Minggu, 22 Maret 2015

Akuisisi Merek yang Marak Kembali

Dalam beberapa tahun terakhir, akuisisi merek marak kembali. Pertanyaannya adalah bagaimana nasib merek setelah diakuisisi

Tiga puluh tahun lalu, Profesor Theodore Levitt dari Harvard Business School mengejutkan dunia pemasaran. Dalam tulisannya berjudul The Globalization of Markets yang dimuat di  Harvard Business Review, Levitt mengatakan bahwa teknologi membuat pergeseran preferensi konsumen sehingga mengalami konvergensi. Karena itu, bisnis yang sukses adalah yang memasarkan produk yang terstandar secara global. 
Argumentasi utama Levitt adalah bahwa globalisasi telah menyebabkan punahnya perbedaan tradisional dalam selera nasional. Ini memang bertentangan dengan paradigm pemasaran konvensional saat itu yang berpandangan bahwa perusahaan harus fokus menawarkan produk yang diinginkan pelanggan. Karena itu, syarat utama sevelum suatu perusahaan meluncurkan produk baru, produk baru tersebut harus diuji apakah sesuai dengan keingina  pasar atau tidak.
Namun Levitt memiliki ide yang menentang arus utama tersebut dengan mengatakan bahwa perusahaan harus menawarkan produk yang mereka antisipasi bakal diterima pasar, bukan produk  yang merespon permintaan konsumen. Menurut Levitt, pada kondisi seperti itu perusahaan harus mengetahui keinginan tersembunyi konsumen,  dalam arti konsumen sendiri belum yakin tentang apa yang sebenarnya mereka butuhkan.
Namun pasar selalu menggoda. Bayangkan saat ini kelas menengah global diperkirakan tumbuh dari 1,8 miliar pada 2010 menjadi 4.9 miliar pada tahun 2030.  85% dari pertumbuhan ada di Asia. Pendapatan segmen ini akan terus meningkat, sehingga nafsu belanja juga makin meningkat. Pertumbuhan fenomenal memacu pemasar global untuk memperkenalkan merek yang melayani secara khusus pasar Asia yang umumnya sensitive terhadap harga namun ingin yang lebih bagus.
Pada tahun 2010, Levi Strauss meluncurkan denim bermerek Denizen di China untuk memenuhi konsumen sadar anggaran yang lagi booming. Dengan diferensiasi yang sama, Burberry menjual merek Blue Label untuk pakaian dan sepatu yang tanpa diposisikan sebagai merek dengan kualitas rendah  karena sedikit eksklusif di pasar Jepang. Tujuannya telah menawarkan pakaian yang lebih pas dan mungil untuk konsumen usia muda di Jepang
Sementara beberapa pemasar memperkenalkan merek yang Asia-sentris, hampir semua pemasar dihadapkan pada persoalan keputusan strategis, apakah akan meluncurkan merek baru, memperluas yang sudah ada untuk kategori produk baru atau mengakuisisi merek lokal. Keputusan yang diambil berpotensi menjadi perangkap  meskipun jika dilaksanakan dengan baik dan hasilnya bisa saja sangat besar.
Peluncuran merek, secara historis, memiliki potensi kegagalan yang cukup tinggi dan biaya yang sangat besar. Sementara itu, ekstensi merek, jika tidak berhasil, dapat merusak ekuitas merek induknya. Bahkan probabilitas keberhasilan  pendekatan ini hampir fifty-fifty. Pendekatan alternative ainnya adalah dengan meluncurkan merek baru di Asia menjadi 'merek kedua' yang lebih murah, kualitas yang lebih rendah namun tetap berbau premium sebagai merek yang sudah ada. Pendekatan ini biasanya diadopsi karena konsumen di pasar ini cenderung sensitif terhadap harga.
Selain seperti yang dilakukan Levi Strauss dengan merek denim Denizen di China, banyak industri juga menerapkan startegi merek kedua ini untuk memenuhi konsumen yang sadar anggaran. Di industri penerbangan misalnya, pada pertengahan 2012 lalu, Singapore Airlines meluncurkan operator murah Scoot. Maskapai penerbangan yang baru ini tarifnya 40% lebih murah daripada operator layanan full service. Awalnya hanya menjalani rute di Australia dan China. Maskapai Australia, Qantas, juga  menerapkan strategi yang sama delapan tahun sebelumnya dengan peluncuran Jetstar.
Pendekatan kedua untuk beradaptasi dengan perubahan di lansekap pasar Asia adalah dengan mengakuisisi merek lokal. Pada tahun 2009, PepsiCo mengakuisisi Amacoco, produsen air kelapa terbesar di Brasil. Dengan akuisisi ini, perusahaan itu mampu memperluas basis pasar mereka tidak hanya di Amerika Latin tetapi juga di India dan negara Asia Tenggara lainnya.
Demikian pula, dalam upayanya untuk mendorong pemasaran produk air, teh siap minum dan produk jus buahnya, Coca Cola di China mengakuisisi merek lokal. Portofolio mereka sekarang termasuk Heaven and Earth  (minuman rasa the siap minum),Smart (jus berkarbonasi) dan 'Qoo' (jus non-karbonasi), berhasil menanamkan pengakuan dan kesadaran untuk merek-merek itu melalui lokalisasi produk.
Groupe Danone SA, perusahaan makanan Perancis, juga mengikuti  pendekatan ini. Mereka tidak hanya mengakuisisi merek lokal, juga mengembangkan produk baru untuk di bawah di China dengan merek sendiri seperti Mizone, air minum dengan rasa dan diperkaya vitamin. Dengan pendekatan ini memungkinkan perusahaan untuk memperkuat identitas merek mereka di pasar negara-negara berkembang.
Dalam perjalanannya, sejalan dengan globalisasi, akuisisi merek tidak hanya terjadi oleh perusahaan dari negara-negara maju. Perusahaan sukses dari negara-negara berkembang (negara-negara dengan image asal – country of origin -- rendah) berusaha untuk mengakuisisi perusahaan dari negara-negara maju (yaitu merek asal negara yang tinggi). Contoh dari ini adalah perusahaan baja terbesar di India, Mittal, mengakuisisi Perancis Arcelor (Craze dan Deen, 2006). Kemudian Lenovo mengakuisisi komputer IBM.
Dalam beberapa tahun terakhir dunia seakan dibanjiri oleh petualangan perusahaan-perusahaan dari Asia. Suntory baru-baru ini menyebabkan aduk dengan pembelian Beam -- salah satu anak usaha  Genting Group Malaysia (salah satu operator kasino terbesar di Asia) yang menjadi tulang punggung tempat judi di Nevada; Weetabix -- merek sereal terlaris di Inggris -- dilahap Bright Foods dari China,  sementara Manganese Bronzewarna , pembuat taksi hitam di London, telah bergabung dengan Volvo ke dalam Geely asal Hangzhou. Dan pada bulan April, Sanpower dari China membeli House of Fraser, salah satu department store terkenal di Inggris.
Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, akuisisi merek marak kembali. Tahun lalu misalnya, Indofood yang sudah memiiki merek Indomilk mengakuisisi Milkuat, merek susu cair untuk segmen anak-anak berusia 5-12 tahun dari Danone Dairy Indonesia. Milkuat juga memiliki banyak varian dengan harga terjangkau serta menjadi salah satu pemain utama di segmen produk susu cair. Sebelumnya, PT Tiga Pilar Sejahtera Food (TPSF) mengakuisisi merek snack taro beserta pabriknya dari PT Unilever Indonesia
Pertanyaannya adalah apa yang terjadi setelah merek-merek diakuisisi. Beberapa merek memang masih tetap Berjaya. Buavita yang diakuisisi Unilever dari PT Ultra Jaya, misalnya masih memimpin pasar. TPSF juga terus mengembangkan merek Taro. Dua tahun lalu misalnya, Taro melakukan brand activation “PetualanganTaro.” Melalui activation ini, Taro ingin menjadi snack favorit di kalangan anak-anak.
Peran akuisisi telah banyak dibahas dalam literatur manajemen. Strategi akuisisi ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan teknologi, akses pasar baru, atau membentengi posisi mereka di pasar saat ini. Selain itu, perusahaan memperoleh manfaat juga dengan memanfaatkan ekuitas merek yang diperoleh dari merek yang diakuisisi. Mengakuisisi merek yang sudah mapan, seperti jalan tol pertumbuhan bisnis. Ini karena bila membuat merek baru mereka harus mempelajari pasar lebih dulu dan itu pun tingkat keberhasilannya belum tentu tinggi.
Dari berbagai bahasan literatur tersebut, gambarannya adalah bahwa akuisisi merek adalah sebuah pertaruhan yang tak mudah. Terdapat beberapa bukti yang cukup bahwa sejatinya – paska akuisisi --  banyak akuisisi  yang gagal. Kasus Lenovo yang mengakuisisi divisi computer IBM menarik karena kedua merek mempunyai perbedaan persepsi yang berbeda. Sebagai merek asal China, persepsi Lenovo memang tidak sebagus IBM yang asal Amerika.  IBM memiliki citra yang baik, yakni asal Amerika Serikat dan memiliki reputasi untuk memproduksi produk yang baik. Di sisi lain, perusahaan pengakuisisi Lenovo meski kelompok produsen PC terbesar di Cina, namun menghadapi persoalan citra negara asal (yakni China) yang rendah. Hasil akhirnya, Lenovo memang masih merek terkemuka di Cina, namun Lenovo kehilangan pangsa pasar di Eropa dan Amerika Serikat.
Tahun 2011, Nestle Group, produsen makanan terbesar di dunia, menandatangani perjanjian kemitraan dengan produsen permen dan kue China, Hsu Fu Chi International Ltd.  Nestle berniat untuk mengakuisisi 60 persen saham di perusahaan Cina, kesepakatan senilai $ 1,7 miliar. Kesepkatan itu menjadikan transaksi yang ke-35 perusahaan asing mengambil alih merek China sejak trend itu terjadi. Itu  juga merupakan kali kedua  Nestle mengakuisisi perusahaan Cina. Sebelumnya, Nestle membeli 60 persen saham Yinlu Foods Group yang terkenal dengan makanan dan minuman kaleng nya.
Melalui pembelian itu, sebagian orang dalam percaya Nestle bermaksud untuk mendapatkan keunggulan kompetitif di industri permen dan kue pasar di China melalui pembelian. Akan tetapi, akuisisi ini memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat China, yang percaya bahwa merek Hsu Fu Chi akan hilang setelah akuisisi tersebut.
Ketakutan ini beralasan. Sebab pengalaman memberikan gambara bvanyaknya merek-merek yang hilang dari pasar setelah akuisisi. Merek domestik seperti Dabao (kosmetik), Robust (air mineral), Supor (kompor), Nanfu (baterai) dan Mini Nurse (kosmetik) kuat di pasar masing-masing sampai dibeli oleh perusahaan multinasional. Namun setelah diakuisisi, banyak dari mereka telah lenyap dari pasar.
Pada tahun 2003, L'Oreal membeli merek Mini Nurse. Sekarang, merek tersebut telah hampir menghilang dari pasar. Pada tahun 1994 Unilever menguasai Shanghai Toothpaste Factory dan menyewa hak operasional merek Zhonghua. Sekarang pangsa pasar pasta gigi Zhonghua tinggal di bawah 6 persen.
Sebelum diakuisisi, Maxam menguasai pangsa pasar nasional sebesar 20 persen. Pada tahun 1990, pemilik merek Maxam, Shanghai Jahwa Serikat Co Ltd, melakukan aliansi dengan SC Johnson Wax, dan merek Maxam di”simpan” alias dikandangkan. Shanghai Jahwa membeli  Maxam kembali pada tahun 1994 senilai 500 juta yuan ($ 77.640.000), tetapi merek telah kehilangan tempatnya di pasar.
Menyadari fenomena tersebut, Lu Renbo, Wakil Sekretaris Jenderal China Electronics Chamber of Commerce, mengatakan sebagian besar perusahaan China memang masih belum menyadari pentingnya perlindungan merek. Itu sebabnya, setelah diakuisisi oleh perusahaan asing, merek mereka menghilang. Intinya, banyak perusahaan asing yang hanya menginginkan saluran penjualan dan sumber daya pemasaran yang dimiliki oleh merek domestik sebagai jalan keluar berbagai kesulitan yang mereka jumpai di pasar domestic. Mereka mengakuisisi  bukan karena nilai merek domestik.
Terlepas motif akuisisi tersebut, bila perusahaan yang mengakuisisi memang ingin meningkatkan portfolio merek mereka, tantangan yang muncul setelah akuisisi ini adalah bagaimana  mengintegrasikan sumber daya mereka. Ketika perusahaan atau divisi milik perusahaan berbeda digabungkan, merek sebagai identitas perusahaan sering menyebabkan masalah.
Dimulai dengan bagaimana nama perusahaan setelah daikuisi turun ke rincian tentang apa yang harus dilakukan bila terjadi tumpang tindih dan persaingan antara merek yang dimiliki oleh perusahaan sebelumnya. Juga  bagaimana mendamaikan konflik akibat perbedaan budaya di belakang merek. Selain itu, kompleksitas akuisisi dalam hal industri yang berbeda, skala, dan reputasi merek lain menciptakan kesulitan akuisisi merek.
Untuk sukses, mereka juga harus menerapkan strategi perpindahan merek dengan hati-hati dengan fokus pada upaya mengurangi kekhawatiran konsumen terhadap merek baru yang dikembangkan yang merupakan hasil dari akuisisi dari perusahaan lain.
Citra merek merupakan isyarat ekstrinsik penting bahwa konsumen menggunakan citra tersebut untuk menghargai suatu merek. Citra yang baik dan reputasi yang baik harus berjalan beriringan. Mereka menciptakan kepercayaan dan keyakinan konsumen. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa citra negara-asal secara fundamental mempengaruhi strategi merek. Ini merupakan tantangan besar bagi perusahaan-perusahaan dari negara berkembang.
Pengaruh citra perusahaan yang memiliki citra rendah lebih berbahaya pada citra merek yang lemah dibanding brand image yang kuat, sehingga manajemen harus menyusun strategi untuk memisahkan merek dari negara-asal gambar jika mereka memperoleh merek lemah atau citra yang rendah akan menurunkan niat konsumen untuk membelinya.
Kualitas produk, strategi harga, dan strategi komunikasi pemasaran merupakan sumber daya sangat penting untuk membangun dan mempertahankan merek yang baik. Dari beberapa kasus akuisisi merek sterakhir, beberapa  perusahaan yang mengakuisisi memiliki sumber daya ini. Karena itu, seyogyanya memiliki lebih banyak peluang untuk lebih meningkatkan ekuitas merek paska akuisisi.
Pada 1990an, tekanan untuk membangun merek yang kuat membuat WalMart masuk ke pasar ritel kelontong. Itu salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap konsolidasi berlangsung di industri pada saat itu. WalMart ulang standar untuk efisiensi rantai pasokan, menyebabkan banyak perusahaan untuk mencari untuk mengembangkan skala ekonomi dan pasar secara geografis luas untuk bersaing dengan strategi branding dan distribusi nasional WalMart itu.
Pada saat yang sama, posisi WalMart sebagai pemimpin harga industri menekan pesaing untuk memegang garis pada harga, meskipun fakta bahwa gerakan umum menuju konsolidasi, yang akan meninggalkan industri dengan pesaing yang lebih sedikit, sehingga kedua harga dan margin keuntungan untuk meningkatkan.
Banyak pesaing menanggapi perubahan ini dengan mengejar pertumbuhan dengan akuisisi strategi. Safeway Perusahaan adalah contoh utama. Akuisisi mereka di akhir 1990-an termasuk Randall Food Markets yang berbasis di Texas, Carr (Alaska), dan Dominick (Illinois). Pada tahun 2001, Safeway menambahkan rantai Genuardi itu, melakukan bisnis di Pennsylvania, Delaware, dan New Jersey.

Safeway mengejar strategi merek akuisisi eksternal untuk membeli empat dan lainnya rantai toko tersebut. Nama merek dan pengakuan selalu menjadi bagian penting dari strategi Safeway.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar