Kamis, 21 September 2017

Undue Identification


Diakui atau tidak, media sering membuat kita mendefinisikan sesuatu, termasuk mendefisinikan apa yang normal dan yang abnormal, termasuk apa yang tidak tepat atau salah di dalam masyarakat. Karena informasi dari media, orang menyebut seseorang atau orang lain dengan sebutan semisal "pemarah" dan sebagainya.

Dalam kajian semantik media ada konsep yang disebut dengan undue identification (pengenalan yang tidak pas atau pantas) atau kegagalan dalam melihat perbedaan antara anggota kategori, atau kelompok. Kelompok yang sejatinya berbeda dianggap sama atau disamakan. Susahnya kalau penyamaan itu bernada negatif.

Satu jenis umum dari undue identification adalah stereotyping. Misalnya, anggapan bahwa ibu mertua adalah orang yang suka ikut campur dan cerewet, atau pria Italia itu pecinta sejati, adalah contoh-contoh dari undue identification. Media atau mungkin kita – melalui postingan di grup whatsApp atau media sosial -- sengaja atau tidak sengaja juga sering memunculkan beberapa sub-kelompok seperti tamak, pemalas, penakut atau semacamnya.

Pada 1987, Muhammad Kamal, Duta Besar Yordania untuk Washington menulis sebuah artikel yang berjudul Why Tar Arabs and Islam di New York Times, 16 February 1987. Dia menunjukkan bahwa jurnalisme Amerika menyamaratakan “Muslim – Teroris – Arab” secara simplistic sementara ada hampir 200 juta orang Arab dan hampir satu miliar muslim di dunia.

Mereka diberi label “teroris” ketika media meliput aksi pemboman bom bunuh diri dan menyebut mereka sebagai “muslim” dan “Arab.” Kamal mengamati bahwa media tidak pernah menyebut Baader-Meinhof sebagai “teroris Kristen” atau Tentara Merah dari Jepang sebagai “Teroris Shinto.”
  
Pelabelan itu bisa jadi merugikan pihak yang diberi label. Dalam kajian tentang propaganda, pelabelan ini disebut sebagai name calling. Tujuan dari propaganda name calling yaitu untuk mempengaruhi orang agar menolak suatu ide tertentu tanpa mengoreksi ataupun memeriksanya terlebih dahulu. Biasanya ide, orang atau kelompok itu diberi label buruk untuk menjatuhkan atau menurunkan kewibawaan seseorang atau kelompok tertentu.

Lalu bagaimana cara membedakan agar beberapa -- katakanlah -- orang memiliki nama yang sama bisa dikenali bahwa seseorang yang memiliki kemiripan nama itu berbeda dengan yang lain? Untuk mengatasi problem itu, para pakar semantik pernah merekomendasikan penggunaan nomor indeks untuk mencegah undue identification

Apabila kita mencantumkan sebuah nomor indeks misalnya pada kata mahasiswa setiap saat kita memakainya, kita mungkin tidak berpikir bahwa semua mahasiswa adalah sama.

Contohnya, Aruman-1 bukanlah Aruman-2, atau mengambil contoh lain bahwa Arab-1 bukanlah Arab-2. Disini tentu bukan persoalan banyaknya angka yang kita gunakan. Yang jauh lebih penting adalah kita menyadari bahwa anggota sebuah kelompok memiliki kesamaan sekaligus memiliki perbedaan karakteristik satu dengan yang lainnya.

Yang juga menjadi persoalan manakala label ke satu, ke dua dan seterusnya itu kemudian diidentikan dengan kualitas atau karakter semisal angka dua diidentikan dengan kualitas nomor dua atau KW-2 atau derajat peringkat. Dalam konteks ini sepertinya pemberi label ingin menunjukkan bahwa KW-2 itu masih di bawah KW-1 atau yang asli (Ori).  

Dalam konsep komunikasi pemasaran, kadang-kadang untuk bisa menarik perhatian, perlu sesuatu yang bersifat menyerang, terutama untuk menarik perhatian dari pihak yang bukan pendukung. 

Ada asumsi bahwa konsumen yang memiliki sikap tidak mendukung mungkin mengalokasikan sedikit perhatian terhadap suatu merek. Karena itu, perlu diciptakan suatu pesan yang bisa menarik perhatian, dalam hal ini adalah menyerang.

Atau bisa juga kampanye menyerang tersebut dinilai sebagai salah satu bentuk ketidakberdayaan menghadapi kinerjanya yang melorot atau melihat merek lain yang makin mencorong. Beberapa tahun lalu, CEO BlackBerry, John Chen, menyampaikan komentarnya tentang popularitas iPhone. "Saya menyebut kalian (pengguna iPhone) sebagai pemeluk dinding," kata Chen saat berbicara di depan forum  Oasis Montgomery Summit.

Menurut laman CNET, inti dari humor ini terkait dengan baterai iPhone yang cepat habis, bahkan tidak cukup untuk satu hari, kata Chen. Itu sebabnya, pengguna iPhone mencari dinding yang memiliki outlet listrik untuk menambah daya battereinya. 

Namun, sebenarnya ini bukan hanya akibat baterai iPhone yang tidak bisa bekerja dengan baik, tetapi ada begitu banyak aplikasi iOS yang menggoda penggunanya untuk mengunduh dan menggunakannya, yang semakin menguras "daya hidup" iPhone.

Jika mengacu pada pendapat Jack Trout dan Steve Rivkin dalam buku Repositioning: Marketing in An Era of Competition, Change, Crisis, yang dilakukan Capres dan Chen tersebut pada dasarnya mereka mereposisi pesaingnya. Dalam kaitan itu, merek pesaing dibuat lebih banyak memiliki kelemahan dibandingkan dengan merek dia sendiri.

Jadi dalam konsep ini, repositioning tidak hanya dilihat pada bagaimana suatu perusahaan memperbaiki diri untuk mengungguli pesaingnya, tapi juga bisa dilakukan dengan cara membangun persepsi public bahwa pesaingnya tidak lebih baik dari dirinya. Fenomena itu banyak kita jumpai akhir-akhirnya dimana beberapa partai yang kadernya terlibat korupsi berusaha membangun persepsi bahwa korupsi yang dilakukan kader partainya masih kecil, sementara yang dikorupsi atau jumah kader partai lainnya lebih banyak.
 
Beberapa tahun lalu, Kodak - perusahaan film yang kini sudah bangkrut, mencoba melawan produsen tinta dengan menyebut mereka sebagai perusahaan printer besar yang mengajari konsumen menjadi boros. Tidak seperti Kodak yang mengajari hemat. Untuk mendukung kampanye tersebut, Kodak mengirim orang ke situs Web produsen tinta dan menuliskan perhitungan biaya yang harus dikeluarkan pengguna tinta printer.

Ketika McDonald mempromosikan kopi latte dan capuccinonya, mereka membangun dan berkampanye melawan snobby coffee-nya Starbucks dengan menyebut sebagai suatu kesombongan. Malalui kampanye yang dilakukan melalui website yang diberi nama Unsnobbycoffee.com, McDonald ingin menunjukkan kepada pelanggannya bahwa  mereka tidak perlu belajar "bahasa kedua" untuk memesan minumannya.

Referensi : Severin WJ and Tankard Jr JW. 2001. Communications Theories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media. New York: Addison Wesley Longman.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar