Sabtu, 09 Desember 2017

Mengapa Brand Page itu Bukan Komunitas?


Sebagian mungkin menyebut laman merek (brand page) dalam Facebook misalnya sebagai sebuah komunitas. Dalam penelitian, penentuan apakah laman merek termasuk dalam komunitas atau bukan menjadi penting karena berimplikasi pada hasil yang selanjutnya berimplikasi pada rekomendasi praktik. Hal ini disebabkan setiap pendefinisian yang berbeda akan menghasilkan indikator yang berbeda. Selanjutnya indikator yang berbeda akan menghasilkan temuan yang berbeda. 
   
Dalam penelitiannya tentang keterlibatan pelanggan, Gummerus et al. (2012) yang meneliti  perilaku pengguna terhadap merek di Facebook misalnya, menggambarkan laman merek sebagai "komunitas merek Facebook." Hasil penelitiannya kemudian memberikan gambaran bahwa dampak aktivitas sosial di halaman game Facebook tidak setinggi yang diharapkan meskipun penelitian tentang komunitas merek menyatakan bahwa hubungan pribadi antara anggota masyarakat menjadi sangat penting.

Gummerus e al. (2012) juga menemukan bahwa partisipasi aktif pengguna cukup rendah. Padahal dalam komunitas, anggotanya biasanya sangat aktif. Para penulis melacak ini kembali ke sifat permainan dan keengganan anggota untuk menerbitkan konten di Facebook. Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan apakah mungkin perlu membedakan antara komunitas merek dan laman merek di jejaring sosial.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Zaglia (2013) melakukan pendekatan netnografi untuk membuktikan keberadaan komunitas merek yang disematkan ke jejaring sosial. Facebook dipilih sebagai subjek penelitiannya. Penulis menyelidiki dua entitas berbeda di Facebook: subkelompok dan laman merek. Subkelompok terbentuk berdasarkan topik tertentu; bisa hobi, kawasan geografis, klub alumni atau merek tertentu. Halaman merek justru memiliki karakter papan bulletin (bulletin board).
Zaglia (2013) memilih menganalisis dengan cara membandingkan laman merek Canon Camera Malaysia yang memiliki 151.380 pengikut dan grup Canon Digital Photography dengan 108.259 anggota yang merupakan sub-kelompok di Facebook. Dalam penelitian eksploratifnya, Zaglia (2013) menemukan  indikasi kuat subkelompok berfungsi sebagai sebuah komunitas. Namun, temuannya tidak dapat diverifikasi pada laman merek Canon.

Berdasarkan itu, dia menyimpulkan bahwa laman merek adalah "bentuk komunitas merek yang lebih lemah." Temuan tersebut menyarankan (a) konseptualisasi yang berbeda untuk laman merek dan (b) diferensiasi dari komunitas merek. Muniz & O’Guinn (2001) mendefinisikan tiga karakteristik sebuah komunitas: kesadaran akan jenis, ritual – bersama dan tradisi -- serta tanggung jawab moral terhadap komunitas secara keseluruhan dan terhadap anggotanya masing-masing. Kriteria ini tidak berlaku untuk laman merek di jejaring sosial.

• Kesadaran akan Jenis:
Kesadaran jenis menyiratkan perasaan memiliki sesuatu yang unik dan membedakan anggota komunitas masyarakat dari yang bukan anggota. Di jejaring sosial (misalnya Facebook) sebaliknya, siapapun bisa "menyukai" laman merek. Ada akses yang tak terbatas ke laman merek. Tidak ada persyaratan selain profil aktif. Dengan kata lain, orang tidak harus menjadi pelanggan merek bila sekadar ingin mengikuti sebuah merek.

Pengguna dapat terhubung ke berbagai halaman merek di jaringan sosial. Rata-rata, pengguna online di Indonesia misalnya,  terhubung ke sembilan merek melalui jejaring sosial. Karena itu, merek yang membuat profil di jejaring sosial tidak memiliki pengguna secara eksklusif. Laman merek disematkan ke dalam jaringan hubungan antara pengguna yang merupakan teman atau keluarga. Hubungan ini biasanya juga ada di dunia offline dan tidak ada hubungannya dengan merek tapi dengan hubungan emosional antar manusia. Dalam komunitas merek "tradisional", hubungan antara pengguna hanya terbentuk karena merek yang mereka kagumi bersama. Orang-orang, yang menyukai merek yang sama di jejaring sosial, bahkan tidak perlu terhubung satu sama lain. Oleh karena itu istilah "komunitas" dalam konteks laman merek kurang tepat.

• Ritual dan tradisi bersama:
Ritual dan tradisi berbagi merupakan suatu kebiasaan atau praktik yang telah ada di dalam komunitas seiring dengan perjalanan waktu. Mereka ditetapkan oleh anggota dan memberikan panduan tentang bagaimana warga komuniktas tersebut perilaku. Melalui ritual dan tradisi budaya dan sejarah masyarakat diakui.

Pengguna yang memiliki sebuah profil di jejaring sosial (misalnya Facebook) dapat terhubung ke merek dengan cara mengklik "like" laman sebuah merek. Mereka kemudian mendapatkan informasi atau update cerita dan berita terbaru melalui newsfeed mereka.200 Dengan cara ini, mereka secara otomatis menerima informasi tentang merek secara teratur. Mereka dapat menelusuri laman merek dan mengirim komentar atau pertanyaan ke "wall" merek tersebut.

Karena itu, interaksi dapat dilakukan jika dimulai atau diinginkan oleh pengguna. Tidak ada kewajiban bagi pengguna untuk mengotorisasi akses merek ke profilnya. Oleh karena itu, hubungan antara pengguna dan merek di jejaring sosial dalam kebanyakan kasus "tidak terarah." 201 Dengan "menyukai" suatu merek, mereka dapat secara pasif mengkonsumsi konten yang disediakan oleh merek, namun mereka tidak harus aktif berkontribusi.

Pada akhirnya, tidak ada praktik umum yang dibagikan di antara pengguna. Laman merek terutama dioperasikan dan diisi dengan konten oleh perusahaan. Konsekuensinya, JAHN / KUNZ (2012) menyimpulkan bahwa motivasi untuk berpartisipasi dalam ritual dan tradisi komunitas merek berbeda dengan laman merek.

• Tanggung jawab moral
Tanggung jawab moral, menurut Muniz & O’Guinn (2001) mengacu pada peraturan tidak tertulis yang ada dalam budaya suatu masyarakat dan menyiratkan perasaan berkewajiban untuk bertindak demi masyarakat.

Laman merek di jejaring sosial sering digunakan untuk melampiaskan perasaan kecewa. Karena kritik tersebut terlihat oleh publik, pengguna mengharapkan umpan balik langsung dari merek. Dalam banyak kasus, pengguna lain tidak ikut mendukung kritik yang disampaikan kepada merek. Terkadang pengikut lainnya membela brand dan menjawab langsung ke pelanggan yang mengeluh. Oleh karena itu, rasa tanggung jawab moral di antara pengikut dalam laman merek tidak dapat ditiadakan sepenuhnya tapi jelas bukan karakteristik konstitutif laman merek.

Singkatnya, beberapa argumen mendukung perbedaan konseptual antara komunitas merek dan laman merek. Titik pusat perbedaan adalah adanya rasa memiliki dalam komunitas namun tidak muncul pada laman merek. Namun, laman merek dapat mengakomodasi bentuk komunitas. Subkelompok pengikut dapat membangun hubungan antara satu sama lain dan menciptakan rasa kebersamaan. Tapi hal tesebut tidak dapat digeneralisasikan. Oleh karena itu, perbedaan antara kedua konsep itu wajib dan membenarkan fokus sendiri untuk halaman merek.

Konsep Laman Merek
Laman merek dapat didefinisikan sebagai situs yang disiapkan oleh merek dalam jaringan sosial. Setiap pengguna bisa mengakses laman merek. Saat dia mengklik tombol "like", dia secara otomatis mengikuti laman merek dan mendapat update dari brand melalui newsfeednya.

Pengguna dapat mengkonsumsi secara pasif atau memanfaatkan kesempatan mereka untuk berinteraksi secara aktif dengan merek. Mereka juga dapat berkomunikasi dengan pengguna lain atau mengirim komentar, gambar atau video, mengajukan pertanyaan atau menggunakan aplikasi.
Beberapa laman merek mungkin bisa menciptakan rasa kebersamaan bagi sejumlah pengguna mereka.  Itu biasanya sangat interaktif. Laman merek lainnya sama seperti papan buletin tanpa interaksi sama sekali. Namun, mereka mungkin bisa menjalin ikatan dengan audiens mereka melalui konten informatif. Laman merek diintegrasikan ke dalam jejaring sosial (misalnya Facebook). Karena itu, sebenarnya media tidak dimiliki oleh brand maupun penggunanya.

Referensi:

Kleine-Kalmer B. 2016. Brand Page Attachment: An Empirical Study on Facebook Users’ Attachment to Brand Pages. Springer Fachmedien Wiesbaden 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar