Jumat, 03 September 2021

Moral Ekonomi Pedagang Pasar Tradisional




Suatu Sabtu di bulan Januari 2018, saya berbelanja makanan kucing di Pasar Bersih Sentul City Bogor. Kebetulan saat mau berangkat Dhyhan, anak saya, pesan untuk beli makanan kucing karena stok makanan kucing di rumah habis. Saya membeli sekantong makanan kucing dan sebungkus kopi Mukini dan Gayo di Toko Alisha Abadi.


Di etalase toko itu ada kopi pasak bumi. Saya ingin mencobanya. Namun mengecewakan karena ternyata segel bungkusnya sedikit terbuka. Tak masalah sebenarnya karena di dalamnya, kopi tersebut dikemas lagi dalam bentuk sache. Namun, buru-buru pramuniaga toko mengatakan, “Pak ini tidak dijual karena rusak. Pilih yang lain yang masih bagus segelnya saja Pak. Yang itu biar saya konsumsi sendiri.”

Luar biasa.. Ada kejujuran pada pramuniaga toko tadi sehingga tak mau merugikan konsumennya. Tak jadi membeli kopi pasak bumi, saya cuma membeli kopi biasa dan makanan kucing. Total yang harus saya bayar Rp 120 ribu. Saya memberi uang Rp 200 ribu dan menerima kembalian dari lelaki yang melayani pembeli di toko itu.

Belanja makanan kucing sudah, saya pun belanja telur. Kemudian pindah lagi ke penjual tahu dan tempe. Saya keliling pasar itu sekitar setengah jam-an. Saat saya belanja makanan tape uli dan kukus, tiba-tiba seorang remaja menghampir saya. Rupanya pelayan toko makanan kucing tadi.
Dia menyodorkan selembar uang Rp 50 ribu dan selembar Rp 100 ribuan kepada saya. “Lho?...” kata saya heran.

“..Iya Pak…Setelah saya hitung lagi, uang yang Bapak serahkan tadi ternyata tiga lembar Rp 100 ribu lengket. Ini kelebhan dan pengembaliannya… Pak,” katanya.

Subhanaallah… saya baru sadar rupanya kembalian yang saya terima di toko makanan tadi Rp 30 ribu jadi kurang Rp 50 ribu. Bahkan lembar yang serahkan juga kelebihan. Saya sendiri tak menyadari itu dan baru menyadari saat remaja tadi menyerahkan kekurangan uang kembalian itu. “Saya juga sudah lupa Mas… Sebenarnya Anda nggak ngembalikan juga nggak apa-apa, toh saya tidak sadar dan lupa.”

Jawaban yang muncul dari pelayan itu sungguh mencengangkan saya, “Tapi Allah tidak lupa dan mencatat bahwa saya curang dalam bertransaksi. Saya nanti diminta pertanggungjawaban saya.”… Masya Allah, dalam hati saya berkata, ternyata ada dan mungkin banyak pedagang muda yang jujur. Saya pun mengembalikan uang itu kepadanya. “Sudah..Mas ambil saja… saya ikhlas.” Namun dengan halus dia menolaknya. Biarlah Pak.. mungkin Bapak lebih perlu,” katanya berlalu setelah mengucapkan terima kasih..

Pengalaman itu mengingatkan saya tentang kajian moral ekonomi.  Dalam The Moral Economy of Trade: Ethnicity and Developing Market (1994:7), Hans Dieter Ever menyatakan bahwa dalam pasar yang didominasi oleh masyarakat petani umumnya dicirikan dengan tingkat solidaritas yang tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang menekankan tolong menolong, pemilikan bersama atas sumber daya dan keamanan subsistensi.

Moral ekonomi dibentuk dari norma dan sentimen mengenai tanggung jawab dan hak individu dan institusi sehubungan dengan orang lain. Norma dan sentimen ini jauh lebih tinggi dari sekadar masalah keadilan dan persamaan, dan lebih berorientasi pada konsepsi tentang kebaikan, misalnya mengenai kebutuhan dan tujuan kegiatan ekonomi.

Orientasinya mencakup pemeliharaan lingkungan. Istilah ekonomi moral biasanya diterapkan pada masyarakat dimana hanya ada sedikit atau tidak ada pasar. Oleh karena itu tidak ada persaingan dan nilai hukum. Intinya adalah aktivitas ekonomi diatur oleh norma mengenai tanggung jawab atas sebuah pekerjaan, apa dan seberapa besar mereka diperbolehkan untuk mengkonsumsi, mereka bertanggung jawab kepada siapa, kepada siapa mereka terikat dan bergantung (Thompson, 1971).

Dalam konteks pedagang pasar, berjualan atau bekerja adalah ibadah yang berkaitan langsung dengan Allah sebagai Tuhan merupakan suatu pegangan melakukan aktivitas perdagangannya. Konsep ini yang melatarbelakangi kenapa pedagang pasar tidak terlalu banyak mengambil keuntungan, menolong sesama pedagang bila ada barang yang dibutuhkan pembelanja kebetulan tidak ada di stok tokonya, dan sebagainya, termasuk konsep persaingan pedagang di pasar tradisional.

Ketika mengupas soal moral ekonomi, dalam Islam and the Moral Economy, Charles Tripp (2006) menjelaskan soal tanggapan terhadap kapitalisme. Moral yang dilandasi keyakinan terhadap ajaran Islam memberikan alasan sah kepada seorang atau sekelompok orang untuk bertindak dengan cara yang bertentangan dengan kapitalisme. Ini antara lain ditandai dengan bangkitnya sistem perbankan Islam.

Seperti yang dikatakan Braudel, istilah kapitalisme, terutama bersifat politis, pertama kali digunakan oleh beberapa pengkritik selama revolusi industri yang menggambarkan lapangan komersial dan keuangan yang relatif terbatas untuk menjajah semua kehidupan sosial dan ekonomi. Intinya terletak serangkaian negasi atau pengecualian, yang didasarkan pada pemahaman baru tentang properti dan tenaga kerja, dan semakin dimasukkannya perangkat hukum dan pemaksaan tatanan politik.

Proses ini dikritik secara keras oleh banyak orang. Proudhon (dalam Braudel, 1984), misalnya, menggambarkan kapitalisme sebagai sebuah rezim, yang didirikan atas kepemilikan pribadi, di mana modal, sumber pendapatan, pada umumnya tidak termasuk orang-orang yang berhasil karena kerja keras.

Dalam The Moral Economy of The Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia, James Scott (1976) mendefinisikan moral ekonomi sebagai pengertian petani tentang keadilan ekonomi dan definisi kerja mereka tentang eksploitasi--pandangan mereka tentang pungutan-pungutan terhadap hasil produksi mereka yang dapat ditolerir dan yang tidak dapat.

Menurut James Scott, petani akan memperhatikan etika subsistensi dan norma resiprositas yang berlaku dalam masyarakat mereka. Pelanggaran terhadap norma-norma itu dapat memunculkan kemasygulan dan perlawanan. Bukan hanya karena kebutuhan-kebutuhan tidak dipenuhi, akan tetapi juga karena hak-hak telah dilangar.
   
Etika subsistensi merupakan perspektif petani yang memandang tuntutan-tuntutan yang tidak dapat dielakkan atas sumber daya yang dimilikinya dari pihak sesama warga desa, tuan tanah, atau pejabat. Kriteria petani tentang etika susistensi adalah apa yang tersisa setelah semua tuntutan dari luar terpenuhi, apakah yang tersisa tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya—dan bukannya tingkat tuntutan-tuntutan itu sendiri.

Sejak tahun 1970an media keuangan dan kemudian media global melaporkan secara ekstensif perkembangan bank syariah yang cepat dan pembukaan fasilitas perbankan syariah oleh biluyan kapitalisme konvensional seperti Citibank dan Chase International. Insiatif perbankan bisa dianggap sebagai salah satu bentuk “perlawanan” terhadap sistem yang dianggap tidak sesuai dengan norma agama dan hal tersebut dibenarkan dengan mengacu pada perintah ajaran Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar