Rabu, 07 Oktober 2020

BRANDING BERAS

 


Banyak perusahaan yang mem-brand-kan komoditi beras. Tapi hanya sedikit yang  mengkomunikasikan merek itu ke pasar. Padahal, tanpa komunikasi pencantuman brand itu hampir tidak ada artinya mengingat beras generik dengan kualitas bagus pun availabitity-nya sangat tinggi.


Sampai dekade 80-an orang mengenal beras hanya berdasarkan jenisnya: rojolele, pandanwangi, cianjur, citra ramos, IR-64 dan lain-lain. Pada dekade 90-an orang mulai berfikir untuk memberikan nilai tambah pada komoditas ini dan melakukan fungsi pemasaran melalui pencantuman brand seperti Ayam Jago, Oryza, Slyp, Tiga Ketupat dan lain-lain.

Beberapa merek bahkan kemudian melakukan aktivitas pemasaran yang gencar melalui promosi lini atas dan lini bawah. Ayam Jago dan Oryza, misalnya. Selain beriklan di media cetak dan elektronik, mereka melakukan edukasi kepada konsumen.

Memang, belum banyak brand beras yang melakukan kegiatan marketing secara agresif—selain membubuhkan brand sebagai jaminan kualitas—seperti Ayam Jago dan Oryza.

Padahal, tanpa komunikasi kepada konsumen, pencantuman brand hampir tidak ada artinya mengingat produk generik beras dengan kualitas yang bagus mudah diperoleh di berbagai saluran distribusi seperti pasar, toko, warung, hingga outlet modern.

“Jadi komunikasi penting untuk menyosialisasikan atribut pembeda atau diferensiasi merek ini dari brand lain atau beras generik,” kata pengamat pemasaran dari Prasetiya Mulya Business School Agus W. Soehadi.

Guru besar di bidang marketing ini menegaskan ada dua syarat utama agar branding komoditas seperti yang dilakukan para pengusaha beras itu berdampak signifikan kepada penjualan, yaitu ada atribut pembeda (diferensiasi produk) dan proses komunikasi atribut pembeda tersebut kepada target market.          

Menurut catatan Tabloid Marketing, perusahaan yang mem-brand-kan beras di Indonesia pada umumnya hanya memenuhi satu diantara dua syarat tersebut, yaitu hanya menawarkan diferensiasi produk tanpa mengkomunikasikan atribut pembedanya kepada pasar.

Padahal, dalam kasus beras, atribut pembedanya nyaris seragam antara satu merek dengan merek lain., yaitu sama-sama mengklaim beras pulen dan harum. Jadi, tanpa komunikasi, brand ini tidak akan melekat erat di benak konsumen karena diferensiasinya kabur ditelan diferensiasi beras lain.

Berbeda dengan Ayam Jago yang meskipun mengusung atribut pembeda sebagai beras pulen, dia tetap aktif mengkomunikasikan diferensiasinya kepada pasar. Tetapi Sayang, manajemen Ayam Jago belum mau berbagi cerita tentang keberhasilannya mem-brand-kan komoditas beras. Padahal dia adalah satu-satunya merek beras yang berani mengkomunikasikan produknya melalui iklan di televisi.          

Tapi jangan khawatir, ada Oryza yang mau berbagi cerita. Oryza memang tidak menggeber promosi lewat iklan televisi. Untuk mengkomunikasikan produknya, dia hanya beriklan di media cetak (majalah) dan radio. 

Tapi istimewanya, brand ini tidak mengusung atribut pembeda pulen seperti umumnya beras. Oryza menawarkan diferensiasi sekaligus memosisikan brand-nya sebagai beras organik yang proses budidayanya ramah lingkungan, tidak menggunakan bahan kimia yang bisa mencemari lingkungan dan menyisakan dampak genetis yang tidak menguntungkan.

Menurut Manajer Pemasaran Oryza Arief Wibowo, pengolahan tanah, pengendalian hama, dan pemupukan tanaman padi cikal bakal beras oryza seluruhnya dilakukan secara organik oleh petani binaan.

Secara fisik beras organik tidak ada bedanya dengan beras lain. Tapi kalau diuji di laboratorium, jelas kandungannya berbeda. “Ini sudah dibuktikan oleh Sucofindo—salah satu perusahaan sertifikasi di Indonesia,” tutur Arief. Sebagai produk organik, Arief menjamin nasi dari beras Oryza tahan basi hingga 60 jam (di luar magic jar) dan rasanya lebih pulen. “Jadi ibarat ayam, beras ini ayam kampung,” ujarnya. 

Dengan diferensiasi itu, tidak heran kalau Arief berani memasang harga tinggi untuk berasnya, rata-rata Rp 6.000 per kg untuk semua jenis (citra ramos, pandan wangi dan rojolele). Harga ini lebih mahal dibandingkan harga beras premium dari berbagai merek yang dipatok pada level Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per kg 

Dengan harga tersebut, jelas pasar yang dibidik Oryza adalah kelas A atau kalangan menengah atas. Lebih spesifik lagi Arif menunjukkan bahwa pelanggan mereka adalah kalangan berpenghasilan di atas Rp 1,5 juta per bulan yang peduli pada lingkungan—biasanya kalangan ini adalah masyarakat terpelajar yang memahami pentingnya memasyarakatkan green product.

Dengan positioning seperti itu, pasar Oryza saat ini memang tidak terlalu besar. Arief menaksir pangsanya di tanah air ini hanya sekitar 10%. Untuk mengembangkan customer based, dia berencana mengekspor Oryza ke manca negara. “Untuk itu kami sedang mengurus sertifikasi sebagai beras organik. Kalau itu sudah selesai, kami akan langsung ekspor.”

Dengan positioning seperti ini pula, kata Arief, distribusi Oryza hanya dilakukan ke outlet modern seperti Carrefour, Hero, Goro, Matahari dan Jogja Department Store di Jakarta dan sekitarnya, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.  

Di luar itu, penjualan Oryza dilakukan secara door to door oleh para distributor. Dari omzet sekitar 500 ton per bulan, menurut Arief, 60% di antaranya berasal dari penjualan di gerai modern. Sisanya dari penjualan secara door  to door.

Arief menyadari kegiatan marketing yang dilakukannya sejak 1997 ini terbukti bisa meningkatkan penjualannya. Sebelum menggunakan merek Oryza dan aktif melakukan aktivitas pemasaran, kata Arief, penjualan beras ini per bulannya hanya puluhan ton. Kini, setelah branded dan gencar berpromosi, omzetnya meningkat drastis hingga rata-rata 500 ton (Rp 3 miliar) per bulan.

Hebatnya lagi, dengan prestasi itu tim pemasaran Oryza yang ditangani oleh Koperasi Pertanian Nusantara ini sama sekali tidak mempunyai tenaga penjual. Pendapat pakar pemasaran Hermawan Kertajaya bahwa kalau pemasaran berjalan dengan baik, sesungguhnya tidak diperlukan tenaga penjual berlaku pada Oryza. 

Menurut Arief, Koperasi Pertanian Nusantara tidak memiliki sales force. “Outlet modern seperti Carrefour dan Hero sudah tahu produk kami. Mereka biasanya langsung mengirim order kepada kami. Sedangkan untuk yang door to door, penjualannya langsung ditangani distributor,” tutur Arief.

Arief yakin komunikasi tentang kelebihan brand Oryza sangat besar andilnya dalam keberhasilan penjualan beras organik ini. Selain promosi di lini atas melalui media cetak dan radio, menurut Arief, Oryza juga aktif mengedukasi konsumen melalui program talkshow dan pendekatan langsung kepada ibu-ibu PKK dan kelompok pengajian.

Pengamat pemasaran Agus Soehadi melihat potensi pasar beras organik di Indonesia masih cukup luas. Namun untuk mengembangkan customer based di tanah air ini, menurut Agus, Oryza perlu memperbaiki komunikasinya.

Oryza, lanjutnya, harus “menerjemahkan” terminologi organik ke dalam bahasa yang lebih populer yang berhubungan langsung dengan benefit yang akan dirasakan konsumen setelah mengonsumsi beras Oryza. 

“Misalnya dikomunikasikan sebagai beras yang baik untuk kesehatan manusia,” tutur sarjana pertanian yang kemudian menekuni dunia pemasaran ini menutup pembicaraan dengan Tabloid Marketing. (Tabloid Marketing, 05 April 2002)

Senin, 05 Oktober 2020

OBJECTIVITAS


Perdebatan utama dalam jurnalisme adalah soal *objektivitas* - apakah ia baik atau buruk dan bahkan apakah kita mungkin mencapainya. Beberapa jurnalis terkenal, termasuk Hunter Thompson, Bill Moyers, dan David Brinkley, telah menjabarkan objektivitas sebagai sebuah mitos.

Sedangkan beberapa jurnalis terkenal lainnya, seperti Clifton Daniel dan Herbert Brucker, berpendapat bahwa objektivitas adalah penting sekali dalam penyampaian berita.

Beberapa konsep yang diperkenalkan oleh S. I. Hayakawa (1964) dapat membantu jurnalis untuk memaknai kontroversi atas objektivitas. Hayakawa membahas tiga jenis pernyataan yang bisa dibuat ole seseorang; yakni laporan (_report_), inferensi (_inferences_), penilaian (_judgments_) - dan hal-hal yang berkenaan dengan _slanting_.

Sebuah laporan adalah pernyataan yang bisa diverifikasi dan tidak ada unsur inferensi atau penilaian. Satu contohnya adalah pernyataan, "Temperatur rendah tadi malam di Gresik adalah 28 derajat Celcius." 

Pernyataan ini bisa diverifikasi, diperiksa kebenarannya. Anda bisa pergi ke stasiun ramalan cuaca di BMKG dan melihat rekaman cuaca atau mewawancarai ahli meteorologi di sana. Contoh lain laporan adalah pernyataan berikut ini:

Dewan Kota (DPRD) menyetujui dana $237 juta untuk tahun fiskal 1995. (_Apakah mereka melakukan atau tidak, tindakan tersebut dapat diverifikasi dengan mengecek melalui para anggota dewan, saksi mata yang menghadiri sidang, dan laporan pejabat mengenai sidang tersebut._)

Tersangka perampokan Larry Joe Smith terlihat di Bandara Kota Sabtu sore. (Laporan ini akan lebih sulit diverifkasi, dan tidak bisa diverifikasi sampai Smith ditangkap dan dikenali di pengadilan oleh seorang saksi mata, tetapi pernyataan itu masih dapat diverifikasi.)

Inferensi adalah pernyataan tentang sesuatu yang tidak terlihat berdasarkan pada sesuatu yang terlihat. Contohnya adalah berbagai pernyataan tentang pikiran atau pernyataan seseorang. Anda mungkin dapat melihat seseorang menggebrakkan tinju pada meja, nada meninggi, dan wajahnya merah padam. 

Semua itu adalah aspek-aspek yang terlihat. Jika kemudian Anda membuat peryataan, "Chris marah", maka Anda membuat pernyataan suatu yang tidak terlihat, yaitu emosi orang tersebut. Berarti Anda membuat sebuah inferensi. 

Dalam berbagai kasus, cara paling aman adalah dengan berpatokan pada apa yang dilihat dan melaporkannya -- menggebrakkan tinju, nada suara meninggi, dan wajah yang merah padam. Permyataan-pemnyataan tentang karakteristik yang bisa dilihat ini dapat diverifikasi dan merupakan laporan.

Berbagai pernyataan tentang masa depan adalah sebuah inferensi, karena masa depan tidak diketahui. Pernyataan, "Presiden akan masuk rumah sakit hari Kamis untuk checkup" adalah sebuah inferensi, karena ia berkenaan dengan masa yang akan datang. Pernyataan yang lebih aman dalam hal ini adalah, "Sekretaris presiden mengatakan bahwa presiden akan masuk rumah sakit hari Kamis untuk checkup." Pernyataan tersebut bisa diverifikasi - itu berarti pernyataan itu adalah sebuah laporan.

Seseorang yang diserang menceritakan tentang orang yang menyerangnya, "Tingginya pasti enam kaki dan mungkin sedang mabuk." Pernyataan bahwa si penyerang "sedang mabuk" adalah sebuah inferensi, meskipun mungkin yang paling akurat adalah menyebutnya sebagai inferensi tambahan karena dipakai kata mungkin. Dalam sebuah contoh lain, seorang koresponden televisi yang sedang menjelaskan kegagalan Kongres untuk menolak veto presiden atas rancangan undang-undang kerja darurat. Sang pelapor mengatakan, "Partai Demokrat tampaknya tercengang dengan apa yang terjadi."

Sebuah penilaian adalah suatu ekspresi kesetujuan atau ketidaksetujuan atas sebuah kejadian, orang, atau objek. Misalnya, siswa kadang kala menggunakan kata hebat/jago/top (kesetujuan) atau menyebalkan/galak (ketidaksetujuan) untuk mendeskripsikan seorang guru.

Surat-surat yang masuk pada redaksi koran kadang kala mengandung penilaian. Renungkan tentang surat yang menjabarkan serial televisi Roots sebagai sebuah "kebencian etnis - yang menjual kritik" dan "fiksi yang berlebihan."

Kadang kala sumber sebuah cerita koran akan menyatakan penilaian, dan penting sekali bagi seorang jurnalis yang waspada untuk menentang hal itu.

Selama beberapa acara bedah buku di Texas, kritik seorang feminis terhadap seksisme di dalam buku berbunyi demikian, "Tahun ini terdapat beberapa buku yang sangat kami sukai, dan banyak buku - buku jelek."

Kemudian yang mewawancarai bertanya, "Yang bagaimanakah buku jelek tersebut?" Dia langsung menjawab: "Buku yang jelek adalah yang menunjukkan 75 persen atau lebih peran pria di dunia kerja."

Hal ini menyimpangkan wawancara dari bidang penilaian menjadi bidang laporan.Seorang jurnalis bisa berbuat banyak agar objektif dengan menghapuskan inferensi dan penilaian dan tetap sebisa mungkin mengacu pada laporan. Meski demikian, hal itu sendiri tidak menjamin objektivitas.

Sumber:

Severin, Werner J. & James W. Tankard, Jr. 2001. Communication Theorie: Origins, Methods, & Uses in the Mass Media. Addison Wesley Longman, Inc.