Kamis, 16 Maret 2023

KOMUNIKASI PERUBAHAN: ANTARA DRAMATURGI DAN STORYTELLING


Tahun 2017, aktris Hollywood, Alyssa Milano, mengajukan tagar #MeToo di Twitter untuk memberikan dukungan kepada korban pelecehan seksual. Gerakan ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan melibatkan jutaan orang yang membagikan pengalaman mereka terkait pelecehan seksual melalui media sosial dan kampanye publik.

Milano adalah seorang aktris, produser, dan aktivis asal Amerika Serikat. Ia dikenal atas perannya dalam sejumlah film dan serial televisi, seperti "Who's the Boss?", "Charmed", dan "Melrose Place". Sebagai seorang aktris Hollywood yang dikenal luas, Milano memiliki posisi sosial yang relatif tinggi dalam masyarakat dan industri hiburan. Sebagai seorang publik figur, ia memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penggemar dan pengikutnya di media sosial.

Beberapa tokoh terkenal seperti Ashley Judd, dan Taylor Swift telah menjadi bagian dari gerakan ini dengan menceritakan pengalaman mereka terkait pelecehan seksual yang mereka alami. Ashley Judd misalnya, menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser film Harvey Weinstein. Sementara Taylor Swift menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dialami saat berpose untuk foto bersama seorang DJ.

Selain mereka, beerapa artis juga pernah mengalami pelecehan dan mereka berani berbagi pengalaman mereka. Rose McGowan menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein dan berperan penting dalam mengangkat isu ini ke permukaan. Ada lagi, Asia Argento -aktris Italia - yang menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein, dan Kesha (penyanyi) yang menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser musik Dr. Luke.

Rose McGowan adalah seorang aktris, penulis, dan aktivis asal Amerika Serikat. Ia terkenal dalam perannya dalam beberapa film seperti "Scream", "Jawbreaker", dan "Grindhouse". Ia juga dikenal sebagai salah satu korban pelecehan seksual oleh produser film Harvey Weinstein.

Setelah mengungkapkan pengalamannya, ia menjadi salah satu penggiat utama dalam gerakan #MeToo dan berperan penting dalam mengangkat isu pelecehan seksual di industri hiburan dan mendorong perubahan dalam budaya kerja yang lebih aman dan adil. McGowan juga merupakan penulis buku otobiografi yang berjudul "Brave" yang menceritakan pengalamannya dalam industri film dan perjuangannya sebagai aktivis.

Para korban pelecehan seksual ini secara ternag-terangan menunjukkan dampak yang telah mereka rasakan. Ini memberikan peluang bagi mereka untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari masyarakat, dan sekaligus memperkuat gerakan #MeToo sebagai sebuah gerakan sosial. Para korban membagikan kisah-kisah mereka melalui media sosial dan berbagai media lainnya, yang membantu membangun kesadaran tentang masalah ini dan mendorong tindakan.

Fenomena ini memberikan petunjuk bahwa -- dalam gerakan #MeToo -- storytelling menjadi alat yang sangat penting untuk memperkuat sebuah Gerakan. Banyaknya korban pelecehan seksual yang berani berbicara dan membagikan pengalaman mereka dengan cara yang sangat emosional dan mendalam. Ini  memungkinkan orang lain memahami betapa pentingnya isu tersebut.

Storytelling dalam gerakan #MeToo juga membantu memperjuangkan perubahan dalam hukum, kebijakan organisasi, dan budaya seksual yang lebih aman dan adil. Dengan memperlihatkan dampak nyata dari pelecehan seksual dan kebutuhan untuk perubahan, storytelling dalam gerakan #MeToo membantu mengubah pandangan masyarakat tentang isu ini dan memperjuangkan tindakan nyata untuk memerangi pelecehan seksual.

Gerakan #MeToo adalah contoh yang sangat kuat dari bagaimana gerakan pengalaman dan storytelling dapat digunakan untuk menciptakan perubahan sosial dan membantu orang untuk terlibat secara aktif dalam isu-isu penting yang mempengaruhi kehidupan mereka. Storytelling dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam menciptakan perubahan sosial dan membantu orang untuk terlibat secara aktif dalam isu-isu penting yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Tahun 2017, Cojuharenco dan Patient menulis artikel Journal of Management. Artikel ini mmbahas tentang bagaimana storytelling dapat mempengaruhi orang lain, baik secara individual maupun kelompok. Menurut mereka, ada empat empat elemen penting dalam storytelling, yakni konten, kredibilitas, emosi, dan koneksi.

Konten mengacu pada apa yang diceritakan dan bagaimana ceritanya disusun. Kredibilitas mengacu pada kepercayaan orang terhadap narator atau sumber cerita. Emosi terkait dengan bagaimana cerita dapat memengaruhi emosi orang dan koneksi terkait dengan bagaimana cerita dapat membentuk hubungan dan koneksi antara narator dan pendengar.

Dalam pandangan Tufte (2017), Gerakan #MeToo menggunakan elemen-elemen dramaturgi, seperti cerita (naratif), karakter, dan adegan, untuk menciptakan pesan dan aksi yang efektif dalam mencapai tujuan perubahan sosial. Konsep ini mengacu pada cara komunikasi dan tindakan yang dapat diorganisir dan dipersiapkan untuk menciptakan perubahan sosial yang diinginkan.

Tahun 1959, Irving Goffmann menulis buku "The Presentation of Self in Everyday Life" yang membahas tentang konsep dramaturgi dalam kehidupan sehari-hari. Goffman menganggap kehidupan sosial sebagai panggung di mana setiap individu memainkan peran yang berbeda-beda. Seperti seorang aktor, setiap orang mempersiapkan diri dan mempresentasikan dirinya secara berbeda tergantung pada situasi dan orang yang ada di sekitarnya.

Buku ini membahas bagaimana individu memanipulasi citra dirinya dan menciptakan "kesan" tertentu dalam interaksi sosial mereka. Goffman menjelaskan bahwa kesan yang dihasilkan dari interaksi sosial adalah hasil dari upaya individu untuk mempresentasikan diri sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang lain dan konteks sosial yang ada.

Goffman juga membahas tentang peran kelas sosial dalam mempengaruhi cara individu mempresentasikan diri. Dia menunjukkan bahwa individu dari kelas sosial yang berbeda dapat memainkan peran yang berbeda dalam interaksi sosial, dan citra diri mereka akan dipengaruhi oleh identitas sosial mereka.

Dalam konteks Gerakan #MeToo, Tufte (2017) membandingkan gerakan sosial dengan drama, di mana ada elemen-elemen penting yang harus dipertimbangkan agar aksi dan pesan dapat disampaikan secara efektif. Seperti dalam drama, gerakan sosial harus mempertimbangkan beberapa elemen penting, termasuk cerita (naratif), karakter, dan adegan, untuk menciptakan sebuah "dramaturgy" atau tatacara drama yang efektif untuk mencapai tujuan gerakan sosial.

Cerita (naratif) dalam dramaturgy of social change merujuk pada cara pesan atau informasi disampaikan dalam gerakan sosial. Pesan tersebut harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat dan memicu tindakan yang diinginkan.

Karakter dalam dramaturgy of social change merujuk pada siapa yang terlibat dalam gerakan sosial dan bagaimana karakter tersebut dipersepsikan oleh masyarakat. Karakter yang kuat dan konsisten dapat membantu membangun dukungan dan mengubah pandangan masyarakat terhadap isu sosial.

Adegan dalam dramaturgy of social change merujuk pada lingkungan dan konteks di mana gerakan sosial berlangsung. Lingkungan ini dapat mempengaruhi cara pesan dan tindakan diinterpretasikan oleh masyarakat.

Dengan memperhatikan elemen-elemen ini, dramaturgy of social change dapat membantu gerakan sosial untuk menciptakan pesan dan aksi yang efektif untuk mencapai tujuan perubahan sosial yang diinginkan.

REFERENSI

Cojuharenco, I., & Patient, D. (2017). Storytelling and social influence: A literature review, theoretical framework, and agenda for future research. Journal of Management, 43(1), 166-195.

Goffman, I. (1959). The presentation of self in everyday life. Anchor Books.

Tufte, T. (2017). Dramaturgy of social change: The #MeToo movement. In T. Tacchi & T. Tufte (Eds.),    Communicating for change: Concepts to think with (pp. 67-80). ANU Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar