Jumat, 04 Mei 2018

Dari Time Crunch Economy ke Leisure Economy



Bagaimana Perubahan Demografi, Ekonomi, dan Sikap Generasi Membentuk Kembali Kehidupan dan Industri Kita?

Febrian tak pernah menyangka bila hobi jalan-jalannya dan menulis bisa menjadi pekerjaan dan bisnis yang menyenangkan, menghasilkan dan membuat orang lain bahagia. Bukan hanya itu, perjalanannya yang gratis itu justru menghasilkan pendapatan.

Beberapa perusahaan mempercayakan mereknya kepada alumnus Jurusan Komunikasi Massa STIKOM LSPR itu sebagai ambassador. Salah satunya, Lumix, merek kamera digital keluaran Panasonic, perusahaan elektronik terkemuka di Jepang.

Fenomena Febrian memberikan gambaran tumbuhnya entrepreneur yang bisa mendorong pertumbuhan kelas menengah. Ini sekaligus menunjukkan makin tingginya tingkat ekonomi mereka sehingga muncul asumsi makin tingginya kemauan mereka untuk menyisihkan sebagian besar pendapatan untuk liburan atau nongkrong di kafe/mal.

Golongan kelas menengah milennials ini mulai menggeser prioritas pengeluarannya dari konsumsi barang ke konsumsi pengalaman. Kini mulai menjadi tradisi, rumah-rumah tangga mulai berhemat dan menabung untuk keperluan berlibur di tengah/akhir tahun maupun di hari-hari libur kejepit. Mereka juga mulai banyak menghabiskan waktunya untuk bersosialisasi di mal atau nongkrong di kafe sebagai bagian dari gaya hidup urban.

Kalau melihat ke tiga puluh tahun silam, apakah fenomena Febrian bisa ditemui? Untuk menggambarkannya, saya sengaja menulis alinea pendukung judul diatas saya ambil dari judul buku The leisure economy: how changing demographics, economics, and generational attitudes will reshape our lives our and our industries (John Wiley & Sons, 2007) karya Linda Nazareth.

Diakui atau tidak, selama tiga dekade terakhir, orang terjebak dalam situasi ekonomi kegentingan waktu (time crunch economy). Ekonomi yang menggambar situasi dimana orang seakan-akan kekurangan waktu. Orang sering dalam situasi keterburu-buruan. Orang yang dikejar-kejar pekerja yang semakin menumpuk dan segera diselesaikan sehingga dua puluh empat sehari sekan masih kurang.

Mereka berangkat bekerja jauh sebelum ayam berkokok, memegang cangkir kopi khusus yang disediakan oleh pabrikan mobil. Para pekerja menggunakan waktu istirahat mereka untuk mengantar anak-anaknya pergi ke pertandingan sepak bola, mengatur waktu untuk mengantar dan menjemput anak-anak pada hari-hari ketika mereka benar-benar tidak ada jadwal kegiatan ekstra di kantornya atau pas jadwal untuk mencuci mobilnya.

Dokter gigi menawarkan janji pukul 7:00 pagi, atau 7:00 malam. Makanan cepat saji, makanan beku, makanan restoran atau makanan kaleng yang untuk mengonsumsinya tidak membutuhkan waktu yang lama. Bahkan kalau ada makanan yang tidak perlu dimasak asal tidak meningkatkan risiko sakit juga dicari.

Mereka begitu sibuk dan kesibukan itu sering disampaikan ke orang lain yang seakan tidak percaya dengan kesibukannya itu. “Maaf saya telat datang ke pertmua karena saya harus menghadiri pertemuan lain.” Atau “Maaf hari ini saya sangat sibuk.” Kalimat itu diucapkan dengan tekanan khusus karena seakan orang tidak percaya kalau dia memang sibuk.

Itu gambaran generasi baby boomer, generasi yang lahir paska perang dunia kedua, sebelum tahun 1970an akhir. Mereka adalah generasi yang menjadikan ekonomi menjadi alasan bekerja yang penting, hasil tempaan dan didikan yang keras, sehingga juga menerapkan hal ini dalam hidup mereka, sering membanggakan pengalaman dan pengetahun praktis lapangan yang mereka miliki, disiplin tinggi dan sebagainya.

Generasi ini memang dikenal sebagai generasi pekerja keras dan idealis tapi kurang adaptif. Mereka hidup mandiri dan tidak bergantung pada keluarga. Pekerjaan penyiaran (broadcasting), TV dan radio sangat diminati pada masa ini.

Fenomena tersebut menghasilkan beberapa hal yang positif meski tidak semua. Selama beberapa dekade, dunia memiliki mayoritas penduduk yang bekerja — dan bekerja lebih lama lagi. Dalam banyak hal, itu sangat bagus untuk ekonomi. Perekonomian ketergesaan situasi itu juga menggerakkan banyaknya produk yang diperdagangkan, mulai dari pemegang cangkir hingga tiket spa selama tiga jam yang memenuhi kebutuhan konsumen untuk menghilangkan stres (dari semua aktivitas lainnya) dan penggunaan waktu yang efisien (lupa mendapatkan pergi untuk sehari penuh).

Namun, fenomena itu tersebut memberikan banyaknya pilihan yang seringkali membutuhkan waktu lebih banyak untuk memutuskan. Disini misalnya, apakah lebih baik makan di rumah atau makan di luar. Ini menyagut persoalan penilaian nilai, meski harus diakui banyak orang setuju bahwa menghabiskan lebih sedikit waktu di dapur, bisa menjadi hal yang baik.

Sekarang situasinya berubah. Paska 1980 mulai berangsung perubahan besar akibat perkembangan teknologi, khususnya mekanisasi dan otomatisasi kerja. Pekerjaan yang dulu diselesaikan secara manual dalam lima jam, dengan menggunakan mesin bisa diselesaikan dalam tiga jam, nahkan sekarang mungkin bisa diselesaikan dalam satu jam.

Ini memberikan peluang lebih banyaknya waktu yang dimiliki oleh seseorang. Tetapi bagaimana jika banyak orang tiba-tiba punya lebih banyak waktu? Bagaimana jika banyak orang menginginkan lebih banyak waktu? Bagaimana jika mereka mulai membuat keputusan bukan berdasarkan kecepatan — memilih hal-hal yang dapat dikonsumsi atau dilakukan dengan cepat, atau yang memungkinkan mereka melakukan sesuatu dengan lebih cepat — tetapi pada nilai-nilai lain? Hasilnya, seperti yang ditulis Linda,  menjadi radikal.

Konsumen ini membuat "ekonomi rekreasi" makin berkembang dan itu akan memengaruhi semua orang, mulai dari para pekerja, investor, perusahaan hingga pemerintah. Kenyataannya, ekonomi waktu luang sudah dalam proses, dan selama beberapa dekade berikutnya hanya akan bertambah banyak.

Jika Anda ingin berada di depan kurva, Anda harus memahami mengapa itu terjadi dan apa kemungkinan kejatuhannya. Berkonsentrasilah terlalu banyak pada ekonomi timecrunch dan Anda mungkin kehilangan perubahan ekonomi terbesar untuk memukul Amerika Utara dalam beberapa dekade.

Ini bisa dilihat fenomenanya. Generasi yang lahir paska 1970an akhir, mulai menggantikan generas baby boomer. Generasi ini dikenal sebagai generasi Y. Ungkapan Generasi Y mulai dipakai pada editorial koran besar Amerika Serikat yang dipopulerkan William dan Neil penulis buku.

Waktu generasi ini lahir, teknologi komunikasi tengah gencar dikembangkan. Ponsel dan internet belum terintegrasi, tapi sudah booming SMS, email, pesan instan (Yahoo Messenger, ICQ, dsb). Ketika generasi Y mulai remaja, muncullah media sosial seperti Friendster, MySpace, Facebook, Twitter. Games online juga mulai populer. Koneksi internet sudah mulai membaik dan mulai mudah diakses sehingga membuat generasi ini sangat kecanduan dengan internet.

Ketika mereka beranjak dewasa, datang Generation Net – Generation Z (lahir antara  1998 – 2010). Disebut juga dengan nama iGeneration, generasi net, atau generasi internet. Mereka memiliki kesamaan dengan generasi Y, tapi mereka mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet menggunakan ponsel, browsing denan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset (multitasking).

Yang mereka lakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Generasi Z ini sangat diuntungkan dengan kemajuan infrastruktur yang memungkinkan internet diakses mudah dan cepat, dan lumayan murah. Sejak lahir Generasi Z sudah berhubungan dengan beragam aplikasi internet. Sehingga generasi ini sangat mudah beradaptasi dengan teknologi komunikasi.

Orang melihat seakan masyarakat memiliki lebih banyak waktu. Mereka yang sedikit lebih muda dari generasi baby boomer bekerja lebih longgar dan masih sempat mengantarkan anak-anaknya  ke mana-mana, dan mereka bangga melakukan itu. Jika seseorang bertanya kepada Anda bagaimana Anda, Anda harus mengatakan, "Saya benar-benar sibuk" mungkin beberapa orang, terutama yang masih muda sedikit tertawa seakan menunjukkan pandangan yang mencerminkan penilaian atas ketdakmampuan generasi itu dalam bekerja secara efisien.

Perkembangan teknologi yang pesat, kemudahan akses dan penyebaran informasi memberikan peluang bagi orang-orang yang memiliki kemampuan seperti generasi net secara ekonomi berkembang. Semakin banyak orang yang merasa tidak perlu menjadi karyawan. Sebaliknya semakin banyak orang yang ingin menjadi entrepreneur dan bekerja tanpa keterkaitan waktu, bahkan kalau bisa dikerjakan di rumah.

Orang tidak menyangka bagaimana seorang remaja seperti Febrian, alumni STIKOM LSPR Jakarta, yang lahir dari keluarga yang nyaris melarang anaknya melanjutkan sekolahnya ke pendidikan tinggi karena keterbatasan dana, berkembang menjadi seorang yang berpenghasilan tinggi.  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar