Minggu, 04 Februari 2018

Wonderful Indonesia – Belajar dari Cara Thailand Mengubah Citra Wisata Sex-nya (2)


Beberapa waktu lalu, saya diundang Kantor Staf Presiden sebagai peserta Focus Group Discussion (FGD) tentang Nation Brand. Dal diskusi itu hadir para akademisi, pelaku bisnis baik bisnis online, kreatif seperti advertising dan musik, serta dari kalangan penggiat sosial. Ada sekitar 40an orang hadir dalam diskusi di Bina Graha dan dihadiri oleh Kepala Staf Presiden (saat itu) Teten Masduki.

Banyak masukan yang muncul, termasuk salah satunya dari seorang profesor, bintang film, dan artis penyanyi. Yang pertama menceritakan pengalamannya tentang situasi yang ditemui saat dia keluar dari bandara Bangka Belitung. Dia menjumpai banyak hal-hal yang mungkin bisa melemahkan branding. Sedangkan sang artis menceritakan pengalamannya saat mendampingi tetamunya dari luar negeri di Papua. Dia mengemukakan hal yang sama, yang bisa melemahkan branding.

Saya sendiri saya lupa mendapat giliran yang ke berapa untuk berbicara. Namun dalam forum itu saya menegaskan perlunya Indonesia untuk membangun nation brand. Sebab bagaimana pun saat ini hampir semua negara berlomba berebut investasi dan tamu wisatawan. Bila tidak sekarang, Indonesia tertinggal jauh oleh negara-negara lain, termasuk negara tetangga.

Saya mengilustrasikan bagaimana Sri Langka yang keamanannya selalu terganggu melakukan branding. India yang beberapa tahun lalu dilanda bom dan kasus pemerkosaan mahasiswa yang dilakukan oleh segerombolan remaja juga melakukan branding. Vietnam yang baru mengalami masa damai paska perjanjian Paris tahun 1975 dan disana sini masih dijumpai sisa-sisa ranjau juga melakukan branding. Alhamdulillah response teman-teman yang hadir positif.   

Harus diakui bahwa Indonesia menghadapi banyak persoalan sosial yang mungkin bisa melemahkan reputasinya. Namun demikian hal tersebut bukannya tidak mungkin untuk diubah. Banyak negara yang berhasil mengubah citranya.

Ambil contoh Thailand. Salah satu isu yang paling penting menempatkan Thailand pada kerugian yang signifikan adalah citra pariwisata seks Thailand. Kaitan kuat antara Thailand dan wisata seks dimulai selama Perang Vietnam pada 1960-an dan 1970-an, ketika Thailand dan militer AS menandatangani perjanjian yang memungkinkan tentara AS untuk datang ke Thailand untuk ‘Istirahat dan Rekreasi’ (Truong, 1990; Miller, 1995).

Sampai beberapa tahun silam, Thailand memiliki masalah serius terkait perdagangan seks, seperti halnya banyak terjadi di negara lainnya. Namun, ada persepsi bahwa masalah yang dihadapi Thailand jauh lebih buruk karena banyak orang berpikir bahwa negara tersebut menyediakan akses yang mudah pada layanan ini. Kusy (1991) mengklaim bahwa industri seks Thailand telah menjadi objek wisata tersendiri. Dalam beberapa buku panduan wisata, beberapa kawasan lampu merah ini sengaja direkomendasikan.

Berapa jumlah pelacur di Thailand, sangat bervariasi dan menjadi subyek perdebatan kontroversial. Statistik yang dilaporkan oleh Kantor Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 1998 menunjukkan bahwa dari total 104.262 karyawan di 7.759 perusahaan tempat layanan seksual, 64.886 orang menjual layanan seks, sementara 39.376 adalah personil pendukung, misalnya pemilik atau penyediaa fasilitas pendukung lainnya (Lim, 1998). Laporan Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri AS (2005) memperkirakan bahwa ada 200.000-300.000 pekerja seks di Thailand.

Sebagai negara kecil yang sedang berkembang, Thailand menyadari kebutuhan untuk meningkatkan nation brand nya untuk bersaing di pasar global yang kompetitif. Untuk itu Thailand melakukan branding. Langkah pertama dari proyek yang diprakarsai oleh Pemerintah Thailand ini adalah mengetahui dan mempelajari bagaimana orang-orang di seluruh dunia melihat kekuatan dan kelemahan bangsanya.

Untuk memperbaiki citra negatif ini, Thailand mengambil dua langkah perbaikan nyata, yakni kebijakan pemerintah dan peningkatan citra melalui strategi place branding. Beruntung Thailand memiliki banyak fitur dan image yang positif, seperti pemandangan alam yang indah, sejarah yang kaya dan budaya yang unik.

Untuk itu, Pemerintah Thailand menggandeng LSM dan organisasi lainnya, baik lokal maupun internasional, bekerja proaktif menengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah Thailand mengambil kebijakan menghentikan penghisapan para pekerja seks. Kebijakan lain adalah meningkatkan program pencegahan dan memberikan lebih banyak pilihan gaya hidup bagi mereka yang terlibat dalam prostitusi. Salah satu contoh dari hal ini di Thailand adalah program konseling di bidang pendidikan dan pekerjaan yang ditujukan secara khusus pada gadis-gadis muda beresiko direkrut ke dalam perdagangan seks.

Sementara itu, kualitas positif Thailand di berbagai tingkat, mulai dari lingkungan fisik pelayanan publik, hiburan dan rekreasi atraksi dan sifat rakyat Thailand dieksplotasi dan dikomunikasikan dengan agresif. Komponen kolektif ini memberikan kesempatan bagi Thailand untuk bersaing di pasar global. Thailand memiliki keuntungan dari berbagai wisata alam yang beragam, terdiri dari pegunungan, hutan, air terjun, sungai dan pantai, dikombinasikan dengan sejarahnya dan budaya yang kaya.

Thailand juga menawarkan segala bentuk tradional dariThailand. Perayaan tradisional dan kegiatan untuk menikmati memeriahan Thailand ditawarkan dan dikelola sedemikian rupa sehingga wisatawan mendapatkan pengalaman yang menarik. Ini termasuk tawaran Thailand sebagai salah satu tempat terbaik untuk berbelanja, di mana pengunjung dapat menemukan berbagai pilihan produk dan layanan dengan harga yang wajar.

Infrastruktur yang bisa merusak daya tarik Thailand juga diperbaiki, termasuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh atraksi dan kemeriahan serta persoalan sosial seperti kemacetan lalu lintas, polusi dan pengelolaan limbah yang buruk. Meskipun penelitian Branding Thailand menemukan bahwa konsumen (yaitu wisatawan) kurang mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dibandingkan dengan atraksi rekreasi dan hiburan, namun pemerintah Thailand terus berusaha meningkatkan infrastruktur dan pelayanan publik (misalnya perlindungan terhadap warga, termasuk wisatawan dan propertinya; jaminan sosial dan pendidikan bagi warganya ) terus dikembangkan untuk mengakomodasi perluasan industri pariwisata.

Untuk menerapkan perbaikan citra yang efektif, Thailand mengkomunikasikan elemen dan karakteristik positifnya kepada wisatawan dan penduduk local. Ini perlu dialukan sebab bagaimanapun citra suatu tempat dipengaruhi oleh nilai yang dirasakan yang disampaikan kepada pelanggan. Kampanye pariwisata biasanya membawa slogan atau slogan untuk menyatukan dan menggarisbawahi nilai dan identitas tempat yang dipromosikan juga dilakukan.

Dalam konteks komunikasi, beberapa temuan penelitian tentang Thailand menunjukkan bahwa kata 'eksotis' paling sering dikaitkan dengan citra Thailand dan menyampaikan kualitas luar biasa dari negara ini. Namun demikian, penggunaan kata ini justru dihindari karena dapat menyampaikan atribut seksual dan memicu kesan pariswisata seks.

Hall (1992) mencatat bahwa bagian dari daya tarik Thailand terhadap turis seks adalah karena citra 'oriental eksotis'-nya dengan biaya prostitusi yang rendah. Secara umum, Thailand memiliki keunikan eksotisme. Thailand memiliki image kehangatan dan keakraban yang pada dasarnya dapat menyampaikan keramahan. Namun beberapa orang mengasosiasikan ini sebagai karakteristik pelacur Thailand yang membedakan mereka dari pekerja seks di negara lain yang seringkali dianggap terlalu dingin dan dikomersialkan (Davidson dan Taylor, 1996).

Apalagi kadang kala fleksibilitas yang mencirikan orang Thailand muncul dalam bentuk yang mengarah pada persepsi negatif. Dalam sebuah penelitian terhadap wisatawan seks Inggris di Thailand (ibid), beberapa responden merujuk pada sifat wanita Thailand yang dianggap patuh dan akomodatif secara genetis dan budaya cenderung terhadap subordinasi dan penyangkalan diri.

Bila Australia Selatan memiliki slogan 'Relax, Indulge, Discover, Enjoy' dan Maladewa memiliki slogan 'The Sunny Side of Life', kampanye pariwisata Thailand untuk  membangun kesadaran masyarakat bahwa Thailand berubah dilakukan dengan menggunakan konsep 'Amazing Thailand.' . Ini merupakan bentuk lain dari implementasi gagasan yang didasarkan pada persepsi tentang eksotika Thailand.

Slogan itu ditonjolkan karena banyaknya wisatawan yang menikmati eksperimennya dengan sesuatu yang baru, eksotis atau berbeda dari lingkungan rumah atau kehidupan sehari-hari mereka. Hanya saja, dalam memilih kata-kata untuk mewakili dan memposisikan citra negara, tidak hanya harus mempertimbangkan makna positif tetapi juga kemungkinan menyiratkan konotasi negatif.
Alat komunikasi merek lain adalah penggunaan simbol visual. 

Beberapa tempat menggunakan situs yang dapat dengan mudah menancap di benak orang dan terkait dengan tempat tertentu. Misalnya, Opera House dengan Sydney, Tembok Besar China dengan Beijing dan Taj Mahal dengan Agra. Simbol visual yang sukses perlu melambangkan dan memperkuat citra suatu tempat tertentu dan juga harus konsisten dengan slogan atau tema tempat itu.

Perkembangan merek terbaru Hong Kong memilih slogan 'Asia's World City' dan memilih menggunakan gambar naga. Logo ini juga menggabungkan huruf HK dan nama negara yang ditulis dengan kaligrafi China. Idenya adalah untuk menyampaikan perasaan yang dinamis, kecepatan dan perubahan serta mencerminkan karakteristik negara (Yu, 2003). Namun demikian, kampanye branding tempat ini menemui karena pengenalan dan pemahaman yang rendah dan memerlukan pengembangan lebih lanjut untuk mengkomunikasikan citra yang benar kepada penduduk lokal dan wisatawan internasional dan investor.

Kotler dkk. (2002) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menangani citra negatif suatu tempat adalah dengan menggunakan 'denying visual' untuk mengalahkan target audiens dengan citra positif. Strategi ini hadir dengan resiko. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam kamapnye brandingnya, Bangkok selalu ditampilkan seakan menggambarkan dirinya sendiri dengan menggunakan gambar Grand Palace yang digambarkan sebagai gambar yang indah dan tenang, padahal kenyataannya Grand Palace terletak di tengah kota di tengah kemacetan yang padat.

'Penyangkalan visual' ini membuat frustrasi di kalangan pengunjung yang memiliki harapan tinggi karena mereka merasa ditipu oleh kampanye pencitraan merek. Porritt (2006) mengemukakan bahwa wisatawan yang mengerti merasa sangat tidak nyaman dengan ketidakcocokan antara image yang diproyeksikan melalui alat pemasaran dan kenyataan yang dialami pelancong.

Selain penggunaan negara dalam simbol visual, Thailand juga telah digambarkan oleh image orang Thailand (misalnya gambar pramugari cantik yang digunakan oleh Thai Airways International) yang dirancang untuk menyampaikan posisi keramahan Thailand. Namun, penggunaan image wanita Thailand juga harus dipikirkan dengan baik, terutama karena stigma negatif dari perdagangan seks di Thailand.


Dalam sebuah studi penelitian yang menggunakan kelompok fokus pengunjung asing yang dilakukan oleh Otoritas Pariwisata Thailand, satu peserta merujuk pada serangkaian papan reklame jalan raya sebuah maskapai yang memerankan serangkaian gadis muda yang tersenyum. Lalu persepsi yang muncul dari gambar pada papan reklame tersebut adalah asosiasi negara dengan pariwisata seks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar