Rabu, 12 Agustus 2020

Everything Is Figureoutable

 


Skor ujian dan ukuran pencapaian memberi tahu Anda di mana seorang siswa saat itu berada (kemampuan belajar), tetapi tidak memberi tahu Anda di mana nantinya seorang siswa akan berakhir. (Carol Dweck - Mindset: The New Psychology of Success)

Marva Collins adalah seorang legenda pendidikan Chicago, bahkan Amerika Serikat. Beberapa orang menganggapnya sebagai salah satu guru yang terhebat. Kenapa? Itu karena dia berhasil mengubah paradigma tentang belajar dan prestasi belajar.

Cerita tetang kehebatan Marva ini didokumentasikan dalam film TV Hall of Fame Hallmark Amerika tahun 1981 dengan judul _The Marva Collins Story_. Film TV tentang karya sepak terjangnya di dunia pendidikan nya yang menginspirasi itu dibintangi Cicely Tyson dan Morgan Freeman. Pada tahun 1994, Prince menampilkan Marva dalam video musiknya untuk albumnya berjudul "The Most Beautiful Girl in the World".

Bahkan ketika menyusun kabinetnya, Presiden terpilih saat itu Ronald Ragan yang terkesan dengan kemampuan, memintanya untuk menjadi Menteri Pendidikan. Namun, Marva menolak. Bukan karena dia tidak menyukai Reagan, melainkan karena dia ingin dapat terus mengubah stigmatisasi tentang kegagalan, ketidakmampuan, keterbatasan yang dimiliki siswa.  

Marva Collins adalah guru di Chicago Public School System. Dia mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem pendidikan dasar yang dijalankan saat itu. Dia kecewa karena banyak siswa yang ditolak masuk sekolah negeri karena nilainya kurang, displin rendah, dan label-label lainnya. Dalam pemikiran Marva, sistem tersebut mencegah anak-anak mencapai potensi penuh mereka.

Dari kekecewaan itu, dia bertekad aakan mendirikan sekolah sendiri. Keingian itu disampaikannya ke sang suami. Dia meyakinkan sang suami, Clarence, untuk membantunya memulai sekolahnya sendiri dengan mengubah apartemen lantai atas rumah mereka menjadi rumah sekolah satu kamar.

Ketika menanyakan tentang izin untuk mengadakan sekolah, dia terkejut mengetahui dan menyadari betapa ribetnya peraturan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Saat itu, setiap orang memang dapat mendirikan sekolah, tetapi untuk diakui oleh negara, dia harus mengajukan aplikasi.

Dia memutuskan bahwa dia tidak membutuhkan bantuan negara, dengan menyatakan bahwa dia tidak ingin siapa pun memberitahunya tentang cara mengajar. Dia diperingatkan bahwa banyak orang tua tidak ingin mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah yang tidak dikenal.

Namun tekad Marva telah bulat. Dia menggunakan dana pensiunnya sebesar $ 5.000 dan membuka Westside Preparatory School di Chicago, Illinois, pada tahun 1975. Untuk membiayai sekolah, siswa hanya iharapkan untuk membayar sesuai kemampuan mereka.

Tujuan Marva membuka sekolah itu adalah untuk menampung atau menerima siswa-siswa yang ditolak oleh sekolah lain. Biasanya, mereka yang ditolak itu diberi label mengganggu, tidak bisa belajar dan tidak bisa diubah menjadi lebih baik. Karena itu, misi Marva mendirikan sekolah itu adalah untuk membuktikan bahwa semua anak dapat belajar jika diberi perhatian, dukungan, dan instruksi yang tepat.

Suatu saat, seorang calon siswa bernama Erica, dengan diantar orang tuanya datang ke Marva. Ketika itu, usia Erica enam tahun dan dianggap sebagai kasus tanpa harapan. Erica berbagi, “Saya diberitahu bahwa saya terbelakang; saya dianggap tidak akan pernah bisa membaca."

Namun Marva tidak terpengaruh. Erica memulai studinya di Westside Prep, dan Marva memberinya keyakinan yang tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa dia sebenarnya bisa belajar membaca dan menulis. Ini bukanlah harapan atau keinginan dari Marva; itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Marva juga menanamkan pada Erica tentang disiplin, martabat, dan kerja keras tanpa henti.

Ketika acara 60 Minutes CBS memprofilkan Marva dan murid-muridnya sekitar enam belas tahun kemudian, Erica memang belajar membaca dan menulis, dan bisa. Dalam tayangan itu dipertontonkan Erica yang baru diwisuda dari Universitas Negeri Norfolk.

Anda mungkin percaya bahwa yang apa yang kita yakini tentang dunia bisa merusak dan bisa membangun. Ingat cerita bagaimana Thomas Edison? Suatu ketika seorang guru Thomas Edison mengatakan, Edison "terlalu bodoh untuk mempelajari apa pun." Namun apa yang terjadi beberapa tahun kemudian? Albert Einstein juga tidak bisa berbicara sampai dia berusia empat tahun. Bahkan dia  tidak dapat membaca sampai dia berusia tujuh tahun.

Bila kita percaya pada penilaian itu, bisa jadi membuat orang menyerah dan tidak akan perah berupaya mengubahnya.  Akan tetapi, ceritanya menjadi lain bila orang percaya bahwa hal itu bukan tidak bisa diubah. Nyatanya, Edison, Einstein, Erica atau Rica-erica lainnya bisa berubah menjadi pribadi yang tidak dibayangkan oleh sebagian orang.

“Everything Is Figureoutable!” kata Marie Forleo.  Sesuatu yang mungkin tampak sulit dilakukan untuk pertama kalinya, tetapi masih dapat dipecahkan dengan sedikit kesabaran dan penelitian. Dalam buku Everything is figureoutable itu, Forleo menulis, keyakinan kita mendorong atau menghalangi sesorang  untuk hidup dengan potensi maksimalnya.

Keyakinan juga menentukan apakah kita gagal atau berhasil, dan bagaimana sesorang mendefinisikan kesuksesan sejak awal. Bayangkan saja puluhan tahun keyakinan tanpa henti, tindakan, dan tekad yang dibutuhkan untuk memberi hak memilih bagi perempuan di AS.

Atau bayangkan yang terjadi bila keyakinan Presiden John F. Kennedy dan tim di NASA goyah. Bisa jadi sampai saat itu, bahkan sampai beberapa tahun atau saat ini, AS tidak memiliki kemampuan untuk mengirim manusia ke luar angkasa dan berjalan di bulan, sesuatu yang seratus tahun lalu tampak tidak masuk akal.

“Keyakinan adalah tempat semuanya dimulai. Itu adalah asal mula dari setiap penemuan luar biasa dan lompatan maju yang pernah dilakukan manusia dari sains ke olahraga hingga bisnis hingga teknologi dan seni,” kata Forleo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar