Sabtu, 02 Februari 2019

Teknologi Bukanlah Pengalaman, Tetapi Memfasilitasi Pengalaman


Saat sesi tanya jawab sharing session Rapat Pimpinan Telkominfra di Novotel Hotel & Resort, Kemarin (31/1/19) salah seorang peserta bertanya kepada saya selaku narasumber, tentang service dan experience. Dalam pengembangan bisnis, seringkali perusahaan dihadapkan pada pilihan bagaimana menciptakan service yang experiential dan memorable serta dimana peran teknologi?

Diakui atau tidak, hari-hari ini perusahaan makin aktif berlomba untuk memberikan pengalaman pelanggan. Banyak perusahaan mengakui pentingnya memberikan pengalaman yang membuat mereka menonjol dari pesaing mereka. "Pengalaman" berkaitan dengan bagaimana pelanggan berpikir, merasakan dan berperilaku. Artinya, pengalaman itu yang memotivasi pelanggan untuk bertindak melampaui efisiensi yang sering terlupakan.

Ini berarti perusahaan membedakan dengan memberikan pengalaman baru dan lebih baik berdasarkan pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang memotivasi pembelian oleh pelanggan. Untuk melakukan itu, bisa dikatakan bahwa perusahaan seringkali harus meninggalkan praktek manajemen mutu objektif, kuantitatif, dan memasuki dunia psikologi pelanggan yang subjektif dan kualitatif.

Dalam konteks ini, teknologi adalah salah satu pemeran dalam ekosistem customer experience (CX). Artinya, teknologinya sendiri bukanlah 'pengalaman'. Tidak ada pelanggan yang membeli ‘situs web’. Tidak ada pelanggan membeli mata bor yang canggih. Mereka membeli manfaat menggunakan situs web; untuk memesan penerbangan itu, untuk menjelajah di iTunes, dan sebagainya. Mereka membeli lubang precise yang dibuat oleh mata bor.

Oleh karena itu, motivasi pelanggan yang sering kali mendasar dan tidak berwujud inilah yang harus dibuka dan diciptakan jika perusahaan ingin memberikan pengalaman pelanggan. Kalau tidak, perusahaan berisiko menginvestasikan uang dalam alat, proses, dan metodologi yang hanya berfokus pada pencapaian efisiensi bagi perusahaan daripada pada manfaat pelanggan yang mengesankan.

Beberapa perusahaan melakukan pembelajaran dalam menciptakan pengalaman penhalaman pelanggan yang Wow dengan cara yang sulit. Tahun lalu United Airlines mengalami krisis merek. Saat itu perusahaan kehilangan valuasi sebesar $ 1,4 miliar hanya dalam semalam hanya gara-gara pengalaman seorang penumpang menjadi viral di media sosial. 

Pernah dengar Juicero? Startup juicer Silicon Valley itu berhasil mengumpulkan dana $ 120juta dari investor. Namun, tak sampai dua tahun, start-up itu diejek setelah mesin seharga $ 400 itu tidak mempunyai nilai karena gagal memenuhi janjinya sebagai juicer yang canggih.

Layanan pelanggan, kualitas produk atau hanya perasaan pelanggan tentang perusahaan yang berbinis dengan mereka, pengalaman pelanggan menentukan nasib perusahaan apakah meningkat ke atas, atau jatuh.

Saat ini, 89% perusahaan bersaing terutama berdasarkan pengalaman pelanggan - naik dari hanya 36% pada 2010. Sekitar 80% perusahaan percaya bahwa mereka memberikan pengalaman super. Nyatanya, hanya 8% pelanggan yang setuju. Dengan kata lain, perusahaan memiliki jalan panjang untuk bisa memberika pengalaman pelanggan yang diharapkan.

Itu berarti juga ada peluang besar untuk mengganggu (mendistrupt) pesaing atau mendapatkan pangsa pasar dalam suatu industri. Sebaba bagaimanapun, semua yang dilakukan merek – apakah itu cara pemasaran, penelitian, iklan, dan lainnya - semuanya memainkan peran dalam membentuk pengalaman pelanggan.

Ini menunjukkan bahwa berfokus pada manajemen pengalaman pelanggan (CXM) mungkin merupakan investasi paling penting yang dapat dilakukan oleh sebuah merek dalam iklim bisnis yang kompetitif saat ini.

Dulu pelanggan dapat berkomunikasi dengan perusahaan hanya dalam tiga cara. Mereka dapat mengunjungi bisnis secara langsung, menulis surat atau menghubungi layanan pelanggan. Kemudian  itu digantikan atau dilengkapi dengan mesin faksimail, dan kemudian email.

Saat ini ada lebih banyak cara pelanggan terhubung. Mereka menggunakan Twitter, Facebook, WhatsApp, Instagram, dan lainnya. Dan, ketika pelanggan terhubung dengan perusahaan, mereka berharap untuk dikenal dan dilayani "sesuai permintaan" terlepas dari saluran yang mereka gunakan.

Pelanggan mulai memposting tweet ketika mereka tidak senang atau memiliki pertanyaan tentang produk atau layanan. Beberapa grup Facebook yang beralasan kuat didirikan untuk menentang merek dan organisasi yang memberikan Layanan Pelanggan yang buruk. Video YouTube menjadi viral. Tetapi mereka semua memiliki satu kesamaan.

Pelanggan telah mencoba untuk menyelesaikan masalah mereka melalui saluran Layanan Pelanggan tradisional, tetapi kemudian berjuang untuk mendapatkan resolusi yang memuaskan. Saluran sosial menyediakan outlet.

Ada beberapa pelanggan yang -- ketika tidak mendapatkan layanan yang dirasa layak mereka dapatkan – mengeluh lewat media sosial atau pesan instant ke seluruh dunia di saluran sosial yang disebutkan di atas. Pesan itu mungkin bukan ditujukan untuk perusahaan Anda, tetapi Anda telah dibicarakan banyak orang.

Berita baiknya adalah bahwa beberapa pelanggan yang senang akan membagikannya di saluran sosial juga. Zappos menciptakan cukup banyak momen kegembiraan yang dialami pelanggannya dan terus membuat berbagi konten tentang mereka. Itu mahal sehingga Zappos tidak selalu menjadi pengecer sepatu dengan biaya terendah. Namun pada akhirnya, kesenangan membuat Zappos menang di pasar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar