Sabtu, 05 Januari 2019

Cashless Society


Image result for GoPay Cashless Society

Jika abad ke-20 merupakan era uang tunai, cek, dan kartu kredit plastik, masuk era abad ke 21 ditandai dengan perkembangan sistem transfer elektronik yang pesat. Masing-masing berjalan pada platform yang berbeda dan menggunakan protokol serta infrastruktur jaringan yang berbeda. Kini transaksi pembayaran bisa dilakukan dimanapun, kapan saja melalui aplikasi di handphone atau gadjet lainnya.

Ketika saya pertama kali masuk ke dunia kerja pada tahun 1985, ATM adalah sebuah keajaiban bagi saya. Itupun saya jumpai di Sidney. Bersamaan dengan itu, masuklah kartu plastic dan hanya sebagian kecil meninggalkan uang tunai! Di beberapa lokasi di Sidney, orang kadang-kadang harus antri selama minimal 10 menit untuk menggunakannya, lebih cepat daripada layanan manual.

Konsep masyarakat tanpa uang tunai (cashless society) bukanlah hal baru. Konsep masyarakat tanpa uang didasarkan pada transaksi elektronik (e-transaction). Umumnya, transaksi tanpa uang tunai ini terkait dengan bank dan bank memiliki kontrol yang memadai atas transaksi. Dalam masyarakat di mana banyak orang tidak suka membawa mata uang dalam dompet mereka, orang-orang berpikir serius tentang pembayaran elektronik (pembayaran elektronik) melalui uang elektronik (e-money) dengan bantuan kartu elektronik (e-card) dan perbankan elektronik (e-banking).

Tahun 1961, seorang insinyur aerospace Simon Ramo memberi ceramah yang mendorong manfaat menjadi tidak punya uang tunai. Dia dapat melihat bagaimana informasi dapat mengubah cara orang menjalani hidup mereka dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pola pembayaran dan kelayakan kredit.

Tahun 1990an, bagi kebanyakan pelancong internasional dan peserta konferensi, kehidupannya bisa menjadi jauh lebih sulit bila tidak memiliki kemampuan membayar dengan kartu plastik untuk barang dan jasa yang dikonsumsi. Bagaimana tidak, sebagian besar maskapai penerbangan, jaringan kereta api, perusahaan penyewaan mobil, hotel dan restoran sudah terbiasa menerima pembayaran dengan kartu plastik, seperti halnya banyak pengecer dan outlet pedagang lainnya. Dengan melakukan itu mereka mengurangi kebutuhan konsumen untuk membawa uang tunai dalam mata uang lokal atau cek perjalanan.

Kartu internasional utama seperti Visa, Europay / MasterCard, American Express, Diners Club, dan JCB semuanya berusaha agar kartu pembayaran mereka diterima di berbagai gerai pedagang seluas mungkin. Meski harus diakui bahwa hanya Visa dan MasterCard, dua asosiasi kartu utama, yang pada tahun 1995, memiliki lebih dari 12 juta lokasi penerimaan di seluruh dunia, yang menerima pembayaran dengan kartu kredit dan debit yang meeka keluarkan. American Express memiliki 3,6 juta akseptor pedagang di seluruh dunia.

Meskipun kartu plastik diterima secara luas di seluruh dunia, pada tahun 1995, terdapat disparitas diantara negara-negara dalam memegang dan penggunaan kartu pembayaran plastic. Di Eropa misalnya, rata-rata setiap 100 orang dewasa, satu diantaranya memiliki kartu kredit. Sementara Inggris memiliki jumlah kartu terbanyak yang dikeluarkan, diikuti oleh Spanyol, negara-negara lain seperti Italia, Irlandia dan Yunani memiliki relatif sedikit kartu yang dikeluarkan.

Selain itu, setiap pasar juga memiliki variasi yang tinggi dalam jenis kartu yang paling dikeluarkan. Di sebagian besar Eropa, kartu debit adalah jenis kartu pembayaran utama yang digunakan. Namun, di Inggris, Prancis, Irlandia dan Yunani kartu kredit yang paling umum. Kartu charge, ketika ditemukan di setiap pasar, bukan yang paling banyak di negara mana pun, tetapi mereka menjadi alternatif pembayaran utama di sebagian besar Eropa.

Perbedaan signifikan juga ada pada frekuensi penggunaan dan nilai transaksi rata-rata pembayaran kartu plastic. Di Prancis dan Inggris, kartu plastik menjadi metode pembayaran yang umum untuk sebagian besar konsumen, sedangkan di tempat lain masyarakatnya menggunakan bentuk pembayaran yang lain, termasuk cek dan uang tunai. Pembayaran dengan kartu plastik jauh lebih jarang.

Fenomena itu menunjukkan bahwa pada tahun 1995 masih terdapat kesenjangan yang masih cukup besar dalam nilai rata-rata transaksi kartu antar Negara. Di sini banyak faktor ikut bermain, termasuk jumlah dan jenis kartu yang dipegang dan sifat jaringan pedagang penerimaan kartu lokal.

Misalnya, di banyak negara Eropa, penerimaan kartu saat itu tidak meluas ke outlet yang melayani transaksi bernilai relatif rendah, meski outlet itu sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Outlet itu terutama adalah toko kelontong. Kombinasi dari faktor-faktor seperti ini yang menempatkan Swiss dan Italiaberada di posisi teratas daftar nilai transaksi rata-rata, sementara Perancis dan Inggris berada di ujung skala yang berlawanan.

Hari ini mahasiswa saya dapat mengakses dan berpisah dengan uang kontan mereka melalui GOPay, Flash, Brizzi, e-Money, GoPay, dan sebagainya. Mereka menggunakan aplikasi seluler dan layanan berbasis web yang memungkinkan pembayaran orang ke orang. Untuk membayar atas pembelian sesuatumereka tinggal mengetuk ponsel yang dilengkapi komunikasi ke terminal tempat penjualan. Mereka menggunakan lapak elektronik untuk membeli atau memesan sesuatu dan metode pembayaran satu klik ke pedagang online lainnya untuk melakukan pembelian secara daring.

Lusinan teknologi komunikasi tertanam untuk memfasilitasi transfer uang . Ada yang menggunakan teknologi komunikasi jarak dekat, identifikasi frekuensi radio (RFID), gelombang radio bluetooth,  magnetik, sinyal radio nirkabel (Wi-Fi), gelombang suara supersonik, barcode, QR code, dan representasi grafis lainnya yang dapat dipindai secara elektronik dengan menggunakan pemindai optik. Semua ini untuk memfasilitasi pembayaran yang efisien, tanpa gesekan, transfer nilai dari satu pihak ke pihak lain dan pembukaan dan penyelesaian transaksi-transaksi tersebut dengan cara cepat, aman, dan dapat diverifikasi.

Sekarang generasi cashless society masuk ke era yang lebih kompleks sekaligus sederhana.  
Kini jutaan penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki smartphone, namun masih belum memiliki rekening bank. Sebanyak 33% mengaku terkendala oleh jarak dari lembaga keuangan modern. Padahal 69% dari populasi tersebut memiliki ponsel. Kondisi ini lah yang melatari lahirnya beberapa aplikasi pembayaran non tunai dalam bentuk app-based mobile payment platform.

Diakui atau tidak masyarakat Indonesia memang masih awam dalam aplikasi pembayaran non-tunai.  Penelitian Ipsos Indonesia, perusahaan riset pemasaran independen, terhadap 400 responden secara online panel pada 20-26 Agustus 2018, menunjukkan sebagian besar konsumen e-commerce adalah millenials (64%), orang-orang yang sudah menikah (62%), dan mereka yang aktif bekerja (86%).

Lebih dari setengahnya adalah lulusan universitas. Secara gender mereka seimbang, baik laki-laki ataupun perempuan, dan sebagian besar dari mereka tinggal di Jakarta (25%), Jakarta Pusat (17%), dan di Pulau Jawa (37%). Sebagian besar pembelanja e-commerce adalah dari kalangan ekonomi ke atas (81%)  dengan rata-rata pendapatan Rp3,3 juta per bulan. Perilaku belanja millenials (43%) maupun non-millenials (44%) sama-sama melakukan belanja di e-commerce minimal satu kali dalam sebulan.

Yang menarik adalah, dalam hal pembayaran mereka, transfer lewat ATM atau internet banking adalah pembayaran yang paling umum mereka gunakan saat bertransaksi online. Milenials biasa berbelanja saat siang menuju sore yaitu pukul 12.00-15.00, dan memilih berbelanja dari rumah (72%). Sedangkan non-Milenials rata-rata belanja mulai dari pukul 15.00 sampai malam.

Mengubah budaya uang tunai dan cek ke salah satu pembayaran Internet dan seluler adalah langkah besar. Persyaratan pertama adalah penjelasan tercetak yang sederhana, jelas, dan multi-bahasa tentang bagaimana teknologi akan digunakan. Kedua adalah komunikasi dan akses yang cepat, meski butuh sabar dan kejelasan, dan mudah dihubungkan. Ketiga adalah pernyataan online mingguan yang sederhana dari posisi akun sehingga pemegang atau pengguna bisa mengontrol penggunaannya. Jangan sampai misalnya, mereka merasa malu hgara-gara saldo mereka tidak mencukupi. Ini yang sering dijumpai di pintu tol pembayaran.

TCash misalnya, pertama kali diperkenalkan ke konsumen sebagai brand electronic money di tahun 2007 atau sekitar 11 tahun lalu di mana produk e-money masih belum awam di kalangan konsumen. Tantangan terbesar saat itu adalah produk TCash sendiri, yaitu bagaimana mengomunikannya supaya bisa diterima, dipercaya, dan digunakan user dengan aman, nyaman, dan mudah.

“Sebagai kategori produk baru saat itu, tantangan memperkenalkan TCash sangat besar. Selama enam tahun pertama TCash hadir sebenarnya kurang berkembang signifikan. Karena TCash muncul sebagai alat pembayaran elektronik tapi tanpa physical aspect yang bisa 'dipegang' oleh pelanggan. Itu kelemahan TCash saat itu,” ungkap  Puput Hidayat, Head of TCash Lifestyle Marketing & Customer Engagement TCash.

Sekarang tedapat banyak pilihan pembayaran tanpa uang tunai, dan kecepatan adopsi juga meningkat. Namun, beberapa tantangan yang ada termasuk masalah interoperabilitas di antara platform tertentu, biaya kartu dan biaya transaksi platform terkait terutama untuk UKM, dan masalah keamanan dan perlindungan data. Ada kebutuhan yang meningkat untuk membangun ekosistem dan platform tepercaya guna membangun kepercayaan konsumen untuk lebih mempercepat adopsi pembayaran digital.

Ini juga akan menjadi penting untuk menetapkan standardisasi lebih lanjut untuk meningkatkan kemudahan penggunaan bagi konsumen. Meskipun jelas ada banyak manfaat dalam menghasilkan uang tunai, akan ada kebutuhan untuk memelihara infrastruktur transaksi tunai untuk beberapa waktu untuk mendukung mereka yang berada dalam masyarakat yang mungkin perlu bergantung pada uang tunai sebagai cara pembayaran.

Di Singapura, menurut Philip Yuen, Chief Executive Officer Deloitte Southeast Asia and Singapore, adopsi  pembayaran tanpa uang relative lambat. Ini karena populasi Singapura yang menua, dengan mayoritas belum terekspos atau cukup pintar untuk menavigasi dunia digital.

Salah satu cara untuk mendorong penggunaan adalah dengan menggabung platform pembayaran dan  platform keterlibatan. Saat ini, Singapura memiliki beberapa platform pembayaran yang tidak banyak berhubungan dengan pengguna. Untuk mengatasi hal ini, Singapura melihat negara-negara seperti China dan Korea Selatan yang telah berhasil mengintegrasikan keduanya untuk mengembangkan satu platform di mana pengguna dapat memenuhi keterlibatan mereka (misalnya, berita, sosial dan mobilitas) dan kebutuhan pembayaran.

Pada akhirnya, untuk mencapai adopsi secara nasional, teknologi harus dikembangkan untuk memberi manfaat bagi masyarakat umum dalam hal kemudahan, kenyamanan dan keamanan, dan teknologi ini harus berevolusi untuk mengikuti perubahan sosio-ekonomi dan demografi. Ini adalah tentang menyerang keseimbangan yang tepat dan mengelola risiko yang terkait untuk memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam masyarakat tanpa uang tunai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar