Senin, 05 Februari 2018

Marketing Dengan Makna


Selasa beberapa waktu lalu. Saat saya di perpustakaan, seorang teman mendekati saya. “Mas.. ada uang Rp 750 ribu? Saya butuh untuk bayar SPP anak saya yang hari ini deadline. Kalau nggak anak saya nggak boleh ikut ujian. Hari ini sebenarnya saya gajian. Tapi biasanya kan transferannya sore. Sekolahnya sudah tutup.”

Saya tercengung mendengar itu. Betapa tidak hari itu kebetulan dompet saya ketinggalan. Saya sendiri tidak memiliki akun m-banking. Dan yang lebih penting lagi, beberapa menit sebelumnya saya kontak seorang teman untuk maksud yang sama karena hari itu juga saya harus membayar SPP saya.

“Tidak bisa ditunda? Besok misalnya,” jawab saya.

“Tidak bisa Mas.. Hari ini deadlinenya.” Siang itu, saya tak bisa memberikan solusinya.

Besoknya, saat ketemu lagi saya Tanya, “Apakah masih butuh untuk bayar SPP?”

“Nggak Mas… terima kasih banyak,” jawabnya.

Beberapa hari lalu, anak-anak tetangga sering teriak di depan rumah… “Assalamu”alaikum… Pak…Ibu…bisa minta rambutannya tidak?”

Di depan rumah memang ada pohon rambutan. Saat itu memang lagi berbuah, namun maih belum cukup umur untuk dipetik karena saya lihat beberapa buah diantara gerombolan rambutan itu masih hijau. “Belum siap panen Dik,” jawab saya. Mereka pergi.

Minggu lalu, dengan gala san susah payah anak saya memetik rambutan. Cukup banyak. Hasilnya sengaja ditaruh di depan rumah. Sampai beberapa hari, taka da satu pun anak yang teriak lagi minta rambutan. Saya nggak tahu, mungkin karena sekarang rambutan sudah ada dimana-mana, murah lagi.  

Saya ingat pernyataan seseorang, “..Seseorang ada karena bermanfaat atau bermakna.” Saya tidak ingat siapa yang mengatakan itu. Realitasnya, kalau seseorang tidak memberikan manfaat, apalagi menjadi beban, dia dilupakan atau ditinggalkan sendirian oleh orang lain. Bila orang tersebut memberikan manfaat, orang mendekat dan dia bakal dikenang sekalipun orang tersebut sudah meninggal. Contohnya para pahlawan. Jasanya dikenang, orangnya juga tetap dikenal. Demikian halnya dengan perusahaan atau merek. Merek ditinggalkan pelanggannya bila tidak berhasil memberikan value pada pelanggannya.

Gagasan tentang manfaat disini situasional. Bermakna tidaknya, tinggi rendahnya makna atau manfaat  tergantung pada situasi. Ketika saya memiliki uang, kalau orang bermaksud meminjamkan uangnya kepada saya, tentu manfaatnya jauh berkurang ketimbang ketika dia meminjamkannya saat saya tidak mempunyai uang atau sedang sangat membutuhkannya.

Gagasan ini yang kemudian digunakan orang dalam menciptakan suatu produk. Ambil contoh Godrej. Suatu ketika, perusahaan konglomerat asal India ini mengalami penurunan pangsa pasar lemari es karena serbuan merek asing. Menghadapi situasi itu, seperti yang ditulis Rory McDonald dari Harvard Business School, Godrej tidak mau mundur. Mereka tetap bersaing pasar konvensional sambil berinovasi dengan produk yang bisa memenuhi kebtuhan orang yang selama ini belum terlayani pendingin Godrej. Mereka ini adalah orang-orang yang memebutuhkan mesin pendingin murah. 

Alih-alih bersaing dengan merek global yang menguasai 15 persen pasar konsumen yang mampu beli lemari es, Godrej memutuskan membidik 85% penduduk yang selama itu belum terlayani oleh merek global. Disini ada sesuatu yang sifatnya non-konsumsi yang menjadikan pasar ini penting, yakni banyak rumah tangga di pedesaan India yang tidak bisa menyimpan makanan. Karena itu, mereka harus membeli makanan mereka setiap hari. Ini tentu membutuhkan waktu dan biaya yang mahal. Masalah lainnya adalah, kondisi listrik di pedesaan terputus-putus dan tegangannya turun naik, sesuatu yang membuat lemari es tidak berfungsi optimal.

Godrej lalu mengembangkan mengembangkan solusi "cukup baik", yakni kulkas portabel chotuKool, yang harganya rendah, dioperasikan dengan daya baterai, dan menggunakan kantor pos sebagai saluran penjualan/jaringan distribusi baru. Hasilnya, produk itu memenangkan lima penghargaan innovasi ternasional, dengan harga yang 1/3 harga lemari es konvensional.

Dalam buku The Next Evolution of Marketing: Connect with Your Customer by Marketing with Meaning (McGrawHill, 2010) Bob Gilbreath mengatakan bahwa tradisional marketing kini sudah out-of-date karena kecanggihan publik yang mengkonsumsi sesuatu guna menghindari strategi marketing biasa – bahkan menggunakan media sosial sekalipun.

Dalam konteks ini Gilbreath menyebut strategi yang diklaimnya sebagai marketing with meaning. Gilbreath mendefinisikan marketing with meaning sebagai marketing yang memberikan nilai tambah (added value) kepada masyarakat. Nilai tambah seperti apa? Gilbreath membuat hierarki meaning yang terdiri atas tiga tingkatan di dalam sebuah segitiga. Konsep ini, menurut Gilbreath, merupakan perpaduan antara hierarki kebutuhan Abraham Maslow dan hierarki ekuitas merek dimana merek menempel di hati dan pikiran publik.

Pada level paling bawah, suatu marketing harus bisa memberikan nilai bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup (survival needs). Ini yang disebut Gilbreath sebagai meaningful solutions. Lapis kedua keatas adalah attachment (cinta, rasa memiliki, pertemanan, dan keluarga) needs atau sebagai meaningful connections. Kemudian yang paling atas adalah esteem (rasa percaya diri, kreativitas, problem solving, rasa menghormati kepada dan oleh sesama) needs. Ini yang disebut sebagai meaningful achievements.

Pada hierarki terbawah atau dasar meaning solution untuk memenuhi kebutuhan survival, bisa dilakukan dengan memberi benefit dan informasi langsung seperti menawarkan sesuatu yang bermanfaat, penghematan, dan reward keras seperti pemberian sample dan reward untuk setiap pembelian. Dalam sehari-hari ini dikenal dengan promo penjualan.

Dalam bukunya itu, Gilbreath tidak menyarankan insentif atau promo berupa diskon. Sebab selain bisa mendorong terjadinya perang harga, diskon terlalu sering dan sangat biasa, dalam jangka panjang bisa merusak nilai yang dipersepsikan dan peringkat ekuitas. Namun demikian, dalam konteks meaning terutama dalam situasi seperti sekarang, langka itu saya kira efektif dalam membangun image bahwa BUMN berpihak kepada rakyat.

Tingkatan lebih tingggi, menurut Gilbreath, adalah meaningful connections. Ini bisa menempa suatu ikatan penting antara merek dan pelanggan potensial. Bila berhasil dieksekusi, meaningful connection menempatkan produk, jasa atau merek ke level emosional yang lebih tinggi, mengikat merek pada sesuatu kepentingan lebih dalam di benak pelanggan.

Biasanya, ini dilakukan melalui entertainment yang dikemas dengan baik melalui penciptaan suatu pengalaman yang unik, menyediakan outlet yang kreatif, atau membangun serta mendorong suatu ikatan pertemanan antara satu dengan yang lain atau kelompok.  Intinya disini adalah menciptakan pengalaman-pengalaman yang dapat di-share ke orang lain.  

Tingkatan yang paling tinggi adalah meaningful achievements.  Bila meaningful connections mewakili tahapan dalam membangun hubungan (relationship) yang lebih berarti (meaning) antara orang dan brand, meaningful achievement akan memperbaiki (improvement) kehidupan pelanggan, membantu orang untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, atau menjadikan mereka mampu mengubah ke arah yang positif komunitas dan dunia mereka.  

Lalu dapatkah kita mengimplementasikan strategi Marketing with Meaning jika produk barang atau layanan kita “bau”? Tidak, Anda tidak akan memenangkan pasar jika kualitas barang atau jasa Anda di bawah rata-rata. Marketer yang brilian sekalipun tidak pernah membuat produk gagal memenuhi ekspektasi pelanggannya bisa berhasil. Seperti diketahui, teknik pemasaran yang dilakukan film-film Hollywood banyak diakui sebagai brilian. Namun, berapapun anggaran iklan yang dihabiskan untuk mempromosikan suatu film, jika film itu jelek negatif word of mouth pasti beredar cepat dan cepat meluas melalui media sosial.  

Jadi apa yang harus dilakukan sebuah rumah sakit misalnya, bila menjadi pembicaraan negatif? “Ya perbaiki apa yang menjadi pembicaraan negatif itu. Bila layanan perawatnya misalnya, maka layanan perawat itu yang harus diperbaiki,” tulis Gilbreath dalam blog-nya (http://www.marketingwithmeaning.com/2010/01/07/how-meaningful-marketing-can-help-a-non-innovative-brand/).

Point ini sekaligus mengingatkan kepada para marketer, tugas mereka bukan hanya membuat iklan yang meaningful misalnya, marketer juga harus mulai memberikan arahan kepada konsumen tentang bagaimana menggunakan produk yang kita jual sehingga mereka memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar