Selasa, 08 November 2011

SOCIAL MEDIA IN A CRISIS SITUATION


Hari-hari ini kemajuan teknologi memberikan kontribusi luar biasa bagi para praktisi public relations. Dengan alat yang begitu mudah digunakan dan bisa untuk berbagai macam aktivitas, public dan praktisi PR bisa menyebarkan informasi dengan begitu cepat dan luas. Dengan kata lain, kemajuan teknologi meningkatkan harapan publik terhadap organisasi.
Pada 2007 silam, dalam Ongoing crisis communication: Planning, managing, and responding, Coombs  menjelaskan tentang begitu berharganya internet sebagai alat untuk mengumpulkan informasi dan berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan selama krisis. Namun, Coombs juga menunjukkan bahwa internet dan siklus berita 24-jam telah menciptakan tekanan bagi organisasi untuk merespon krisis dengan cepat.
Contoh paling sederhana adalah bagaimana para praktisi PR di Domino’s Pizza menghadapi situasi krisis. Pada April 2009 praktisi PR di Domino’s menghadapi krisis perusahaan yang cukup besar – selama 48 jam – gara-gara munculnya video di YouTube. Pada hari Senin, 13 April dua karyawan Domino’s Pizza meng-upload sebuah video buruk bagi Domino’s Pizza ke YouTube. Dalam video tersebut, seorang karyawan menarasikan gambar video, sementara seorang karyawan lainnya menyisipkan potongan keju ke dalam hidungnya dan potongan sosis  di belakang punggungnya sebelum menempatkannya ke dalam sandwich yang akan dideliver ke pelanggannya. Video itu langsung mendapat respon yang luar biasa. Lebih dari satu juta pemirsa melihat video menjijikkan itu.
Manajemen Domino menemukan video tersebut ketika perusahaan itu dihubungi oleh seorang blogger pada Senin malam. Dalam waktu 48 jam, manajemen Domino merespon situasi tersebut. Domino’s Pizza meyakinkan pelanggannya bahwa produknya diproduksi dengan standar tertingginya. Hanya saja, saat itu video tersebut telah dilihat oleh sejuta pemirsa lengkap dengan segala komentar jelek dari pemirsanya. Yang menarik, meski video tersebut  dihapus dari YouTube, tetapi video itu sudah diposting dan ditayangkan situs-situs lain seperti GoodAsYou.org dan consumerist.com.
Tim McIntyre, juru bicara Domino, menanggapi pertanyaan media dan mengumumkan bahwa karyawan bersangkutan telah dihentikan. Sayangnya, perusahaan memutuskan untuk tidak mengeluarkan siaran pers resmi atau memposting secara online pernyataan itu. McIntyre membela keputusannya itu dengan mengatakan bahwa, "perusahaan dapat saja menangani (krisis tersebut, penulis) melalui puluhan ribu tayangan yang mengapresiasi Domino, akan tetapi respon yang kuat dari Domino justru malah akan membuat konsumen lebih malu" (York, 2009, 14 April diunduh  dari http://adage.com / artikel?article_id = 135982).
Beberapa saat kemudian, perusahaan segera menyadari bahwa langkah itu merupakan sebuah kesalahan. Keputusannya untuk tidak menanggapi secara agresif melalui sumber daya media tradisional dan sosial, khususnya Twitter, menyebabkan konsumen mempertanyakan integritas perusahaan. Domino mengambil tindakan lagi. Kali ini menggunakan account Twitter untuk menjawab pertanyaan konsumen dan memposting video YouTube yang memperlihatkan bos Domino, Patrick Doyle, meminta maaf kepada pemirsa. Insiden ini sekarang dianggap sebagai suatu babak baru dalam manajemen krisis . Kasus ini merupakan sebuah contoh komunikasi krisis melalui sosial media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar