkan update real-time untuk mencari
tahu apa yang terjadi."
Meski saat ini meski begitu popular, namun sejatinya manajemen
reputasi merek (
Brand Reputation Management - BRM) bukanlah konsep baru. Sebab
seperti yang banyak kita dengar, sangat banyak
organisasi kredibel yang selalu melihat bahwa memngelola atau
mempertahankan reputasi bagi mereka adalah sesuatu yang sangat serius. Karena
adanya fenomena itu berkembang disiplin public relations dan word-of-mouth
marketing.
Namun, situasi sekarang berbeda dengan era lima belas atau
sepuluh tahun lalu. Secara fundamental, arenanya kini telah berubah. Bila
sebelumnya, umpan balik yang dilakukan oleh pengguna situs jejaringan sosial
dan ulasan yang banyak dilakukan melalui jejaring sosial media, sekarang ini
telah menjadi sesuatu yang biasa.
Kalau dulu pemasar dan spesialis komunikasi bisa mengontrol
pesan – melalui iklan misalnya, kini perusahaan tidak lagi bahkan mustahil bisa
mengontrol pesan-pesan yang berseliweran di media sosial. Dulu orang – karena
ketiadaan media – orang tak bisa berbicara tentang suatu merek. Kini, orang
bisa berbicara tentang produk atau merek di seluruh Web dan menentukan sendiri
tema percakapan tentang merek yang menurut mereka relevan.
Jadi, dalam konteks pengelolaan reputasi, tindakan apa yang
harus diambil perusahaan? Menurut saya, yang jadi persoalan sekarang adalah
bagaimana pengelola merek mensikapi itu. Dalam bayangan saya, umpan balik atau
ulasan-ulasan yang muncul di media sosial bisa dimaknai sebagai tantangan dan
peluang bagi setiap bisnis.
Setiap hari orang-orang dari beragam budaya berbagi cerita tentang
pengalaman baik dan buruk dengan produk dan layanan melalui media sosial.
Dengan begitu banyaknya platform digital untuk mengekspresikan opininya secara yang
luas, sementara pujian sulit didapat, bila ada seseorang atau orgaisasi
melakukan kesalahan, orang mudah mengungkapkan dan menyebarluaskannya.
Dalam bisnis, kini berkembang tuntutan agar merek atau
perusahaan wajib memperbaiki masalah yang terkait dengan hal-hal yang mereka
jual dan melakukan bisnis secara tulus dan etis, menangani masalah sosial dan
lingkungan yang terkait dengan produksi dan distribusi produk dan layanan
mereka. Publik menekan perusahaan melalui kolaborasi antar elemen masyarakat sehingga persoalan yang menimpa satu perusahaan misalnya, kini tak lagi persoalan perusahaan itu sendiri melainkan bisa menjadi isu bagi lebih banyak perusahaan. Efek domino.
Itu sebabnya, bagi masyarakat bisnis, kolaborasi advokasi perlu digalang. Bukan untuk melawan mereka, melainkan berkolaborasi untuk menyelesaikan persoalan kolaboratif tersebut. Konsekuensinya, perusahan juga bergandengan tangan dengan masyarakat.
Secara umum, bila dicermati, saat ini terdapat beberapa tren
yang mempengaruhi bagaimana perusahaan mengelola reputasi mereka. Semakin
pintar perusahaan membaca perubahan ini, mereka makin meningkatkan investasi
dalam pendidikan internal dan membawa mitra yang lebih dekat dengan fenomena
media sosial untuk membantu mengembangkan -- bukan hanya untuk kepentingan komunikasi
atau pemasaran – melainkan beberapa praktek bisnis inti mereka.
Trend pertama adalah fenomena hypertransparency. Kini satu di
antara emapt orang menggunakan sosial media. Juga ada jutaan blogger yang siap
menulis apa saja tentang kita. Artinya,
di sekeliling perusahaan terdapat ribuan orang yang siap membedah perilaku
perusahaan. Implikasinya, pertama, kita tak boleh lagi berasumsi bahwa kita
dapat menyembunyikan informasi, karena suatu saat seseorang akan menemukannya.
Februari 2009, ketika IM2 mengalami gangguan network
congestion yang berakibat penurunan service semacam gagal koneksi sampai
rendahnya kecepatan download, ribuan konsumen mengeluh. Begitu parahnya keluhan
konsumen tersebut sampai-sampai tim Customer Service dibuat kewalahan dengan
lebih dari 200.000 inquiries dalam sebulan, bahkan pada 24 Februari 2009,
Detik.com mengeluarkan artikel mengenai buruknya kualitas IM2 yang berasal dari
banyaknya surat pembaca mengenai IM2 ke portal berita tersebut.
Untuk meredam isu negatif di masyarakat, IM2 melakukan
infiltrasi. Dengan menggunakan resource internal, tim Corporate Communication
meng-infiltrasi beberapa grup anti IM2 di Facebook, Forum, dan Blog namun
dengan penyamaran dan tidak pernah mengatas-namakan IM2 ataupun Indosat. Selain
itu, IM2 juga membuat pages atau group-group di FB, milis sampai twitter
sebagai tambahan saluran komunikasi bagi pelanggan untuk mencapai IM2 dan untuk
mengisolasi permasalahan.
Kedua, konsumen semakin menuntut keterbukaan perusahaan
produsen merek yang mereka beli. Jadi, mau tak mau perusahaan harus terbuka.
Ketiga, keterbukaan berarti perusahaan harus lugas dan jelas dalam memberikan
informasi. Keempat, bersiaplah untuk berdamai ketika terjadi pertentangan.
Sebab bagaimana pun konflik tidak akan lagi hanya bayang-bayang dalam tinjauan
tahunan, melainkan sesuatu yang bakal terjadi. Kelima, bila perusahaan Anda
melaksanakan CSR cobalah melaksanakannya dengan tulus ikhlas, dan jangan
mengharapkan terlalu tinggi misalnya berharap mereka menghentikan menyuarakan
suara-suara negatif tentang Anda.
Trend kedua adalah fenomena yang disebut dengan viral
crises. Artinya, ketika terjadi krisis, informasi tentang hal tersebut menyebar
melalui jaringan formal dan informal dengan kecepatan kilat dan degan informasi
yang tidak utuh/lengkap. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, informasinya
menyebar dengan sangat cepat yang seringkali dilengkapi dengan video melalui
YouTube.
Dalam situasi seperti itu, menerapkan pelajaran-pelajaran
lama tentang pengelolaan image bisa jadi tidak efektif. Komunikasi satu arah
misalnya, tak lagi efektif bila diterapkan dalam semua situasi. Ini berarti
manajemen krisis telah berubah, tidak ada perusahaan yang dapat melindungi
reputasinya misalnya dengan bersembunyi di balik pesan yang dikirim oleh
seorang juru bicara misalnya.
Implikasi dari trend ini bagi pengelolaan reputasi merek
adalah – karena cepatnya penyebaran informasi tentang krisis terutama melalui
internet -- perusahaan harus merespon secepatnya, tidak menunggu terlalu lama,
karena respon yang lama mebuat publik frustasi dan makin mengkristalisasi
anggapan bahwa semua informasi yang beredar menjadi suatu kebenaran.
Konsekuensinya, perusahaan harus memiliki rencana untuk merespon dengan cepat.
Implikasi lainnya, komunikasi satu arah dari perusahaan
mungkin tidak lagi memadai. Pemimpin perlu mengambil langkah lebih maju dan melakukan dialog dengan pelanggan dan
stakeholder. Ini berarti ada kebutuhan baru, yakni perlunya seni baru dalam
pengelolaan reputasi dan perusahaan harus berlatih tentang ini.
Trend ketiga adalah makin tingginya kebutuhan untuk
melakukan dialog. Ini terutama terdapat pada konsumen yang tidak begitu saja
mau menerima pesan-pesan yang disampaikan perusahaan. Yang mereka inginkan
adalah dialog. Ini berarti konsumen mendambakan percakapan, bukan pesan, dari
merek yang mereka cintai. Bila dulu perusahaan cukup menyebarkan siaran pers
melalui media dan media mungkin menerbitkannya, kini hal itu tidak cukup.
Demikian pula sms layanan pelanggan misalnya.
Pada Maret 2007, The Daily Telegraph, Inggris menyebut
Garuda sebagai “One of the world’s worst safety records among national carriers.”
Pemberitaan negatif ini mereka kaitkan juga dengan buruknya standar keselamatan
Indonesia, menyusul kecelakaan fatal yang terjadi pada maskapai lain (Adam
Air). Tone serupa juga berasal dari The Straits Times, The Business Times, Air
Transport Intelligence, Financial Analyst Singapore sampai CNBC.
Mendapat “serangan” gencar tersebut, Garuda tidak tinggal
diam. Selain melakukan brand refreshment, sampai membuka kantor baru, Garuda
juga mengkomunikasikan core values-nya yang disebut sebagai FLY HI (Efficient
dan Effective, Loyalty, Costumer
Centricity, Honesty & Opennes, dan Integrity). Selain itu, Garuda
memasukkan agenda perbaikan citra ini sebagai salah satu dari delapan agenda
penting lain seperti restrukturisasi utang, perbaikan kualitas dan keselamatan
penerbangan. Pada berbagai kesempatan, semua itu dijelaskan melalui berbagai
macam dialog.
Ketika Dell dilanda krisis DellHell, mereka membuka dialog
dengan menyiapkan blog Direct2Dell dan IdeaStorm. Mereka mengundang pelanggan
dalam sebuah percakapan sehingga mengesankan bahwa mereka bersedia mendengar
dan merespon, sekaligus menunjukkan bahwa mereka juga manusia. Ketika Lenovo
ingin agar pelanggannya lebih mengenal perusahaan, mereka membangun blog di
www.lenovoblogs.com. Melalui blog tersebut orang bisa berdialog sehingga dapat
mengenal lebih jauh designer produk David Hill, PC-evangelist Matt Kohut dan
orang-orang lain di dalam perusahaan. Ini mengsumsikan bahwa -- untukmembangun
merek -- hubungan personal jauh lebih bernilai dari pada iklan.
Hari ini, BRM adalah tentang mengelola referensi,
percakapan, dan umpan balik pada bisnis Anda secara aktif. Biasanya, hal-hal
tersebut berlangsung secara online, meski pelu juga disadari bahwa yang terjadi
di lingkungan offline juga sama pentingnya. Prinsipnya adalah keluhan di toko
tidak ditangani dengan benar, maka keluhan tadi akan berseliweran di dunia
maya. Karena itu, keluhan tadi tidak boleh diabaikan.
Implikasinya, perusahaan harus merombak pendekatan mereka
terhadap manajemen merek perusahaan. Hiruk pikuk sosial media akan
mengungkapkan perilaku whitewashing karena orang mencermati apa saja yang
dikemukakan perusahaan. Tuntutan untuk keterbukaan, transparansi dan keaslian
lebih dari istilah-istilah karena mereka kini telah menjadi realitas baru dari
reputasi merek di era sosial.