Jumat, 18 Desember 2015

Kenapa Perguruan Tinggi Anda Perlu Re-branding?


Rebranding didorong oleh adanya perubahan internal dan eksternal. Yang paling penting adalah perubahan selera dan kebutuhan konsumen atau stakeholder pergurun tinggi.

Brand merupakan penanda dari suatu item yang memiliki nama dagang, tanda, logo dan kemasan. Brand dibangun dari persepsi (brand image) konsumen melalui iklan dengan memproyeksikan suatu citra, teks, taktik, dan membentuk memori pada penggunanya, mempengaruhi aspek branding seperti pemasaran dan periklanan (Putih, 2006).

Brand perlu dibedakan dengan produk pesaing sehingga menjadi unik dan dikenali target marketnya. Perbedaan brand dapat dilihat dari berbagai aspek seperti dalam formulasi produk, sistem pengiriman, ukuran, warna, aroma, dan bentuk-bentuk lainnya (blacke dan Denton, 1987: 1).

Untuk membedakan brand di pasar, suatu perusahaan atau organisasi perlu melakukan aktivitas branding yang merupakan proses mencoba untuk mengontrol semua yang dikatakan dan tindakan brand, dan cara-cara untuk menyampaikan, dengan mengidentifikasi kepribadian dan bagaimana merek diposisikan. Sementara perbedaan suatu brand melibatkan integrasi komunikasi dan terus-menerus memantau brand dan pesaingnya (Temporal, 2002: 12).

Makin bermunculannya perguruan tinggi baik swasta maupun negeri serta lembaga-lembaga pendidikan lainnya, menyebabkan suatu perguruan tinggi harus menghadapi persaingan dalam memberikan pendidikan yang memenuhi kebutuhan pasar. Organisasi mulai mencari alternatif untuk membedakan organisasi mereka dalam rangka untuk menarik perhatian para pemangku kepentingan dan sejalan dengan tren pendidikan saat ini.

Karakteristik layanan yang intangible, tidak terpisahkan, selalu berubah, dan tidak tahan lama, perguruan tinggi harus selalu dirancang berbeda untuk mempertahankan persepsi pelanggan pada layanan dan menghindari duplikasi oleh pesaing (Kotler dan Armstrong, 2004: 299). Disinilah perlunya perguruan tinggi menjadiikan dirinya sebagai sebuah brand yang kuat.

Dengan demikian, tujuan branding adalah untuk meningkatkan penjualan, mempertahankan dan meningkatkan pasar, membuat penjualan tertinggi, menginformasikan dan mengedukasi pasar, menciptakan persaingan dengan cara yang berbeda, dan meningkatkan efisiensi promosi (Rowley, 1997), menciptakan identitas dan kesadaran merek, jaminan kualitas, kuantitas dan kepuasan pengguna, serta mempromosikan produk (Onksvisit dan Shaw, 1997: 425).

Karena untuk bisa bersaing perguruan tinggi harus menunjukkan perbedaan dengan perguruan tinggi lainnya, maka perguruan tinggi harus fokus dalam membangun perbedaan tersebut. Ini bisa dilakukan melalui peningkatakan kurikulum dan kualitas perguruan tinggi seperti layanan dan sebagainya.

Ukuran keberhasilannya dapat dilihat dari apakah perguruan tinggi tersebut tumbuh berkelanjutan, meskipun berada di tengah persaingan yang ketat, citranya mendorong orang tua dan calon mahasiswa untuk masuk ke perguruaun tinggi tersebut, jumlah mahasiswa barunya terus meningka, mempertahankan pertumbuhan jumlah mahasiswanya serta interaksi positif antara perguruan tinggi dan stakeholdernya termasuk mahasiswa dan menancapkan pengalaman itu ke dalam memori mahasiswanya. 

Dengan kata lain, citra menjadi begitu sangat penting dalam membangun sebuah brand perguruan tinggi. Dalam beberapa literatur, beberapa peneliti menyamakan citra dan reputasi (Bromley, 1993), meskipun keduanya merupakan dua konsep yang berbeda.

Citra suatu organisasi dapat dilihat sebagai cerminan dari sikap individu. Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai pandangan eksternal organisasi (Hatch dan Schultz, 1997, hal. 361). Ini adalah refleksi dari sebuah organisasi, yang terbentuk atas dasar atribut individual dan subyektif yang dirasakan oleh para pemangku kepentingan (Herger, 2006, hal. 161).

Sementara itu identitas merupakan manifestasi aktual dari realitas perusahaan misalnya ditunjukkan melalui nama perusahaan, logo, moto, produk, layanan, bangunan, alat-alat tulis, seragam , dan barang-barang nyata yang diciptakan oleh perusahaan tersebut dan dikomunikasikan kepada beragam konstituen.

Konstituen kemudian membangun persepsi berdasarkan pesan-pesan yang dikirimkan perusahaan itu dalam bentuk nyata (Argenti, 2009). Persepsi-persepti itulah yang menghasilkan citra. Karenanya jika citra-citra itu dengan akurat mencerminkan realitas perusahaan atau organisasi, maka program identitas tersebut berhasil.

Ketika identitas perusahaan atau organisasi tersebut dan citranya selaras, terbentuklah reputasi. Dengan demikian, reputasi merupakan sintesis dari banyak citra dan karena itu banyak sikap yang hadir secara bersamaan (Fombrun, 1996, hal 72;. Gray dan Balmer, 1998; Helm, 2004).

Umumnya, reputasi digambarkan sebagai "persepsi atas kemampuan perusahaan untuk memenuhi harapan seluruh stakeholder" (Fombrun, 1996, hal. 37). Ini merupakan sintesis dari sikap individu terhadap perilaku masa lalu organisasi dan prospeknya masa depan (Davies dan Chun, 2002; Pos dan Griffin, 1998).

Sementara itu, Gotsi dan Wilson (2001) berpendapat, reputasi adalah sikap umum terhadap pihak ketiga. Karena sebagian besar pendekatan konsep reputasi dikaitkan dengan persepsi agregat dan evaluasi perusahaan oleh berbagai pihak (Davies et al, 2003;.. Fombrun et al, 2000), maka kelompok pemangku kepentingan yang berbeda memandang reputasi organisasi berbeda (Caruana et al, 2006, hal 430;.. Gotsi dan Wilson, 2001, hal 24.).

Dari sudut pandang sosiologis, reputasi dipandang sebagai penerimaan sosial dari suatu organisasi. Hal ini mengacu pada tindakan (organisasi atau individu) di masa lalu dan "[. . .] Muncul jika mitra aktor masa depan diinformasikan pada perilakunya yang sekarang "(Raub dan Weesie, 1990, hal. 626).

Pada tingkatan yang lebih abstrak, dari perspektif ini, reputasi dipandang sebagai suatu proses pertukaran legitimasi diantara para agen (organisasi dan pemangku kepentingan) dan diperoleh baik melalui persetujuan pihak ketiga (misalnya melalui NPO) atau melalui proses kognisi, seperti bertindak dalam kerangka sosial. Karena itu, dari sudut pandang ini reputasi dilihat dalam konteks fungsi integratif dalam masyarakat (Eisenegger dan Imhof, 2008).

Dari sudut pandang ekonomi, reputasi dipandang sebagai aset tidak berwujud yang membantu menciptakan nilai finansial perusahaan (Ressel, 2008). Studi tentang dampak reputasi terhadap keuangan masih memunculkan perdebatan (Eberl dan Schwaiger, 2005). Namun, Schnietz dan Epstein (2005, hal. 341) menunjukkan bahwa selama masa krisis, reputasi dalam tanggung jawab sosial memberikan keuntungan finansial yang nyata.

Dalam hal manajemen reputasi, pemimpin bisnis menunjukkan bahwa lebih sulit memulihkan kegagalan reputasi daripada untuk membangun atau mempertahankannya. Memulihkan reputasi karena krisis  membutuhkan waktu.

Biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali kepercayaan sebagaimana sebelumnya (Milewicz dan Herbig, 1994, hal 44.). Memulihkan reputasi akibat krisis lebih seperti maraton daripada sprint. Ini menggarisbawahi perlunya manajemen reputasi yang canggih baik sebelum (manajemen isu) atau pada saat ancaman (krisis dan manajemen komunikasi) berlangsung.

Dari sudut pandang komunikasi perusahaan, reputasi dipandang sebagai sumber daya yang harus dilindungi, terutama selama situasi krisis. Komunikasi yang baik memiliki dampak pada pemulihan citra (Benoit, 1995) atau agenda media di mana reputasi dibangun (Eisenegger, 2005), dalam rangka untuk menjaga reputasi dalam jangka panjang (Coombs, 2006).

Membangun reputasi yang baik di antara para pemangku kepentingan dapat meningkatkan kemampuannya sebagai sumber daya yang sangat bermanfaat bila peusahaan berada dalam situasi sulit, seperti krisis (Jones et al, 2000; Davies et al, 2003;. Dowling, 2002).

Contohnya, reputasi yang kuat membantu Johnson & Johnson menyelamatkan Tylenol dari krisis sianida yang merusak pada awal 1980an. Reputasi yang baik juga memungkinkan kasus kontaminasi Coca-Cola di India pada 2004 tanpa menimbulkan kerusakan jangka panjang yang berarti bagi Coca-Cola.

Identitas brand berasal dan dikendalikan oleh organisasi itu sendiri. Bagaimana masyarakat mengenali identotas tersebut, perusahaan atau organisasi menyampiakannya melalui komunikasi, perilaku, dan estetika. Di sisi lain, citra merek diciptakan dari persepsi umum suatu organisasi yang dipegang dan keyakinan di benak audience eksternal. Idealnya, identitas merek sejajar dengan citra. Karena itu, ketika identitas dan citra organisasi tidak lagi sejajar, rebranding yang diperlukan untuk memodifikasi citra untuk mencerminkan perubahan dalam identity.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa rebranding merupakan proses yang direncanakan dan dilaksanakan untuk menciptakan nama baru, istilah, simbol, desain, atau kombinasi diantaranya yang dimaksudkan untuk mengembangkan posisi baru yang berbeda kerangka pikiran pemangku kepentingan dan identitas khas dari para pesaing. Rebranding perusahaan secara fundamental berbeda dari rebranding produk, yaitu dalam ukuran dan ruang lingkup.

Hampir semua brand perlu terus diperbarui dan segar untuk tetap relevan di pasar saat ini. Rebranding dapat mencakup perubahan kecil, menengah, dan lengkap. Pada salah satu ujung kontinumnya adalah evolusi rebranding, proses berkesinambungan yang menggambarkan perkembangan detail dalam citra merek perusahaan seperti modifikasi logo atau slogan.

Dalam konteks perguruan tinggi, untuk membangun citra, identitas fisik dan filosofi dan strategi untuk audience di luar melalui komunikasi, perilaku, dan estetika. Di sisi lain, citra merek diciptakan oleh  persepsi umum suatu organisasi di benak audiense eksternal. Idealnya, identitas merek sejajar dengan citra. Karena itu, ketika identitas dan citra organisasi yang tidak lagi sejajar, rebranding yang diperlukan untuk memodifikasi citra untuk mencerminkan perubahan dalam identity.

Terdapatt beberapa situasi yang melatarbelakangi suatu rganisasi melakukan rebranding. Organisasi atau perusahaan melakukan re-branding untuk mengatasi peristiwa baik posiitif maupun negatif yang terjadi secara bertahap atau tiba-tiba, baik secara internal maupun eksternal. Sinyal suatu organisasi perlu melakukan rebranding muncul manakala terjadi perubahan yang cukup besar dalam sebuah organisasi – misalnya perubahan struktur organisasi dan pimpinan organisasi -- dan perubahan itu menuntut perusahaan untuk medefinisi identitasnya.

Perubahan struktur organisasi termasuk merger dan akuisisi, spin-off, kebangkrutan, go public, atau menyatukan banyak merek di bawah satu nama. Perubahan strategi meliputi masalah globalisasi, lokalisasi, divestasi dan memfokuskan kembali, dan diversifikasi. Faktor internal lainnya yang menyebabkan suatu organisasi perlu melakukan rebranding misalnya pada saat citra organisasi menjadi negarif akibat skandal atau krisis.

Alasan kedua adalah perubahan eksternal yang mungkin mengakibatkan perubahan citra. Dalam situasi seperti ini organisasi petlu melakukan perubahan yang bertujuan untuk mengubah citra sehingga tetap relevan dengan perubahan kebutuhan dan selera konsumen. Ini antara lain ditandai dengan masuknya pesaing baru.

Masuknya pesaing baru secara tidak langsung memperlemah citra karena tidak tertutup kemungkinan pesaing menawarkan sesuatu yang sama atau mirip dengan yang ditawarkan organisasi. Faktor eksternal lainnya adalah karena terjadinya perubahan selera dan kebutuhan konsumen.

Ketika Indonesia sangat memprioritas pembangunan pertanian, secara langsung hal itu berdampak pada kebutuhan lulusan yang mempunyaikeahlian di bidang pertanian. Dalam perjalananannya ketika sector pertanian tidak lagi diprioritaskan, maka kebutuhantersebut semakin turun.

Akhirnya, rebranding dapat didorong oleh kinerja yang secara keseluruhan melemah. Indikator kinerja yang melemah termasuk melambatnya dan terhentinya pertumbuhan, turunnya pendapatan dan keuntungan, kegagalan untuk menarik bakat atau talenta atau berpindahnya para talenta ke perguruan tiggi pesaing, lebih sedikit calon mahasiswa yang mendaftar, serta ketidakmampuan perguruan tinggi untuk membedakan dirinya dari pesaing.

Di luar itu, rebranding juga terjadi karena merger dan akuisisi, yang diikuti oleh spin-off yang isu-isunya isa menggangu citra merek. Secara keseluruhan, rebranding itu sendiri adalah pesan dan harus menjadi manifestasi dari perubahan yang sebenarnya dalam sebuah organisasi.

Di Indoensai, rebranding perguruan tinggi sudah sering terjadi. Sejak 2002 silam misalnya, pemerintah mengadakan perubahan pendidikan tinggi Islam, dari Institut Ilmu Agama Islam (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).  Pengembangan IAIN menjadi UIN menandakan sebuah proses kesadaran yang lebih maju.

Selama ini IAIN di anggap kampus yang memproduksi guru- guru agama baru, penganti imam masjid, takmir, dan pengisi acara pengajian. Hal serupa dilakukan pada pendidikan tinggi untuk pendidik, yakni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan yang berubah menjadi Univesitas Negeri atau Universitas Pendidikan.

Perubahan tersebut dilakukan karena adanya stigma yang tersepsi bahwa alumni IAIN tidak berkembang karena ijazah yang dihasilkan tidak memiliki standar yang diminta oleh pasar. Tidak bisa pungkiri bahwa keinginan di setiap kelulusan adalah orientasi mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan social (Ma’ruf, 2014).

Itu belum termasuk beberapa perguruan tinggi yang berganti nama, perguruan tinggi yang mengganti nama jurusannya, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan dengan perubahan terutama perubahan kebutuhan dan selera pasar, dalam hal ini adalah pasar tenaga kerja. Sebagian besar dari mereka yang melakukan re=branding tersebut mendapatkan hasil yang bagus. Buktinya, jumlah mahasiswa perguruan tinggi hasil transformasi meningkat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar