Minggu, 25 Desember 2011

Mengapa Perusahaan Perlu Membangun Hubungan Jangka Panjang dengan Wartawan?


Dalam pelatihan media yang untuk perusahaan besar di Surabaya, dua pekan lalu, saya mendapat pertanyaan kritis dari seorang peserta. “Kita sudah membangun hubungan baik dengan media. Beberapa press release yang kami buat hampir semua dimuat media. Kalau kita undang, media juga hadir. Tapi kenapa pas kita ada masalah (baca: krisis, penulis) media kok terkadang malah memusuhi kita.”

Yang dimaksud penanya tentunya media masss konvensional. Sebab sampai saat ini meski media social berperan enting, namun kolaborasi dengan media massa konvensional untuk membuat suatu isu berkembang menjadi krisis masih memegang peran penting. Banayk kasus mengilustrasikan masih penting media massa konvensional. Ambil contoh kasus Prita dan sebagainya.

Media massa, baik konvesional maupun baru (media social) merupakan sumber utama informasi tentang risiko dan krisis bagi orang banyak. Karena itu, memperlakukan media sebagai musuh tidak hanya mengundang pertempuran yang tidak dapat dimenangkan, tetapi juga bisa berdampak menghilangkan saluran utama perusahaan yang mengalamai masalah dengan pemangku kepentingan, yakni public.

Artinya, jika media masih memiliki kesempatan mengakses informasi ke perusahaan, maka media tidak akan bergantung pada sumber informasi lain yang mungkin saja kredibel, tetapi kurang mengetahui situasinya secara mendalam. Media seringkali terpaksa menghubungi narasumber alternative untuk mengisi kekosongan informasi. Kenapa? Karena sekali lagi saya katakan bahwa untuk membuat suatu berita, media membutuhkan sumber. Nah, ketika sumber dari tangan pertama – alam hal ini perusahaan – tertututup, mereka akan mencari sumber informasi lainnya.

Dalam perspektif organisasi publik, media massa merupakan salah satu pemangku kepentingan (stakeholder), selain publik dan sebagainya. Dalam situasi darurat seperti bencana alam, kecelakaan, dan sebagainya, termasuk pemasalahan yang dihadapi perusahaan atau merek, banyak kelompok pemangku kepentingan yang mungkin memiliki pandangan dan kepentingan berbeda yang bisa saja saling mempengaruhi.

Dalam konteks ini, mensegmentasikan kelompok stakeholder dan harapan mereka terhadap komunikasi merupakan tantangan besar bagi organisasi publik. Oleh karena itu, kriteria yang bisa menggambarkan posisi suatu kelompok stakeholder dan peran mereka dalam komunikasi menjadi sangat penting. Secara umum, stakeholder dapat berupa suatu kelompok (atau organisasi) atau perorangan yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi guna mencapai tujuan organisasi (Freeman, 1984).

Implikasi dari teori ini adalah asumsi bahwa sejatinya, dalam situasi krisis, sejatinya komunikasi yang dibangun perusahaan termasuk dengan media selama krisis bisa membantu perusahaan keluar dari krisis.

Peran stakeholder dalam dalam komunikasi krisis organisasi dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, menurut teori ketergantungan sumber daya. Disini stakeholder dapat dipandang sebagai penjaga sumber daya (Pfeffer & Salancink, 1978). Kedua, teori bahwa krisis dapat menghancurkan reputasi organisasi (Coombs, 2006, 2007). Mengikuti premis ini, maka sejatinya komunikasi perusahaan bisa memperkuat relationship  guna memperkuat sumber daya dan mempertahankan citra positif perusahaan.

Bagi perusahaan, tujuan komunikasi krisis adalah untuk membantu memulihkan atau meminimalkan kerusakan citra dan harta benda, mencegah kepanikan dengan memberikan informasi yang berkaitan dengan situasi krisis, memfasilitasi pembuatan keputusan dan memperkuat efficacy diri dari setiap stakeholder.  

Ilustrasi yang bisa menjelaskan masalah ini adalah kasus yang menimpa Indo Mie tahun lalu atau Lumpur Lapindo. Dalam kasus Indo Mie ketika ditolak di Taiwan, sebagian public memang mencela Indo Mie, namun demikian pembelaan public terhadap Indo Mie juga tidak kalah gencarnya. Sementara itu dalam kasus lumpur Lapindo, sebagian ilmuwan juga terbelah tentang asal muasal munculnya sumur lumpur. Ada yang mengatakan karena gempa bumi, ada pula yang mengatakan karena kesalahan pengeboran.

Dalam kasus Indo Mie, efektivitas relationship yang dibangun produk Indo Mie benar-benar terbukti. Saat mencuatnya isu tersebut, pesan self-efficacy yang menjelaskan sesuatu yang dapat dilakukan untuk melindungi diri sendiri dan orang (dalam hal ini Indo Mie), misalnya dengan mengatakan “Hentikan polemik tentang IndoMie” banyak bermunculan. Pesan ini memberikan gambaran tentang loyalitas konsumennya membantu untuk mengurangi kurangnya kontrol terhadap peredaran produknya yang dilakukan IndoMie sehingga dapat membantu mengurangi kerusakan.
  




Jadi – dalam konteks media -- pada situasi yang buruk, media bisa menjadi sekutu terbesar atau musuh terburuk. Pengalaman menunjukkan bahwa membentuk hubungan jangka-panjang sebelum peristiwa negatif muncul sangat membantu dalam mencegah atau menghmabt suatu isu menjadi krisis.

Beberapa studi menunjukkan bahwa seringkali suatu relationship yang baik tidak mengarah pada perubahan perilaku segera. Seperti yang dikemukakan oleh penanya tadi, pada dasarnya hubungan yang dibangun sepert yang diceritakan oleh penanya tadi masih bersifat jangka-pendek. Ketika landskap komunikasi masih satu arah, mungkin saja model relationship tersebut masih efektif.

Namun, dengan berkembangkan media social yang memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah, short-term (ST) relationship nyaris kehilangan efektivitasnya.  Dalam short-term relationship yang selama ini yang dilakukan praktisi media relation hanya memberi input, antara lain berupa informasi satu arah dari perusahaan ke media tanpa terjadi interaksi atau komunikasi dua arah. Hal ini setidaknya tercermin dari laporan evaluasi yang sebagian besar hanya berisi laporan pelaksanaan program kampanye public relations.

Komunikasi dua arah ada bila misalnya media memiliki peluang atau kemudahan mengakses sumber infomasi kembali manakala ada persoalan baik yang berkaitan dengan input yang diberikan perusahaan kepada media atau persoalan atau isu lain yang mungkin muncul dan diketahui media.  

Ilustrasi lain adalah ketika pada 10 Desember 2011 lalu, ketika penumpang di Bandara Adi Sumarno, Solo, marah karena keberangkatan pesawat Garuda yang tertunda lebih dari enam jam. Melalui Twitter, para penumpang itu berkomunikasi dengan teman-temannya menginformasikan penundaan itu sambil sesekali menyalahkan Garuda. Penumpang yang kecewa juga menginformasikan kejadian itu kepada media massa. Bahkan ada rekan media yang menjanjikan menjadi suatu peliputan berita. Namun, sampai menjelang berakhir, tak satu pun media yang memberitakan hal itu, kecuali detik.com.






Tidak sekali ini Garuda “ditolong” media massa. Ketika terjadi pemogokan pilot tahun lalu, pemberitaan negatif tentang Garuda nyaris tak kencang. Kalau pun ada pemberitaan dari sisi pilot yang mogok, media berusaha untuk imbang. Bahkan tak sedikit media yang memberitakan tentang hal positif Garuda ketika terjadi pemogokan tersebut.


Sekadar informasi, tahun lalu, Majalah MIX memberikan penghargaan kepada  Pudjobroto, VP Corporate Secretary PT Garuda Indonesia, sebagai salah satu PR People of the Year 2010, pilihan jurnalis. Mereka dinilai positif karena mudah dihubungi, kooperatif dan komunikatif menjelaskan data dan informasi yang dibutuhkan para jurnalis. Mereka menyadari kedudukan jurnalis dalam konstelasi kepentingan komunikasi perusahaan. Sebagai representasi perusahaan atau institusi, mereka tahu betul, kapan harus memberikan penjelasan panjang lebar, kapan harus memberikan penjelasan secukupnya kepada para jurnalis--untuk disampaikan kepada khalayak yang lebih luas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar