Minggu, 27 Agustus 2017

Branding Masculinity


Akhir-akhir ini iklan memainkan peran penting dalam mengukir representasi gender yang lebih positif.  Tren pemberdayaan perempuan yang dikreasikan para penggiat merek yang berlangsung selama beberapa dekade terakhir ternyata tidak melupakan peran mereka dalam membentuk identitas laki-laki.

Dalam beberapa dekade terakhir, publik sering menyaksikan tubuh laki-laki di media dan aktivitas budaya populer. Dulu tubuh atau hal-hal yang merepresentasikan pria sering ditonjolkan pada moment-moment atau event tertentu. Ini setidaknya bisa dilihat pada iklan-iklan rokok, kelompok band, dan sebagainya.

Namun belakangan, pria mendapatkan eksposur yang makin tinggi bukan hanya dari tubuh mereka, tapi juga gaya hidup, preferensi konsumsi dan kebutuhan emosional mereka, terutama sejak kemunculan era metrosexual.

Pria secara bertahap menjadi seakan sejajar dengan wanita di papan reklame, fotografi fashion dan majalah. Ini bisa jadi sesuatu yang baru mengingat sampai beberapa tahun lalu, wanita selalu dimunculkan dalam iklan merek sehingga memunculkan kritik tentang eksploitasi atas gender tertentu. Kini kemunculannya diimbangi dengan kemunculan pria atau setidaknya mereka tampil bersama.

Meningkatnya peran pria bukan hanya dari sisi jumlah gambar pria yang meningkat. Ada representasi baru dalam budaya populer di mana tubuh laki-laki digambarkan secara ideal dan tersifat (Moore 1988; Simpson, 1994). Selain itu, di pasar konsumen di seluruh dunia, pasar produk yang didominasi oleh wanita seperti kosmetik, perawatan pribadi dan bahkan penyempurnaan tubuh, kini menarik lebih banyak konsumen pria.

Publik – terutama penggiat dan pemerhati ilmu sosial dan komentator budaya populer -- mungkin tidak terusik dan berada di luar kepentingan langsung pemasar jika bukan karena perubahan budaya dalam ekspresi budaya maskulinitas yang terjadi selama tahun 1990an. Beberapa pengamat mencatat bahwa pada dekade 1990-an dan 2000-an, maskulinitas menjadi komoditi dan dipasarkan (Kimmel 2012).

Mengutip pendapat Honey (1984), dalam buku Branding Masculinity: Tracing the Cultural Foundations of Brand Meaning, Elizabeth C. Hirschman menyatakan bahwa ketika wanita semakin memasuki wilayah kerja yang selama ini didominasi pria - baik dalam pekerjaan kerah biru dan profesional - dan juga benteng laki-laki tradisional lainnya - seperti militer dan olahraga profesional - maskulinitas itu sendiri menjadi "bermasalah." Hal itu juga terlihat saat Perang Dunia Kedua II, ketika wanita menduduki profesi "maskulin" (Honey 1984).

Lalu apa itu maskulin? Seorang pria tidak bisa lagi diberi label maskulin hanya karena dia melakukan pekerjaan manual, mengemudikan truk, bertugas di angkatan bersenjata, memegang jabatan politik, mengendarai mobil polisi atau memiliki bisnis. Wanita sekarang juga melakukan hal-hal ini - meskipun tidak dalam volume atau jumlah yang sama atau dengan otoritas yang sama.

Anda pernah menonton iklan Axe Deodorant Spray yang menunjukkan seorang lelaki muda memeluk setiap orang -- lelaki perespuan, tua atau muda -- yang dijumpai dengan penuh kasih? Iklan ini seakan menunjukkan perubahan atau pergeseran yang memperkaya konsep tentang maskulinitas.  

"Mengejar perempuan", menurut kajian Hirschman, menggambarkan tindakan maskulin. Tinfdakan ini sering disebut-sebut sebagai ciri maskulinitas Amerika (Kimmel 2012). Berpartisipasi dalam olahraga kontak seperti sepak bola, hoki, sepak bola, tinju /perkelahian/ bela diri, angkat besi/berolahraga dilihat sebagai maskulin, terutama kegiatan-kegiatan yang membutuhkan membutuhkan agresivitas sekaligus kemampuan atletik.

Fenomena ini, menurut Hirschman, memberi titik masuk bagi pemasaran produk bermerek maskulin. Dengan jangkar kerja maskulinitas tradisional yang makin terkikis, kesempatan itu memberikan pemahaman tentang perlunya mengemas maskulinitas dan mempromosikannya (Holt and Thompson 2005; Kimmel 2012), sama seperti feminitas yang berlangsung selama periode-periode sebelumnya (de Grazia 1996; Forty 1986; Kirkham 1996; Sparke 1995).

Pemasar mengiklankan bahwa sekarang seseorang bisa membeli maskulinitas dalam bentuk merek mereka (Buerkle 2011). Komentator budaya setuju. Faludi (1999), misalnya, menyatakan bahwa "manusia dikelilingi oleh budaya yang mendorong mereka untuk memainkan peran publik yang sebelumnya hampir tidak pernah ada. Selama ini peran itu hanya sebatas hanya dekoratif atau sebagai konsumen ... [Manhood]. Sekarang itu ditampilkan, tidak ditunjukkan" (Boudreau 2011).

Apakah budaya maskulinitas yang dimiliki oleh merek itu? Tidaklah cukup hanya untuk menyatakan atau mengklaim bahwa suatu merek maskulin atau hanya memarkirnya di samping koboi. Ada kelompok pria menyebut "bir" sebagai maskulin (dan memang hampir semua iklan bir menargetkan pria), ada juga menyebut “mengunyah tembakau” sebagai maskulin.

Deodoran Old Spice disebut sebagai produk perawatan pria maskulin. Ini cocok dengan kampanye komunikasi pemasaran Old Spice, "Smell like a man, man” hingga dikatakan kampanye berhasil menciptakan posisi maskulin. Hal ini menunjukkan kedua kategori produk dipandang sebagai cara untuk ditampilkan.

Dalam wilayah tertentu orang yang biasa memakai pakaian koboi saat tampil disebut maskulin. Koboi, tentu saja, adalah salah satu "ikon maskulinitas budaya" (Cawelti 1984).
Untuk busana, hanya Nike yang dianggap melambangkan maskulinitas. Ini adalah bukti yang kuat untuk iklan Nike dan upaya pemasaran lainnya. Meski mereka secara agresif mentarget wanita juga, Nike  berhasil menjadi merek jangkar, yakni konsumen pria.

Branding maskulinitas mengusulkan bahwa merek maskulin dibuat, bukan dilahirkan. Maskulinitas adalah cita-cita budaya yang dapat melekat pada berbagai produk dan merek dengan penggunaan simbol, ikon dan gambar yang sesuai. Dalam konteks ini, menurut Hirschman, harus ada persepsi publik tentang resonansi dan keasliannya jika pengelola merek menginginkan hubungan merek-maskulinitas diterima sebagai valid.

Sebelum konsumen laki-laki berusaha "menggantungkan diri dalam maskulinitas", mereka menerima merek yang diberi label maskulin bila ada bukti budaya bahwa memiliki keterkaitan keasliannya sebagai maskulin.  Jadi, kata Hirschman, dalam konteks maskulinitas, dua isu utama yang dihadapi pemasar adalah (1) Aspek budaya kontemporer mana yang dipandang maskulin oleh konsumen? (2) Merek apa yang diyakini mewakili itu?

Hirschman menulis buku itu berdasarkan lebih dari 300 wawancara yang dilakukan terhadap narasumber pria dan wanita di dua generasi - berusia 17 sampai 35 dan mereka yang berusia 40 sampai 60 tahun. Wawancara dilakukan pada orang-orang yang tinggal di dua wilayah yang sangat berbeda di Amerika Serikat, di daerah perkotaan timur laut dan pedesaan tenggara.

Apa yang kita pelajari adalah bahwa ada serangkaian kategori, sikap, aktivitas dan merek produk yang dipandang sebagai maskulinitas dalam budaya Amerika. Terlepas dari beberapa perbedaan regional dan gender - yang akan dibahas secara rinci - ada konsistensi budaya umum baik dalam arti dan representasi maskulinitas. Di atas dasar semiotika inilah upaya pemasaran yang dimaksudkan untuk membangun posisi maskulin di pasar menjadi pilihan terbaik.

Studi ini memperkenalkan prosedur induktif yang bergerak dari tingkat konseptual ke tingkat merek melalui serangkaian beberapa tahapan. Dengan demikian, pembaca tidak hanya mampu melacak kepercayaan konsumen terhadap maskulinitas tetapi juga untuk mengikuti kepercayaan ini melalui rangkaian aktivitas, objek, kategori produk dan, pada akhirnya, merek, diri mereka sendiri.

Hasilnya adalah pengertian yang jelas tentang seberapa atau tidak pentingnya merek tertentu terhadap asosiasi  pria maskulinitas dan identifikasi kategori produk di mana merek-merek ini berada. Buku ini juga menyoroti gerai ritel yang dianggap tepat untuk menemukan dan membeli produk dan merek maskulin.

Penulis seakan ingin mengatakan bahwa dia tahu merek dapat menarik maskulinitas dari lingkungan ritel mereka dan, sebaliknya, membawa merek maskulin membantu menciptakan suasana ritel yang diinginkan oleh konsumen yang mencari produk maskulin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar