Kamis, 10 November 2011

Message-nya Sama, Caranya yang Berbeda


Pesan produk boleh sama. Namun, keberagaman budaya membuat para pemasar mengkomunkasikan pesan merek atau produk berbeda. 

Tahun lalu, saya sempat mengunjungi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dua malam saya tinggal di kota Mataram, ibukota NTB. Saya sempatkan keliling pusat kota Mataram pada malam hari dengan jalan kaki, meski tidak semuanya terjangkau. Namun, menurut beberapa warga yang tinggal disitu, disinilah wajah Mataram terwakili. Tak banyak minimarket di daerah itu. Malah bisa dibilang tidak ada sama sekali. Mal-nya cuma satu, Mal Mataram di Jl. Pejanggik. Itu pun tidak lebih besar dari Mal Cijantung bila di Jakarta.  

Yang luar biasa adalah kulinernya. Malam hari di Jalan Pejanggik, Cakranegara Mataram ramai sekali. Kanan kiri jalan banyak dijumpai warung-warung makan tradisional. Saya juga menjumpai outlet khusus busana favorit saya yang di Jakarta tidak saya jumpai. Karena kebetulan menjelang Pilkada Kodya Mataram, maka banyak spanduk dan billboard kampanye calon walikota.

Di pinggir jalan kawasan Bumi Serpong Damai atau Kelapa Gading Jakarta juga banyak warung-warung kuliner paa malam hari. Tak jauh dari warung-warung berdiri mal-mal megah. Dalam jarak tak sampai 300 meter, tidak sulit menemukan minimarket. Karena kebetulan November 2010 ini menjelang Pilkada Walikota Tangerang Selatan, di kawasan BSD juga banyak dijumpai billboard kampanye calon.

Sulit mengatakan sama kondisi Mataram – ibukota provinsi NTB -- yang lebih dari seribu kilometer jaraknya dari Jakarta dan BSD – enclave bagian dari Tangerang Selatan – atau Ciputat -- ibukota Kodya Tangerang Selatan -- yang hanya beberapa kilometer dari Jakarta. Bahkan antara BSD dan Ciputat pun terdapat perbedaan yang mencolok. Bahkan di dalam satu wilayah atau kawasan masih terdapat perbedaan yang mencolok di antara wilayah dalam kawasan tersebut.

Dari sini muncul gambaran bahwa membagi konsumen berdasarkan wilayah memang tidak selalu relevan, namun konteks media massa elektronik seperti televisi sebagai saluran penyampai informasi pembagian audiens berdasarkan wilayah masih relevan. Apalagi Jakarta misalnya, sebenarnya juga terdiri atas berbagai macam etnis beragam daerah. Ini mengimplikasikan bahwa akan yang lebih relevan bisa membagi konsumen dalam psikografis tertentu, yang dipengaruhi oleh karakter daerahnya.

Dari isi marketing, kondisi ini mengimplikasikan bahwa pemasar memang tidak seharusnya melihat Mataram, Ciputat, dan BSD sebagai komunitas yang sama. Ada perbedaan karakter fisik masing-masing wilayah. Perbedaan itu menjadi jauh lebih kompleks manakala bahasannya masuk ke ranah komunikasi yang melibatkan manusia. Apakah hal itu membuat konunikasi yang harus dilakukan pemasaran berbeda? ”Main massage-nya tetap sama. Artinya, what to say-nya sama, hanya how to say-nya saja yang beda,” kata Erlisativani, Corporate Communication Manager PT Martina Berto.

Secara umum, menurut Erlisativani, karakter orang yang tinggal di kota besar biasanya lebih open mind, suka yang praktis, dan informatif. Sementara di kota kecil, karena informasinya lebih terbatas, mobilitas juga lebih rendah. ”Jadi orang masih senang ngobrol, senang dilayani, dan masih punya waktu untuk komunikasi,” katanya.

Bahasa juga memiliki pengaruh yang signifikan. Ini membuat cara komunikasi pemasar dan konsumen menjadi berbeda. Dalam menyapa konsumen misalnya, kata Erlisativani, beauty advisor (BA) yang ada di outlet tersebut seringkali menggunakan bahasa daerah agar lebih dekat dan intim. Bahkan untuk membangun komunikasi dengan konsumen di daerah, seringkali BA mengunjungi mereka, terutama saat ada acara-acara kumpul-kumpul misalnya. ”Sementara, di kota besar, kecenderungan kalau konsumen didatangi BA malah jadi risih,” katanya.   

Pesan memang perlu dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan budaya dan bahasa penonton pedesaan. Karena itu, pemasar selalu memperhitungkan agama, upacara keagamaan, dan sentimen lokal daerah pedesaan. Di India misalnya, beberapa penelitian menunjukkan efektivitas penggunaan teks-teks atau tema-tema keagamaan atau upacara keagamaan tertentu. (Das Gupta dan Menon, 1990). Sebagai contoh, sebuah conditioner menggunakan gambar populer dari mitologi untuk menarik konsumen pedesaan (Ghosh dan Krishnamurthy, 1997).

Karena banyak bahasa dan dialek di Indonesia, kadang-kadang kata-kata memiliki arti yang berbeda di berbagai negara dan efektivitas pesan tergantung pada menyesuaikan untuk variasi regional. Warna misalnya, di Madura warna hijau kurang populer karena warna itu juga disebut sebagai biru. Demikian pula, penggunaan kata-kata daerah juga bisa mengaburkan makna dari pesan global yang ingin dibangun oleh pemilik atau pengelola merek.

Konsumen pedesaan sangat dipengaruhi oleh konteks iklan. Iklan dengan pengaturan perkotaan atau yang jauh dari kehidupan sehari-hari mereka, tidak mendukung upaya dirinya menemukan jati dirinya. Karena itu, konsumen pedesaan tidak dipengaruhi oleh iklan yang menggambarkan sebuah dunia yang berbeda karena iklan tersebut sulit dipahami.

Pemanfaatan beberapa media untuk berkomunikasi dengan konsumen 2nd atau 3rd urban yang secara geografis tersebar bisa jadi bermanfaat. Pemasaran yang efisien dapat menjangkau konsumen pedesaan melalui program televisi yang populer. Demikian pula, pemasar juga dapat menggunakan radio sebagai media yang efektif setiap saat sepanjang hari, tetapi tidak larut malam. Sebab biasanya, malam hari digunakan masyarakat pedesaan untuk berkumpul bersama keluarga atau tetangga di depan rumah warga atau balai desa. Meski biasanya di tempat acara kumpul-kumpul terdapat pesawat televisi, namuan biasanya yang terjadi adalah dialog sesamanya tentang pengalaman mereka pada siang hari sebelumnya.

Pada kondisi seperti ini, pemanfaatan komunitas dan word of mouth dalam memasarkan produk akan bermanfaat. Intinya adalah produk yang ditargetkan pada konsumen dengan penghasilan rata-rata di daerah pedesaan membutuhkan komunikasi interpersonal untuk promosi persuasif. Hal ini untuk melengkapi media massa.

Dalam sebuah studi tentang iklan yang dianggap bisa mempengaruhi konsumen, diperoleh gambaran bahwa konsumen di pedesaan memiliki persepsi yang hampir sama dengan konsumen perkotaan. Konsumen pedesaan melihat merasa bahwa iklan telah membuat seseorang membeli 'produk yang tidak perlu’ Persepsi yang sama juga ada pada konsumen perkotaan. Hanya saja, konsumen pedesaan sedikit lebih tinggi – dari sisi proporsi – yang mengatakan bahwa iklan-iklan akan menyesatkan, dibandingkan dengan konsumen perkotaan.

Dalam konteks ini, pesan – termasuk iklan – yang menjanjikan manfaat lebih akan lebih bisa diterima ketimbang manfaat yang biasa. Sebuah penelitian yang dilakukan untuk menguji efektivitas pesan utilitarian dalam iklan untuk sebuah sabun deterjen membuktikan hal itu. Untuk menguji efektivitasnya, peneliti melakukan perbandingan, pertama, untuk iklan yang menjanjikan lebih putih melalui busa tambahan. Iklan kedua menunjukkan seorang ibu dan anak dengan pakaian putih menyilaukan menanyakan penampil apakah dia menggunakan sabun deterjen seperti yang mereka lakukan. Enam puluh tiga persen responden dari pasar pedesaan lebih memilih merek yang dijanjikan putih tambahan melalui busa tambahan.

Pada dasarnya desain produk, kemasan, termasuk bentuk, ukuran dan warna membantu menciptakan citra yang kuat di benak konsumen, termasuk konsumen di 2nd dan 3rd city. Pemasar yang cerdas selalu menggunakan tanda dan simbol yang dikenal di wilayah itu agar bisa memudahkan konsumen mengidentifikasi produknya. Di pasar pedesaan, pesan visual dan positioning adalah alat penting yang tidak bisa diabaikan oleh pemasar.

Sejumlah merek yang sukses di pasar pedesaan memiliki nama merek atau simbol dengan angka atau hewan. Sebab pada dasarnya, ada hubungan antara simbol dan merek. Manfaat simbol daka  merek adalah membantu ingatan. Simbol membantu asosiasi fitur produk dengan merek. Simbol pula yang membuat konsumen merasa dan berpikir tentang fitur-fitur yang relevan. Untuk produk atau merek, ini sangat penting untuk membangun merek di pasar pedesaan.

Sejumlah faktor yang mempengaruhi efektivitas pesan. Salah satunya adalah sebuah pesan haruslah sederhana, mudah dipahami dan dalam bahasa yang dimengerti oleh konsumen. Konsumen pedesaan dipengaruhi oleh bahasa, tanda, simbol dan presentasi bergambar. Maksudnya, dibandingkan dengan iklan non-gambar, iklan bergambar menunjukkan efek  lebih efektif pada konsumen pedesaan dibandingkan dengan konsumen perkotaan. Penggunaan visual sebagai bagian dari pesan tersebut adalah penting bagi pasar pedesaan dimana tingkat melek huruf sebagian besar konsumennya rendah.

Ini berarti terdapat peluang bagi pengiklan untuk menggunakan lukisan dinding sebagai tool untuk secara efektif menciptakan kesadaran merek atau untuk pengingat merek.  Media seperti wayang atau drama atau menempatkan pesan di novel benda atau pada hewan menciptakan perhatian konsumen pedesaan.

Namun demikian, penggunaan gambar juga perlu kehati-hatian. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa eksploitasi visual dalam banding sangat berperan dalam daya tancap sutau merek di benak konsumen. Gambar sepeda motor yang diasosiasikan dengan cheetah atau kuda untuk menyampaikan kecepatan memiliki daya tarik universal, lebih menudah menancap dalam ingataan pikiran  konsumen kerimbang gambar lainnya.

Konsumen pedesaan membutuhkan banyak waktu dalam memahami produk dan manfaat sebelum membuat keputusan pembelian. Karena itu, pesan cepat yang umumnya digunakan di televisi tidak sesuai untuk pasar pedesaan. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan cerita untuk promosi produk kepada konsumen pedesaan
adalah umum. Di pasar Indonesia, Colgate-Palmolive memiliki iklan berbasis cerita berjalan selama lebih dari 20 menit. Pelumas Castrol juga memiliki film dengan nama merek pelumas yang digambarkan sebagai karakter dalam film.

Karena narasi dan word of mouth begitu populer untuk mempersuasi konsumen, pemilihan narasumber begitu penting. Dalam sebuah studi untuk pembelian barang durable, konsumen cenderung berkonsultasi dengan pemimpin opini saat akan memutusakan membeli suatu merek atau tidak.

Seorang pemasar harus mengidentifikasi media yang secara spesifik banyak dikenal dan diakses oleh konsumen di wilayah tersebut. Dia juga harus mengembangkan pesan yang juga cocok untuk wilayah tersebut. Pemasar juga perlu melakukan penelitian tentang  kesiapan audiens, selain perilaku mencari informasi produk mereka, untuk mengembangkan strategi promosi yang efektif.

Pemasar dapat menggunakan prosesi dan kontes untuk membangun kesadaran dan untuk mengkomunikasikan posisi produk. Terdapat banyak titik kontak tempat konsumen berinteraksi dengan merek seperti pameran, pasar mingguan atau sumber air di pedesaan, penggunaan presentasi audio-visual, kontes, mendirikan kios yang bisa memberikan edukasi dan membawa tentang sikap berubah. Promosi melalui pengecer dengan menggunakan pemimpin opini juga merupakan alternatif.

Dari sisi siklus hidup produk, strategi disusun harus berbeda untuk setiap tahap. Saat peluncuran produk baru yang tidak tahan lama (non-durable good) baru ke dalam pasar misalnya,  dapat menggunakan demonstrasi dan sampling untuk mendidik konsumen dan menciptakan keyakinan. Demonstrasi dan sampling juga bermanfaat untuk menciptakan brand awareness.

Pemasar dari sebuah merek tidak tahan lama juga dapat menggunakan iklan pengingat dan promosi penjualan untuk mempertahankan loyalitas konsumen di sub-urban. Peluncuran produk tahan lama (durable) baru dengan menggunakan demonstrasi akan menciptakan kesadaran dan  menghasilkan sikap positif para opinion leader di suatu wilayah. Dalam kasus merek baru dari produk tahan lama, demonstrasi membantu menciptakan pendukung dari kalangan  para ahli. Syaratnya, merek yang ada tahan lama tersebut memastikan kepuasan pelanggan untuk mendapatkan pendukung dari pelanggan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar