Selasa, 08 November 2011

INDONESIA CASE - SOCIAL MEDIA IN A CRISIS SITUATION


Pada awalnya Indofood terkesan gamang ketika menjawab pertanyaan para jurnalis seputar isu penarikan Indomie di Taiwan. Padahal, menurut Presiden IPRA Elizabeth Gunawan Ananto, kegamangan itu bisa diartikan bermacam-macam oleh publik yang kritis. Karena itu, jangan sekali-sekali keliru menggunakan nada suara, pilihan kata, waktu penyampaian, dan pilihan media komunikasi ketika menyampaikan pesan melalui para jurnalis!

"Kami Front Pembela Indomie bersaksi:

1. Lebih baik dunia tanpa kosmetik daripada tanpa Indomie; 
2. Nothing can’t take me away from you, not even wax issue. You’ll always have a special place in my heart, Indomie; 
3. Buat perantauan di negeri orang, Indomie itu pemuas kangen dan perut di kala gak punya uang karena disiksa di negeri orang; 
4. Tetep cinta Indomie; 
5. Indomie atau MATI!!; 
6. Curhat di malam pekat bersama sahabat hanya nikmat bersama Indomie hangat; 
7. Gak tahu kenapa, tapi tetap Indomie di hati, mau kosmetik mau baygon, saya gak takut makan Indomie; 
8. Tanpa Indomie, mahasiswa kelaparan di akhir bulan; 
9. Indomie adalah salah satu Mahakarya yang paling jenius. Bahkan Apple aja gak bisa bikin produk seenak itu; 
10. If it’s not because of Indomie, our nation name would only be ”nesia”; 
11. Indomie emang gak baik buat kesehatan. Tapi sorry gua ga bisa berhenti makan Indomie. Itu makanan favorit, maaf. Posted with WordPress for BlackBerry.”
            
Sebanyak 11 dari total 20 pasal persaksian di atas memang terkesan sekadar lucu-lucuan yang dimunculkan oleh hashtag #FrontPembelaIndomi pada microblog twitter, awal Oktober lalu. Namun jika membaca isinya, siapa tidak merinding menemukan reaksi ‘berani mati’ yang ditunjukkan oleh sekelompok besar loyalis produk mi instan tersebut.

Pasal persaksian reaksioner itu seperti menjadi puncak dari akumulasi reaksi para tweeps dalam menanggapi berita bahwa Taiwan telah menarik produk Indomie dari sejumlah supermarket di sana. Sekadar mengingatkan alasannya, waktu itu disebutkan mie instan keluaran Indofood  mengandung bahan pengawet E218 atau Methyl P-Hydroxybenzoate yang dianggap berbahaya bagi kesehatan dan dilarang digunakan di negara importer TKI itu.

Di timeline pengguna twitter, aksi dinas kesehatan Taiwan ternyata memberikan dampak yang sangat luas. Mungkin karena rata-rata pengguna twitter di Indonesia adalah konsumen Indomie, selama beberapa hari setelah berita itu beredar, para tweeps ramai bercericit dengan kicauan yang bising. @TrinityTraveler menulis, “Lbh baik dunia tanpa kosmetik, drpd tanpa Indomie. #FrontPembelaIndomie cc.” 

Disahut kemudian oleh @dimasnovriandi, “Ganyang Taiwan! tertanda, Front Pembela Indomie (FPI). Dan @ikhdarizky, “gak penting ngeributin #indomie.. (*Jangan sampe tuh Indomie hilang dari pasaran!!!) grrhhh…” Setelah itu muncul pembelaan gagah berani dari @faisRivai, “Jangan tanyakan apa yang #indomie berikan padamu, tapi apa yang kamu berikan pada #indomie.”

Itu hanya sebagian dari kebisingan para tweeps dari segmen umum. Pada media yang sama, beberapa tweeps yang memiliki kompetensi di dunia komunikasi mendiskusikan fenomena new wave marketing tersebut secara lebih analistik. Daniel Rembeth (@danrem) misalnya, menulis, “Oh ya, hari ini kita ramai-ramai membela #indomie, karena mungkin sama spt Pancasila, UUD 45, TNI dan BCA, #indomie adalah pemersatu.” 

Nukman Lutfi @nukman kemudian menyahut, “Dipukul di Taiwan, Indomie dibela di Twitter. Mungkinkah merek itu sdh dianggap mewakil kebanggaan Indonesia di pentas global?u bangsa!” Dan langsung disambar oleh @Cordiaz, “@nukman @pitra apa mungkin ini tanda blm lunturnya rs patriotisme masyarakat indonesia? Membela prdk Indonesia yg dinilai negtf di LN.” 

Sementara @Ajiwar menduga, “@nukman bukan! Orang indonesia tau bahaya indomie, tp tetep makan soalnya enak & praktis, jd d twitter itu sbnrnya mentertawakan dri sndiri.” Dan @DedyDahlan mengatakan, ”Kasus indomie menunjukkan 1 hal, kl produk anda jd bagian dr hidup & dpt loyalitas konsumen, mrk siap membela anda #tipsbiz.”

Reaksi-reaksi di atas memang muncul sebelum ada info resmi dari BPOM akan layak tidaknya Indomie dikonsumsi. Namun sebelum badan resmi keamanan pangan Indonesia itu turun tangan, Indomie patut berbesar hati. Soalnya  tanpa aksi PR apapun mereka telah mendapatkan banyak pembelaan di social media, yang mampu menyebar dengan sangat cepat dan mendunia.

Namun Elizabeth Goenawan Ananto, Presiden International Public Relations Association (IPRA) tidak sepakat jika problem itu dikaitkan dengan rasa nasionalisme karena terkesan sebagai pengalihan isu. Dengan sikap kritis yang masih terbatas pada kaum yang memiliki independensi, publik Indonesia memang bisa distimulai untuk membela produk buatan Indonesia dengan pembentukan semacam  Front Pembela Indomie. Namun diingatkan, publik tetap akan menilai sejauh mana pertanggungjawaban perusahaan terhadap kasus ini.

Ia berpendapat peristiwa yang terjadi pada Indomie sebenarnya belum masuk tataran problem public relations (PR) karena kabar yang ditulis media Taiwan itu benar adanya. Masalah berkembang menjadi krisis PR setelah berita itu diangkat media. Pada tahap ini perkembangan masalah memang patut menjadi kekhawatiran karena akan berpengaruh terhadap image produk dan perusahaan yang potensial berdampak pada masalah sales.

Menurut Ega, begitu Elizabeth biasa disapa, fakta tersebut tetap harus diteliti ulang, apakah benar hasil laboratorium dan uji validitasnya, apakah ada bukti yang dapat disampaikan kepada publik atau fakta yang direkayasa. “Yang jelas harus disikapi bahwa hal ini sudah menjadi krisis, terbuka kepada publik, menimbulkan ketidakpercayaan, menolak untuk membeli Indomie karena dianggap berbahaya,” ujarnya.

Sepengamatan Ega, publik terutama konsumen Indomie sudah pasti akan berjaga-jaga. Bukan saja kepada Indomie, namun juga terhadap produk sejenis dari berbagai brand asal Indonesia. Kondisi ini, menurutnya, tidak saja akan berdampak terhadap image Indomie, tetapi juga terhadap produk makanan dari Indonesia yang bisa dianggap tidak aman untuk dikonsumsi.

Ega tetap menyarankan agar dilakukan penelitian ulang, apakah terjadi penurunan signifikan terhadap penjualan. Juga harus dicari data, apakah pemberitaan mengenai penarikan Indomie ini sampai ke kampung dan gunung-gunung seperti juga penyebaran produknya sampai ke seluruh pelosok Tanah Air.

Pesan Gamang

Sempat ada jeda berdiam diri, pihak Indomie akhirnya melakukan beberapa langkah yang serius. Dengan menggandeng Kamar Dagang Ekspor Indonesia, mereka mengirimkan tim ke Taiwan untuk berkomunikasi dengan pemerintah negara tersebut. Pemerintah memang memberi perhatian yang sangat besar atas kasus ini. 

Pasalnya, seperti diungkapkan Plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh, jika kasus Indomie ini tidak ditangani dengan baik, bisa berpeluang melebar ke negara lain atau bahkan kepada produk Indonesia lainnya di luar negeri. "Ini bukan masalah Indomie saja tapi ini masalah Indonesia," ujarnya di sela-sela acara Trade Expo Indonesia JIExpo, Jakarta, Rabu (13/10/2010).

Namun sepengamatan praktisi PR, Syahrisa Syahrul yang saat ini berdomisili di Singapura,  isu penarikan Indomie di pasar Taiwan ternyata tidak terlalu besar mempengaruhi publik luar negeri terutama negara-negara maju, kecuali orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Pasalnya, karena publik luar negeri tidak memiliki attachment atau bonding yang besar dengan Indomie “…it’s like just another noodle buat mereka. Kalo memang berbahaya yah jangan dibeli,” emailnya kepada MIX. Jadi ketika pemerintah setempat mengatakan bahwa produk itu aman, maka problem selesai sudah.

Di Singapura sendiri, menurut wanita yang akrab disapa dengan panggilan Chicha itu, yang sangat memperhatikan isu Indomie justru orang Indonesia. Namun reaksi negara Singa tersebut cukup melegakan karena dua hari setelah isu Indomie merebak, AVA Singapore mengeluarkan statement: “Berdasarkan random check Indomie yang beredar di Singapore tidak terdeteksi mengandung Para-hydroxy Benzoates” (http://www.ava.gov.sg/). Maka setelah itu, isu pun mereda dengan sendirinya.

Sempat muncul penjelasan melalui situs resmi Indofood (Senin 11/10/2010) bahwa yang muncul dalam pemberitaan media Taiwan adalah produk mie instan dari Indofood yang sebenarnya bukan untuk dipasarkan di Taiwan.  Dua hari kemudian, pernyataan ini di-back up- Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu, yang menyatakan akan menyelidiki mengapa produk itu bisa masuk ke pasar Taiwan (Vivnews.com 13/10, Media Indonesia 13/10). Sementara Fansiskus Welirang, Vice President Director Indofood Sukses Makmur, dalam rapat dengar pendapat dengan DPR menyatakan bahwa mereka memang tidak bisa mencegak ekspor pararel dari Indonesia.

Bukannya memadamkan masalah, penjelasan kronologis tersebut justru menimbulkan persepsi yang agak miring bahwa selama ini Indofood telah memberikan standar yang berbeda antara produk ekspor dengan konsumen Indonesia. Chicha menyayangkan munculnya statemen yang rancu ini karena potensial membuka ruang debat baru bagi publik Indonesia yang sudah dengan rela menyatakan pembelaannya terhadap Indomie.

Sementara Ega menangkap adanya kegamangan Indofood dalam menyampaikan inti pesan. Kegamangan itu, menurutnya, bisa dipertanyakan oleh publik yang kritis bahwa produk yang dianggap lebih aman saja ternyata bermasalah, apalagi produk yang kurang aman. “Paling penting, ketika menyampaikan inti pesan adalah, jangan sampai keliru (nada suara, pilihan kata, waktu, pilihan media komunikasi) karena dapat ditafsirkan macam-macam,” ujarnya.

Untunglah pihak Indofood bereaksi cepat. Saat memenuhi undangan DPR tanggal 14 Fansiskus Welirang, Vice President Director Indofood Sukses Makmur, melurusannya dengan bahasa yang sangat hati-hati. Ia menjelaskan bahwa bahan pengawet yang digunakan di Indonesia dan Taiwan jenisnya sama, hanya saja terdapat perbedaan tingkatan. Yakni, jika di Indonesia menggunakan Methyl P-Hydroxybenzoate maka pengawet yang dipakai di Taiwan adalah Ethyl P-Hydroxybenzoate.

"Jadi jangan dianggap yang di Taiwan itu paling bagus, dua-duanya juga pakai bahan pengawet kok dan itu tidak berbahaya bagi kesehatan," ujarnya seraya menularkan dugaan bahwa ada praktik persaingan dagang di belakang ramai-ramai kasus ini. Dalam kesempatan itu ia juga berjanji untuk segera melakukan sosialisai mengenai kandungan Indomie, guna menghilangkan keresahan masyarakan. Sosialisasi itu dilakukan dengan menggandeng Pusat Informasi Produk Makanan dan Minuman Indonesia (PIPMMI).

Pada akhirnya, krisis PR kasus Indomie dianggap cukup dengan keluarnya rilis dari Indofood CBP Sukses Makmur selaku produsen. Dalam siaran pers yang disebarkan ke berbagai media, Taufik Wiraatmadja, Direktur ICBP menegaskan sebagai berikut "Sehubungan dengan pemberitaan di media massa Taiwan baru-baru ini, mengenai kandungan bahan pengawet E218 (Methyl P-Hydroxybenzoate) dalam produk mi instan Indomie, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) menjelaskan bahwa produk mi instan yang diekspor oleh Perseroan ke Taiwan telah sepenuhnya memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan."

Lebih tegas ia menulis bahwa ICBP telah mengekspor produk mi instan ke berbagai negara di seluruh dunia selama lebih dari 20 tahun. Perseroan senantiasa berupaya memastikan bahwa produknya telah memenuhi peraturan dan ketentuan keselamatan makanan yang berlaku di berbagai negara dimana produk mi instannya dipasarkan. (Nurur R Bintari - MAJALAH MIX-MARKETING COMMUNICATIONS, November 2010)
Box : gambar image
Step-step yang disarankan untuk mengatasi kasus PR seperti Indomie
1) Analisa kebenaran berita - sumber berita - sejauhmana berita sudah tersebar - seberapa jauh dampaknya - pemetaan publik yang terkena dampaknya.
2) Buat skenario secara cepat dan akurat. Jelaskan situasi secara komprehensif dan apa adanya sehingga publik paham akan adanya perbedaan kalau hal itu benar. Jangan menyangkal, mintalah permohonan maaf atas pemberitaan ini.
3) Up date setiap perkembangan terbaru sehingga publik mengetahui kondisi real-nya, bukan rumor yang beredar. Jangan ciptakan statement yang justru menciptakan wacana baru di publik.
4) Libatkan semua pihak yang terkait dengan kasus ini lokal Indonesia dan Taiwan seperti: Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan dan Badan POM untuk Indonesia. Selain itu, jangan biarkan berita jadi melebar kemana-mana sebelum adanya fakta yang jelas.
5) Publik tertentu bisa saja digiring kepada pemahaman nasionalisme yang sempit, namun pejabat publik seharusnya bersikap netral saja.
6) Munculkan tokoh-tokoh yang dipercaya publik untuk kredibilitas dalam bidang pangan, BPOM, YLKI dan media. Dapat juga dibantu dengan pernyataan badan pengawas di negara lain yang dapat mendukung pernyataan Indomie.
6) Support media dengan pemberitaan dari negara-negara lain yang menyatakan bahwa Indomie di negara berkaitan aman untuk dikonsumsi contohnya pernyataan dari AVA Singapore.

7) Rasa nasionalisme publik akan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipaksa apabila si produk/brand yang terkena problem memiliki attachement yang kuat dengan publiknya. Karena itu dalam kasus seperti ini sebenarnya DPR tidak perlu turun tangan.
8) Selain media konvensional semacam radio dan harian (yang sifatnya lebih aktual), bisa juga digunakan channel berbasis internet (portal, web, blog, twitter, fb dan jejaring social) untuk sosialisasi ke masyarakat. Tetapi berhati-hatilah dengan medium jejaring sosial. Karena dengan kolomnya yang sangat terbatas, kemungkinan kesalahan persepsi cukup besar. (sumber : Elizabeth G Ananto & Syahrisa Syahrul)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar