Minggu, 10 September 2017

Peristiwanya Sama, Tapi Beritanya Kok Berbeda


Meskipun media dan praktisi berita dituntut objektif, netral, dan tidak memihak, namun dalam melakukan pekerjaannya sulit menemukan mereka bekerja dalam kekosongan sosial, politik, atau ideologis.

Sulit menemukan praktik pengumpulan, penulisan dan pelaporan berita yang secara fundamental tidak dipengaruhi oleh ideologi, apolitis, atau non-partisan. Karena itu bukanlah sesuatu aneh bila dalam memberitakan sesuatu antara satu media dengan media lainnya berbeda atau bahkan bertolak belakang (McQuail, 1992).

Pada 1989, banyak media terutama Barat yang mempublikasikan foto seorang lelaki sendirian menghadang tank di Lapangan Tiananmen, Beijing. Foto itu dilihat sebagai lambang keberanian luar biasa dari seseorang yang menentang kekuasaan negara.  Foto itu memenangkan World Press Photo 1989. 

Ajang World Press Photo adalah organisasi nirlaba independen yang berbasis di Amsterdam, Belanda. Didirikan pada tahun 1955 organisasi ini dikenal di kalangan pers paling banyak dan menjadi ajang paling bergengsi di dunia kontes fotografi tahunan. Upacara penghargaan ini diselenggarakan di Oude Kerk di Amsterdam.

Lalu apakah pemerintah Republik Rakyat China melarang publikasi dan media-media di China tidak menampilkan foto tersebut? Bila Anda berpendapat bahwa pasti foto itu tidak dipublikasikan di China, Anda salah.

Di China, gambar itu juga ditayangkan di TV. Akan tetapi, cerita yang ditampilkan di emdia China berbeda dengan cerita yang dimunculkan media Barat. Narator dan penulis berita di China menggambarkan kesabaran tentara China. Media China menulis dan menyiarkan bahwa gambar itu kehebatan tentara China yang mampu menahan diri, dan menambahkan, “Orang yang punya akal sehat tahu bahwa jika tank itu tetap maju, maka pembangkang itu tidak akan bisa menghentikannya” (Gordon, 1999).

Dalam public relations, para mahasiswa sering ditunjukkan gelas dengan air setengah di dalamnya. Bagi yang optimis, gelas dan air itu dilihatnya sebagai setengah isi atau "sudah terisi" walau baru setengah. Sebaliknya, orang yang pesimis cenderung melihat sebagai setengah kosong, akan tetap kosong, dan tidak adanya harapan.

Itu menunjukkan bahwa setiap fenomena atau kejadian atau objek, bisa dilihat dari dua – bahkan lebih – sisi. Sekarang orang tinggal menentukan apakah fenomena itu ingin diinterpretasikan sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Itu tergantung bagaimana orang tersebut mengemasnya dan interpretaasi sang penulis terhadap suatu fenomena.  Interpretasi yang biasa dikenal dengan istilah Jerman “Versteben” adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk menjelaskan makna dan tindakan. 

Karena suatu tindakan dapat memiliki banyak arti maka makna tidak dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Mungkin, tujuan interpretasi adalah untuk meningkatkan pengertian. Akan tetapi terkadang seperti pada propaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan membuat kebingungan. “Seseorang melihat sesuatu seperti yang diinginkannya,” kata Degas, pelukis dan pemahat asal Perancis.

Fenomena itulah yang sering membuat bias interpretasi. Dalam bahasa komunikasi ada yang disebut perhatian selektif, atau seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian pesan yang sesuai dengan rujukan penting. Bagian itulah yang menancap di pikran seseorang dan ketika dia mencoba menguraikan kembali ingatannya itu, kemudian hasil dari perhatian selektif itulah yang diuraikan.

Model komunikasi Lasswell menggambarkan bagaimana sebuah pesan disampaikan oleh penyampai pesan melalui saluran kepada penerima pesan dengan harapan adanya efek tertentu dari penerima pesan. Media atau penulis berita juga mengikuti proses seperti itu.

Reporter menulis berita (pesan) yang disampaikan melalui koran atau media lainnya kepada khalayak untuk menciptakan efek tertentu. Dalam bahasa komunikasi massa, reporter mengemas informasi (framing) dan menyampaikannya melalui media yang dikelolanya dengan harapan (agenda media) pembaca, pendengar, pemirsanya memiliki gagasan (agenda publik) seperti yang diharapkan reporter tadi.

Dalam mengemas informasinya, reporter mempertimbangkan tujuan atau respon apa yang ingin didapat dengan pesannya itu. Karenanya dia memilih dan menonjolkan informasi yang dianggap penting agar responnya sesuai dengan yang diharapkan. Seperti yang dikatakan oleh Martin Luther King, media bisa membuat kita mencintai orang yang sebenarnya jahat, sebaliknya media juga bisa membuat kita membenci seseorang yang sebenarnya baik.

Bila kita ingin membuat seseorang dikesankan sebagai orang baik, maka informasi yang kita sampaikan kepada publik tentu dipilih yang baik-baik. Sebaliknya, bila kita ingin membangun kesan bahwa orang itu jahat misalnya, maka kita pilih dan kita tonjolkan kejahatan-kejahatan dia.  Pilihan-pilihan kesan apa yang ingin dibangun dipengaruhi oleh banyak hal semisal kepentingan politik, ekonomi, pengiklan, pemilik media atau bahkan penulisnya sendiri. Berbohong? 
  
Pada 21 Juni 1995, ada berita yang diturunkan Washington Post yang bertolak belakang dengan Wall Street Journal dan New York Times. Washington Post melaporkan bahwa Greenspan (Gubernur Bank Sentral AS) mengisyaratkan penurunan suku  bunga, sementara Wall Street Journal dan New York Times memberikan sebaliknya.

Seorang wartawan, kata Paul Volcker -- Gubernur Bank Sentral AS yang digantikan Greespan -- mengatakan bahwa sorang wartawan dapat mengambil satu sudut pandang dan mengemukakan interpretasinya sendiri, dan selalu ada tekanan untuk membuat laporan seringkas dan sepadat mungkin.... Dua editor yang berbeda akan mengajukan dua tema yang berbeda, dan Anda akan mendapatkan berita yang saling bertentangan (MacNeil/Lehrer Newshour dalam Severin & Tankard 2001).
     
Tahun 1978, Gaye Tuchman – seorang sosiolog – dalam bukunya berjudul Making News menulis, berita merupakan konstruksi realitas. Tindakan membuat berita, kata Tuchman, adalah tindakan mengonstruksi realitas itu sendiri, bukan penggambaran realitas. Tuchman juga mengatakan bahwa berita adalah sekutu bagi lembaga-lembaga yang memiliki legitimasi dan melegitimasi status quo. Menurutnya, berita itu sumber daya sosial yang konstruksinya membatasi pemahaman analitis tentang kehidupan kontemporer.

Bagaimana berita mempertahankan status quo? Dalam artikelnya yang berjudul  Social Control in the Newsroom, Warren Breed (1955) – bekas wartawan yang meraih gelar PhD dan dosen Tulane University, menulis bahwa penerbit surat kabar, sebagai pemilik atau representasi pemilik, memiliki hak untuk menetapkan dan memberlakukan kebijakan surat kabar.

Dengan kata lain, penerbit menetapkan orientasi yang diperlihatkan oleh surat kabar dalam editorial, kolom berita, dan berita utamanya berkenaan dengan kejadian atau pemasalahan tertentu. Memang, pandangan surat kabar tidak akan menimbulkan pembohongan. Tetapi, mereka memiliki kecenderungan melakukan penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan preferensi seperti menampilkan di halaman depan berita yang pro-kebijakan, “mengubur” berita yang anti-kebijakan, dan sebagainya.

Breed berpendapat bahwa setiap surat kabar memiliki kebijakan. Politik dan bisnis adalah bidang kebijakan utama. Yang menarik, kebijakan itu biasanya bersifat terselubung karena kebijakan itu sering berseberangan dengan kode etik jurnalisme dan para eksekutif media tidak ingin dituduh telah memerintahkan agar surat kabarnya condong ke berita-berita tertentu.

Karena sifat kebijakan yang terselubung ini, seorang wartawan baru tidak boleh diberitahu kebijakan yang berlaku di tempat kerjaya, melainkan harus belajar untuk mengetahui tentang yang diharapkan organisasinya untuk mendapatkan penghargaan dan menghindari hukuman.
Karena kebijakan tidak pernah dibuat eksplisit, wartawan baru mempelajari kebijakan ini melalui berbagai cara yang tidak langsung. Pertama, dengan membaca suatu surat kabar setiap hari dan berusaha mendiagnosa karakteristiknya.

Kedua, melalui gossip di kalangan staf surat kabar dan dengan berbagai cara, wartawan baru mengetahui kepentingan, afiliasi, dan karakterstik para eksekutif d tempat kerjanya. Pertemuan-pertemuan dimana para staf menguraikan temuan dan para eksekutif membahas bagaimana menyajikan berita juga menjadi petunjuk terhadap apa yang disukai dan tidak disukai oleh eksekutif.

Ketiga, sumber informasi lainyang dimanfaatkan oleh wartawan baru untuk mengenali para eksekutif adalah dengan mengamati instrument-instrumen yang ada di organisasi, mencermati para eksekutif itu dalam rapat-rapat yang dipimpin oleh eksekutif yang berbeda-beda, dan opini-opini yang mereka suarakan pada saat-saat yang tidak disadarinya.

Keempat, penyuntingan atas berita wartawan baru juga bisa menjadi petunjuk lain tentang apa yang bisa dan yang tidak bisa diterima. Kadang-kadang mereka ditegur dengan cara yang halus. Implikasinya, hukuman menanti jika dia tidak mematuhi kebijakan (Severin dan Tankard 2001).


(Sumber: Severin WJ & Tankard Jr JW. 2001. Communications Theory: Origins, Methods, & Uses)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar