Minggu, 23 Oktober 2011

DIPLOMASI KULINER


Hari ini saya membaca rubrik Persona Harian Kompas. Isinya mengupas tentang gagasan William Wongso, penggiat dan chef kuliner Nusantara. William Wongso, “Saatnya Diplomasi Makanan.”  Sebagai pakar, William mengetahui persis potensi kuliner Indonesia sehingga dia yakin betul, kuliner Indonesia bisa membantu mengangkat brand Indonesia. Karena itulah, William – seperti ditulis majalah MIX-Marketing Communications edisi September 2011, merasa perlu mempromosikan kuliner Indonesia ke dunia internasional—dan dia memulainya sejak tiga tahun lalu, tanpa seorang sponsor pun. William lalu bercerita bagaimana ia mulai memperkenalkan Rendang ke dunia internasional. “

CULINARY DIPLOMASI


Diplomasi kuliner berfungsi sebagai suatu perekat dalam melakukan diplomasi budaya. Indonesia yang memiliki banyak ragam kuliner, bisa melakukan itu. Di beberapa negara di Asia, kesadaran akan pentingnya Gastrodiplomacy sebagai elemen penting destination branding telah muncul sejak satu dasawarsa yang lalu. Negara seperti Thailand, Korea, Singapura dan Taiwan sudah memiliki program yang khusus dibuat untuk memperkenalkan kekuatan kulinernya kepada dunia.

Pada 1959, pemerintahan Eisenhower melancarkan program Food for Peace (berdasarkan Undang-undang Publik nomor 480) dengan mengirim surplus produk makanan ke US luar negeri guna membantu negara-negara yang dilanda kelaparan.  

Tujuh tahun lalu, ketika sebagian wilayah Asia, termasuk Indonesia, dilanda tsunami, pemerintah AS juga mengirimkan bantuan darurat termasuk penyediaan stok pangan. Langkah ini secara tidak langsung ikut memoles citra pemerintah AS di mata internasional yang saat itu menjadi sorotan banyak negera, terutama negara dunia ketiga, paska keterlibatan mereka di Irak dan Afganistan. 

Selain bantuan dalam bentuk bantuan bahan pangan, Departemen Luar Negeri AS juga melakukan diplomasi kuliner dengan menggunakan karyawan Kedutaan Besar AS di luar negeri. Mereka memasak untuk mempromosikan resep Amerika di negara pos mereka masing-masing,

Di Praha, ibukota Ceko, diplomasi kuliner AS dilakukan oleh para staf Kedutaan Besar-nya dengan mengunjungi sekolah-sekolah kuliner. Mereka mengajar mengajarkan siswa Ceko tentang resep tradisional Amerika seperti roti daging, kentang tumbuk, sambil membahas berbagai aspek kehidupan di Amerika. 

Beberapa staf Kedutaan Besar AS juga muncul di televisi Armenia untuk menawarkan penghargaan dan mengumumkan pemenang lomba resep makanan berbahan cabai. Sambil tampil, lagi-lagi para staf kedutaan itu membahas kehidupan di America. Tak lupa pula mereka mengutip pepatah lama yang menjadi kata kunci diplomasi publik Amerika, yakni "… to taste us is to love us."

Boleh jadi diplomasi kuliner itu sudah kuno sebagai jalan untuk melakukan pertukaran budaya. Dibandingkan konteks  kerjasama perdagangan, kuliner telah sejak dulu digunakan sebagai alat diplomasi. Artinya, sejak dulu orang sudah melakukannya, seperti yang dilakukan Eisenhower.

Diplomasi kuliner berfungsi sebagai suatu perekat dalam melakukan diplomasi budaya. Ini karena kuliner memungkinkan orang untuk ambil bagian dalam adat istiadat universal sambil menyoroti kesamaan atau memperkenalkan perbedaan. Kuliner juga dapat mempromosikan nilai-nilai atau perbedaan eksotis bangsa. Ini karena mengkonsumsi makanan merupakan sebuah pengalaman yang universal.

Dalam buku PLACES: Identity, Image and Reputation, pakar nation branding Simon Anholt menceritakan pengalaman perdebatan tentang nation branding pada konferensi tentang diplomasi public di Inggris, Maret 2007. Dalam konferensi itu, peserta berdebat soal hubungan antara diplomasi publik dan competitive identity.

Para peserta melihat persoalan itu dari sudut pandang yang berbeda. Yang pertama melihat dari perspektif hubungan internasional dan yang lainnya dari sudut yang lebih komersial. Anholt sendiri melihat diplomasi publik sebagai subset (irisan) dari competitive identity. 

Dalam konteks ini Anholt, secara tidak langsung ketika seseorang menampilkan dirinya ke orang lain dan berada di negara lain, pada dasarnya mereka menampilkan competitive identity bangsa. Sementara itu, diplomasi publik sejatinya lebih mempresentasikan kebijakan pemerintah kepada publik negara lain.   

Menurut teori competitive identity, kebijakan pemerintah hanya satu titik dari enam komponen yang membangun image suatu bangsa. Dari sudut pandang ini, diplomasi public mencerminkan salah satu  aktivitas nasional, sementara competitive identity yang menyelaraskan menyelaraskan kebijakan, orang, olahraga dan budaya, produk, pariwisata, promosi perdagangan dan investasi serta talenta.

Pada 2002, begitu mengetahui di banyak negara terdapat restoran Thailand,  pemerintah Thailand melancarkan program kampanye Global Thailand sebagai cara untuk meningkatkan jumlah restoran Thailand. 

Kenapa pemerintah Thailand terlibat aktif dalam kuliner? Pemerintah Thailand melihat bahwa ledakan jumlah restoran Thailand di beberapa negara, tidak hanya memperkenalkan makanan Thailand yang lezat pedas kepada ribuan orang dan membujuk lebih banyak orang untuk mengunjungi Thailand, namun secara halus bisa membantu meningkatkan hubungan Thailand dengan negara-negara tersebut.

Beberapa waktu lalu, Korea Selatan melancarkan Diplomasi Kimchi dan Taiwan meluncurkan Diplomasi Dim Sum. Disini pemerintahnya terlibat dalam diplomasi kuliner untuk membantu meningkatkan pengakuan global atas nation brandnya. Sementara itu, negara lain telah mulai menggunakan pasar malam sebagai alat untuk melakukan diplomasi public. Malaysia misalnya baru-baru ini mendirikan sebuah pasar malam di tengah-tegah London Trafalgar Square.

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam banyak hal, seyogyanya Indonesia bisa memanfaatkan dilpomasi kuliner. Ini karena derah-daerah di Indonesia menyimpan kekayaan kuliner khas, termasuk rempah-rempahnya yang sejak dulu menjadi rebutan negara-negara Eropa.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mulai kampanye diplomasi kuliner  di Amerika Serikat. Melalui Kedutaan Besar Indonesia di Washington, Indomesia membentuk  suatu  Restaurant Task Force in 2008 guna membantu mempromosikan restoran Indonesia serta meningkatkan kesadaran bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang kaya kuliner. Selain itu, keberhasilan buku dan film "Eat Pray Love" oleh Elizabeth Gilbert membantu dalam membuat dunia melihat khazanah kuliner Indonesia.

Agustus 2011 lalu, KBRI di Kolombo, Sri Langka, bekerja sama dengan Discovery Kartika Plaza Hotel-Kuta, Sanggar Seni Indah Prima-Legian dan Taj Samudra Hotel-Colombo menyelenggarakan the 2011 Indonesian Food Festival , di restoran Latitude, Taj Samudra Hotel. Beberapa hari lalu, rending dan nasi goreng dinobatkan sebagai masakan terfavorit di dunia. Dengan demikian, sekarang adalah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk memulai kampanye diplomasi kuliner yang kuat.

Mengingat kuatnya hubungan antara kuliner dan identitas, tidak mengherankan bila ada anggapan bahwa makanan telah menjadi penanda tempat penting dalam promosi pariwisata. 

Salah satu alasan mendasar tentang ini adalah hubungan yang kuat antara lokasi tertentu dan jenis makanan tertentu. Hughes (1995: 114) menunjukkan adanya hubungan alami antara lokasi di suatu daerah, kondisi iklim dan karakter makanan yang dihasilkannya. Dengan kata  lain, perbedaan  geografis mengekspresikan kekhasan daerah dalam tradisi kuliner .

Kuliner daerah memiliki potensi besar sebagai sarana untuk mengembangkan dan memasarkan daerah pariwisata ke seluruh dunia. Jika keahlian memasak bisa dihubungkan dengan negara atau wilayah tertentu, maka keahlian itu dijadikan sebagai alat pemasaran pariwisata. 

Dalam pandangan wisatawan, keaslian selalu dipandang sebagai sebuah aspek penting dari pariwisata. Dan mencari makanan local atau regional yang 'otentik' dapat menjadi motif untuk mengunjungi negara atau daerah tujuan tertentu.

Banyak negara dan wilayah di seluruh dunia mulai menyadari potensi ini dan menggunakan keahlian memasak ke pasar sendiri. Boyne et al. (Bab 6) dan Jones dan Jenkins menunjukkan bahwa makanan bisa digunakan sebagai kendaraan untuk reposisi Skotlandia dan Wales misalnya. Dua wilayah tersebut telah mengembangkan program pemasaran yang sama: "A Taste of Scotland 'dan' A Taste of Wales '.

Inisiatif kampanye pemasaran A Taste of Scotland bisa menciptakan sebuah skema baru dalam hubungan antara  perusahaan dan penduduk setempat. Disini perusahaan yang berpartisipasi setuju menyediakan hidangan 'tradisional’ atau menggunakan produk yang dikenali dan bisa didapatkan di Skotlandia. (Hughes 1995: 114).

Hughes berpendapat bahwa skema Taste of Skotlandia berhasil membangun sebuah legenda makanan untuk Skotlandia. Legenda ini kemudian dapat digunakan sebagai alat pemasaran. Skema serupa juga dapat dijumpai di daerah lain. 

Di Alto Minho, sebuah wilayah di Portugal, misalnya, badan pariwisata wilayah itu mencetak buku resep  untuk memberikan pengunjung kesempatan untuk 'membuat memori tentang makanan yang dinikmati di wilayah itu menjadi abadi. Edwards et al. (2000: 294)  berpendapat bahwa kuliner merupakan elemen penting dari citra merek Alto Minho. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar