Change Series - Build
Readiness for Changing (1)
Salah satu risiko
dalam mengelola sebuah merek yang mapan adalah kelelahan yang menghinggapi
pengelolanya. Ini karena setiap saat pengelola dihadapkan pada persoalan
perubahan lingkungan dan menuntut terus beradaptasi dengan perubahan tersebut. Disinilah
pentingnya untuk mengkomunikasikan rencana perubahan ke dalam.
Setiap saat lingkungan bisnis dan pemasaran berubah. Ambil
contoh perubahan preferensi warna mobil. Tiga empat tahun lalu, pembeli mobil
lebih suka warna hitam. Sebelumnya mungkin warna abu-abu metalik. Kini konsumen
lebih menyukai warna putih, padahal 10 tahun lalu, warna putih bukanlah
pilihan.
Yang paling nyata adalah kebiasaan kita mengkonsumsi media. Lima belas tahun lalu, kita masih mengandalkan media cetak untuk update informasi. Sepuluh tahun lalu beralih ke televisi, dan lima tahun lalu masih berkutat di internet konvensional. Kini, kita sedikit-demi sedikit meninggalkan mereka karena semua informasi bisa kita dapatkan melalui gadget (smartphone).
Oktober nanti Indonesia bakal mempunyai pemerintahan baru.
Seperr biasa yang sering kita jumpai, setiap pergantian pemerintahan selalu
diikuti dengan perubahan kebijakan. Fenomena ini menuntut pengelola merek beradaptasi.
Dalam konteks branding, adaptasi terhadap perubahan, salah satunya adalah
adalah dengan menjaga agar brand menjadi
selalu relevan bagi konsumen atau pasar.
Bila dikaitkan dengan fenomena perubahan yang terjadi
terus-menerus, adaptasi juga harus dilakukan dengan terus menerus dalam arti
pengelola merek harus terus menerus merevitalisasi mereknya. Sebab, seringkali
suatu merek menurun bukan karena mereka telah kehilangan kemampuan mereka untuk
menawarkan sesuatu atau loyalitas pengguna mereka memudar. Yang sering terjadi
adalah karena mereka telah menjadi kurang relevan.
Penurunan merek lebih sering terjadi karena pelanggan enggan
membeli dan lebih tertarik kepada kategori atau sub kategori baru yang
ditawarkan oleh pesaing. Atau merek menurun karena menyelinap keluar dari
pertimbangan karena merek tersebut kehilangan energi dan visibilitasnya. Dalam
hal ini, kegagalan manajemen merek untuk memahami merupakan masalah yang
sebenarnya dan berarti bahwa program pemasaran tidak efektif dan sumber daya
terbuang atau salah arah.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa dalam kehidupan organisasi
saat ini, perubahan adalah sesuatu yang sudah lazim. Namun dalam waktu
belakangan ini perubahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat, dan kompleks.
Hal ini mempertegas pendapat bahwa mengamati perubahan menjadi penting karena
meskipun lazim, namun terjadi dengan kecepatan yang tinggi, dan kompleks. Itu
sebabnya, dalam konteks perubahan, apapun perubahan yang berlangsung,
pengelolaan merek memerlukan strategi pengambilan keputusan yang mendukung
ekuitas merek untuk jangka panjang.
Dalam konteks strategi pengambilan keputusan pengelolaan
merek, beberapa studi menunjukkan akan pentingnya manajemen internal branding. Model
ini mengidentifikasi pembentukan komitmen merek dan brand citizenship behavior
karyawan sebagai konstituen penting dalam mendukung keberhasilan revitalisasi
merek, dan dengan demikian pada gilirannya mendukung kekuatan merek.
Komitmen merek didefinisikan sebagai sejauh mana keterikatan
psikologis karyawan terhadap merek. Komitmen ini tercermin pada kesediaan
mereka untuk mengerahkan usaha ekstra guna mencapai tujuan merek, yaitu mengerahkan
perilaku mereka sebagai bagian dari merek dan karenanya menghasilkan kualitas
kekuatan merek baru.
Untuk tujuan ini komitmen merek dapat dilihat dari tiga dimensi
yang terdiri dari ketaatan, identifikasi dan internalisasi. 'Ketaatan' adalah
kesediaan karyawan untuk menyesuaikan pandangan dan perilaku sendiri sesuai
dengan persyaratan merk dan/atau perusahaan. 'Identifikasi' mengukur sejauh
mana karyawan percaya bahwa mereka adalah konstituen dari merek dan perusahaan.
Akhirnya, konsep 'internalisasi' menunjukkan sejauh mana karyawan telah
memasukkan merek ke dalam pikiran dan diimplementasikan dalam perilaku mereka.
Brand Citizenship Behaviour (Perilaku Kewarganegaraan Merek)
merupakan suatu konstruk yang menggambarkan sejumlah perilaku karyawan yang
memberikan kontribusi pada peningkatan identitas merek. Oleh karena itu,
perilaku kewarganegaraan merek merupakan keinginan dari setiap karyawan untuk
secara sukarela menunjukkan karakteristik perilaku tertentu generik -- di luar
sistem harapan peran yang ditetapkan secara formal – dan memperkuat identitas
merek.
Perilaku kewarganegaraan merek ini dapat dilihat dari tujuh
dimensi, yakni kemauan untuk membantu, brand awareness, brand antusiasme, keinginan
untuk menerima pengorbanan, kesediaan menjadi 'misionaris' pemasaran merek
serta berjuang untuk mengembangkan dan meningkatkan diri sendiri serta merek.
Kekuatan merek didefinisikan sebagai tingkat relevansi
perilaku merek, yaitu sejauh mana merek mampu menciptakan diferensiasi dan
preferensi dalam perilaku merek - relevan. Dalam konteks ini, perilaku merek
yang relevan tidak hanya mencakup perilaku pembelian tetapi juga perilaku merek
– yakni relevan dalam komunikasi dan relevansi lainnya, seperti berbicara
tentang merek, merekomendasikan merek.
Penjelasan tersebut mempertegas peran komunikasi dalam
membangun kesiapan karyawan untuk berubah. Sebab seperti diketahui, salah satu
persoalan mendasar bagi keberhasilan perubahan adalah penerimaan perubahan
tersebut oleh karyawan. Dalam konteks karyawan, perubahan ini melalui lima
tahap, yakni penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
Kesiapan tercermin dalam keyakinan, sikap, dan niat anggota
organisasi berkaitan dengan perubahan yang diperlukan dan kapasitas organisasi
untuk berhasil melakukan perubahan. Ini adalah aspek kognitif terhadap
perilaku, baik penolakan maupun dukungan terhadap upaya perubahan. Kesiapan ini
dimulai dengan persepsi individu manfaat dari perubahan, risiko kegagalan dalam
perubahan, atau tuntutan perubahan eksternal yang dipaksakan.
Kepribadian seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat resistensi perubahan organisasi. Oreg (2003) menemukan
bahwa variabel konteks memainkan peran penting. Dalam hal ini, kepercayaan
terhadap manajemen memiliki pengaruh yang sangat kuat pada afektif, kognitif
dan perilaku resistensi.
Segala kegiatan, interaksi, dan saling ketergantungan antar
anggota organisasi dapat berlangsung karena komunikasi. Dengan kata lain, hanya
dengan komunikasi pengaruh atas perilaku individu dapat terjadi. Karena itu, semua
kegiatan, termasuk proses manajemen yang sangat menentukan kelangsungan hidup
organisasi tergantung pada lomunikasi yang efektif
Salah satu strategi untuk mengurangi resistensi pada
karyawan adalah dengan melibatkan karyawan ke dalam proses dan perubahan itu
atau memberdayakan mereka untuk membuat perubahan sendiri. Beberapa studi
empiris mendukung strategi untuk keberhasilan pelaksanaan perubahan, terutama
dalam sektor publik.
Namun, keterlibatan karyawan saja tidak cukup. Selama proses
perubahan tersebut manajer perlu memainkan peran dalam mendorong dan
mendukung perubahan tersebut. Dengan
kalimat lain, keterlibatan karyawan harus luas dan mencakup semua tahapan
proses perubahan. Mereka juga menekankan pentingnya dukungan dan keterlibatan
tim manajemen dalam proses perubahan tersebut.
Komunikasi di antara anggota Top Management Team (Tim
Pipinan Puncak-TPP) merupakan pusat kemampuan kelompok untuk melaksanakan
fungsi-fungsinya (Mintzberg, 1973). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
seringnya komunikasi antara anggota TMT meningkatkan pertukaran informasi dan
kohesivitas tim, sehingga mengarah ke kinerja yang lebih baik.
Akan tetapi, peneliti lain menemukan tingginya frekuensi tim
berkomunikasi bisa mengakibatkan konflik yang tinggi dalam tim, sehingga
mengurangi kecepatan pengambilan keputusan dan dengan demikian mengurangi
kinerja. Hasil ini menunjukkan bahwa ada tingkat frekuensi komunikasi TPP yang
sesuai dan cukup sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran informasi namun
kurang dari tingkat yang akan menghalangi cepat pengambilan keputusan.
Memahami karyawan sebagai "target perubahan"
menunjukkan kesadaran akan perlunya perubahan yang direncanakan, dan tidak
mempertimbangkan "driver" - seperti peran karyawan dalam upaya
mengejar perubahan terus-menerus. Perbedaan ini dapat dieksplorasi dari
perspektif konstruktivis dalam hal bagaimana karyawan memahami perubahan dan
membangun realitas baru mereka.
Studi yang dilakukan Witherspoon dan Wohlert (1996)
menemukan bahwa dalam perubahan organisasi, informasi disebarkan ke bawah dan
secara berbeda. Informasi ditemukan menjadi komoditas yang harus diperantarai
dan sebagai sumber daya yang langka yang harus dijaga serta aliran informasi
berhenti di level supervisor. Temuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai
bagaimana karyawan pada tingkat yang lebih rendah memahami perubahan tanpa
informasi yang diberikan oleh pengawas. Kami berpendapat aspek ini harus
diperiksa lebih dekat melalui studi empiris perubahan terus-menerus , sehingga
mendapatkan pemahaman yang lebih dalam arus komunikasi.
Lewis dan Seibold (1998) menyelidiki bagaimana proses
komunikasi mempengaruhi kesuksesan dari implementasi perubahan, dan menetapkan
bahwa komunikasi adalah pusat untuk memprediksi hasil dari perubahan terencana.
Mereka berpendapat proses komunikasi yang terlibat dalam pelaksanaan perubahan
yang direncanakan telah kurang mendapat perhatian oleh para sarjana komunikasi.
Dalam proses ini, informasi yang ditangkap oleh sebuah
organisasi umumnya diproses baik melalui prosedur formal maupun interaksi
informal dalam tim manajemen. Prosedur proses informasi formal mengikuti rantai
komando yang telah ditentukan. Sementara itu, prosedur informal lebih bersifat
spontan dan tidak dapat direncanakan sebelumnya, meski demikian prosedur ini
merupakan bagian penting dari jaringan pengolahan informasi. Dalam sebuah studi
tentang pemanfaatan keluhan pasien
memecahkan masalah layanan di rumah sakit, Stevenson dan Gilly (1991)
menemukan bahwa manajer sering menghindari penggunaan prosedur formal. Sebagai
gantinya, mereka memanfaatkan hubungan pribadi untuk mendapatkan informasi yang
bisa digunakan memecahkan masalah.
Penggunaan sistem informal makin bermanfaat ketika
ketidakpastian lingkungan tinggi. Miller (1992), misalnya, memberikan bukti
empiris yang menunjukkan bahwa organisasi yang bisa beradaptasi dalam
lingkungan yang tidak pasti memiliki hubungan lemah dengan variabel proses yang
bersifat structural (formal). Peneliti lainnya membuktikan bahwa begitu
penggunaan struktur dan proses formal menjadi kurang jelas di dalam sebuah
organisasi, struktur dan proses informal muncul sebagai pengganti (Monge dan
Eisenberg, 1987).
Dalam konteks ini, teori jaringan sosial mengidentifikasi
bahwa pentingnya struktur jaringan komunikasi informal yang mempengaruhi
efektivitas manajemen dalam sebuah organisasi (Krackhardt dan Hanson, 1993).
Ketika manajer puncak organisasi secara teratur berinteraksi baik melalui jalur
formal maupun informal, pola komunikasi muncul dan berkembang menjadi jaringan
komunikasi. Jaringan ini menjadi struktur organisasi informal yang penting yang
mengatur transmisi dan pertukaran informasi antara anggota TPP, karyawan dan
pimpinan, atau sesame karyawan.
Hal ini menunjukkan bahwa jaringan komunikasi juga berperan
dalam perubahan organisasi. Menurut De Vito (1997), jaringan komunikasi adalah
saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain
dalam organisasi. Jaringan organisasi ini berbeda besar dan strukturnya pada
masing-masing organisasi, dan biasanya disesuaikan dengan kepentingan dan
tujuan organisasi tersebut.
Secara umum jaringan komunikasi dapat dibedakan atas dua
bagian yaitu: 1) jaringan komunikasi
formal dan 2) jaringan komunikasi Informal. Dengan kata lain hubungan yang
terjadi dalam organisasi dapat terjadi
secara formal dan informal. Komunikasi formal adalah komunikasi yang terjadi
diantara para anggota organisasi yang secara tegas telah direncanakan dan
ditentukan dalam struktur organisasi formal. Komunikasi formal ini mencakup
susunan tingkah laku organisasi, pembagian departemen atau tanggung jawab
tertentu, posisi jabatan, dan distribusi pekerjaan. Dengan kata lain, komunuikasi berstruktur
formal ditentukan oleh struktur yang menetap dan terencana dalam organisasi.
Struktur formal ini
dapat berbentuk pengaturan level-level organisai termasuk tingakatn-tingkatan
jabatan; tanggung jawab dan pembagian kerja dalam masing-masing departemen atau
divisi kerja dan aturan tentang cara berkomunikasi, baik secara vertikal,
horizontal maupun antardivisi (diagonal). Menurut Adler dan Rodman (1997),
komunikasi ke bawah berlangsung ketika orang-orang yang berada pada tataran
manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya, komuniukasi ke bawah terjadi
ketika bawahan (subordinate) mengirim pesan kepada atasannya, sedangkan
komuniaksi horizontal berlangsung di antara para karyawan ataupun bagian yang
memiliki kedudukan yang setara. Sementara itu komunikasi diagonal berlangsung
antar anggota organisasi yang tingkat hirarkhi dan satuan organisasinya
berbeda. Komunikasi diagonal bertujuan untuk memperkuat filosofi komunikasi
terbuka dan partisipasi manajemen, koordinasi antar unit bagian organisasi, dan
menghemat waktu dan biaya.
Dalam beberapa kasus perubahan organisasi, dominasi
komunikasi dari atas ke bawah memiliki beberapa kelemahan. Menurut Hart (1992,
p. 2), arahan dari atasan sering kali disalahartikan atau disalahpahami. Morgan
(1994) menyarankan bahwa semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses
perubahan perlu dilibatkan dalam membangun metafora dan "gambaran"
tentang apa yang akan dilakukan dan tujuan melakukan perubahan agar mereka bisa
ikut mengelola perubahan tersebut. Karena itu, model perubahan harus dibangun
dari proses "imaginization". Disini manajer menengah dapat memperoleh
manfaat dari proses tersebut, dengan membangun (atau mengadaptasi) model
perubahan yang: mencerminkan perhatian mereka yang dibangun dari pengalaman,
dan imajinasi mereka.
Di sisi lain, komunikasi informal adalah komunikasi yang
terjadi diantara para anggota organisasi atas dasar kehendak pribadi, tanpa
memperhatikan posisi/kedudukan mereka dalam organisasi. Informasi dalam
komunikasi informal ini mengalir ke atas, ke bawah, atau secara horizontal, dan
ini terjadi jika komunikasi formal kurang memuaskan anggota akan informasi yang
diperlukan.
Ke depan, menurut Lewis (2000a, b), seyogayanya penelitian
dilakukan untuk menggali infornasi yang lebih detail dan spesifik tentang
proses perubahan. Seyogyanya, penelitian ke depan membahas
pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana perubahan dikomunikasikan, oleh siapa,
dan apa hasilnya sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran lebih menyeluruh
mengani komunikasi dan perubahan di dalam organisasi.