Minggu, 24 Desember 2017

Wisdom of the Crowd


Tahun 2004, James Surowiecki menulis buku The Wisdom of Crowds: Why the Many Are Smarter Than the Few and How Collective Wisdom Shapes Business, Economies, Societies and Nations. Sebagaimana judulnya, tesis yang dibangun Surowiecke dalam buku itu adalah sebuah prediksi atau keputusan hasilnya akan jauh lebih baik bila keputusan atau prediksi itu didasarkan atas masukan atau sumbangan informasi atau pemikiran dari banyak orang yang independen ketimbang yang hanya berdasarkan pertuimbangan individu atau masukan sedikit orang, sekalipun individu tersebut pintar.

Pertanyaannya adalah informasi seperti apa yang bisa membuat keputusan atau prediksi menjadi efektif? Untuk itu Surowiecke mengajukan kondisi bahwa suatu informasi secara kolektif bermanfaat bila, pertama terdapat keragaman pendapat. Artinya, setiap orang harus memiliki informasi sendiri, termasuk interpretasi terhadap fakta yang mereka ketahui. Karena itu, Surowiecki menekankan perlunya keragaman di dalam suatu crowd untuk memastikan varians yang cukup dalam pendekatan, proses berpikir, dan informasi pribadi.

Kedua, orang yang memberikan informasi tersebut harus bebas merdeka. Ini berarti pendapat yang dikemukakan tidak dipengaruhi atau ditentukan oleh lain, termasuk orang-orang di sekitar mereka. Ketiga, desentralisasi. Disini, pendapat atau informasi yang disampaikan memiliki karakteristis kekhususan, termasuk yang didasarkan pada pengetahuan dan memanfaatkan pengetahuan lokal. 

Bencana pesawat ulang-alik Columbia 2003, menurut Surowiecke terjadi karena manajemen birokrasi hirarkis NASA yang menutup diri terhadap pendapat para insinyur tingkat bawah.
Kegagalan intelijen AS mencegah serangan 11 September 2001 sebagian karena informasi yang dipegang oleh satu subdivisi tidak dapat diakses oleh pihak lain. 

Argumen Surowiecki adalah bahwa sebenarnya para analis intelijen telah bekerja dengan baik saat mereka menentukan sendiri apa yang harus dikerjakan dan informasi apa yang mereka butuhkan. Namun karena ketertutupan birokrasi di diatasnya, membuat informasi yang disampaikan intelijen di lapangan menjadi percuma. Karena itulah, yang keempat, adalah adanya agregasi. Disini ada mekanisme dan aturan main yang berfungsi mengubah penilaian pribadi menjadi keputusan kolektif.

Untuk membuktikan bahwa kecerdasan kelompok mengalahkan kecerdasan individu, Surowiecki memberikan ilustrasi acara permainan TV Who Wants to Be a Millionaire? (di Indonesia, permainan ini tayag di RCTI dengan host Tantowi Yahya). Acara ini adalah sebuah pertunjukan sederhana. Seorang kontestan mengajukan banyak pertanyaan pilihan, yang secara berturut-turut semakin sulit, dan jika dia menjawab lima belas pertanyaan berturut-turut dengan benar, dia berpeluang mendapatkan hadiah $ 1 juta.

Gimmick acara itu adalah jika seorang kontestan bingung dengan sebuah pertanyaan, dia bisa meminta bantuan mealui tiga cara. Pertama, dia bisa memiliki dua dari empat jawaban pilihan ganda yang dihapus (jadi setidaknya dia akan memiliki lima puluh lima peluang jawaban yang benar). Kedua, dia bisa menelepon seorang teman atau kerabat atau seseorang yang menurut dia nilai paling cerdas yang dia kenal, dan meminta jawabannya kepadanya. Ketiga, dia bisa meminta bantuan penonton di studio, yang akan segera memberikan suaranya melalui komputer.

Setelah beberapa kali melakukan pengamatan atas acara itu, Surowiecki menyimpulkan bahwa ternyata pada dasarnya individu yang cerdas yang paling banyak menawarkan bantuan. Para "ahli" mempunyai keinginan yang besar untuk menawarkan jawaban yang benar meski dia berada di bawah tekanan setidaknya oleh keterbatasan waktu yang disediakan untuk memberikan jawaban itu. Dilihat lebih jauh, ternyata 91% jawaban yang diberikan oleh orang-orang punya pikiran bahwa mereka lebih baik bekerja dari pada duduk di depan pesawat televisi benar.

Sejak 1 Oktober lalu, channel FOX menayangkan serial berjudul Wisdom of the Crowd. Serial itu bercerita soal gagasan seorang entrepreneur sosial yang ingi memberdayakan masyarakat untuk menuntaskan pemasalahan di depan mereka. Idenya datang dari tulisan Surowiecki. Didorong oleh tekadnya untuk menemukan pembunuh putrinya, inovator teknologi Silicon Valley, Jeffrey Tanner, mengajak banyak orang masuk ke dunia baru dengan menciptakan platform digital bagi  orang-orang di seluruh dunia untuk berbagi dan mengevaluasi bukti-bukti penyelidikan kriminal secara terbuka.

Dia menggunakan perangkat lunak sebagai landasan untuk meluncurkan perusahaan baru dengan staf spesialis yang penuh gairah - termasuk petugas polisi beneran yang mencari pembunuh putrinya. Meski dia sendiri – sampai episode Senin kemarin -- gagal menemukan pembunuh putrinya, namun dia berhasil merevolusi cara masyarakat dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan di kawasan  Teluk San Francisco.

Sepintas tak ada yang baru dari gagasan dalam film serial yang tayang di Fox sejak 1 Oktober lalu tersebut. Namun penggunaan perangkat teknologi ditambah dengan unsur dramatisasi membuat serial itu menarik, minimal buat saya, sekaligus memiliki makna sosial yang tinggi, yakni bagaimana menggalang massa untuk menemukan solusi. Dengan perangkat teknologi terhubung melalui internet, semua pengguna teknologi internet dan smartphone bisa memberikan kontribusi atas pemasalahan kota, seperti bagaimana polisi mendapat sumbangan informasi dari warga untuk menemukan pelaku kejahatan pembunuhan, termasuk yang telah lama terjadi.

Dalam usahanya ikut membantu mengungkap kasus-kasus kejahatan seperti pembunuhan dan penculikan, Tanner dan teman-temannya yang tergabung dalam The Source dimulai dulu dengan menyebarkan misalnya, foto orang yang dalam beberapa hari tidak pulang ke rumah. Seperti halnya kita menyebarkan informasi melalui Facebook atau pesan langsung seperti WhatsApp dan sebagainya. Setelah foto dosebar, mereka menunggu respon informasi dari orang-orang yang terhubung yang jumlahnya mencapau 200 ribuan lebih dan tersebar di seluruh dunia itu.

Tak ada yang baru dari model penyebaran itu. Tahun 1980an, kita mengenal radio komunikasi antar penduduk. Konon seperti yang dikutip serial NCIS 15 yang tayang pukul 06.00 Senin kemarin, radio antar penduduk ini banyak membantu “menyambung kehidupan” karena menyebarkan informasi tentang peristiwa 9 September dan badai Katrina di AS. Dengan alat itu agen khusus McGee melacak an berhasil mengidentifikasi Ricochet yang diduga mengetahui pembunuh seorang marinir AS.

Tahun 1944, Departemen Kehutanan AS pernah mengalami kesulitan untuk mengatasi asap akibat kebakaran hutan yang tidak terkendali. Lalu, ide apa yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut? Menakut-nakuti? Membuat regulasi? Mengadakan hujan buatan? Tentu saja tidak. Departemen Kehutanan AS muncul dengan ide kreatif dengan menciptakan maskot bernama Smokey Bear di tahun 1944 yang disasarkan untuk mendidik generasi muda mengurangi kebakaran hutan. Smokey Bear berhasil menurunkan kebakaran hutan sebesar 80%.

Smokey Bear merupakan ikon AS layaknya Mickey Mouse atau Bugs Bunny. 95% penduduk dewasa dan 77% anak-anak 5-13 tahun di AS mengenali Smokey Bear dan memberikan inspirasi pembuatan maskot kampanye anti polusi bernama Woodsy Owl. Smokey Bear menjadi salah satu kisah komunikasi pemasaran tersukses di AS yang bertahan sampai tiga generasi. Bahkan akhirnya Kongres AS memutuskan menjadikan Smokey Bear milik pemerintah dibawah kendali Kementerian Pertanian.

Hal yang sama pernah dicoba dilakukan oleh KPK di Indonesia yang mencoba mengkomunikasikan ide anti-korupsi yang intangible. Ide yang cukup kreatif dilakukan melalui inisiatif awal yang bagus dengan komik “Pemburu Koruptor” Tiga tokoh utama ditampilkan yaitu Tara, Imel dan Tifa.  Meskipun hasilnya belum terlihat karena memang mengubah perilaku korupsi dalam perspektif pemasaran adalah sebuah pekerjaan jangka panjang, kreatifitas KPK perlu dihargai karena kreatifitas memang tidak ada batasnya.


Yang dilakukan Tanner, Departemen Kehutanan AS, KPK, dan mungkin Anda adalah sesuatu yang  sederhana namun kuat. Dalam situasi yang tepat, kelompok akan menjadi sangat cerdas, dan seringkali lebih pintar daripada orang terpandai secara individual. Suatu kelompok tidak perlu didominasi oleh orang-orang yang sangat cerdas agar bisa pintar. 

Bahkan jika sebagian besar orang dalam kelompok tidak terlalu mengetahui atau mendapatkan suatu informasi sehingga mereka lebih rasional sekalipun, itu masih dapat mencapai keputusan yang secara kolektif lebih bijaksana. Intinya semakin banyak kepala yang independen dan satu tekad adalah baik karena manusia bukanlah pembuat keputusan yang dirancang dengan sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar