Sabtu, 02 Maret 2019

KISAH JAHITAN KLASIK LEVI’S



Pada pertengahan 1980-an Levi Strauss & Co., perusahaan yang saat itu memiliki kapitalisasi senilai US$ 2 miliar, menikmati pangsa pasar yang begitu besar untuk berbagai kategori produk busana. Karena pasarnya yang terasa penuh, mereka merasa perlu meluaskan pasarnya. Tujuannya untuk mempertahankan pertumbuhan. Keputusan perluasan ini didasarkan pada sebuah penelitian segmentasi pasar pakaian pria yang melibatkan 5 segmen pakaian pria yang berbeda.

Pertama, sekitar 26% dari segmen pakaian pria merupakan segmen utilitarian. Orang yang tergolong utilitarian adalah loyalis Levi’s. Mereka mencari pakaian yang nyaman dan tahan lama untuk bekerja sekaligus bermain. Kedua, segmen tradisional umum yang  mewakili 18% dari pasar. Mereka adalah golongan usia yang lebih tua dan cenderung membeli stelan polyester di pusat pertokoan.

Levi’s melakukan penetrasi yang berhasil dalam segmen ini dengan produk Actionwear-nya yang memberi beberapa bonus untuk mengakomodasi kalangan berusia paruh baya. Levi’s juga melakukan serangan terhadap segmen ”pembelanja harga” dan ”kasual trendi”. Namun mereka tidak mempunyai produk untuk segmen ”individualis klasik” sehingga penetrasi di segmen tersebut dianggap mewakili suatu peluang pertumbuhan.
 
Individual klasik adalah pria “pesolek” yang cenderung membeli item-item yang mengandung wool dan berbelanja di toko-toko khusus. Mewakili 21% dari pasar pakaian pria, ia merupakan pembeli berat stelan, dengan aneka ragam stelan yang jauh lebih besar dari segmen manapun.

Berbeda dengan pembelanja tradisional umum, yang menggantungkan pada nasehat isterinya, individualis klasik berbelanja sendirian dan meyakini penilaiannya sendiri atas pakaian. Mereka sangat perhatian terhadap penampilan yang mnarik dan label. Levi’s tidak termasuk dalam pembelian pakaian jenis ini.

Dengan menargetkan pada segmen ini, Levi kemudian meluncurkan Levi’s Tailored Classic, sebuah produk stelan wol pria yang bis adiperbandingkan dengan barang-barang kompetitor dari segi bahan, pengerjaan, dan mode. Distribusi menekankan pada pusat-pusat pertokoan, bukan pada toko-toko khusus, dengan maksud untuk mengekploitasi kehadiran penjualan Levi’s di pusat-pusat pertokoan.

Salah satu aspek yang membedakannya, stelan tersebut dijual secara ”terpisah” jas dan jaket dipilih sendiri-sendiri. Karena itu, para pelanggan bisa lebih mendapatkan kesesuaian, dan kebutuhan untuk modifikasi bisa dikurangi. Lebih jauh, stelan itu dihargai lebih urah dripada stelan desainer namun sejajar dengan produk kompetitor (Hager).

Lepas dari usaha-usaha pengembangan dan peluncuran yang berbiaya mahal, produk tersebut tidak berhasil, dan dukungan promosi ditarik dalam satu thun kemudian. Suatu investasi dalam sumber daya dan reputasi idak mendapatkan imbalan yang setimpal.

Sangat berbeda dengan Docker, produk celana pendek yang dimantapkan pada 1986 tanpa suatu kaitan yang kuat dengan Levi’s, telah mendapatkan keberhasilan yang mengejutkan. Celana cotton yang longgar di atasnya dan mengecil di bagian bawahnya, Dockers memberikan kesesuaian yang ”lebih longgar” pada baby boomer yang telah menanjak dewasa.

Mereka memberikan kenyamanan dan mode yang lebih besar dibandingkan jeans, namun terpisah dari jas. Kenyataannya, Dockers menjadi sebuah merek yang kuat, dengan asosiasi pada celananya yang unik dan pakaian kasual yang baru. Karena itu, nama Dockers mengilustrasikan keuntungan taktis dan strategis dan menciptakan sebuah nama baru.   

Sumber:
Aaker DA, 1991. Managing Brand Equity. Free Press


Tidak ada komentar:

Posting Komentar