Senin, 17 Februari 2020

Globalis, Tradisionalis, dan Transformasionalis





*JAM 6 TENG*

Dalam literatur akademis (Held and McGrew, 2007), ada tiga perspektif yang berbeda mengenai globalisasi: perspektif globalis, perspektif tradisionalis, dan perspektif transformasional.  

Globalis melihat globalisasi sebagai perkembangan yang tak terelakkan yang tidak dapat dilawan atau dipengaruhi secara signifikan oleh campur tangan manusia, terutama melalui institusi politik tradisional, seperti negara-negara bangsa.

Kaum tradisionalis berpendapat bahwa pentingnya globalisasi sebagai fase baru telah dilebih-lebihkan. Mereka percaya bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi dan sosial bersifat regional, bukan global, dan mereka masih melihat peran penting keberadaan negara-bangsa.

Transformasionalis berpendapat bahwa globalisasi mewakili pergeseran yang signifikan, namun mempertanyakan keniscayaan dampaknya. Mereka berpendapat bahwa masih ada ruang lingkup yang signifikan untuk kelembagaan yang bersifat nasional, lokal, dan lainnya.

Meningkatnya mobilitas barang dan orang dalam skala global telah menantang sebagian orang untuk mendefisinikan ulang definisi tempat  tradisional, statis, dan universal. Dalam konteks tempat tujuan wisata, misalnya, pembangunan tempat yang diarahkan sebagai tujuan wisatawan melibatkan mobilisasi strategis sumber daya yang memunculkan gagasan global-lokal.

Pada 2012, seorang penliti Gao, mempelajari sebuah situs wisata, West Street, di Yangshuo County, China. Disitu dia mendapatkan gambaran tentang perubahan dari konsep tentang tempat.

Dulu,  kawasan perumahan merupakan sekadar kumpulan warga dan tetangganya, kini berangsur-angsur berubah menjadi 'desa global' bagi turis lokal. Salah satu keunggulannya adalah sebagian memanfaatkan bahasa Inggris sebagai identitas wilayah itu. 

KIni, West Street penuh dengan toko-toko kerajinan, kaligrafi dan toko pengecatan, kafe, bar, dan rumah Kung Fu Cina. Ini juga tempat berkumpulnya sejumlah orang untuk berbisnis. Disini terdapat lebih dari 20 bisnis yang dimiliki oleh orang asing. Tempat itu disebut 'desa global', karena semua penduduk setempat bisa berbicara bahasa asing.

Gao menganalisis County Chronicles, laporan media, materi promosi di situs web pemerintah daerah, dan mewawancarai pemilik bisnis asing dan lokal di West Street untuk mengungkap bagaimana perangkat linguistik digunakan untuk melokalisasi globalisme di lokasi pariwisata.

Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa 'desa global' di Yangshuo bukan sekadar westernisasi, namun sebuah konstruksi sosial yang signifikansinya sesuai dengan ideologi bahasa dan budaya di tingkat masyarakat. Yang menarik adalah, bagaimana nilai-nilai tradisonal masih dipertahankan dan tidak luluh dalam keeragaman global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar