Rabu, 15 April 2015

Misteri Harga Rp 50 Ribu



Banyak isu seputar marketing communication yang mucul dalam diskusi kelas di kampus, kemarin. Salah satunya adalah tentang harga produk. Yang menarik pembahasan ini lebih pada efek psikologi yang ditimbulkan oleh harga yang dipatok pemasar, baik di supermarket maupun di restoran.

Salah satunya adalah tentang bagaimana harga bisa mempengaruhi keputusan seorang konsumen untuk beli lagi (loyalitas) atau berhenti membeli di suatu outlet. Salah soarng mahasiswa mengatakan bahwa untuk konsumen restoran, harga psikologi benar-benar sengat berpengaruh. “Untuk orang Indonesia ada angka harga psikologis penting, Rp 50 Ribu.” Katanya.

Berdasarkan pengalaman, katanya, dalam memutuskan membeli atau makan lagi di suatu restoran atau  tidak sangat ditentukan oleh berapa yang dia bayar. “Konsumen akan merasa nyaman bila dia membayar makanannya di bawah harga Rp 50 ribu. Kalau mereka membayar dengan pecahan Rp 50 ribu da nada kembaliannya, mereka puas.”

Akan tetapi, lanjutnya, bila konsumen membayar dengan pecahan Rp 50 ribu dan dia masih harus menambah lagi uangnya, jangan harap mereka kembali. “Memang itu ada untuk konsumen yang sensitive terhadap harga. Tapi persoalannya jumlah mereka banyak,” katanya.

Dia lalu mengilustrasikan salah satu resto siap saja yang sampai dua tahun masih bagus penjualannya. Resto tersebut sekarang kewalahan karena munculnya pesaing dekat baru, Yushinoya. Awalnya, harga Yushinoya masih di atas harga resto tersebut. Namun dua tahun lalu, pelanggan Yushinoya bertambah banyak.

Kemudian, anak pemilik resto yang mulai kewalahan itu yang baru lulus sekolah di luar negeri mengambil alih penhelolaan restonya. Tahun lalu, resto itu direbranding habis. 

Tampilannya baru dan lebih ngejreng. Namun demikian pengunjung masih tetap saja tak bisa seramai dua tiga tahun lalu. “Saya melihat ada kesalahan pricing yang dilakukan resto tadi,” kata mahasiswa tadi. “Harganya sekarang di atas Rp 50 ribu. Secara psikologi ini memunculkan persepsi mahal,” katanya.

Harga memang persepsi. Dalam dalam proses pembeliannya, konsumen tidak hanya bersikap rasional tetapi juga irrasional. Ini karena adanya hal-hal emosinal yang terlibat dalam proses pembelian. Dalam memutuskan membeli atau tidak suatu produk yang ditawarkan dengan tingkat harga tertentu, konsumen seringkali mengandalkan persepsi.

Ini yang membuat menarik. Selama beberapa dekade harga-harga produk atau merek per satuan naik tanpa disadari oleh konsumen. Ini karena kenaikan itu disembunyikan di bawah ambang diferensial, atau titik stimulus perubahan dirasa cukup membuat seseorang menyadarinya bila ada perubahan. 

Ini karena selama ini konsumen tidak terlalu menggunakan hitung-hitungan matematis dalam membandingkan harga satu produk dengan harga produk tersebut sebelumnya.

Banyak aplikasi dimana marketer dapat memanfaatkan faktor psikologis ini. Dalam dunia ritel misalnya, ada dua hal yang sering digunakan sebagai senjata untuk bersaing melalui penetapan harga. Para ritel seringkali menggunakan taktik lost merchandising. 

beberapa produk yang sengaja dibuat sangat murah dan bila perlu rugi atau harganya di bawah harga pokok. Produk ini kemudian dipajang di depan dan diberi label harga yang besar. Konsumen yang masuk, akan segera melihat harga tersebut. Ritel berharap, sejak pertama kali masuk dalam ritel tersebut, sudah terbentuk persepsi bahwa ritel mereka memberikan harga yang relatif murah.

Banyak ritel terutama supermarket dimana pelanggannya adalah ibu-ibu rumah tangga yang sensitif terhadap harga, melakukan taktik pemasangan harga di bawah ambang psikologis. Ada produk yang diberikan harga Rp 9.999, Rp 49.999 atau Rp 99.959. Dengan harga ini, ingin ditunjukkan bahwa harga mereka belum menembus batas psikologis. “Masih di bawah Rp 10.000 atau di bawah batas ambang atas suatu produk”.

Seperti diketahui, kenaikan harga satuan mencerminkan peningkatan mata uang yang dibayarkan untuk per unit produk yang diperolehnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan hanya beberapa sen terhadap harga tanpa mengubah digit paling kiri (misalnya, berubah dari $ 2,95 ke $ 2,99, Thomas dan Morwitz, 2005). Taktik menaikkan  harga satuan ini disebut total price increase (kenaikan harga total).

Taktik tersebut juga sering dilakukan dengan menjaga harga produk dipersepsikan tidak berubah namun kontennya dikurangi dengan cara yang hampir tidak kelihatan. Misalnya, dengan tidak mengurangi ukuran paket fisik meskipun kontennya diturunkan atau mengurangi ukuran paket proporsional dengan ukuran aslinya (Chandon dan Ordabayeva, 2009). 

Anda tentu sering menjumpai kasus ini. Perhatikan kemasan bubuk detergen yang dulu satu kilo sekarang menjadi hanya 800 mg. Kenaikan harga satuan ini disebut taktik pengurangan konten. Misalnya, kopi Folgers baru-baru ini mengurangi paket populer kopinya dari tiga belas ons menjadi sebelas ons, namun harga produk tersebut masih sama.

Beberpa waktu lalu, ada penelitian yang dilakukan dengan menggunakan lima percobaan untuk menjelaskan mengapa harga yang berakhiran angka sembilan diakui sebagai signifikan lebih kecil dari harga satu sen lebih tinggi diatasnya. Studi ini dilakukan karena studi terdahulu (Monroe 2003 et al.) memiliki pandangan yang berbeda bahwa pelanggan tidak bereaksi terhadap sedikit perubahan harga.

Penelitian menunjukkan bahwa angka terakhir pada display harga itu penting (Anderson et al.). Ada beberapa fenomena yang menarik tentang bagaimana konsumen mempersepsikan harga yang terpampang di display. Pertama, fenomena ini terjadi ketika angka paling kiri berbeda. 

Kedua, jarak numerik dan psikologis target harga dan harga produk pesaing akan mempengaruhi efek digit sebelah kiri. Ketiga, efek angka sebelah kiri tidak hanya terbatas pada harga; itu juga bisa mempengaruhi persepsi pada jumlah angka lainnya.

Bila konsumen melihat display harga berakhiran angka sembilan, persepsi apa yang muncul dalam pikiran konsumen? Dalam beberapa kasus konversi dari suatu angka ke angka lain yang lebih besar, biasanya mempengaruhi ketepatan angka yang dikodekan (Dehaene 1997). 

Proposisi yang mendasari adalah bahwa pengolahan display angka dari kiri-ke-kanan mempengaruhi proses konversi besaran. Biasanya angka paling kiri dijadikan sebagai indeks besarnya harga.

Berikut ini adalah tiga efek yang mendukung proposisi. Efek angka sebelah kiri biasanya menekankan perubahan. Misalnya, digit sebelah digit daripada penurunan satu persen yang benar-benar mempengaruhi besaran yang dipersepsikan. 

Selama proses perbandingan, angka paling kiri memainkan peran penting. Pelanggan cenderung meremehkan besarnya harga yang berakhir dengan angka sembilan jika digit paling kiri adalah 1 dollar lebih kecil. Salah satu alasan yang mungkin untuk efek ini adalah bahwa proses encoding dimulai bahkan sebelum kita selesai membaca semua digit. Akibatnya, kita akan mempertimbangkan digit paling kiri menjadi besarannya.

Efek angka di sebelah kiri memang tidak berlaku untuk setiap situasi. Ketika mekanisme internal untuk membedakan antara dua nomor menjadi sulit, maka muncul efek digit sebelah kiri. Namun, jika mekanisme pembedaan itu bisa dilakukan secara mudah, efek digit sebelah kiri tidak aktif.

Fenomena dapat dijelaskan dengan efek jarak. Jika jarak yang dirasakan dari dua nomor lebih dekat, lebih banyak upaya (waktu) yang diperlukan untuk membandingkan besarnya mereka. Para peneliti berpendapat efek jarak akan menentukan efek digit kir dengan batas tertentu. Ketika perbandingan akan lebih sulit, otak kita akan membandingkan digit paling kiri secara langsung langsung. Sebaliknya, perbandingan gampang dilakukan, hal itu tidak akan terjadi.

Jadi bagaimana sebaiknya? Tak ada resep tunggal yang berlaku untuk semuanya. Suatu resep hanya berlaku untuk konsisi tertentu. Karena itu untuk menerapkan suatu strategi, pengenalan karakter konsumen dan lingkungannya adalah suatu keharusannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar