Senin, 26 Desember 2022

HAE RA DAN TUMINEZ




Kemarin saya bersama anak perempuan saya nonton drama Korea di Netflix. Judulnya, Black Knight: The Man Who Guards Me. Drakor yang dirilis pada 2017 ini dibintangi oleh Kim Rae Won, Shin Se Kyung, Seo Ji Hye, dan Jang Mi Hee.

Selain bintangnya yang ganteng dan cantik, settingnya – sebagaimana drakor-drakor lainnya – juga menawan. Ada daerah di Pegunungan Alpen dan sebuah desa di Slovenia, tempat tinggal Moon Soo Ho (Kim Rae Won), seorang pengusaha sukses yang memang tinggal di luar negeri. Bangunan rumah berbatuan di atas bukit khas putih dengan pemandangan pantai yang eksotika dan menarik.  

Seperti film-film lainnya, cerita dalam film itu penuh keajaiban dan khayalan. Setelah kematian orang tuanya, Soo Ho dibesarkan oleh sahabat ayahnya. Dia tumbuh dewasa bersama putri sahabat ayahnya tadi, Jung Hae Ra (Shin Se Kyung). Sejak orang tuanya mendadak bangkrut dan meninggal, hidup Hae Ra menjadi sengsara. Hae Ra hidup sederhana dan bekerja di sebuah agen perjalanan.

Cerita itu kemudian beralih dengan berbagai keajaiban. Orang mungkin membayangkan cerita itu tidak mungkin terjadi dalam dunianyata. Toh bagi saya ceritanya menarik. Selain didukug pemain yang ganteng dan cantik serta setting panorama kota ang menawan, seperti Drako yang lain, ceritanya selalu menampilkan kerja keras, intrik, bisnis kolutif yang sering bersinggungan dengan pemerintah (bandingkan dengan sinetron Indonesia), dan konflik yang seringkali berakhir dengan dua-dua memang tak ada yang kalah total.

Dimana khayalannya? Soo Hoo yang merasa dikhianati oleh sahabat ayahnya itu pergi sehingga bertemu dengan seorang perempuan misterius. Soo Ho yang hancur dan putus asa dinasehati perepuan itu, bahwa  keberuntungan besar sedang menantinya. Soo Hoo lalu bekerja keras sehingga apa yang dikatakan perempuan tadi menjadi nyata. Soo Ho berhasil menjadi pengusaha sukses.

Akan halnya Hae Ra, di tengah-tengah keputusasannya sebagai pekera di agen perjalanannya, dia bermimpi mendapatkan jubah merah yang dulu ayahnya pesan dari sebuah butik, Sharon Boutique. Jubah itulah yang mengubah nasibnya. Diawali tiba-tiba dia dipertemukan dengan Soo Ho, keberuntungan-keberutungan terus mengikutinya.

Masih di Asia, berbeda dengan cerita tentang Soo Ho dan Haera yang penuh khayalan. Di dunia nyata, seperti yang ditulis Whitney Johnson dalam buku Smart Growth: How to Grow Your People to Grow Your Company (Harvard Business School Publishing, 2022), ada Astrid Tuminez yang tampaknya dilahirkan dalam keadaan tak ada jalan seperti yang dialami Soo Ho atau Hae Ra. Kodisi kehidupan Astrid, sepertinya tidak mempunyai peluang untuk berubah.

Sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara, keluarganya pindah ketika dia berusia dua tahun dari desa pertanian terpencil di Filipina ke daerah kumuh yang penuh kekerasan di ibu kota provinsi, Kota Iloilo. Ayahnya berpenghasilan $ 50 per bulan, nilai yang orang tak bisa bayangkan bagaimana sebuah keluarga dengan jumlah keluarga sembilan harus hidup di daerah kota.

Ketika Tuminez berusia lima tahun, ibunya pergi, meninggalkan saudara perempuannya yang berusia lima belas tahun, Marley. Sebagai anak tertua, Marley, yang bertanggung jawab megurus adik-adiknya. Mereka tinggal di gubuk berlantai bambu di atas laut. Tidak ada air mengalir, sanitasi, atau listrik. Marley mencuci pakaian mereka dengan tangan. Mereka memasak makanan mereka — terutama nasi — di atas tungku tanah dengan kayu.

Ketika Johnson mewawancarai Tuminez untuk podcast Disrupt Yourself, dia mengatakan kepada Johnson, "Saya ingat harus memasak nasi pada usia lima hingga enam tahun, dan saya takut akan membakar gubuk kami." Pada kesempatan langka ketika mereka bisa membeli ayam, Marley menyembelihnya sendiri dan memasaknya di atas api terbuka. Dia membuat karamel susu kental manis untuk membuat permen bernama yema yang dijual saudara-saudaranya di sekolah—sekali-kali sumber uang tambahan yang bagus.

Perubahan terjadi ketika para suster dari ordo Katolik Daughters of Charity mengundang Tuminez dan saudari-saudarinya untuk bersekolah di sekolah khusus bagi anak-anak kurang mampu. Awalnya di kelas paling bawah, jauh di belakang siswa lain secara akademis, Tuminez ditempatkan di kursi terakhir, di baris terakhir kelas. "Di situlah anak paling bodoh duduk," katanya.

Tumirez bekerja keras untuk menyelesaikan tahun ajaran pertamanya di atas kelasnya, "duduk tepat di depan." Dia berkata, “Saya belajar membaca. Saya belajar mengerjakan angka. Saya terpapar ke seluruh dunia pembelajaran ini.… Itu adalah dongeng.” Di perpustakaan sekolahnya, dia mempelajari buku-buku tentang tempat-tempat yang jauh dan eksotis seperti New York. Tuminez berani bermimpi bahwa suatu saat nanti, dia akan tinggal di sana.

Sedikit sekali orang, jika ada (kecuali mungkin Tuminez), akan membayangkan bahwa suatu hari dia akan lulus dari Harvard (MA dalam studi tentang Soviet) dan MIT (PhD dalam ilmu politik), berbicara bahasa Rusia tanpa cela, menjadi seorang eksekutif di Microsoft, dan memimpin seorang Amerika universitas dengan lebih dari empat puluh ribu mahasiswa—di antara prestasi luar biasa lainnya.

Johnson pertama kali bertemu Tuminez ketika dia tinggal dan bekerja di kota yang dia impikan—New York. Dia baru saja menyelesaikan beasiswa Sekolah Kennedy di Moskow, bekerja dengan para reformis senior yang telah membantu meruntuhkan Tembok Berlin—orang-orang seperti Eduard Shevardnadze dan Mikhail Gorbachev. Inilah individu yang tak kenal lelah, tak tergoyahkan dalam tekadnya.

Johnson sempat kagum. Namun keheranannya kemudian cepat berlalu. Meski demikian, ketika pada saru kesempatan kebetulan Johnson bertemu dengan Tuminez di Bandara Boston beberapa tahun lalu, Johnson bertanya pada diri sendiri, "Apa yang menghidupkan Astrid Tuminez?"

Setelah mewawancarainya secara mendalam, sekarang saya tahu dia terdorong untuk mencapai potensinya. Ada kerinduan, dalam Nurani yang dalam, untuk belajar dan tumbuh. Seperti Tuminez, tulis Johnson, orang lahir ke dunia dengan praprogram untuk maju. Orang memiliki keadaan dan keingintahuan yang berbeda, tetapi dorongan yang sama. Keinginan kuat untuk berkembang adalah manusiawi.

Persoalannya, tulis Johnson, sisi lain kehidupan memiliki cara meredam keinginan bawaan orang untuk belajar. Sebagian bisa dipungkiri, orang sering mendapati dirinya mandek atau bosan di tempat kerja dan dalam kehidupan pribadi kita. Disinilah kendalanya. Agar seseorang menjadi berkembang dan maju, orang – seperti Hae Ra dan Tuminez -- termotivasi untuk berubah dan membuat kemajuan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar