Rabu, 21 Februari 2018

Dialog


"Tak seorang pun dilahirkan untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Orang harus belajar membenci, dan jika mereka bisa belajar membenci, mereka bisa diajari untuk mencintai, karena cinta datang secara alami ke hati manusia bukan sebaliknya. "

- Nelson Mandela, Long Walk to Freedom

Ketika pada akhirnya pengadilan memutuskan Nelson Mandela tidak bersalah pada Maret 1961, pemerintah Perdana Menteri Hendrik F. Verwoerd (arsitek dan ahli ideologi terkemuka apartheid) marah. Dia bereaksi dengan melipatgandakan tekanan terhadap warga kulit berwarna dengan mengintensifkan upaya memarjinalkan mayoritas kulit hitam dan mengabaikan peraturan hukum yang berlaku.

Amarah sang perdana menteri tidak dilawan dengan kemarahan. Mandela malah mendekati pemerintah apartheid untuk berdialog. Tak ada reaksi positif dari pemerintah. Yang dia peroleh justru hukuman kurungan penjara, hingga pada akhirnya Mandela harus memikirkan ulang strategi perjuangannya karena pada titik tertentu belum menghasilkan. Pada akhirnya, Mandela harus menentukan pilihan, damai atau perang. 

Pertengahan 1961, Mandela mulai sadar bahwa taktik anti-kekerasan telah gagal. Tekadnya sekarang melawan pemerintah apartheid. Mandela memimpin sayap gerilyawan ANC (African National Congress), yang disebut Umkhonto kita Sizwe (Tombak Bangsa, atau MK) melakukan perlawanan bawah tanah.

Dia terpaksa melawan nuraninya sendiri. Dia memang mendirikan MK - kegiatannya termasuk perjalanan ke seluruh Afrika untuk mengumpulkan senjata dan dana – namun Mandela lebih suka berjuang tanpa amarah dan kekerasan. Namun apa daya, yang selama ini dikerjakan belum membuahkan hasil. Tanpa teriakan amarah, peluru dan meriampun ditembakkan. Peluru dan meriam bukan untuk membunuh warga kulit putih, tapi instalasi pemerintah dan properti milik putih.

Itulah titik balik dari upaya dialog yang dilakukan Mandela. Ketika dialog tidak ditanggapi, peluru dilepaskan, parang, tombak dan sejata tajam lainnya dikerahkan. Perjuangan melalui MK adalah upaya terakhir. Itu dilakukan untuk mencegah perjuangan anti-apartheid sekarat. Itu sebabnya perlawanannya tidak membabibuta.

Orang pun memaklumi langkahnya. Apalagi Mandela sudah menegaskan bahwa tujuan perlawanan bersenjatanya bukan untuk memicu perang ras, tapi untuk mendorong pemerintah apartheid bernegosiasi. Tetapi, "Jika sabotase tidak menghasilkan sesuatu yang kita inginkan," katanya, "kami siap untuk melanjutkan ke tahap berikutnya: perang gerilya dan terorisme," kata Mandela (Long Walk to Freedom: 246-247). Toh pada akhirnya, Mandela bisa menciptakan perdamaian dan membangun  cinta dengan dialog.

Tak ada yang membantah bahwa dialog telah digunakan selama berabad-abad untuk membantu menghasilkan makna bersama. Dialog menghilangkan kebencian untuk membangun peradaban modern, karena dialog -- menurut Aristoteles dan Plato serta filosuf -- mampu mengklarifikasi dan mengkomunikasikan pemahaman tentang filsafat yang sebenarnya kompleks. Maknanya adalah bahwa serumit apapun persoalan, setinggi apapun kebencian, bisa direndahkan melalui dialog.

Bahkan untuk membuat suatu bangsa menjadi makmur. Freire percaya bahwa hal itu bisa dilakukan melalui dialog. Itu berarti komunikasi harus dilakukan secara terus menerus. Saat guru dan peserta didik berdialog, selalu ada terobosan. Memang tidak mudah karena dalam melakukan dialog selalu ada upaya memediasi realitas sosial.

Wajar karena dialog merupakan bagian dari membuat perbedaan. Kenapa? Karena dialog merupakan bentuk praksis kolektif yang secara langsung berkaitan dengan pembukaan selubung kondisi ketidakadilan yang dikaburkan oleh kelas penguasa. Proses ini penting dan bisa dimaknai sebagai peningkatan komunitas dan pembangunan modal sosial yang mengarah pada keadilan dan perkembangan manusia.

Cukup banyak orang yang mengatakan bahwa dialog adalah bentuk percakapan bermakna yang memiliki landasan dalam mengidentifikasi, kesadaran, dan penghentian asumsi yang ada sebelumnya untuk mencapai makna dan pengertian baru bersama (Schein, 1999). Dalam bayangan Preskill dan Torres (1999), dialog inilah yang memfasilitasi proses belajar yang implementasinya bisa dalam bentuk penyelidikan evaluatif, mengajukan pertanyaan, dan mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai yang ada, kepercayaan, asumsi dan pengetahuan ssebelumnya.

Melalui dialog, individu membuat hubungan satu sama lain dan mengkomunikasikan pemahaman dan sosial masing-masing yang dijadikan sebagai pemandu perilaku selanjutnya. Dialog juga digambarkan sebagai "berbicara dengan" atau "penyelidikan bersama, cara berpikir dan refleksi bersama" (Isaacs, 1999, hal 9). Bahkan -- tidak sekadar berbicara dan berpikir dengan -- dialog merupakan cara dan bekerja bersama dengan orang lain.

Seringkali dalam mendefinisikan dialog, ada penekanan pada struktur akar kata “dia” dan “logo” yang menghasilkan definisi "makna yang mengalir melewatinya" (Bohm, 1996). Artinya, Bohm (1996) menggambarkan dialog sebagai bertujuan untuk memasuki keseluruhan proses berpikir dan mengubah proses pemikiran secara kolektif menjadi solusi bersama.

Dengan demikian, dalam sebuah dialog, setiap orang tidak berusaha membuat gagasan atau sesuatu yang diketahui sesuai dengan yang sudah diketahui dirinya. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa kedua orang tersebut membuat sesuatu yang sama, yaitu menciptakan sesuatu yang baru bersama (Bohm, 1996 hal. 2).

Dialog sering terjadi dalam bentuk percakapan yang didasarkan pada pemikiran para partisipan yang terungkap pada saat percakapan berlangsung. Agar bisa masuk ke dalam dialog, yang harus ada adalah rasa kesetaraan di antara peserta. Tak ada rasa bahwa saya lebih kuat dari dia. Tak ada rasa bahwa saya benar dan dia salah.

Masing-masing harus mempercayai yang lain dan harus ada rasa saling menghormati dan cinta (care and commitment). Masing-masing harus menyatakan problem dan apa yang mereka ketahui serta mempertanyakan apa yang tidak dia ketahui, sehingga mereka bisa memahami satu sama lain. Dengan cara itu, melalui dialog, pikiran yang ada akan berubah dan pengetahuan baru akan tercipta (Mayo, 1999).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar