Selasa, 15 Desember 2015

Jangan-jangan Kini Waktunya Me-rebranding Perguruan Tinggi Anda


Apa yang dilakukan perguruan tinggi ketika menjadi tidak relevan? Bagaimana mereka menghidupkan kembali dan memposisikan mereka dengan cara yang segar dan mengasyikkan?

Anda sudah membranding perguruan tinggi Anda. Tapi apa jadinya bila pesaing Anda juga melakukan branding, menawarkan keunikannya, dan sebagainya? Bisa dipastikan, bila tidak diper”barui”, merek perguruan tinggi Anda bisa-bisa tenggelam.

Perguruan tinggi Anda kini beriklan. Padahal dulu jarang atau bahkan tidak pernah. Tapi, jangan bangga dulu. Coba iseng-iseng Anda bertanya, perguruan tinggi mana yang sekarang tidak melakukan branding?

Bahkan perguruan tinggi yang masuk favoritpun kini beriklan. Anda ingat beberapa waktu lalu Univesitas Gajah Mada memasang iklan setengah halaman di harian terkemukan di Indonesia? Itu mengindikasi bahwa perguruan tinggi sekarang sadar pemasaran dan branding.

Bahkan dalam hal pemasaran, kini banyak perguruan tinggi yang lebih maju. Anda beriklan, pertanyaannya adalah apa yang Anda dapatkan dengan beriklan? Apa yang terjadi bila seentara Anda sibuk beriklan, perguruan tinggi lainnya sibuk masuk ke sekolah menengah mencari calon mahasiswa.

Perguruan tinggi lain melakukan program insentif bagi mahasiswanya yang merekomendasi dan mendapatkan calon mahasiswa. Intinya, banyak perguruan tinggi yang kini tak lagi mengadlakn satu tool komunikasi pemasaran. Mereka berusaha sebisa mungkin memanfaatkan semua tool keomunikasi pemasaran dan mengintegrasikannya untuk mencapai satu tujuan, mendapatkan mahasiswa baru sebanyak-banyak.

Para pengekola perguruan tinggi makin menyadari bahwa untuk bisa bersaing, mereka harus membedakan dirinya dengan pesaingnya dengan branding. Karena itu merek berrusaha sebanyak mungkin melakukan aktivitas branding. Ini karena mereka merasa perlu bahwa perguruan tinggi yang dikelolanya harus bisa dibedakan dengan pesaing sehingga menjadi unik dan mudah dikenali.

Implikasinya bisa jadi muncul pergeseran perguruan tinggi yang dulu favorit, mulai ditinggalkan.
Suatu perguruan tinggi dulu mempunyai keunggulan kompetitif karena keunikannya. Sebagai perguruan tinggi berkelas dunia misalnya. Kini bisa dipastikan, makin banyak perguruan tinggi yang mengklaim sebagai perguruan tinggi berkelas dunia, sejalan dengan makin banyaknya perguruan tinggi nasional yang masuk dalam peringkat perguruan tinggi dunia.   

Pada dasarnya perguruan tinggi sebagai brand dibangun dari identitas yang ditampilkannya. Bila perguruan tinggi Anda ingin dikenal sebagai perguruan tinggi kelas dunia misalnya, maka identitas yang harus Anda tampilkan adalah identitas keinternasionalan, mulai dari komposisi mahasiswa, logo, bahasa pengantar, dosen, kegiatan dan prestasi social serta lainnya.

Idetitas memunculkan persepsi-persepsi yang dalam kaitannya dengan merek disebut citra merek dalam benak audiensenya. Idealnya,antara identitas dan citra merek haruslah selaras. Bila tidak terjadi keselarasan maka disini diperlukan re-branding.

Pada awalnya, merek-merek melakukan rebranding untuk mengatasi masalah persaingan. Ketika banyak perguruan tinggi seperti UI dan UGM, Institut Teknologi Bandung (ITB) membuka program magister manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB) mendirikan program serupa. Namun berbeda dengan perguruan tinggi lainnya, sesuai dengan kompetensinya, IPB mem-branding programnya sebagai MMA (Magister Manajemen Agribisnis). 

Dalam perkembangannya, strategi re-branding diterapkan untuk beradaptasi dengan perubahan. Sebab hampir dipastikan dalam situasi lingkungan yang berubah, suatu strategi positioning yang memadai pada kurun tertentu, menjadi tidak relevan karena perubahan oleh waktu, umur pasar target, dan melemahnya asosiasi-asosiasi yang semula kuat.

Ambil contoh, dulu di beberapa perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau jurusan admisnistrasi, dengan bangga memiliki program studi administrasi niaga. Namun, sejalan dengan makin berkembangnya bisnis, pasar menuntut perubahan nama administrasi niaga menjadi administrasi bisnis. Dulu di hampir setiap fakultas di Institut Pertanian Bogor memiliki jurusan sosial ekonomi. Di dalam jurusan tersebut terdapat banyak major. Namun dalam perjalanannya beberapa major dipilah dan  dilebur ke dalam Fakultas Ekologi Manusia.  

Berdasarkan pengalaman ujian tulis SNMPTN 2010, Ketua Panitia Pusat SNMPTN 2011, Herry Suhardiyanto menuturkan lima prodi populer atau favorit dan empat prodi kurang populer. Prodi populer yaitu, Prodi Pendidikan Dokter (Fakultas Kedokteran), Prodi Sistem Informasi (Fakultas Ilmu Komputer), Prodi Teknik Tambang (Fakultas Teknik), serta Prodi Akuntansi dan Prodi Manajemen (Fakultas Ekonomi). Sedangkan prodi tidak populer atau kurang diminati adalah, Prodi Peternakan dan Prodi Pertanian (Fakultas Pertanian dan Peternakan), Prodi Sastra Daerah dan Prodi Sastra Indonesia (Fakultas Sastra). (Padang Ekspres, 29/06/2011).

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa suatu strategi positioning bisa juga mengalami kondisi sangat lelah. Segmen target menjadi jenuh yang ditunjukkan oleh makin kurangnya minat masyarakat untuk memilih fakultas tersebut. Situasi ini benar-benar paradox mengingat Indonesia sering disebut sebagai Negara agraris, namun di sisi lain, fakultas yang sejatinya berfokus pada bidang tersebut mulai ditinggalkan.

Disinilah perlunya menciptakan asosisasi-asosiasi dan segmen baru yang diperlukan untuk menggairahkan kembali pertumbuhan pasarnya.  Dalam branding produk, suatu produk yang matang kadang-kadang menjadi komoditas. Tekanan harga membuat perusahaan tidak mendapatkan laba. Salah satu pendekatan untuk memulihkannya adalah memposisikan ulang komoditas tersebut sebagai produk bermerek yang mengalami perubahan.

Dalam konteks branding, perguruan tinggi saat ini dituntut untuk melakukan reposisitioning karena mereka mengalami situasi  – yang disebut Jack Trout – sebagai krisis mikro. Saat ini hampir semua perguruan tinggi harus menyesuaikan rencana mereka dengan lingkungan mereka yang berubah. Ini karena beberapa perubahan lingkungan yang kemudian menciptakan krisis internal.

Lingkungan perguruan tinggi kini berubah total. Salah satunya dapat dilihat dari beberapa tren yang belakangan berkembang. Tren yang paling penting dalam branding pendidikan tinggi dan pemasaran adalah lembaga pendidikan tinggi kini makin memperhatikan fungsi pemasaran dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi yang mempekerjakan profesional pemasaran dari dunia usaha, termasuk CMO, dan telah menginvestasikan waktu dan uang untuk menciptakan merek kelembagaan yang kuat.

Universitas Pelita Harapan misalnya, sejak 2014 mengangkat Budi Legowo sebagai Wakil Presiden Pemasaran untuk Hubungan Eksternal dan Pengembangan Usaha. Sebelum bergabung ke Pelita Harapan, Budi memiliki eksposur yang luas untuk bisnis di Asia Tenggara; serta pengalaman di bidang strategis dan manajemen di berbagai industri seperti manufaktur, farmasi, konsultasi manajemen dan consumer banking. Dia juga memiliki pengalaman bekerja dengan startups di Thailand dan Indonesia.

Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa perguruan tinggi bukan sekadar lembaga pendidikan namun diposisikan sebagai sebagai perusahaan yang berusaha untuk merekrut peserta didik sebanyak mungkin sesuai dengan tujuannya. Pengelolanya dibebani tanggung mengembangkan lembaganya dengan memikirkan dan menemukan pasar baru, atau bahkan mengintensifkan pasarnya. 

Makin terbukanya ekonomi Indonesia, memberi peluang bagi perguruan tinggi untuk memperluas pasarnya dengan membidik siswa internasional dan peserta didik non-tradisional dan dewasa sebagai target. Globalisasi membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk berhubungan, saling tergantung dengan lembaga pendidikan, riset, dana dan sebagainya dengan dunia internasional.

Perkembangan tersebut mengimplikasikan perguruan tinggi nasional harus bersaing dengan dengan perguruan tinggi dunia berebut calon mahasiswa baik lokal maupun internasional. Saat ini banyak mahasiswa Indonesia yang studi di luar negeri. Di Malaysia misalnya, ada sekitar 100 ribu mahasiswa asing di Malaysia dengan dominasi pelajar dari China dan Indonesia. Padahal, dari sisi mutu, pendidikan tinggi di Indonesia jauh lebih baik daripada Malaysia.

Namun di sisi lain, kondisi ini bisa dianggap sebagai peluang. Beberapa perguruan tinggi nasional berhasil merekrut mahasiswa asing. Banyak kampus di tanah air menunjukkan kualitas sebagai perguruan tinggi berkelas dunia.

Sayang, hal ini belum cukup untuk menjadi tujuan utama para mahasiswa mancanegara menempuh studi di Indonesia. Salah satu penyebabnya, menurut mantan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmaloka, adalah berbelit-belitnya prosedur mendapatkan visa pendidikan.

Perkembangan daerah juga ikut memberikan kontribusi dalam pergeseran strategi pemasaran perguruan tinggi. Saat ini beberapa perguruan tinggi mulai membidik pasar di daerah. Beberapa perguruan tinggi kini merekrut calon mahasiswa dari luar basisi lokasi pendididikannya. Beberapa perguruan tinggi di Jakarta misalnya, bahkan membidik calon mahasiswa di luar Pulau Jawa untuk kuliah di Jakarta.

Dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa luar Jakarta yang kuliah di Binus Jakarta misalnya terus meningkat. Demikian pula dengan LSPR. Belajar dari fenomena tersebut, beberapa perguruan tinggi mulai membuka “cabang”nya di daerah. Universitas Bina Nusantara memiliki beberapa kampus di luar Jakarta, sementara itu LSPR tahun ini mulai membuka afisiliasi di Bali.

Tahun lalu, Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, mendirikan kampus di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan Universitas Airlangga Tjitjik Srie Tjahjandari mengatakan Unair membuka empat program studi sekaligus pada tahun ajaran 2014/2015.

Empat program studi itu Budi Daya Perairan, Kedokteran Hewan, Kesehatan Masyarakat, dan Akutansi. Kuota setiap prodi sebanyak 50 mahasiswa sehingga kapasitas total seluruh prodi mencapai 200 mahasiswa. "Pemilihan prodi sesuai potensi di Banyuwangi," kata Tjitjik di Banyuwangi (28/04/2014).

Untuk memperluas pasar beberapa perguruan tinggi juga memanfaatkan model belajar karak jauh. Dalam beberapa tahun terakhir, popularitas pendidikan online meningkat. Beberapa perguruan tinggi STIKOM LSPR Jakarta dan Universitas Bina Nusantara menawarkan pendidikan gelar dengan sistem online.

Lalu bagaimana dengan pasar yang sudah ada? Seperti diketahui untuk meningkatkan pendapatannya, perusahaan atau merek bisa mempperluas pasar atau membidik pasar yang ada baik dengan produk alma atau produk baru. Dalam konteks pendidikan, beberapa perguruan tinggi menawarkan value baru bagi mahasiswa lama, yakni melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi, dalam  hal ini paska sarjana.

Lalu value barunya dimana? Di LSPR misalnya ada penawaran kelas akselarasi untuk mehasiswa semester akhir yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi. Dengan mengikuti program ini, mahasiswa btuh wakt yang lebih pendek untuk menyelesaikan pendidikan S2-nya.
  
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi yang berinovasi dalam branding dan perekrutan mahasiswa baru, termasuk diantaranya di bidang online dan digital. Meskipun masih ada beberapa keraguan bahwa lembaga yang menggunakan teknologi secara maksimal, terutama dengan media sosial dan platform baru lainnya, bisa dipastikan ahwa saat ini hampir semua perguruan tinggi saat ini menggunakan beberapa bentuk media sosial sebagai bagian dari kegiatan pemasaran dan operasi secara keseluruhan.

Di antara alat yang paling penting untuk pemasaran sosial dan online adalah website yang efektif dan intuitif. Ini harus dianggap sebagai "pernyataan merek utama" untuk sebuah institusi. Website sering menampilkan elemen dan layout sehingga dapat merampingkan dan menyorot konten, termasuk bar navigasi, terlibat visual seperti slide, dan menonjol "ajakan untuk bertindak" tombol yang mendorong siswa untuk menerapkan, misalnya.

Meskipun peningkatan aktivitas digital, pengamatan yang dilakukan Majalah Mix menemukan bahwa strategi pemasaran yang paling efektif untuk perguruan tinggi tetap berbasis pada acara dan melibatkan interaksi langsung dengan potensi siswa.

Iklan radio, meminta mahasiswa atau alumninya untuk mereferensi pemohon dan merekoemndasikan, dan pameran, serta kuliah online dianggap paling efektif. Sedangkan metode yang paling efektif adalah menjangkau rumah-rumah secara terbuka dan kunjungan kampus untuk siswa SMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar